Hijaubiru

Jumat, 25 Februari 2022

Pesan dalam Tulisan
Februari 25, 2022 2 Comments


Apa, sih, pesan dalam tulisan itu?

Apa pesan adalah sesuatu yang jelas-jelas dituliskan penulis di naskah? Misalnya, ajakan 'jangan mencuri, jangan berbuat jahat, jangan merebut milik orang' dsb. Atau, pesan dalam tulisan adalah sesuatu yang bisa dipahami pembaca secara tersirat tanpa si penulis menuliskannya dengan gamblang?


Menurut saya, keduanya benar. Namun, poin pertama lebih cocok digunakan untuk buku anak-anak sehingga memang harus gamblang. Di sisi lain, poin kedua lebih sesuai untuk buku-buku/tulisan remaja dan dewasa karena mereka punya tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada anak-anak. 


Ini konteksnya tulisan fiksi, ya. Sebab pada nonfiksi, sebagian besar memang tersurat.


Namun, pada praktiknya, pesan model pertama (yang gamblang itu) masih sering ditemukan di buku untuk dewasa/remaja. Pesan-pesan seperti ini seakan menyuapi pembaca sehingga kita serasa sedang diceramahi dan didikte bagaimana harus bersikap. Meski pesannya baik, tapi gimana ya.... Kan, ini fiksi yang 'tugasnya' bercerita; bukan teks peraturan atau ceramah tokoh agama.


Biasanya, model-model tulisan seperti ini sebagian besar adalah hasil karya para pemula, baik itu yang baru 'nyemplung' dalam dunia kepenulisan ataupun orang yang bukan pendatang baru tapi masih belajar merangkai cerita. Namanya juga proses jadi sebetulnya normal-normal aja. Namun, akibat belum halus dalam bercerita, maka biasanya ada dua kemungkinan, antara (1) pesannya nggak sampai, atau (2) pesan tsb jadi cenderung kayak menceramahi. Kemungkinan kedua lebih sering ditemui. (Saya juga masih sering kayak gini, haha. Apalagi kalo udah buntu terus bingung ini enaknya 'dibungkus' kayak gimana, LOL).


Namun, ternyata bukan cuma penulis-penulis aja yang 'terjebak' di pesan tersurat, pembaca juga kayaknya masih banyak yang sulit mengambil pesan dan lebih suka ngambil 'permukaannya' aja. 


Soal pembaca yang nggak bisa memahami lebih dalam ini sebenernya saya agak kaget juga, sih. Kalau tulisan sastra, maklum, karena emang dibungkus metafora berlapis-lapis. Tapi kalau tulisan populer, hm... kan itu sudah lebih mudah dipahami, yak. Dan, saya pikir, jenis tulisan/genre/aliran/dll penulis sudah akan menyaring siapa yang akan jadi pembaca sehingga mereka sudah paham gaya tulisannya memang seperti itu dan mampu mengambil pesan yang tersirat di situ.


Gampangnya, 'pasar'/sasaran pembacanya udah terseleksi lewat genre dll-nya gitu, lho. Jadi harusnya mereka memang orang yang relate dan 'nyambung' dengan si penulis ini.


Jadi saya cukup terhentak waktu nemu ini di kolom Facebook.



Saya nggak tahu apa orang yang request ini udah baca semua tulisan Asma Nadia atau belum. Soalnya, kalau ngikutin, judul-judul seperti Emak Ingin Naik Haji, Cinta di Ujung Sajadah, itu bukan ngomongin soal cinta cowok-cewek, euy. Misalnya di Emak Ingin Naik Haji. Duh, itu, kalau disorot dari segi kekuasaan Allah seperti kata sender, pas banget karena isinya bener-bener nunjukin kuasa Allah. [SPOILER ALERT!] Dari Emak yang cuma jadi ART tua di rumah juragan, yang jelas gajinya cuma cukup buat hidup sederhana, sampai bisa haji karena tiba-tiba juragannya mau syukuran dengan berangkatin orang lain haji. Padahal, juragan itu sebelumnya kalau syukuran ya syukuran biasa aja; makan-makan ramai-ramai. [SPOILER END]


Poin saya adalah di ucapan Asma Nadia soal perspektif yang banyak itu. Ambil contoh topik cinta. Perspektifnya memang bisa jadi kisah kasih pria-wanita, tapi bisa juga antara ortu-anak, Tuhan-hamba, atau riilnya cinta Emak terhadap Allah lewat keinginan naik haji tadi. Buku/novel mbak Asma yang bertema pernikahan pun ada pesan terselubungnya; nggak cuma nunjukin indahnya romantisme kehidupan setelah married.


Sayangnya, hal-hal seperti inilah yang masih luput dari kacamata beberapa pembaca. Entah belum bisa atau nggak mau, mereka nggak menyelami isi cerita lebih dalam sehingga pesan tulisan justru kelewat gitu aja. Biasanya, karena yang menjadi fokus ketika membaca hanya alurnya. Apa sih ini konfliknya? Gimana sih ending-nya? Gimana nasibnya si A, B, C? Akhirnya, yang dipahami, ya, cuma garis besarnya. Padahal (menurut saya sih), penulis macam Asma Nadia, Andrea Hirata, dsb itu meski pesannya kadang agak berat, tapi penyampaiannya udah halus dan 'merakyat' sekali sampai remaja aja bisa paham. 


Lagipula, banyak, kok, penulis kondang dan andal di Indonesia yang sudah menuangkan berbagai kisah yang nggak cuma cinta-cintaan. Mungkin pembaca aja yang kudu cari-cari lebih banyak daripada disajikan begitu saja. 


Lalu, poin kedua.

Bila memperhatikan kolom sebelah kanan, apa yang terlintas?

Kalau saya, yang terpikir adalah ensiklopedia, bukan novel. Mungkin cerpen, tapi cerpen anak. Sebab, pesan-pesannya terlalu gamblang dan konfliknya terlalu sederhana dan pendek. Entah kalau ada yang bikin seperti cerpen koran yang dibungkus metafora bermacam-macam, mungkin bisa (?) Entah. Tapi yang jelas, sulit rasanya buat saya untuk membayangkan hal seperti ini diangkat menjadi topik utama di novel untuk dewasa/remaja.


Mungkin, memang pembaca yang harus mau menggali pesan lebih dalam daripada hanya membaca pesan dan alur permukaan aja. Sebab, salah satu kelemahan fiksi Indonesia dibandingkan luar negeri memang perkembangan karakter dan 'isi' yang kurang karena terlalu fokus pada alur dan penyelesaian konflik. 


Nggak semua tulisan, tentu. Tulisan yang matang biasanya sudah melewati hal ini. Tapi untuk fiksi pop, masih banyak yang begini. Bahkan, tulisan yang sudah dicetak menjadi buku pun bukan jaminan kalau ia sudah 'lepas' dari style seperti ini.


Pada akhirnya ya tergantung pembaca. Nggak bisa menggantungkan quality control pada penulis aja. Sebab, nggak cuma penulis, pembaca juga harus cerdas untuk menentukan tulisan yang masuk ke otaknya.

Reading Time:

Jumat, 18 Februari 2022

Cincin Api
Februari 18, 2022 2 Comments

Beberapa hari yang lalu, saya nonton sebuah film pendek tentang Gunung Tambora. Kebetulan 'nemu'  film ini dari promosi akun media sosial Taman Nasional. Video pendek ini mengulik soal sejarah meletusnya Gunung Tambora pada 1815.


Nama Tambora mungkin kurang familiar dibandingkan gunung-gunung yang sudah dikenal wisatawan mancanegara seperti Rinjani atau Bromo, tapi gunung ini adalah salah satu objek yang tak kalah penting karena pernah mengubah iklim dunia di abad 19. Ya ketika dia meletus itu.


Letusan itu memancung seperempat puncaknya. Skalanya? Lebih besar daripada bom atom yang dijatuhkan AS di Jepang saat PD II (letusan Tambora berskala 7 VEI. Perbandingan: letusan Krakatau abad 19 berskala 6 VEI, 10.000 kali lebih besar dari bom atom Hiroshima)sumber. Masyarakat yang tinggal di kakinya sebagian besar tewas terlibas erupsi. Abu solfatara yang meruap dari kepundannya menyelubungi atmosfer bumi hingga setahun. Suhu bumi turun drastis karena cahaya matahari terhalang abu.


Tahun itu dikenal sebagai The Year Without Summer. Tak cuma Indonesia atau Asia, Eropa dan negara empat musim lainnya pun terkena suhu sangat rendah. Tanaman pertanian gagal panen, kelaparan dan penyakit merebak di mana-mana. Banjir, longsor, badai, sudah seperti berita cuaca rutin. Pernah dengar novel atau monster Frankenstein? Novel sci-fi pertama itu lahir karena sang penulis, Mary Shelley, terkurung di tempat tinggalnya di Swiss karena cuaca yang sangat dingin.


Setidaknya itu yang dituturkan dalam film pendek produksi Baraka Bumi itu.


Lahir, hidup, dan besar di negara yang dilintasi Cincin Api Pasifik memang bikin kita sangat familiar dengan gunung berapi. Di mana di Indonesia yang nggak ada gunung berapinya, kecuali Kalimantan? Berita gempa dan erupsi sudah seperti makanan sehari-hari meski kita kadang masih terkaget-kaget kalau itu terjadi betulan. Apalagi, kalau mengalami sendiri.


Kita memang familiar, tapi apa sudah siap menghadapinya?

Ibarat hubungan. Dengan bencana, apa kita sudah betulan jadi 'teman' atau cuma sekadar 'kenal'?


Sayangnya, pendidikan/sosialisasi mitigasi bencana di Indonesia belum begitu meluas. Okelah buat daerah-daerah yang sudah jadi langganan bencana, misalnya Yogya dan sekitarnya yang sering kena gempa atau erupsi, atau kaki Gunung Sinabung, atau daerah-daerah pantai di Sulawesi. Gimana dengan daerah lainnya?


Di daerah yang tak pernah mengalami bencana itu, biasanya, pengetahuan masyarakat soal penyelamatan diri saat bencana juga masih kurang. Misal? Coba tanyakan aja ke orang terdekat: kalau gempa, harus ngapain? Kalau lagi ada di gedung tinggi, harus ngapain? 


Sebelum tinggal di Jogja, yang sering banget diguncang gempa (meski alhamdulillah ya nggak gede-gede amat, meski kadang ya gede juga...), pengetahuan saya nol soal ini. Setelah tinggal di sana pun, rasa-rasanya pengetahuan saya masih minim. Paling cuma tahu kalau ada gempa, segera pergi ke tempat lapang. Baru ketika kenal teman-teman volunteer dan ikut beberapa acara teman-teman penggiat olahraga outdoor, saya baru tahu kalau penanganannya beda-beda.


Kalau nggak mungkin keluar gedung, cari meja dll yang kuat dan berlindung di bawahnya. Kalau ada di basement atau gedung tinggi dan nggak memungkinkan keluar dengan cepat, cari sudut ruangan yang berbentuk siku, terutama di dekat lift, dan meringkuk di sana. Struktur siku itu biasanya lebih kuat dibanding dinding biasa dan bisa sudutnya bakal menghalau reruntuhan yang jatuh karena mereka bakal nyangsang di segitiga itu. Jadi, logikanya, manusia akan lebih terlindungi.


Dan, jangan, jangan pernah turun pakai lift. 

Saya masih ingat kejadian 2019 kalau nggak salah. Lagi santai garap tugas di lantai 4/5 perpustakaan, kemudian terasa gempa. Dua detik, lalu berhenti. Seisi ruangan jadi agak sepi, tapi segera normal kembali. Cek BMKG dsb, aman. Kami semua melanjutkan kerja. Tapi, sekitar 10 menit kemudian, gempa kembali terasa. Kali ini sedikit lebih lama daripada tadi. Beuh seperti dikomando, semua orang langsung kompak tutup laptop dan lempar segala barang ke dalam tas; bergegas keluar dan turun.


Kebetulan tangga di perpus ini bentuknya melingkar mengelilingi gedung. Jadi, kalau mau turun ya lama. Tapi, di sudut dekat mushalla ada tangga darurat. Tahu, nggak, berapa orang yang turun pakai tangga darurat? Cuma sekitar 5 orang! Dan, ada yang malah masuk lift turun. Duh!


FYI, turun pakai tangga darurat lebih cepat daripada pakai lift. Dan lebih aman. Kalau pas di gedung tinggi dan kabel lift-nya kenapa-kenapa, gimana hayo?


Ngomong-ngomong soal gempa, saya jadi ingat cerita bahwa masing-masing anggota keluarga di Jepang pasti punya tas emergency yang bisa disamber kapanpun saat terjadi bencana. Isinya mirip dengan survival kit kalau naik gunung: air, makanan yg siap makan (coklat, energy bar, dll), senter, selimut/jaket, jas hujan, peluit, obat, salinan dokumen penting, dsb. Intinya adalah barang penting dan barang yang diharapkan bisa buat bertahan hidup hingga beberapa hari sampai tim penyelamat tiba (kalo udah kayak gini berasa bersyukur ilmu yang diajarkan di pecinta alam dulu bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Ya gimana, kalau di alam, kondisinya emang serba terbatas jadi kudu efisien). Oh ya, dan radio.

Emergency radio. Courtesy of Sony.
Bagian yang bisa diputar untuk charging diberi tanda 'power generator'


Ini baru saya ketahui beberapa pekan lalu waktu kebetulan nonton siaran salah satu komunitas Indonesia di Jepang. Radio ini bisa jadi alat komunikasi dan memantau update berita seperti peringatan bencana susulan, evakuasi, info titik kumpul/pembagian sembako, dsb (jadi bukan buat ngedengerin stasiun radio hiburan doang). Radio darurat ini pakai baterai, tenaga surya, dan ada semacam putaran juga yang bisa dipakai untuk men-charge baterai. Kenapa ada putaran/engkolnya? Just in case terjebak di reruntuhan yang sinar matahari nggak bisa masuk, terus baterainya habis, maka pemilik tetap bisa menggunakan radio ini dengan energi kinetik putarannya. 


Kenapa kok radio? Kan ada ponsel? 

Just in case baterai ponsel habis atau nggak ada sinyal/koneksi internet atau kondisi mati listrik, radio adalah pilihan yang feasible. Lah wong mati lampu biasa aja, sinyal internet langsung hilang dan sinyal biasa mendrip-mendrip! Radio, meski hanya suara, tapi bisa menjangkau lebih jauh dan lebih mudah.


Balik ke soal tas darurat. Apa sistem tas darurat ini sudah diadaptasi di negara kita? Sosialisasinya sudah ada, ada poster-poster BNPB dkk di beberapa tempat online/offline, tapi rasa-rasanya masih terbatas dan di masyarakat belum terlalu diterapkan. Apalagi kalau daerahnya minim bencana. 


Saya teringat cerita seorang teman yang sudah malang-melintang di dunia kerelawanan bencana. Dia bilang, sayangnya, masyarakat kita bakal percaya kalau sudah mengalami sendiri. Dalam sebuah peristiwa bencana beberapa tahun lalu, tim sudah menyarankan agar warga mengungsi karena dikhawatirkan akan ada aliran lahar dingin mencapai desa. Warga keukeuh tidak mau karena erupsi-erupsi sebelumnya, daerah mereka tak pernah terkena.


Memang, normalnya, daerah itu tak akan terkena. Namun, dalam kasus luar biasa, bisa saja daerah itu kena getahnya. Dan, benar, lahar dingin membanjiri desa. Sekian jiwa meninggal. Sejak kejadian itu, warga desa tsb sudah mengungsi duluan bila ada tanda bahaya, sebelum tim pemantau meminta mereka evakuasi.


Mungkin mitigasi bencana emang benar-benar perlu ditanamkan sejak kecil, nggak cukup diajarkan secara teori aja. Mungkin perlu simulasi sekalian?


Oh ya, saya juga pernah dengerin celetukan begini, "Jangan terlalu menggantungkan sama teknik, ilmu pengetahuan, dsb. Kita bisa selamat dari bencana itu karena kehendak Allah/Tuhan, bukan karena kita tahu teknik dsb."

(Celetukan ini juga sering terdengar kalau ada yg ngomongin tentang pencegahan penyakit, pentingnya menuntut ilmu, financial planning, dsb.)


Duh, ya iyalah. Semua pasti karena kehendak-Nya.

Tapi bukan berarti lalu pasrah aja. Kita, kan, dikasih akal. Teknik dsb itu adalah langkah antisipasi, bukan jaminan 100%. Seenggaknya kalau sudah siap dan tahu sikon, bisa lebih menekan kerugian akibat bencana, termasuk korban jiwa. Misalnya Jepang yang juga sama-sama dilewati Ring of Fire. Kalau ada tsunami/gempa di sana, ya tetap ada yang meninggal, tapi nggak banyak. Gedung yang rusak pun ada, tapi yang bertahan juga nggak kalah banyak karena dirancang tahan gempa. Namun, hasil akhirnya, selamat atau enggak, ya, tergantung kehendak-Nya.


Please jangan pakai 'kehendak Tuhan' sebagai alibi karena malas berusaha...

Reading Time:

Jumat, 11 Februari 2022

Ketika Menulis Malah Nggak Bikin Happy
Februari 11, 2022 4 Comments


"Menulis itu, kan, harusnya dinikmati," ujar seseorang. "Bukan malah kayak ada tekanan dan dikejar-kejar."


Saya setuju itu. Apalagi, awalnya, saya menulis memang karena pengin numpahin imajinasi; pengin mengeluarkan yang nggak tertahankan di hati dan pikiran.


Saya juga ngerasa, kok, beda banget rasanya menulis dulu dan sekarang. Dulu, akhir SD hingga SMP, nulis rasanya lancar jayaaa. Nggak ada yang namanya writer's block, hilang mood, atau kehilangan kata-kata. Sehari 1.000 kata mah hayuk aja. Bahkan bisa lebih. Tapi sekarang? Hm...


Milih kalimat pembuka aja bisa 15 menit sendiri. Bulan kemarin bikin program 1 hari 1 tulisan berdasarkan prompt juga ternyata makan waktu paling nggak 30-45 menit buat bikin cerita superpendek sepanjang 2 halaman. Kalau nulis artikel apalagi, beuuh bisa macet berhari-hari. Nulis catatan perjalanan yang dulu sehari-dua hari bisa selesai (nulis doang, nggak termasuk ngumpulin data dll), sekarang bisa seminggu cuma baca-baca referensi aja. 


Daaaan, saya juga ngerasa, kok kayaknya lebih sering macetnya, ya? Kok lebih sering bingungnya ya? Kok lebih banyak porsi bingungnya daripada porsi hepi-hepi dan hati berasa plong kayak dulu? Kenapa saya nggak ngerasa sepuas dan sesenang dulu kalau nulis? Apa ini sisi gelap dan negatif dari menulis? (halah bahasane!)


Umm, no

Semakin dewasa, semakin banyak tulisan yang saya, atau kamu, baca. Artinya semakin banyak juga gaya tulisan yang saya lahap. Ada beberapa teori dan tips menulis juga yang coba saya praktikkan karena menurut saya bagus. 


"Lha ya ini! Karena pake teori dan tips! Makanya jadi lambat, makanya malah writer's block! Nulis ya nulis aja lah! Suka-suka!"


Memang iya. Kalau terlalu terpaku dan nggak tepat penggunaannya. Namun, ketika digunakan dengan pas, itu justru tools untuk memperbaiki tulisan. Okelah jujur emang ada rasa nggak nyaman ketika ada aturan yang harus diikuti. Misalnya, pemilihan diksi yang pas dan menggugah imajinasi dsb. Tapi, memang itu biar tulisannya bagus. Kalau nggak pakai itu, mungkin saya akan ngerasa los-plong kalau nulis, tapi tulisannya nggak akan enak dibaca. Nggak akan mengalir, nggak akan menang lomba, dan nggak cantik dipajang buat portofolio. 


Makanya ada penulis kondang yang sampai bilang, "Menulis itu sulit, tapi editing itu lebih sulit dan bikin males."


Kalau nulis asal ngeluarin kata emang 'gampang'. Yang susah kan emang bikin gimana biar tulisan itu berisi, enak dibaca, ngalir, dsb. 


Tekanan itu emang kerasa. Nyata. Makanya, saya berusaha mempraktikkan saran dari seseorang yang udah lama malang-melintang di dunia ini: tulis aja dulu, sebebas-bebasnya. Jangan pikirkan kalimat pertama, diksi, puitisasi, nilai yang mau dibagi, dsb. Tulis seperti kamu bicara. Tulis seperti kamu lagi nyeritain ke orang lewat lisan. Kalau semua sudah selesai, baru edit. Tata, ganti, bongkar, isi yang bolong, hapus bila perlu. Barulah di tahap ini kamu mikir kalimat pertama, adegan peralihan, dsb.


Beberapa kali tips ini saya pakai dan, ya... it works.


Dulu, saya pikir editing itu cuma cek PUEBI dan mindah kalimat/paragraf. Ternyata... milih diksi, bikin kalimat utama, ngatur 'ritme', itu juga termasuk editing. Oalaaah, pantes saya nulisnya jadi lama. Kirain, saya bukan penganut 'menulis sambil mengedit'. Eh ternyata malah pengikut sejak lama, wkwkwk.


Dan, gimana ya, kalau memang mau profesional atau semiprofesional, teori tips dll itu memang diperlukan demi kualitas tulisan. Jadi ya memang pasti ada tekanan. Tapi bukan berarti nggak bisa nulis hepi juga. Kalau sudah biasa, bisa jadi hepi, kok, karena udah melekat ke gaya menulis (yang ini testimoni penulis kondang, sih. Saya sendiri belum ngerasain, hehe). Atau kalau belum bisa, mungkin 2-langkah tadi bisa dicoba: tulis bebas, baru tata.


Sebab, menulis dan rasa lega selepas tulisan jadi 'ada' itu seperti dua sisi bulan: ada sisi gelap dan ada sisi terang, ada sensasi dikejar-kejar tapi juga ada sisi senangnya. Keduanya nggak bisa dipisahkan. Dan, dua-duanya sama-sama dibutuhkan demi si tulisan. 

Reading Time:

Jumat, 04 Februari 2022

人生
Februari 04, 20220 Comments





Matematika yang kita pelajari di bangku sekolah amat berbeda dengan matematika kehidupan. Di sini, 1 ditambah 1 belum tentu jadi 2. Bisa jadi 3, 0, bahkan bernilai minus. Kita berusaha belum tentu kita akan sukses. Bisa jadi malah stagnan atau gagal. Di sisi lain, nggak berusaha belum tentu akan gagal. Bisa jadi yang bersangkutan malah hidup enak.

Enggak, di sini nggak akan ngomongin privilege

Back to topic, pernah baca perjalanan hidup orang yang kayak gini? 

Ada yang gagal-gagal-sukses, sukses-sukses-gagal, gagal-gagal-gagal, sukses-sukses-sukses. Ada juga yang biasa-biasa aja. 1+1 yang sederhana ada yang berakhir kisah manis, sedangkan 10+10 yang nampak lebih banyak ternyata zonk di belakangnya. Ada bisnis dan nasib orang yang udah digadang-gadang, "Wah bakal gede nih, sukses nih" tapi sekarang "Lho kok jadi gini?"

Well, that's life.

Kita berbuat baik belum tentu dibaikin balik. Bisa jadi malah dimanfaatin atau ditipu. Atau malah yang dibaikin nggak ngeh kalau kita lagi berbuat baik sama dia dan malah salah paham, dikira kita berniat buruk. Ada yang kayak gini? Ada. Karena beda perspektif. Di sisi lain, ada orang yang rusak atau jahatnya minta ampun tapi justru diterima karena alasan ini dan itu. 

Orang yang udah banyak berusaha atau berkorban bisa aja terjungkal di akhir dengan alasan 'sesimpel' dia kena 'sikut'.

Nggak fair ya? Yah, that's life.

Hidupmu nggak seindah hidup orang lain? Nggak apa-apa.
Hidupmu nggak selancar cerita sukses orang lain? Nggak apa-apa.
Hidupmu penuh onak, duri, dan air mata? Nggak apa-apa.
Kamu ngerasa sudah berusaha sampai nangis darah tapi ending-nya membagongkan? Nggak apa-apa.
Kamu masih mau hidup, bahkan berusaha, sampai titik ini pun udah bagus banget.
Mungkin sedikit, atau bahkan nggak ada, orang yang akan menyorakimu saat kamu berusaha masih mau hidup. Tapi ketahuilah kalau itu udah bagus.

Kamu masih mau bernapas sampai detik ini? Itu udah bagus.  

Hidup nggak akan pernah adil. Yang adil, ya, di akhirat nanti. Saat semua baik-buruk ditimbang, ketika semua maksud dan niat tampak terang tanpa sembunyi di balik alibi. 

Life isn't fair. It won't be. Do you know what's fair? The afterlife.

Ada satu kalimat yang nggak sengaja saya temukan di sebuah utas Twitter. Saya nggak tahu ini konsepnya salah atau benar secara agama, tapi saya pribadi meyakini ini benar karena rasanya konsep ini lebih adil. Kira-kira kayak gini:

Balasan itu adanya di akhirat. Kalau di dunia, namanya ujian. Soalnya kita gatau kan, kita dikasih sesuatu itu imbalan buat amal baik kita atau justru buat ngetes kita bakal tetep lurus atau enggak.

Terus, gimana, dong?
Itu bahasan untuk lain waktu :)

Buat kamu yang ngerasa udah lama berusaha ngerajut cerita indah, tapi sekarang hidupmu nggak kunjung berbuah manis
Buat kamu yang putting on a brave face meski hati/fisik/harga diri rasanya udah hancur-lebur diinjak-injak jadi kepingan dan remah-remah 
Buat kamu yang dianggap lemah padahal kamu masih berjuang buat sekadar bertunas

I don't know what to say, actually...
Just... listen to yourself
You're still standing til this point, 
You still want to stand up to this very moment,
For now, that's enough

Yes, life isn't fair to you. Acknowledge it first and don't deny that life is always fair. Your life story doesn't have to resemble others. It doesn't have to resemble 'the model stories'. 

Seperti yang ditulis di atas, kamu masih mau hidup dan nggak memutus napas sampai detik ini itu sudah bagus. 

Just... keep living. Just keep swimming. 


Reading Time:

Jumat, 07 Januari 2022

Daya Dukung
Januari 07, 2022 4 Comments

 

Kalau Cappadocia itu di Indonesia, yakin deh, beberapa bulan ini pasti bakal berjubel wisatawan domestik.

 

Salah satu adegan dari serial film lokal yang populer belakangan ini menyebut-nyebut Cappadocia sebagai salah satu tujuan wisata. Sebetulnya, lokasi ini sudah jadi global tourist destination Turki sejak lama. Bisa dibilang a-must-visit kalau punya budget travelling lebih pas main ke negara asal kebab dan baklava ini. Orang-orang Indonesia pun sudah banyak yang dengar, meski nggak seluas sekarang. Lokasi ini pernah diulas di beberapa buku travel writing Indonesia juga.

 

Salah satu sifat manusia memang latah. Lihat orang lain begitu, jadi pengin begitu juga. Lihat orang wisata ke sana, jadi pengin ke sana juga. Nggak terkecuali (atau tepatnya, apalagi 😁) orang Indonesia. Begitu lokasi itu terkenal di dunia maya, bakal banyak orang datang ke sana. Kesempatan ini pun dimanfaatkan untuk bikin lokasi tsb jadi ‘lebih menarik’ dengan bikin panggung love atau bunga-bunga atau tagline ‘mirip ikonnya negara X’.

 

Seorang acquintance pernah berseloroh, “Di sini tuh belum afdol jadi tempat wisata kalo belum ada love-love-nya.” 😄

 

Kadang, justru pengelola yang menghadirkan atraksi yang muncul di film-film yang melariskan lokasi itu tanpa ngecek lagi sebenernya cocok/enggak, aman/enggak, demi menuruti animo pasar. Dan ending-nya malah turis luar jadi males ke situ karena, “Udah nggak asli lagi, ya…” padahal mereka ke Indonesia buat nyari sesuatu yang beda dengan negara lain. Dan wisatawan domestik yang nyari keaslian akhirnya juga nggak pengin ke sini (– kayaknya ini dibahas lain kali aja kali ya? Kepanjangan ntar, haha. Soal asli-modif ini saya juga ‘disadarin’ sama share seorang temen di Facebook, bukan hasil mikir sendiri).

 

Kalau dilihat dari segi ekonomi, kenaikan pengunjung ke lokasi wisata jelas menguntungkan karena semakin banyak wisatawan maka semakin banyak pula pemasukan. Lebih bagus lagi kalau yang diuntungkan bukan cuma pengelola, tapi juga warga lokal. Sebab, banyak tempat wisata yang ternyata pemilik dan pengelolanya bukan orang situ. Jadi ketika untung, taraf ekonomi warga sekitar nggak turut meningkat. Mereka mungkin kecipratan ramenya, tapi cuma jadi penonton atau pelaku usaha yang nggak begitu laku. Bahkan ada juga kasus di mana penduduk justru cuma kecipratan dampak negatif: sampah, kerusakan alam, jurang sosial, kekerasan, dsb.

 

Jadi semakin banyak pengunjung makin bagus, dong, apalagi kalau masyarakat ikut sejahtera?

 

Iya, dalam batas tertentu. Kesejahteraan warga lokal nggak cuma ngomongin soal untung secara ekonomis. Namun, juga bicara soal keberlanjutan tempat itu sendiri. Maksudnya ‘keberlanjutan’? Maksudnya adalah seberapa tahan dan seberapa lama tempat itu bisa tetap bagus, lestari, dan nggak rusak. Hal ini disebut ‘daya dukung’.

 

Saya baru tahu istilah ini beberapa tahun belakangan. Selain soal lestari dll tadi, daya dukung juga berkaitan dengan jumlah wisatawan yang berkunjung. Nggak selalu, sih, tapi biasanya kalau jumlah wisatawan yang tinggi, maka kerusakan yang timbul cenderung lebih mudah muncul, meski itu kerusakan yang sungguh-sungguh nggak sengaja.

 

Misalnya, di Monkey Forest Ubud, tanahnya jadi padat karena sering diinjak banyak manusia. Ini salah satu contoh yang nggak sengaja (karena toh gimana lagi, masa mau wisata tapi ngawang?). Padahal, kalau tanah jadi padat, pertumbuhan pohon akan terganggu. Maka pengelola mencari cara supaya tanah jadi gembur kembali.*seminar pariwisata FIB UGM, 09/2019

 

Di beberapa tempat wisata alam, pemberian kuota pengunjung harian juga punya tujuan yang sama: untuk konservasi tanah/alam. Selain biar nggak umpel-umpelan dan akhirnya malah jadi kayak demo dan bukan wisata. Makanya beberapa taman nasional dan gunung untuk pendakian kini diberi kuota maksimal per hari.

 

Sebelumnya aturan ini nggak ada. Mungkin demi keamanan, mungkin juga berkaca dari pengalaman, maka aturan ini dibuat. Pasca pemutaran film 5 Cm yang ber-setting di Gunung Semeru, puncak tertinggi Jawa itu jadi banyak disambangi orang. Berturut-turut kemudian gunung-gunung lainnya. Sebelum film ini populer, pendaki gunung ini berjumlah jauh lebih sedikit dan waktu itu gunung-gunung beneran masih sepiii. Akibatnya, masalah sampah dan konservasi pun timbul. Hal ini berlangsung sampai sekarang hingga beberapa saat lalu populer kampanye ‘gunung bukan tempat sampah’.

 

Soal Cappadocia tadi kurang lebih mirip dengan ini. Kalau Cappadocia ada di Indonesia (eits, bukan berarti Cappadocia di Turki juga bebas dari masalah. Problem konservasi dan turisme juga tetap ada).

 

Coba perhatikan berapa banyak kasus serupa di sini, yaitu tempat wisata yang viral kemudian jadi muncul banyak masalah karena pengelolaan yang nggak bagus. Atau, bukan cuma banyak masalah, tapi lama-lama jadi tutup. Apa ini salah pengelola aja? Ya enggak, pengunjung macam kita juga ikut andil. Apalagi kalau abai dengan kondisi lingkungan di lokasi dan cuma pengin ambil senengnya aja. Contohnya? Se-‘simpel’ bawa jajan buat konsumsi terus sampahnya dibuang sembarangan.

 

Lagi-lagi semua balik ke daya dukung. Pengelola harus sadar seberapa kapasitas tempat wisata dan pengunjung harus membantu jagain kelestarian tempat wisata. Bukan seenaknya aja karena alasan, “Tempat ini hidup karena turis, loh. Aku sebagai wisatawan juga bayar. Tanpa wisatawan, warga sini nggak bisa makan, loh. Harusnya berterima kasih, dong, ke kita-kita”. Ye nggak gitu jugak ya, kalau udah bayar bukan berarti terus ngerasa bisa seenaknya.

((jadi inget beberapa waktu lalu pas penduduk Hawaii minta pariwisata ditutup sementara karena mereka kekurangan air bersih terus ada wisatawan yang ngegas bilang kayak cuplikan di atas))

 

Semoga, ya, semoga, kita nggak termasuk dalam kategori wisatawan yang nyebelin…

 

 

Disclaimer: background vector created by Freepik,

then slightly edited


Reading Time:

Rabu, 29 Desember 2021

Tentang Selingkung
Desember 29, 2021 2 Comments




Selingkung, yak. Bukan selingkuh. Jadi memang nggak salah ketik. 


Apa itu selingkung? Ada yang bilang gaya bahasa (dalam lingkungan tertentu), ada yang bilang gaya penulisan, dsb. Intinya sama: gaya penulisan/bahasa yang disepakati di lingkungan tertentu. Saya sendiri nggak tahu arti bakunya apa. Dengar istilah ini pun baru sekitar dua tahun belakangan. Emang kadang suka kudet soal ginian, haha.


Supaya lebih gampang, ini contohnya:

👉     Mana yang benar: Ramadan atau Ramadhan?

Kalau nurut KBBI, yang benar ‘Ramadan’. Namun, ada juga media besar dan terpercaya yang menulis ‘Ramadhan’ karena faktor pembaca yang mayoritas lebih suka bentuk mirip asli daripada transliterasi.

👉     Mana tanda elipsis (…) yang benar: “Tapi … itu salah!” atau “Tapi… itu salah!”

Kalau ngikutin PUEBI, maka yang benar adalah yang pertama. Namun, kenapa di banyak novel-novel bahkan penerbit mayor/besar, justru lebih banyak penulisan tipe kedua? Tempo juga pakai yang pertama (diceritakan oleh Ivan Lanin, maafkeun saya belum cek langsung).


Belakangan, saya baru tahu kalau selingkung ini bukan cuma soal ejaan dan tanda baca, tapi juga diksi. Seorang teman jurnalis pernah berkata bahwa salah satu surat kabar (cetak) nasional ada yang suka pakai kata-kata yang tidak baku supaya lebih luwes. Satu hal yang saya ingat adalah kata 'gerumbulan'/'gerumbul'. Waktu saya pakai kata ini di naskah feature, teman tsb bertanya, "Coba ini cek lagi, deh. Apa ada kata ini di KBBI?" Padahal, seingat saya, saya justru 'mengambil' kata ini dari koran tersebut. (Dan, di KBBI emang kata tsb nggak ada.)


Apakah salah? Bisa iya, bisa enggak. 

(Nah, ini lagi. Kalau nurut KBBI, ejaan yang benar itu 'enggak'. Tapi, banyak juga media besar/penerbit mayor yang pakai 'nggak'.)

Tergantung tempat/lingkungannya. Misal, kalau berdasarkan contoh di atas, ada wartawan Tempo yang nulis 'Ramadan' di sana, ya nggak salah. Kalau dia ganti tempat kerja di Republika dan tetap nulis kayak gitu, ya jadi salah karena mereka pakai 'dh'. 


Jadi, kayaknya, orang-orang yang udah paham soal selingkung cenderung nggak ambil pusing soal ini. Udah pada maklum kalau tiap tempat punya style nulis sendiri. Asal nggak kebablasan jauh dari pakem atau PUEBI. Perhatikan bahwa kata 'cenderung' saya garis bawahi karena inilah masalahnya.


Cenderung berarti sebagian besar. Artinya, toh ada juga orang yang memahami soal selingkung tapi tetap mempermasalahkan. Biasanya, soal diksi. Biasanya, perbedaan pendapat kayak gini ada di forum/grup/komunitas menulis. Jeleknya, biasanya, ini bakal dibahas dan dibedah habis-habisan di forum karena orang yang selingkungnya beda itu 'berbeda aliran/grup'.


I mean, ya udah sih. Lo udah tahu kalau ada selingkung. Hormatin aja kenapa. 


"Oh, tidak bisa, Ferguso. Cara dia salah dan dia bikin teman-temannya juga salah karena pakai cara dia."


Um, well, it depends. For some extent, yes, but...


Betul, ada selingkung yang salah banget karena nabrak aturan pol-polan. Tapi, ada juga yang cuma soal 'beda mazhab' a.k.a beda perspektif aja.

Langsung contoh aja biar nggak nggrambyang. 


Misal di komunitas F dibilang kalau terlalu banyak menggunakan -ku dan -nya itu nggak baik karena ada banyak pengulangan yang tidak perlu. Juga penggunaan -mu, itu, ini, dsb. Niatnya bagus: biar nggak boros kata dan memperjelas yang sudah jelas. Tapi, komunitas L nggak setuju karena bisa bikin kalimat jadi nggak lengkap secara struktur. Akibatnya, maknanya pun jadi nggak/kurang jelas. 


Alasan keduanya benar sehingga menurut saya, perselisihan ini masing-masing punya sisi positif dan negatif. Supaya gampang, kita pakai contoh aja, ya.


Contoh 1:

Aku mempercepat langkahku menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepalaku. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragamku agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.

Perhatikan, ada berapa -ku di sana?


Atau contoh 2 ini:

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-bajunya ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatunya. Ia benci sebenci-bencinya pada ayahnya yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliahnya.


Banyak banget, kan, partikel -ku dan -nya di sana. Beberapa bisa dihapus aja. Misal di contoh 1, 'langkahku' jadi 'langkah' karena di depan udah ada 'aku', jadi jelas dong itu langkah siapa. 'kepalaku' jadi 'kepala' karena ya kepala siapa lagi coba? Kecuali di paragraf sebelumnya diceritakan kalau dia jalan bareng temannya. Terus, 'seragamku' jadi 'seragam' aja karena ya seragam siapa lagi kalau bukan si aku? Masa mau ngebasin seragam gurunya?


Di contoh 2, partikel -nya kebanyakan. Sama, bisa dihilangkan aja. Di kalimat kedua, 'baju-bajunya' bisa jadi 'baju-baju' aja, 'sepatu-sepatu' juga. Kenapa? Karena di kalimat pertama udah jelas dia ngemasin barangnya, jadi kalau baju dan sepatu juga jelas punya Diana, dong? Kata 'benci sebenci-bencinya' mungkin bisa diganti 'sangat benci' dan semacamnya. 'Ayahnya' juga bisa dipotong jadi 'ayah' aja karena kalau ayah orang lain pasti dia nyebut nama toh (meski ini debatable, sih. Jadi 'ayahnya' juga gapapa). Kata 'kuliahnya' bisa dipotong jadi 'kuliah' aja karena kuliah siapa lagi yang bikin dia diusir kalau bukan dia sendiri?


Jadinya gini:

Aku mempercepat langkah menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepala. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragam agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.


Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia benci sangat benci pada ayah(nya) yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliah.


Tetap bisa dipahami, kan?

Begitulah. Di pelajaran Bahasa Indonesia zaman sekolah, toh kita juga diajari untuk berbahasa/menulis efektif. 


Jadi, maksudnya bagus, kan? Biar nggak mubazir kata. 

Iya, dalam taraf tertentu. Masalah baru timbul saat ada penulis yang menghilangkan banyak sekali partikel -ku dan -nya, bahkan menghilangkan subjek, sehingga nggak jelas ini adegan siapa/tokoh mana yang melakukan. Ya terang aja, karena struktur kalimatnya jadi nggak lengkap. Soal inilah yang nggak disetujui oleh grup L. Dan, saya sepakat dalam kasus ini.


Kita pakai contoh paragraf Diana, ya:

Contoh 3

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia sangat benci pada ayahnya yang mengusir hanya karena ia melalaikan kuliah.


Dengan asumsi bahwa dia sudah kebanyakan pakai -nya, penulis pun menghapus partikel ini. Apalagi di kalimat terakhir itu sudah ada satu -nya ('ayahnya'). Namun, apa ini bisa dibenarkan?


Menurut saya, enggak. Sebab jadi nggak jelas siapa yang diusir ayah meski pembaca bisa meraba-raba itu siapa. Tapi berasa nggak lengkap aja kalimatnya karena 'mengusir' biasa disertai objek. Mana ada, kan, kalimat kayak: ia mengusir. Titik. Wes. Beda kasus kalau: ia menyelam, ia makan, ia minum. Nggak pakai objek pun nggak perlu diperjelas. 


Kesalahan lain adalah menghilangkan subjek seperti aku, dia, dsb agar nggak ada pengulangan. Misal, contoh 4:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Aku tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, aku ingin berkas-berkas itu hancur sekalian.
 


Kalau partikel/subjeknya asal dihilangkan, jadi begini:

Contoh 5

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, ingin berkas-berkas itu hancur sekalian. 


Kalimatnya jadi agak aneh, kan? Oke lah, kalimat 1 dan 2 masih bisa nyambung. Namun, kalimat kedua ini nggak punya subjek (siapa yang nggak peduli? Aku? Atau dia? Atau mereka?). Kalau emang 'aku' mau dihilangkan, mungkin jadikan satu kalimat aja *cmiiw.

Jadi:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni, tak peduli soal ... dst

Kalimat terakhir juga jadi masalah. Siapa yang ingin berkas itu hancur sekalian? Aku? Dia? Mereka? Mungkin akan lebih pas kalau kalimatnya diganti aja daripada ngehapus subjek atau bagian yang signifikan. 


Inilah yang nggak disetujui oleh komunitas L. "Kenapa sih pakai ada 'mubazir -ku,  -nya, ini, itu'? Toh penulis-penulis besar nggak pakai cara ini juga karyanya tetep bagus". Di sisi lain, para anggota komunitas F pun keukeuh dengan alasan nggak mau mubazir kata dan "Biar nggak ngebosenin. Biar nggak berasa baca laporan atau textbook yang baku banget."

(NB: di dua komunitas ini sama-sama ada penulis besar dan sastrawan yang sering jadi 'panutan')


Kalau menurut kamu, mana yang benar?


Sebab menurut saya, ini kondisional.


Komunitas L betul: tanpa menghilangkan 'serangan' ini, banyak karya yang tetap bagus. Kalimat juga cenderung lebih utuh dan lebih jelas maknanya. Namun, bagaimana dengan penulis pemula?


Saya sering nemu tulisan yang masih mubazir kata. Biasanya, yang nulis memang pemula, baru nyemplung, atau jam terbangnya masih sedikit. Cari aja di platform-platform atau grup menulis di FB, apapun itu. Banyak! Nggak cuma soal 'serangan -ku -nya, ini, itu dsb' tapi juga kasus seperti 'naik ke atas, turun ke bawah, para murid-murid' dsb. Jangankan orang lain, lha wong saya aja dulu juga gitu, kok! 😁 (Sekarang juga masih sering kepeleset, sih, wkwkwk. Ingatkan saya kalau kelupaan, yak!)


Jadi, komunitas F juga betul. Menghilangkan 'serangan' ini bisa membantu. Dengan catatan: kalimatnya harus tetap utuh dan artinya jelas. Bukan malah kayak contoh 3 dan 5 yang bikin rancu. Kalau malah mbulet, mending pakai cara komunitas L aja, deh. Bikinlah kalimat yang artinya jelas dulu. Nanti baru modif macem-macem. 


Satu hal yang bikin saya nggak suka adalah: kok, ya, adaaa aja orang yang masih  ngebahas ini berkali-kali dan menganggap, "Cara grup lu tuh salah, cara gue yang bener!" padahal yang bersangkutan tahu soal selingkung. Kalau mau salah-salahan, gampangnya gini:

- cara F bagus buat pemula tapi jadi salah kalau kalimatnya jadi nggak jelas

- cara L bagus buat yang lebih pro dan paham seluk-beluk kalimat, tapi nggak bagus buat pemula karena berpotensi mubazir dan monoton.


So, tentu dua cara ini harus diajarkan dengan catatan tertentu. Nggak bisa ditelan bulat-bulat. Dan juga, jangan membenci bulat-bulat. Meskipun bahasa punya pakem sendiri, toh ia juga bisa luwes sekali. Namanya juga selingkung: style satu lingkungan/circle.


Dulu saya kira grup literasi berhaluan tertentu itu bisa lebih menghargai perbedaan dibandingkan grup literasi lainnya yang nilai-nilainya cenderung lebih kaku. Eh ternyata enggak juga. Sama aja. Sama-sama suka ngomongin kubu seberang. Di mana-mana orang kayak gini emang selalu ada, ya. Heran. Nggak bisa netral aja gitu? Kalian sama-sama berniat mendidik, lho. 


Oh betapa saya merindukan grup nulis yang rame tapi ramenya asik meski ada banyak 'aliran', bukan yang beda 'mazhab' udah berasa musuh begini. Ini 'cuma' soal selingkung, ya ampun. Bukan soal nilai-nilai internal yang dianut. 


Oke, perihal yang satu itu udah selesai, ya. Sekarang ada lagi ini: bikin selingkung sendiri karena menuruti selera pasar. Jadi standar 'kebenarannya' bukan lagi PUEBI atau bisa dipahami artinya, tapi disukai pembaca. Jadi, meski jelas-jelas salah, tetap dipakai karena pembacanya lebih suka.


Misalnya kalimat berikut:

"Eh...... Tapiii...... Aku nggak bisa........."

atau

Tidak,,, dia nggak mungkin setega itu padaku!!!!!!

Ada, sih, novel penerbit mayor yang pakai '?!' atau '!!!' tapi biasanya nggak sampai berderet kayak kereta gitu...


Jangan salah, banyak yang suka tulisan macam ini. Cek aja (lagi) di platform atau grup FB. Cek jumlah pembacanya dan kita mungkin bakal heran kok bisa peminatnya banyak. Biasanya, karena temanya relate sama pembaca sih. You know what lah. 


Ada juga kasus soal penulisan dialog dan narasi. Seorang acquintance (apa ya istilah yang tepat? Karena bukan teman/kolega. Kenalan, maybe?) pernah berkata, "Iya nih dialognya harus banyak. Soalnya ini kan buat platform online. Biar menarik. Kata mbak yang kemarin ngisi di webinarku tuh, gitu."


Oke, saya menghargai perbedaan pendapat. Tapi dalam hati, like, whaaaat? Saya tahu pembaca online lebih suka scanning dulu sebelum baca, tapi nggak gini juga, euy. Bosan juga kalau dialog sampai satu atau setengah halaman. Apalagi kalau dialognya nggak penting dan cuma basa-basi doang. 


Apapun 'wadah' tulisannya: online ataukah offline/cetak, grup FB ataukah W*ttp*d dan semacamnya, orang akan tetap mau baca kalau tulisan itu menarik. Terlepas dari dialognya banyak atau narasinya sedikit. 


Buktinya? Dee, Asma Nadia, dan beberapa penulis populer lainnya sudah mencoba masuk ke dunia penerbitan daring. Pembacanya? Banyak! Apa porsi dialognya dibanyakin (dan narasinya dikurangin) dibanding buku-buku cetak mereka? Enggak. Menurut saya, porsinya pas. 


Kalau kata Dee Lestari, "Dialog itu gas dan narasi itu rem". Dialog bisa mempercepat alur dan narasi berfungsi melambatkan jalan cerita. Kalau ceritanya digas terus, ya, nggak enak, dong. Orang ngebut juga butuh rem biar nggak nabrak-nabrak. Begitu pun kalau jalannya thimik-thimik, kapan nyampenya? Jadi baiknya memang: pas.


Tapi, bukan berarti yang punya gaya tulisan macam ini langsung dituding, "Lu salah!" Memang salah, tapi mungkin masih pemula? Atau belum tahu? Dibilangin lah pelan-pelan. Kalau kita ngotot, bisa aja dia juga ngotot dengan alasan beda selingkung/aliran itu tadi.


Huft.... mungkin karena inilah, komunitas nulis/literasi seakan-akan jadi terpecah-pecah berdasarkan 'aliran' dan penggemarnya. Orang yang suka karya model begitu ya masuk grup itu, bacanya itu-itu aja, karya dari penulis grup lain pokoke tidak sesuai (atau malah, jelek)! 


Selain ini, masih ada lagi (masih banyaaak sih sebenernya). Selingkung soal diksi. Tapi kayaknya post-nya kepanjangan kalau bahas ini juga, wkwkwk. Coba aja cari kata kunci 'prosa ungu'. Dia ini kayak pemilihan kata biar puitis gitu, tapi malah nggak jadi puitis. Prosa ungu ini sering banget dipakai terutama oleh penulis fiksi (dan saya sendiri kadang nggak sengaja make ini juga, LOL).


Kalau soal prosa ungu, biasanya komunitas-komunitas ini lebih kompak karena sama-sama nggak setuju. 


Kamu pernah dengar selingkung lainnya, nggak? Apa itu?


==============


Disclaimer: pic isn't mine. It's from Food Bloggers of Canada

NB i:

huruf F dan L sebagai inisial nama komunitas adalah huruf acak. Huruf depan di nama komunitasnya bukan itu 😁

NB ii:

karena tulisan ini lebih mirip curhat daripada tulisan serius maka bakal ditemukan banyak banget kesalahan tata kalimat dsb. Cara komunitas F dan L sama-sama saya campur di sini. Kesalahan yang mereka soroti juga bakal ada di sini, wkwkwk.


Reading Time:

Minggu, 26 Desember 2021

Review: The Naked Traveler 8 (The Farewell)
Desember 26, 20210 Comments


Penulis: Trinity

Penerbit: BFirst (PT Bentang Pustaka)

Tebal: 250 halaman

Ukuran: 13 x 20,5 cm 

 

 

Para penggemar jalan-jalan biasanya sudah tak asing lagi dengan serial Naked Traveler karya Trinity. Topik yang variatif serta gaya tulisan yang ceplas-ceplos memang jadi ciri khas tersendiri bagi serial bergenre catatan perjalanan ini.

 

Serial Naked Traveler punya ciri lain berupa sampul yang warni-warni dan cerah. Namun, ada yang beda dengan buku kedelapan ini. Kalau biasanya buku-buku Naked Traveler punya kaver serupa warna pelangi, kali ini warnanya hitam. Ada apa gerangan, kenapa beda banget dengan sebelumnya?

 

Ternyata … ini adalah buku terakhir serial Naked Traveler Trinity berkata di bagian pembuka bahwa buku kedelapan ini adalah buku penutup. Sebetulnya sudah kelihatan juga dari judulnya, ‘The Farewell’.

 

Apa, sih, isi bukunya?

 

Seperti buku Naked Traveler lainnya, buku ini bercerita tentang pengalaman Trinity melancong ke berbagai sudut Indonesia dan belahan dunia. Ada pengalaman menyenangkan, menyesakkan, serta tips dan trik travelling aman dan asyik.

 

Trinity menggolongkan kisah-kisahnya dalam beberapa bab berdasarkan kemiripan tema. Misalnya bab ‘Tidak Biasa’ yang berkisah tentang tempat-tempat yang tidak terlalu ramai tapi tak kalah kece dibandingkan destinasi wisata mainstream. Atau, bab ‘Opini’ yang isinya pengalaman dan perspektif Trinity soal beberapa anggapan dan stereotipe seputar pariwisata. Ada 10 bab di buku ini dan tiap bab berisi 4-6 artikel. Jadi, tiap artikel nggak terlalu panjang sehingga bisa selesai dibaca dalam sekali duduk.

 

Jangan bayangkan kalau isinya bakal berupa itinerary detail, deskripsi lokasi, atau tips & trik berupa poin-poin yang membosankan. Enggak. Penulis meramu pengalamannya lebih ke bentuk cerita. Memang ada deskripsi pemandangan dan sebagainya yang umum kita temui dalam catatan perjalanan, tapi modelnya bukan seperti brosur pariwisata yang kaku banget. Malah, Trinity mengemasnya dalam bentuk narasi yang santai. Jadi berasa baca curhatan sobat atau diri sendiri.

 

Jadi, gaya menulisnya bukan bak travel guide, tapi seperti tulisan memoar sehingga lebih mengalir dan lebih santai dibaca. Style menulis khas Trinity yang jujur, terus terang, dan ceplas-ceplos (kalau penginapan/lokasinya emang busuk ya dibilang busuk) jadi seperti angin segar. Sebab, biasanya banyak tulisan tentang travelling yang hanya mengulas hal-hal yang indah-indah saja tapi jarang yang turut menulis cerita nggak enaknya.

 

Namun, pembaca, kan, perlu tahu bahwa jalan-jalan nggak melulu enak. Bisa saja ada kendala bahasa, imigrasi, ditipu, atau ‘sesimpel’ toilet yang tipe dan tingkat kebersihannya beda-beda (di Asia Tengah mayoritas kotor, di satu kota kecil Eropa bersih tapi di kompleks stasiun-kafe cuma ada satu biji dan dikunci lagi! Dan sebagainya …). Trinity berani mengangkat topik ini, bahkan beberapa topik sensitif, dan membawakannya dengan cukup objektif.

 

Dari semua bab, yang paling saya tunggu-tunggu untuk baca (karena saya nggak bisa baca lompat-lompat, hehe) adalah bab Negara “Stan”. Artinya, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Kazakstan, dll. Kenapa? Sebab orang kita sedikit yang berminat melancong ke sini. Buku-buku catatan perjalanan dari Indonesia juga sepertinya jaraaang sekali membahas negara-negara ini saking sedikitnya orang kita yang berwisata ke sana. Rata-rata buku lebih membahas jalan-jalan di Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, atau negara lainnya yang maju atau memang tujuan turis.

 

Buku catatan perjalanan yang banyak membahas negeri-negeri pecahan Uni Soviet ini—setidaknya yang saya temukan—hanya tulisan Agustinus Wibowo. Namun, itu adalah kisah perjalanan di era sekitar tahun 2000-an lebih sedikit. Bagaimana kondisi di sana pada tahun 2015 ke atas?

 

Hal itu diceritakan di buku ini. Apalagi, Trinity dan kedua kawannya melakukan road trip bareng sepanjang beberapa negara -Stan. Yang namanya road trip biasanya lebih menantang sehingga ada lebih banyak cerita. Selain itu, road trip juga berarti bisa mengamati keadaan real di luar wahana atau spot pariwisata yang biasanya dikelola dengan lebih baik. Oh ya, selain kisah petualangan mereka, di sini juga ditulis apa saja yang harus disiapkan kalau-kalau ada yang berminat berlibur ke sana .

 

Jadi, bagaimana negara-negara -Stan ini? Supaya lebih jelas, baca aja bukunya, hehe. Sedikit bocoran: panoramanya nggak kalah cantik dengan pegunungan-pegunungan destinasi favorit turis. Nggak sesuram yang diberitakan meski ada beberapa sisi buruknya juga (tiap negara pasti punya kan). Dan, tempat-tempat tersebut jauh lebih sepi.

 

Salah satu kelebihan Naked Traveler 8 ini adalah ada gambar/fotonya. Ada banyak pula. Yesss! Di buku ini ada foto-foto pemandangan dan orang-orang selama perjalanan. Jadi pembaca bisa tahu seperti apa pegunungan, danau, atau kastil (atau toilet 😁) yang dikunjungi. Ada ilustrasi juga sehingga pembaca bisa membayangkan mimik dan ekspresi Trinity waktu diberhentikan polisi atau happy nukar uang di money changer.

 

Sebagai penggemar buku warna-warni dan bergambar, ini poin plus banget. Jarang-jarang, kan, ada buku untuk orang dewasa yang bergambar.

 

Selain petualangan yang kadang menyentuh, kadang inspiratif, dan lebih sering terasa kocak, buku kedelapan ini juga menyajikan kisah beberapa pembaca yang jadi berani jalan-jalan sendirian setelah baca Naked Traveller.

 

Apa buku kedelapan ini ada kekurangannya?


Hm … apa ya …. Saya, sih, nggak nemu. Walaupun penulis cukup blak-blakan dalam membahas beberapa stereotipe dan sisi negatif sesuatu (dan beberapa hal yang debatable), tapi pembahasannya cukup objektif meski nggak begitu dalam. Itu wajar, sebab buku ini memang bukan tipe buku travel story yang banyak refleksinya atau kudu mikir/merenung banget. Tak ada pula bagian yang menjelek-jelekkan, tapi memang kondisinya begitu sepengamatan penulis. Namun, karena ini pendapat personal, maka mungkin banget kalau saya juga bias.

 

Karena buku ini gayanya santai dan ringan, maka bisa banget jadi teman bersantai selagi ngopi atau ngeteh di akhir pekan. Tiap artikel juga nggak terlalu panjang, jadi bisa dinikmati selagi nunggu angkutan umum atau abang G-food. Bagi yang baru coba-coba atau memulai lagi kebiasaan membaca, buku ini juga recommended karena itu tadi: artikelnya pendek. Cukup lah buat melatih fokus membaca beberapa menit.

 

Akhir kata, selamat membaca dan berjalan-jalan dalam kepala!

Reading Time: