Beberapa tahun lalu, saat pertama
ngulik dasar-dasar fotografi, saya menemukan sebuah website dengan foto
amat menarik. Itu adalah gambar Candi Borobudur yang
dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul
pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat.
Pemandangan ini magical banget buat saya. Rasanya seperti melihat sebuah istana di
negeri awan.
Fotografer asing sang pemilik website
menyebutkan sebuah tempat: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing
mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh
dari Candi Borobudur berdiri.
Waktu itu internet belum secanggih
sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat
referensi, ya, lewat Google, lewat website. Foto Borobudur terbalut kabut tadi
saya temukan pada website fotografer asing yang tentu saja nggak
menyebutkan rute jalan menuju ke sana. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan
mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum
jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.
Hal senada saya dengar ketika
ngobrol dengan salah seorang bapak penduduk lokal saat main ke sana, 2017 lalu.
“Dulu di sini belum rame. Nggak ada
begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran
cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini
banyakan bule buat lihat matahari terbit. Ada juga yang bukan bule, yang memang
suka foto-foto,” ujarnya memberi tahu.
Setahu saya memang bukit ini baru
ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box
office nasional syuting di dekat sana.
Dulu waktu baru browsing, rute
menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin
Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan
ancer-ancer yang ditulis oleh beberapa orang di website dan forum online, sembari
bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif
terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise,
artinya harus jalan malam.
Nggak tahu jalan, tanpa transpor
umum, belum bisa naik motor. Harus jalan malam pula (yang artinya nggak bisa
nanya penduduk lokal karena pasti pada tidur). Dalam diam dan ketidakpastian,
Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.
Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah
saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi
tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di
Google Maps.
(Dalam bahasa Jawa, punthuk = bukit.
Ada juga yang menyebut bukit sebagai
‘puthuk/putuk’. Yang kedua ini saya temui di Jawa Timur)
Namun, untuk menikmati sunrise di
Punthuk Setumbu memang agak dibutuhkan pengorbanan. Kita harus datang sebelum
subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan,
saya dan teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami
sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.
Dari Yogya, rutenya relatif mudah.
Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di
kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran
Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak
jauh juga masuknya dari gapura.
Oh ya, sesaat setelah masuk gapura,
jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan
terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik!
Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga
bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan dan resor mewah Amanwana yang dibangun
menyerupai Borobudur.
Kami sampai di parkiran Punthuk
Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah
loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir
standar.
Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?
Oh enggak. Kita harus jalan kaki
lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar
15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau
sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi
terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada
beberapa joglo di sana.
Saya dan teman sengaja main ke
tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun ternyata strategi
ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang
macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih
posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.
Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya
melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang. Banyak
di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai
tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay
di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke
tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise,
kami tetap dapat tempat di tepi pagar.
Pagar di Punthuk Setumbu ini juga
unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski
bukan di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto paling atas tadi. Orang yang nggak tahu mungkin akan menganggap saya ambil foto ini di
Borobudur, padahal diambil dari Punthuk Setumbu. Dan menurut saya pagar ini jadi framing yang bagus
untuk foto dan memberi kesan Borobudurnya.
Lalu di mana letak Borobudur dilihat
dari Punthuk Setumbu?
Candi Buddha terbesar dunia itu
dapat dilihat lurus di hadapan pagar, dibalut kabut putih seperti negeri di
awan. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan
lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya
memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya
diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom.
Kali pertama main ke Punthuk Setumbu,
cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang
berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca sedang
cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung
Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi
saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan
pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa
terlihat dari arah sini.
Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:
Pemandangan sangat menakjubkan
dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti pada
gambar anak-anak. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan
pemandangan seakan dua gunung itu terletak tepat berdampingan. Padahal, meski
berdekatan, jarak mereka cukup jauh.
Momen itu tentu aja nggak kami
lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise
dengan view menakjubkan gini?
Kalau ditanya apa kami mengecek
kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya
enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha.
Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?)
untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.
Tips juga untuk yang ingin ambil
momen sunrise:
pastikan kondisi sudah siap, baik
posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak
naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung
dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari
muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak
10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak
error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal
hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya
nggak terlihat)
Kami tetap tinggal di Punthuk
Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi
pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan,
siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang untuk dilewatkan.
PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN PANGERAN DIPONEGORO
Saya nggak mengira bahwa Punthuk
Setumbu yang terletak di Kota Magelang ini termasuk dalam Pegunungan Menoreh
yang membentang hingga Kab. Kulonprogo. Oh, pantas aja daerahnya
berbukit-bukit.
Bicara soal Pegunungan Menoreh di Magelang,
belakangan juga baru tahu bahwa rangkai pegunungan kapur ini turut menjadi
saksi Perang Jawa (1825-1830), perang dahsyat yang dikobarkan Pangeran Diponegoro
dan membuat Belanda kalang-kabut. Di buku sejarah zaman sekolah memang disebutkan
bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang sebelum diasingkan, tapi saya
nggak nyangka aja kalau hal itu terjadi di dekat-dekat sini.
Menurut info, Pangeran Diponegoro
ditangkap di rumah Residen Kedu, di Magelang. Beliau kemudian dibuang ke Makassar,
Sulawesi.
When history meets reality, that’s
when I feel stunned by how close we are.
Dulu, saya sempat melongo saat seorang
teman mengajak pergi ke rumah teman lain yang terletak di daerah Pleret (Kab.
Bantul). Saya ingat betul bahwa nama itu tercetak di buku mata pelajaran
sejarah. Kutipannya: “… Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu menyingkir
ke Selarong, Pleret, Dekso ….”
Bila ingin menelusuri jejak Pangeran
Diponegoro dan sejarah Perang Jawa, area Magelang-Yogya ini memang ‘harta karun’
sekali. Gimana enggak, beliau memang lahir, besar, dan tinggal di Yogya.
Perjuangannya pun bertempat di area itu. Ada beberapa jejak bersejarah yang
kini dikembangkan menjadi tempat wisata sehingga bisa dikunjungi. Salah satunya
Gua Selarong yang terletak di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Arahnya dari Jl.
Godean ke selatan. Tapi, itu cerita untuk lain kali *wink
(still incomplete, more story
incoming)
BOROBUDUR, "TERATAI" DI TENGAH DANAU PURBA
Mengenai Borobudur sendiri,
sejarahnya juga panjang. Candi ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro
lahir, bahkan berabad-abad sebelum Mataram Islam (keluarga Pangeran Diponegoro)
berdiri. Borobudur dibangun oleh Mataram Hindu.
Banyak hal menarik tentang Borobudur,
baik penemuannya, kisahnya, maupun bentuknya. Dari semua hal, yang paling menarik
untuk saya adalah:
- kenyataan bahwa candi
ini dulu terkubur seutuhnya karena letusan Gunung Merapi. Konon, letusan inilah
yang bikin kerajaan yang jaya di Jateng lalu pindah ke Jatim hingga muncul
Majapahit dkk.
- bahwa Borobudur ditengarai
dibangun di tengah danau purba. Kabarnya, pembangunan di tengah danau itu
dilakukan secara sengaja agar candi ini nampak seperti teratai di tengah-tengah
kolam. Very poetic!
(still incomplete, more story incoming)
💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU
👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai
👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak
ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan
santai (kendaraan pribadi, tentunya)
👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa
binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni
👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca
cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap
kelihatan kok, gunungnya yang enggak
👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari
sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)
📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu
📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa