2019 - Hijaubiru

Rabu, 11 September 2019

Liburan All in One di Coban Talun
September 11, 20190 Comments


Hydrangea atau hortensia adalah salah satu bunga tanaman hias yang cantik dan mampu berubah warna sesuai perubahan pH. Warna hydrangea mulai hydrangea biru, merah, ungu, hingga putih
Hydrangea, salah satu pemanis taman bunga Coban Talun

Dulu, wisata air terjun Coban Talun belum masuk hitungan kategori tempat rekreasi nge-hits di Batu, Jawa Timur. Saat ke sana antara 2009-an, kedua tangan kudu berpegangan erat pada motor karena terlonjak-lonjak akibat jalan tanah-batu yang nggak rata. Toko dan warung masih sedikit, nggak sebanyak dan sebagus sekarang. Tempat parkir pun kayaknya belum sebaik saat ini. Saya ingat waktu itu masih bisa parkir motor di pinggir sungai. Bumi perkemahan Coban Talun kala itu lebih mirip hutan. Nggak heran kalau tempat ini memang jadi jujugan untuk acara-acara seperti LDKS OSIS atau diklat.

Namun, dua tahun belakangan wisata Coban Talun sudah bersolek. Saat keluarga saya ke sana Juni 2019 lalu, tempatnya jauh lebih tertata. Nggak cuma menawarkan air terjun, ada pula sarana outbond bahkan wisata jeep mengelilingi area. Ada pula penginapan yang merangkap sebagai spot foto. Di sebelahnya, ada taman bunga hydrangea. Hm… beda banget dibanding dulu ya. Sampai kepikiran, “Ini beneran tempat yang dulu itu?”

Air terjun-air terjun di Batu memang banyak. Ada Coban Rais, Coban Rondo, Coban Pelangi, dan lain-lain, you name it. ‘Coban’ memang berarti ‘air terjun’ dalam bahasa Jawa. Waktu itu pun nggak ada alasan khusus buat ke sana. Dari kami berlima ada yang pengen coba ke air terjun lain yang lokasinya berdekatan, tapi luluh oleh Bapak yang menyarankan ke Coban Talun dengan alasan, “Lebih sepi lho.”

Waktu itu memang libur sekolah, jadi maklum kalau tempat wisata bakal penuh orang. Makanya kalau travelling, saya lebih suka pergi bukan di hari libur atau di hari kerja sekalian. Kalau ‘terpaksa’ saat weekend atau tanggal merah, sebisa mungkin cari tempat sepi yang belum banyak dikunjungi orang atau (kalau ngejar sunrise) datang subuh sekalian. Cuma kalau bareng keluarga kan pasti harus menyesuaikan jadwal karena kesibukannya beda-beda. Benarlah kalau ada yang bilang, “If you want to go far, go together. If you want to go fast, go alone.”

But, no problemo! The more the merrier!

Setelah bayar karcis (Rp10.000,00/orang) dan parkir, kami nggak serta-merta ke air terjun melainkan ke sungai yang dulu kami kunjungi. Buat apa? Tentu buat rebahan! Surabaya-Pacet-Batu dengan posisi duduk terus itu capek juga ternyata. Di tepi seberang sungai dangkal ini ada rerumputan yang tumbuh tebal. Nyamanlah buat leyeh-leyeh dan ngobrol bareng bocah-bocah setempat yang main di kali.

Sayang sekali di tepi seberang sungai, yang dekat dengan jalan, ada sisa-sisa sampah plastik. Beberapa terlihat sengaja dibuang. Yang lainnya kelihatan menyatu dengan tanah tepian, mungkin sisa dari hulu yang terbawa arus sungai. Meski air sungai kini hanya setinggi betis, alirannya bisa bertambah drastis di musim hujan. Tak heran bila sejak dulu, pihak pengelola sudah mewanti-wanti pengunjung khususnya di musim penghujan karena pernah ada wisatawan yang meninggal terseret arus di sungai dekat air terjun.

COBAN TALUN DAN JEMBATAN ASMARA
Wisata air terjun Coban Talun adalah tempat rekreasi di Batu, Malang.
Coban Talun. Sst, dasar airnya coklat bukan selalu berarti kotor,
tapi bisa jadi keruh karena tercampur tanah

Puas tiduran di atas karpet alami, kami berpindah ke tujuan utama: air terjun Coban Talun. Kita harus berjalan kaki lagi untuk mencapai air terjun setinggi ±75 meter ini. Seberapa jauh? Di penanda arah di parkiran tertulis 1 km, tapi rasa-rasanya nggak sampai setengah kilometer. Jalurnya jalan tanah dan memang naik-turun persis trek naik gunung. Jadi untuk yang nggak terbiasa memang agak ngos-ngosan. Di beberapa trek juga sangat miring dengan sebelah sudah jurang. Jadi, jangan berpegangan pada tanaman ya, karena bisa saja kelihatan semaknya rimbun tapi sebenarnya bawah semak itu sudah tepi jurang. Saran saya jangan pakai sepatu cantik, kasihan dengkul.

Sebelum mencapai trek, wisatawan harus menyeberangi sungai dengan jembatan. Konon, titian kayu sepanjang 14 meter ini adalah tempat bertemunya pangeran Jaya Nalendra dari kerajaan Kediri dengan Dewi Seruni, putri seorang resi. Keduanya bertemu ketika sang pria turun bukit selepas bertapa dan sang wanita sedang mengambil air di sungai. Pertemuan mereka bukan sebatas kebetulan. Dari hasil bertapanya, Jaya Nalendra mendapat petunjuk untuk berjalan ke arah itu agar mendapat jodoh1.

Dari bentuk fisiknya, jembatan ini sederhana banget. Sama sekali nggak terlihat kalau punya cerita di baliknya. Saya bahkan nggak ngeh kalau itu jembatan yang dicerita-ceritakan karena memang nggak dihias atau ada penandanya. Setelah pulang balik dari air terjun baru sadar kalau jembatan sangat biasa itulah yang namanya Jembatan Asmara.

Benar juga, nggak semua harus punya kenampakan luar biasa untuk cerita yang luar biasa pula. Yang sederhana pun bisa saja penuh makna.

Coban Talun pun terlihat setelah berjalan kurang lebih 20 menit. Dari jauh pun gemuruhnya sudah terdengar akibat airnya yang bertumbuk dengan bebatuan besar di dasar air terjun. Banyak wisatawan yang naik ke sana supaya mendapat foto diri yang bagus. Memang spot-nya sesuai. Namun, tetap hati-hati ya karena licin sekali.

Udara sore pegunungan dan cipratan air halus membuat hawa senja makin dingin. Air terjun di lembah gunung Welirang-Arjuno ini seakan membekap semua bunyi buatan manusia dengan melodi khas alam. Suara orang bicara dan teriakan kawan yang minta difoto teredam bahana megah aliran yang jatuh. Hanya ada desau angin dan cericit burung-burung di sini.

IS THIS WHAT THEY CALL… GLAMPING?
Kami sekeluarga sebenarnya nggak berniat menginap. Namun, karena para pemegang kemudi sudah kecapekan, ya sudah. Untunglah di area Coban Talun ada penginapan, jadi nggak perlu cari hotel di luar. Sempat ketar-ketir juga kalau mau cari hotel. Liburan gini, di tempat wisata, apa nggak udah pada fully-booked?

Ada dua penginapan yang terletak di dalam area wisata Coban Talun, Pagupon Camp dan Apache Camp. Dari ngobrol singkat dengan pekerja tempat wisata, salah satu pondok tersebut adalah milik investor sedangkan yang satunya dikelola Perhutani bersama warga setempat. Keduanya terhitung masih anyar karena baru berdiri selama dua tahunan.

Glamping atau glamorous camping bisa dilakukan di sini. Tempat ini menawarkan kamar dengan bentuk tenda seperti milik suku Indian
Bentuk pondok yang ditawarkan Apache Camp, mirip tenda suku Indian.
Selain penginapan, pemondokan ini juga jadi spot foto karena bentuk bangunan yang unik. Pagupon menyediakan rumah-rumah segitiga dan setengah oval, sedangkan Apache menawarkan kamar dengan bentuk ala kemah suku Indian. 'Apache' memang salah satu suku Indian yang terkenal. Harganya penginapan ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga satu jutaan, tergantung kapasitas. Sebenarnya di luar, di jalan kampung menuju pintu masuk area wisata juga sepertinya ada homestay milik penduduk. Tapi karena udah capek ya sudah, yang jelas ada aja.

Jadilah kami menginap di Apache Camp. Dengan Rp250.000,00 sudah dapat satu tenda double bed (satu atas, satu bawah) dan makan malam untuk empat orang. Bila tambah konsumsi, maka tambah Rp25.000,00/makan/orang. Kamar sudah termasuk kamar mandi dengan air hangat. Sayang karena kami dadakan, jadi dapat kamar tanpa air hangat.

Kamar ini persis tenda. Atau memang tenda? Dindingnya bukan dari semen atau kayu, tapi dari kanvas tebal yang disangga balok kayu. Bagian dalam dinding dilapisi dengan kain satin supaya lebih hangat. Ponsel kehabisan daya? Jangan khawatir, karena ini bukan tenda beneran maka tentu ada listrik dan lampu.

Oh inikah yang disebut glamping (glamorous camping)? Berasa kemping tapi nyaman banget. Benar di dalam tenda, tapi ada kasur-selimut-kamar mandi. Bukan tidur beralas tanah keras yang dinginnya aduhai serta matras tipis tentara. Makanannya disediakan pula! Meski sederhana tapi perut lapar mana sih yang nolak makanan, terutama saat hawa menggigit begini?

Tahu dan tempe yang masih mengepul jadi bahan bakar obrolan ngalor-ngidul yang kian malam kian meriah. Kopi sachet pun rasanya sudah nikmat sekali layaknya diracik langsung dari kafe sungguhan. Bulan menjelang purnama mengintip dari balik siluet pepohonan yang menguarkan aroma pinus basah. Ah, ternyata glamping tak kalah syahdu dari camping.

IRASSHAIMASE! SELAMAT DATANG!
Pernah lihat kebun bunga di Jepang yang dipenuhi kembang-kembang yang bergerombol seperti bunga kol? Hydrangea namanya. Ada pula yang menyebut Hortensia, sedangkan orang Jepang menamainya Ajisai. Bunganya yang menggerombol seperti balon jadi daya tarik utama tanaman hias ini.

Karena belum pernah ke taman ajisai Jepang, maka sementara saya cukupkan dulu di sini. Iya, di dalam area wisata ini ada taman bunga Coban Talun yang banyak menanam hydrangea. Kebetulan letaknya persis berhadapan dengan Apache Camp.



Nama hydrangea saya ingat banget karena pernah muncul di buku pelajaran zaman sekolah. Disebutkan bahwa bunga ini bisa jadi salah satu indikator asam-basa, seperti kertas lakmus. Kembang ini akan berwarna merah jika tanah tempat tumbuhnya bersifat basa dan biru bila tanah itu asam, kebalikan dari lakmus. Lha gimana kalau warnanya ungu, karena di kebun sini banyak yang begitu? Artinya dia ada di pH netral atau peralihan. Meski, ada juga hydrangea yang berwarna putih karena tak punya zat warna.

Tapi, jangan bayangkan kalau warna bunganya bakal gampang berubah layaknya bunga sedap malam yang dicelup ke pewarna. Nyatanya, butuh paling tidak dua musim berbunga untuk mengubah warna kelopaknya. Gimana ngubahnya? Nah, this is where we talk Science.

Warna-warna di makhluk hidup ada karena zat warna atau pigmen. Semakin banyak pigmen berarti semakin variatif warnanya. Berbeda seperti bunga lain yang warna-warni karena punya banyak pigmen, hydrangea cuma punya satu. Logikanya, berarti dia cuma punya satu warna. Uniknya, pigmen ini mampu mengubah warna kelopak bunga jadi biru/merah/peralihan karena interaksinya dengan ion aluminium. Reaksinya panjang, tapi intinya begini: di tanah asam, ion aluminium bisa tersedia sehingga mampu berikatan dengan pigmen hydrangea dan menjadikannya berwarna biru. Di tanah basa, ion ini berikatan dengan ion OH- sehingga tidak tersedia dan tak bisa pula berikatan dengan pigmen, menjadikan hydrangea berwarna merah2.

Jangan heran kalau di satu lahan ada berbagai macam warna. Itu bukan berarti pH tanah di situ tidak seragam secara alami, tapi bisa jadi pembudidayanya yang memberi perlakuan khusus supaya tanah tersebut menjadi asam/basa dan menghasilkan warna bunga yang diinginkan. Caranya? Siram saja dengan zat-zat yang bisa mengubah ketersediaan ion Al, misalnya air kapur. Tapi hati-hati supaya nggak berlebihan. Nanti alih-alih warnanya jadi mencolok, malah tanamannya keracunan.

Meski menanam bunga berjenis sama, sepertinya kebun-kebun ini punya pengelola yang berbeda-beda karena di pintu masuk setiap kebun ada loket sendiri-sendiri. Setidaknya ada dua di daerah ini. Kabar baiknya adalah bila kita menginap maka tiket masuknya sudah termasuk. Harganya sekitar Rp5.000,00 atau Rp10.000,00 per orang, kalau nggak salah. Karena masih terlalu pagi maka taman itu belum dibuka. Jadilah kami menikmati pemandangan dari balik pagar yang jaringnya longgar-longgar.

Nggak jauh dari kebun ini ada penanda ke Gua Jepang. Di atasnya ada tulisan bertulis 'irasshaimase', ucapan selamat datang yang lumrah didengar ketika masuk toko atau restoran negeri Sakura. Awalnya adik-adik pada ogah. “Gua kan ya cuma gitu aja”. Bener juga sih, tapi saya kan belum pernah masuk. Kan penasaran, gimana sih bentuk gua yang dipake buat pertahanan militer itu? Gimana memodifikasi tempat sempit gitu buat menyimpan senjata, apalagi sampai tinggal? Akhirnya dengan banyak bujuk rayu akhirnya mereka mau juga, hehehe.

Zaman dulu, tentara Jepang memang banyak yang membuat gua di pelosok pegunungan. Terutama masa-masa setelah Dai Nippon kalah dengan Sekutu di PD II. Tentara mereka yang tersebar di Pasifik pun sibuk menyelamatkan diri, salah satunya dengan membuat gua pertahanan seperti di Gua Jepang Coban Talun. Gua kecil ini punya pintu masuk yang tepat menghadap jurang yang di bawahnya ada sungai, cocok untuk menghapus jejak. Letaknya pun tersembunyi, terhimpit di lembah antara dua bukit yang curam. Ah, jadi ingat berita kapan tahun tentang tentara Jepang yang tertinggal di salah satu kepulauan Pasifik. Ketika ditemukan, lelaki yang sudah berubah sepuh itu mengira Perang Dunia masih berlangsung.

Balik ke rute munuju gua. Jalannya seperti lokasi syuting film: cantik! Di sepanjang jalan tanah yang masih menguarkan bau lembap, ada hamparan hydrangea biru yang sedang mekar-mekarnya. Kalau kebun yang tadi diibaratkan halaman belakang, maka yang ini kebun beneran. Gerumbul besar-besar berwarna biru dan violet menyeruak di mana-mana. Sinar matahari bersinar hangat dari sela-sela dahan pohon tinggi. Jadi berasa syuting film beneran kan.


Taman bunga hydrangea adalah taman bunga Coban Talun. Gerumbul seperti bunga kol warna-warni, biru, merah, ungu, bermunculan dari balik semak-semak hijau
Hamparan hydrangea biru di seluruh penjuru

Belum lagi teras-teras ladang sayur di bukit yang berhadapan dengan kami. Gemericik aliran sungai yang membelah perbukitan, ibu-ibu bercaping yang sedang berladang, bapak dan mas-mas yang sedari tadi hilir mudik mengangkut hasil kebun yang masih meneteskan embun dan menumpuknya ke dalam bak truk sayur. Ingatan saya pun langsung meloncat ke potongan film Sherina.

------------------------------------------
Kalau dulu air terjun Coban Talun hanya hutan dengan bumi perkemahan, maka kini lokasi ini sudah berbenah menjadi tempat wisata. Kalau sepuluh tahun lalu saya cuma bisa merenung di pinggir sungai sambil ngelihat batu-batu besar, maka kini sudah ditambah dengan menilik Gua Jepang, menikmati taman bunga, dan glamping. Bila di masa lalu cuma bisa satu kegiatan wisata aja, maka kini sudah bisa all in one!

------------------------------------------
NB: sebenarnya masih ada satu spot lagi di sini, yaitu tempat konservasi lutung jawa. Letaknya lebih masuk ke dalam. Namun waktu itu belum rezeki menyambangi.

Sumber:
1:

Reading Time:

Minggu, 21 Juli 2019

Tamansari: Bukan Sekadar Kolam Biasa
Juli 21, 20190 Comments

Kolam pemandian dan menara raja


Main ke Yogya (bukan Jogja ya, karena asal katanya ‘Ngayogyakarta’) tentu kurang afdhol rasanya kalau belum ke Keraton atau Malioboro. Mumpung sedang di pusat kota, kenapa nggak sekalian habisin semua tempat wisata di dekat sana? Toh jaraknya cukup dekat ditempuh jalan kaki. Dari banyak tempat, ada satu lokasi yang bisa jadi jujugan selanjutnya: Tamansari.

Bintang utama Tamansari adalah bekas kolam pemandian keluarga Kesultanan Yogya di zaman lalu, yang nama sebenarnya adalah Pasiraman Umbul Binangun (pasiraman=pemandian; umbul=sumber air; binangun=dari kata ‘bangun’, b. Jawa). Nama ‘Tamansari’ adalah kompleks peristirahatan yang meliputi kolam, danau-pulau buatan, dan bangunan-bangunan untuk kegiatan sehari-hari. Jadi, berbagai obyek wisata beserta perkampungannya saat ini, dulu merupakan satu kesatuan. Tak hanya itu, kompleks seluas 10 ha ini juga tidak kering seperti sekarang. Ada danau buatan yang mengelilingi beberapa bangunan di atas pulau buatan. Tak heran bila sekarang ditemukan banyak lorong bawah tanah.

Lorong bawah tanah di lingkungan ini bukan cuma berfungsi sebagai saluran air, tapi juga terowongan dari satu gedung ke gedung lain (sekarang sudah banyak yang runtuh). Terowongan ini pun bisa dipakai sebagai jalan pengungsian bila sewaktu-waktu ada serangan. Oleh karena itu selain sebagai tempat rekreasi, kompleks yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I ini juga bisa sebagai tempat perlindungan, seperti seyogyanya bangunan-bangunan penting zaman dulu.

Dari Keraton, tempat ini bisa ditempuh berjalan kaki kurang lebih 20 menit. Itu kalau jalan santai. Kalau jalan cepat dan kakinya panjang, bisalah 15 menit. Mau naik becak? Bisa juga. Biasanya harga yang dipatok sekitar Rp15.000,00. Kemarin sih teman saya nawar bisa dapat Rp10.000,00.

Dari jalan biasa ke Tamansari memasuki gang. Biasanya bahkan sebelum di mulut gang pun, kendaraan sudah mengular. Apalagi weekend dan hari libur. Beuh… Mau nggak padat? Monggo datang pagi sekalian dan di hari kerja.

Untungnya antrean loket nggak begitu panjang. Setelah beli tiket lima ribu perak per orang (atau enam ribu?), kami pun masuk ke kompleks kolam pemandian.

TAMANSARI, BUKAN SEKEDAR KOLAM BIASA
Sebelum memasuki pemandian, pengunjung akan disambut oleh gerbang yang sarat ukiran motif flora-fauna dengan beberapa sayap di sisinya. Gerbang ini merupakan pintu timur pemandian, Gedhong Gapura Panggung. Meskipun sekarang merupakan pintu masuk obyek wisata, sebenarnya gerbang ini adalah pintu belakang di masa lalu. Lalu, di mana pintu depannya? Nanti, akan kita temukan setelah keluar dari pasiraman.

Gedhong Gapura Panggung, pintu masuk pemandian
Tamansari kini

Begitu melewati gerbang, rasanya jadi sejuk melihat dua kolam yang terhampar di depan mata. Gimana nggak segar ngelihat air di mana-mana?

Ada dua kolam di area ini, yaitu Umbul Kawitan yang disediakan untuk putra-putri raja dan Umbul Pamuncar bagi para selir. Ada lagi kolam privat bagi raja yaitu Umbul Binangun, yang letaknya di sisi paling kiri (selatan), tapi nggak langsung terlihat karena tertutupi ruangan pribadi dan menara (namanya juga pribadi kan?)

Umbul Kawitan dan Umbul Pamuncar dipisahkan oleh jalan setapak dengan beberapa pot besar berisi tanaman hijau. Di sisi-sisi kolam tersedia terundak pendek yang terendam air. Terbersit bahwa di masa itu, para perempuan berjalan pelan-pelan dengan anggun meniti tangga pendek tersebut sebelum kemudian berenang ke tengah kolam. Macam di film-film lah. Namun, tentunya pengunjung dilarang bermain air di sini.

Bukan cuma kolam yang ada di bagian ini, tapi juga ruangan di sisi kanan (utara) dan sisi kiri (selatan) di bawah menara. Bagian utara digunakan untuk ruang ganti dan bersiap bagi para wanita, sedangkan ruangan di bawah menara diperuntukkan bagi sultan.

Kolam pemandian Tamansari: Umbul Kawitan & Pamuncar
Menurut penuturan bapak tour guide waktu itu, raja biasa duduk di dalam menara sembari melihat para wanita bermain air. Saat itu, raja akan menyiapkan sebuah kembang. Kembang itu kemudian ia lempar ke arah Umbul Pamuncar dan segera diperebutkan para selir. Selir yang berhasil mendapatkan bunga itu akan mendapat kesempatan menemani raja di kolam pribadi.

Bila diperhatikan, desain menara raja tidak hanya bercorak Jawa melainkan gabungan beberapa gaya yaitu Jawa, Eropa, dan Tiongkok. Arsitek pesanggrahan ini memang orang Portugis yang didatangkan dari Sulawesi, Demang Tegis (apa ini nama asli? Saya nggak tahu persis, tapi dulu ‘demang’ adalah gelar buat pemangku tertentu dan mungkin ‘Tegis’ dari kata ‘Portugis’?). Sementara, desainer lainnya yaitu Tumenggung Mangundipuro dikabarkan belajar arsitektur Eropa hingga ke Batavia. Corak ini bukan cuma dari menara saja, tapi dari keseluruhan bangunan kompleks ini.

Selepas menikmati birunya kolam, pengunjung diarahkan ke pintu keluar berupa gapura. Inilah pintu masuk Pasiraman Umbul Binangun di zaman dulu, Gedhong Gapura Hageng (hageng=ageng=besar, utama, bahasa Jawa). Ini karena pesanggrahan Tamansari dibangun menghadap barat, sedangkan pintu masuk loket wisata saat ini adalah pintu timur. Dulu, terdapat bangunan di depan gapura yang berfungsi sebagai tempat perjamuan.
    
SUMUR GUMILING DAN ATURAN TIGA DETIK
Keluar dari area Pasiraman dan belok ke arah kanan merupakan jalan ke Sumur Gumuling. Yang mana itu, apa bentuknya memang sumur? Bukan, struktur ini bukan sumur melainkan bangunan melingkar dengan panggung kotak yang menonjol di tengah-tengah. Panggung inilah yang biasanya jadi tempat swafoto.

Sebelum ke arah lokasi, sebenarnya ada sisa struktur lain di sebelah kanan, masuk gang. Kami ke sana karena mengira itu jalan ke lokasi sumur, ternyata bukan. Reruntuhan tersebut jelas merupakan sisa gedung. Maklum, Pesanggrahan Tamansari usianya sudah lebih dari dua setengah abad, plus Jogja beberapa kali diguncang gempa hebat.

Ada dinding tinggi di sebelah kanan dan posisinya lebih tinggi dari sekitar. Mungkin, inilah sisa puri Pulo Kenanga.

Puri yang paling tinggi dibanding bangunan lain ini dulu dipakai untuk tempat beristirahat plus berkegiatan seni, misalnya menari atau membatik. Dari sini juga bisa mellihat ke seantero pesanggrahan Tamansari. Maka nggak heran kalau tempat ini juga dipakai untuk tempat pengawasan bila musuh datang. Kenapa namanya ‘Kenanga’? Ya karena dulu banyak pohon bunga kenanga di sini.

Bangunan ini dulu berdiri di atas pulau buatan. Jadi, Pulo Kenanga dan Sumur Gumuling dulunya adalah gedung di tengah danau dan dikelilingi air. Demikian juga beberapa struktur lainnya. Jadi zaman dulu, bangsawan kesultanan harus naik perahu bila ke kompleks Tamansari.

Balik ke Sumur Gumuling. Letak bangunan bundar ini memang agak nyempil. Saat itu pun saya dan teman-teman sempat nyasar karena tak ada penandanya. Ada sih, peta Kampung Taman. Namun, peta itu nggak menunjukkan lokasi sumur secara detail, bahkan nggak ada posisi struktur-struktur kuno lainnya. Alih-alih, peta tersebut menunjukkan rumah-rumah penduduk secara rinci berikut nama kepala keluarganya. Mungkin peta itu dibuat supaya tamu penduduk nggak kebingungan nyari rumah yang akan dikunjungi. Setelah mbludhus ngawur, bertanya penduduk, dan nginthili (mengikuti) tour guide orang, sampailah kami di lokasi.

Pemusik bermain gitar dalam lorong yang ada di Tamansari (2017).
Pada 2019, yang tampil sudah satu grup lengkap.

Siapkan karcis sebelum masuk karena petugas akan meminta tiket masuk kolam tadi. Jadi, tiket untuk pemandian dan sumur jadi satu. Untuk memasuki struktur, kita harus melewati terowongan bawah tanah. Dulunya terowongan bawah ini tergenang sampai ke bagian terundak untuk naik ke panggung kotak. Orang bisa berwudu di situ sebelum shalat. Sumur Gumuling memang difungsikan sebagai masjid dulu. Ceruk yang ada di lantai kedua difungsikan sebagai mimbar bagi imam shalat. Jadi, kalau ada yang nanya, “Mana masjidnya?”, ya ini. Bentuknya memang beda dari masjid kebanyakan. Tapi jadi unik, kan?

Kalau pengin berswafoto di platform kotak itu, pastikan datang awal atau siapkan hati buat antre. Antrenya luar biasa lama karena tempatnya kecil, sempit, tapi banyak orang. Sebuah keistimewaan kalau berombongan banyak dan nyewa tour guide karena ia akan memastikan tamunya bisa berfoto di situ. Kami yang saat itu jalan-jalan sendiri serta pengunjung lain sampai diminta sembunyi di ceruk demi foto mereka.

Lorong lantai dua di Sumur Gumuling, selalu penuh orang

 Tapi jangan kuatir, lorong-lorong masjid ini juga menarik kok buat difoto. Lagi, itu pun kudu sabar nunggu orang lewat dan pintar cari timing dan angle buat nyembunyiin pengunjung lain. Seringkali gagal dapat hasil bagus karena tiba-tiba ada orang berseliwer. Sudah aba-aba satu… dua… tiga… yah ada orang, nggak jadi deh. Pengen foto bagus di sini? Bersiaplah hanya dalam waktu dua detik.

TEMPAT TIDUR ROYAL FAMILY
Selain pemandian dan Sumur Gumiling, sebenarnya masih banyak struktur kuno lain di Kampung Taman. Namun, bangunan-bangunan tersebut sudah tertutupi oleh padatnya perumahan. Priviledge lagi kalau sewa tour guide karena mereka bakal ngantar kita blusukan. Saya sampai kagum, kok bisa mereka hafal gang-gang yang njelimet ini. Kalau saya, mungkin bakal butuh waktu lebih lama kalau blusukan nyari bangunan-bangunan lawas itu sendiri. Atau malah nggak ketemu dan nyasar sekalian!

Bangunan lama kompleks Tamansari tersembunyi
 di antara rumah-rumah perkampungan

2015 dan 2017 lalu saya dan kawan-kawan memutuskan pakai jasa tour guide. Berapa? Seikhlasnya, beliau bilang. Tapi meski begitu, tetap kira-kira lah. Ya kali cuma ngasih dua puluh ribu!

Waktu itu kami diantar ke beberapa bangunan. Saking banyaknya ruangan dan namanya beda semua, saya sampai lupa ke mana saja. Yang jelas, salah satu ruangan yang kami sambangi adalah dapur dan kamar tidur raja beserta para istri. Para selir tidur di bangunan yang sama, sedangkan raja di bangunan lainnya.  

Gedung kuno dalam kompleks Tamansari

Bagaimana kondisi kamar tidur zaman dulu? Sebenarnya bentuk bangunan untuk istirahat di kompleks ini rata-rata sama, yaitu ruangan berjendela dengan beberapa struktur setinggi pinggang. Di situlah kasur dan karpet digelar. Selain itu juga bisa buat tempat penyimpanan barang atau meletakkan perkakas.

Di dalam bangunan yang sama, juga ada ruangan lain yang letaknya paling pojok. Ruangan ini paling beda karena ada terundak pendek yang di atasnya terdapat lubang. Inilah kakus zaman dulu! Di bawah lubang tersebut ada saluran air yang akan langsung membawa kotoran menuju sungai terdekat. Saluran yang dulu selalu mengalir itu sekarang sudah kering. Dari mana airnya? Ah, bapak pemandu tur menyebutkan nama sebuah sungai, tapi saya lupa namanya. Ruang itu juga ruang untuk bebersih yang dilengkapi wewangian. Jadi, toilet lawas pun aman dari bau dan tetap bersih. Bagaimana dengan kamar mandi kita di rumah?

-------------------------------
Selain wisata sejarah, Tamansari juga menyuguhkan wisata seni berupa batik lukis. Ada beberapa galeri yang bisa dikunjungi bila tertarik. Bahkan, tak jarang ketika mengelilingi kampung, akan kita temukan para seniman yang sedang bekerja di tepian gang.

Tamansari dan Kampung Taman merupakan saksi kemegahan di masa lalu. Meskipun beberapa bagian yang sudah runtuh dan tak lagi utuh, keanggunan dan kecantikannya tak lekang dimakan waktu, sama seperti namanya yang berarti taman yang ayu.



-------------------------------
Sumber:
-Bapak tour guide
-Pamflet dari loket karcis
-Wikipedia!
  https://in.wikipedia.org/wiki/Taman_Sari_(Yogyakarta)
- https://kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/13/tamansari  --- (ada peta Tamansari di sini)
Reading Time: