Hijaubiru: CatPer -- Alam
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Alam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 September 2023

Jalan ke Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar
September 01, 2023 2 Comments

 


Bicara soal wisata, Surabaya bukan termasuk pilihan pertama untuk wisata alam. Untuk wisata alam, kota-kota sekitar macam Malang atau Mojokerto jauh lebih bagus. Maka ketika dengar ada kebun raya di Surabaya, saya sempat mengernyitkan kening. ‘Surabaya sebelah mana yang tanahnya cukup luas buat dijadikan kebun raya?’

 

Usut punya usut, ternyata ini bukan kebun raya biasa tapi kebun raya mangrove. Artinya, lahan hijau ini berlokasi di tepian pantai yang banyak ditumbuhi pohon mangrove. ‘Oh, kalau gitu masuk akal.’ Sebab Kota Pahlawan ini memang sudah lama punya area hutan mangrove, antara lain Wisata Mangrove Gunung Anyar. Tempat inilah yang kemudian dijadikan Kebun Raya Mangrove Surabaya. Jadi memang bukan tempat yang 100% baru, tapi dinaikkan statusnya (dari hutan biasa jadi kebun raya) dan ditambah fasilitasnya.

 

Kebun Raya Mangrove Surabaya baru dibuka akhir Juli 2023 ini. Mungkin lebih tepatnya re-opening kali, ya, sebab sebelumnya tempat ini juga sudah dibuka untuk pengunjung. Ya waktu masih bernama Mangrove Gunung Anyar. Sekarang pun kayaknya masih banyak yang nyebut dengan nama lawas.

 

Mangrove Gunung Anyar terletak di ujung timur Surabaya. Akses jalan ke sini mudah. Kalau dari Raya A. Yani, tinggal lurus terus ke timur tanpa belok-belok. Cuma kalau pakai transportasi umum mungkin agak effort karena jalannya agak masuk. Kalau naik bemo/mikrolet kayaknya harus jalan lagi agak jauh. Sebab, waktu ke sana kemarin hanya ketemu bemo di jalan yang masih ramai. Dan itu jaraknya satu kiloan dari pintu masuk kebun raya. Mungkin pilihan paling fleksibel adalah bawa kendaraan sendiri atau pakai ojek online.

 

Jangan lupa pakai masker dan semacamnya. Hutan mangrove memang adem dan penuh pohon, tapi jalan ke sananya agak berdebu. Mungkin karena kemarin saya main ke sana saat kemarau, plus saat siang ketika matahari terik banget, plus pembangunan fasumnya masih baru thus masih ada material sisa, sehingga banyak debu dan pasir beterbangan sepanjang jalan mendekati lokasi.

 

Debu, panas, pasir-pasir kuning lembut beterbangan di antara roda motor. Vibes musim kemarau banget, deh.

 

💡 Tips: Waktu Terbaik untuk Berkunjung

Berdasarkan ulasan di GMaps, pagi adalah waktu terbaik. Suasana masih adem, nggak terik, dan perjalanan ke lokasi pun nggak kepasanan. Pilihan kedua adalah sore hari, tapi berisiko kurang santai dan berkejaran dengan waktu tutup.

Hari terbaik, seperti biasa, adalah hari kerja karena lebih sepi. Lebih mudah dapat foto tanpa ada orang lain dan santai memilih duduk di gazebo mana pun.

 

Kenapa kami milih ke sini siang-siang, padahal tempat ini pagi pun sudah buka?

Kami berangkat jam 9-10-an, sampai sekitar 45 menit kemudian. Alasannya karena waktu itu ada keperluan dulu aja. Dan kalau berangkat pagi, jalanan penuh dengan orang yang berangkat sekolah atau kerja. Jadi milih agak siangan dengan risiko kepanasan di jalan.

 

Untungnya, di lokasi nggak kepanasan. Dari jalan umum masuk ke titik parkir, ada banyak pohon-pohon hijau rimbun di kanan-kiri. Aroma khas air laut yang asin sudah tercium dari sini. Setelah beberapa ratus meter dan melewati rusung Gunung Anyar, sampailah di tempat parkir yang nampak baru dan kering. Di selatan tempat parkir tampak gundukan yang awalnya saya kira sedang ada pembangunan. Setelah lebih teliti melihat, ternyata itu adalah TPA/Tempat Pembuangan Akhir.

 

Setelah diberi karcis parkir, kami pun berjalan ke arah kanan dan masuk ke gerbang. Berapa harga karcis masuk Kebun Raya Mangrove? Kurang tahu. Waktu itu kami langsung disuruh masuk tanpa bayar. Mungkin karena baru re-opening beberapa hari sebelumnya, sebab menurut teman jalan yang nonton berita opening-nya, nanti akan ada tarif tiket masuk perorangan.

 

Seperti layaknya hutan dan kebun raya, Mangrove Gunung Anyar ini juga sejuk meski letaknya nggak jauh dari bibir pantai. Kesejukan itu sudah dirasakan sejak sebelum gerbang. Pohon-pohon cemara laut dan mangrove yang rimbun membuat suasana siang Surabaya yang terkenal sumuk pol menjadi lumayan adem.

 

Dari gerbang masuk, rute jalan-jalan bisa dimulai dengan belok kanan ke arah hutan/jogging track kayu. Sebelum itu, di kanan track ada toko merchandise. Pengelola juga memajang peta lokasi lengkap dengan track dan spot-spot seperti gazebo, pendopo, dan menara pandang. Peta ini dibentakan di dekat pintu masuk ke hutan.

 

Selain peta, pengelola membentangkan banner dengan jenis-jenis tumbuhan yang bisa dilihat pengunjung di area mangrove.  Uniknya adalah yang ditampilkan nggak cuma nama dan foto bentuk tumbuhannya, tapi juga manfaatnya. Takjub aja gitu. Dari banyak pohon dan semak pinggir jalan yang kayaknya “gitu aja”, ternyata manfaatnya banyak juga: untuk obat, pengusir nyamuk, makanan atau snack. Jadi ingat waktu pergi ke Mangrove Wonorejo. Di sana ada warung yang jual berbotol-botol sirup mangrove jenis pidada (*kalau nggak salah). Rasanya kayak gimana? Sayang saya belum coba. Waktu ke Gunung Anyar ini pun alpa visit ke galeri oleh-olehnya karena udah kecapekan keliling. 


Kami masuk ke kawasan hutan, yang ada jogging track kayunya. Gapura kayunya memberi kesan alami meski jelas divernis mengilap. Marka arah jalan, baik yang sekadar dicat di track maupun yang jadi plang, berwarna cerah mencolok. Mungkin karena baru diganti atau baru dicat untuk re-opening  kemarin. 


Kami pun berjalan di antara pohon-pohon mangrove. Rimbun. Hijau. Panasnya Surabaya jadi terasa berkurang. Benarlah kalau pengin suasana adem, tanam pohon lebih efektif daripada bikin naungan dari material. (Jadi keinget dulu kalau gabut suka duduk bawah pohon dekat Perpus, haha).


Awal-awal, semua masih hijau. Kita bisa menjangkau daun yang tumbuh dekat ke pagar pembatas. Namun kalau diperhatikan, ada sela/gap di pohon-pohon. Gap itu menunjukkan tanah berlumpur di bawah jembatan kayu berwarna abu-abu dan basah. Khas tanah rawa pinggir pantai yang sering tergenang. Kalau nggak salah, inilah yang disebut marsh/bog(?). 


Makin dalam, jalur jogging track ini bercabang-cabang. Untung tadi udah sempat foto peta yang di depan, jadi bisa buat pertimbangan mau ngarah ke yang mana. 


Makin dalam juga, pagar pembatas yang tadi ada di kiri-kanan, sekarang nggak ada. Jadi pengunjung harus lebih hati-hati melangkah supaya nggak jatuh ke tanah lumpur basah di bawah track. Buat yang bawa anak kecil juga baiknya lebih diperhatikan anaknya. Dan di sini mulai banyak nyamuk. Maklum, karena area genangan air. 


Di hutan ber-jogging track ini pohonnya nggak selalu mengungkung. Ada juga bagian yang terbuka sehingga kalau lewat situ, ya … panasnya kerasa. Di pinggir track juga kayaknya bakal disediakan spot foto, tapi saat itu sepertinya masih tahap pembangunan karena bentuknya belum jadi. Kalau menurut peta tadi, ada gazebo dan pendopo juga. Tapi karena letaknya beda jalur dengan yang kami lewati, jadi nggak tahu bentuknya gimana. 


Yang menarik, beberapa pohon di sini digantungi semacam kartu nama. Kartu nama ini berisi nama latin pohon dan jenisnya. Ini salah satu poin yang saya suka dari tempat ini, karena pengunjung jadi tahu jenis pohonnya dan rada ngeh kalau meski semua pohon kelihatannya sama, tapi mereka sebenarnya beda jenis. Mungkin penamaan ini juga karena fungsi kebun raya sebagai sarana pendidikan. Jadi nggak cuma jadi tempat wisata atau healing aja, tapi juga ngasih info ke pengunjung. Sayangnya yang ditampilin cuma nama ilmiah, nama lokal enggak. Padahal biasanya orang lebih familiar dengan nama lokal daripada nama latin. Tapi mungkin ada pertimbangan lain kali ya, misal, karena nama lokalnya banyak nanti jadi info dump, misalnya? Nevertheless, buat orang kayak saya yang tertarik sama botani, ini menarik karena bisa ngelihat dan tahu langsung bentuk pohon yang mungkin cuma pernah dilihat di buku aja. Jadi ada kayak perasaan senang. Macam anak kecil kalau lihat gajah di buku anak terus diajak ke taman safari dan lihat gajah beneran dan kayak, “Wahh, aku lihat yang asli!”


Funfact! 

Ekosistem mangrove sering kali dikaitkan dengan bakau. Awalnya saya kira mangrove = bakau, tapi ternyata enggak. 

Mangrove = kawasan hutan tepi laut. Jadi tumbuhannya macam-macam, mulai dari pohon sampai semak.

Bakau = salah satu jenis pohon mangrove, biasanya dari jenis (genus) Rhizospora sp. 

Pendeknya, bakau termasuk mangrove, tapi mangrove nggak bakau aja. 




-bersambung 😁-

 

 

 

 


Reading Time:

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya menemukan sebuah website dengan foto amat menarik. Itu adalah gambar Candi Borobudur yang dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya seperti melihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google, lewat website. Foto Borobudur terbalut kabut tadi saya temukan pada website fotografer asing yang tentu saja nggak menyebutkan rute jalan menuju ke sana. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang bapak penduduk lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini banyakan bule buat lihat matahari terbit. Ada juga yang bukan bule, yang memang suka foto-foto,” ujarnya memberi tahu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu baru browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang ditulis oleh beberapa orang di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise, artinya harus jalan malam.

 

Nggak tahu jalan, tanpa transpor umum, belum bisa naik motor. Harus jalan malam pula (yang artinya nggak bisa nanya penduduk lokal karena pasti pada tidur). Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 

(Dalam bahasa Jawa, punthuk = bukit.

Ada juga yang menyebut bukit sebagai ‘puthuk/putuk’. Yang kedua ini saya temui di Jawa Timur)

  



Namun, untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak dibutuhkan pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan dan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar.

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto paling atas tadi. Orang yang nggak tahu mungkin akan menganggap saya ambil foto ini di Borobudur, padahal diambil dari Punthuk Setumbu. Dan menurut saya pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan memberi kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, dibalut kabut putih seperti negeri di awan. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom




Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca sedang cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti pada gambar anak-anak. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan seakan dua gunung itu terletak tepat berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view menakjubkan gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami mengecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang untuk dilewatkan.

 

PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN PANGERAN DIPONEGORO


Saya nggak mengira bahwa Punthuk Setumbu yang terletak di Kota Magelang ini termasuk dalam Pegunungan Menoreh yang membentang hingga Kab. Kulonprogo. Oh, pantas aja daerahnya berbukit-bukit.

 

Bicara soal Pegunungan Menoreh di Magelang, belakangan juga baru tahu bahwa rangkai pegunungan kapur ini turut menjadi saksi Perang Jawa (1825-1830), perang dahsyat yang dikobarkan Pangeran Diponegoro dan membuat Belanda kalang-kabut. Di buku sejarah zaman sekolah memang disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang sebelum diasingkan, tapi saya nggak nyangka aja kalau hal itu terjadi di dekat-dekat sini.

 

Menurut info, Pangeran Diponegoro ditangkap di rumah Residen Kedu, di Magelang. Beliau kemudian dibuang ke Makassar, Sulawesi.

 

When history meets reality, that’s when I feel stunned by how close we are.

Dulu, saya sempat melongo saat seorang teman mengajak pergi ke rumah teman lain yang terletak di daerah Pleret (Kab. Bantul). Saya ingat betul bahwa nama itu tercetak di buku mata pelajaran sejarah. Kutipannya: “… Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu menyingkir ke Selarong, Pleret, Dekso ….”

 

Bila ingin menelusuri jejak Pangeran Diponegoro dan sejarah Perang Jawa, area Magelang-Yogya ini memang ‘harta karun’ sekali. Gimana enggak, beliau memang lahir, besar, dan tinggal di Yogya. Perjuangannya pun bertempat di area itu. Ada beberapa jejak bersejarah yang kini dikembangkan menjadi tempat wisata sehingga bisa dikunjungi. Salah satunya Gua Selarong yang terletak di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Arahnya dari Jl. Godean ke selatan. Tapi, itu cerita untuk lain kali *wink

(still incomplete, more story incoming)


 

BOROBUDUR, "TERATAI" DI TENGAH DANAU PURBA

Mengenai Borobudur sendiri, sejarahnya juga panjang. Candi ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir, bahkan berabad-abad sebelum Mataram Islam (keluarga Pangeran Diponegoro) berdiri. Borobudur dibangun oleh Mataram Hindu.

 

Banyak hal menarik tentang Borobudur, baik penemuannya, kisahnya, maupun bentuknya. Dari semua hal, yang paling menarik untuk saya adalah:

  • kenyataan bahwa candi ini dulu terkubur seutuhnya karena letusan Gunung Merapi. Konon, letusan inilah yang bikin kerajaan yang jaya di Jateng lalu pindah ke Jatim hingga muncul Majapahit dkk.
  • bahwa Borobudur ditengarai dibangun di tengah danau purba. Kabarnya, pembangunan di tengah danau itu dilakukan secara sengaja agar candi ini nampak seperti teratai di tengah-tengah kolam. Very poetic!

(still incomplete, more story incoming)

 


 

💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa




Reading Time:

Jumat, 14 Oktober 2022

Open Trip Bromo
Oktober 14, 2022 4 Comments



Kalau kemarin sudah sempat baca sampai tbc,

sila klik link ini biar langsung ke teks update hari ini: lanjutan 1.

----------


Dulu, kalau saya atau teman pengin jalan-jalan, kami harus ngumpulin beberapa orang dulu. Setelah itu baru survei transpor, akomodasi, dan lain-lain. Karena jaringan sosial media dan internet belum semaju sekarang, jadi nanyanya ke orang-orang yang pernah ke lokasi itu atau telepon ke lokasi sekalian. Transportasi? Kalau jauh, ya, pakai kendaraan umum. Ngebus, kereta, carter jeep atau numpang mobil bak terbuka. Kalau orang yang pengin ke sana cuma sedikit, pilihannya ada 2: tetap berangkat dengan sedikit orang dan bayar lebih mahal, atau nggak jadi berangkat (atau nunda sambil ngumpulin ‘pasukan’ pelan-pelan, berbulan-bulan).

 

Ya gimana lagi, harus diakui bahwa nggak semua daerah di Indonesia, bahkan Jawa, mudah terhubung dengan transportasi umum (wong sekelas Surabaya aja masih pada ngandalin motor). Akibatnya, butuh kendaraan pribadi untuk mencapai daerah tertentu. Kalau nggak punya, tentu harus nyarter. Nah biaya carter ini yang nggak murah. Kalau orang yang pergi cuma segelintir, biaya patungannya akan lebih mahal.

 

Beruntunglah sekarang ada layanan open trip via agen travel. Jadi, dengan sedikit orang pun kita bisa tetap travelling ke tempat-tempat yang butuh kendaraan khusus atau biaya transpor yang cukup tinggi. Memang nggak semua tempat ter-cover, tapi sudah cukup.

 

Seperti Juli lalu saat saya pengin banget main ke gunung yang agak jauh. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, seorang karib mengajak jalan ke Bromo. Dia kemudian mengirim akun sebuah operator tur yang ia temukan di instagram. Agensi itu menyediakan layanan open trip ke beberapa daerah di Malang dan Batu. Cek-cek dan terbukti bukan travel bodong, kami pun booking.

 

Open trip adalah layanan tur yang pesertanya macam-macam. Dalam satu kelompok, akan ada orang-orang lain yang nggak kita kenal. Asalkan tujuan dan tanggal keberangkatannya sama, maka kita bakal dijadikan satu rombongan: satu itinerary, satu mobil/bus, dan mungkin satu hotel/restoran (kalau termasuk biaya inap/makan).


Jujur awalnya saya sangsi. Bukan apa-apa, hanya saja sejak era medsos makin menggaung dan hiking/travelling makin lumrah diterima masyarakat, banyak banget kasus open trip ataupun shared cost yang berujung penipuan (meski nggak semuanya; yang beneran jujur dan baik juga banyak). Maka dari itu, personally, saya lebih suka jalan sama teman sendiri. Udah kenal. Jalan bareng orang tak dikenal juga masih oke, asalkan dia ‘dibawa’ teman (ya intinya ada yang kenal: dia temannya teman saya dan teman saya ini ikut).

 

Namun karena saat itu kami lagi butuh banget refreshing ‘besar’, maka kami putuskan jalan berdua dengan ikut open trip aja. Biar cepat; nggak kebanyakan rundingan jadwal. Kebetulan open trip ini menawarkan trip tiap hari a.k.a kami bebas pilih tanggal (di hari kerja sekalipun) dan bebas berapa orang pun tanpa minimal peserta. Sounds too good to be true, though, so I was a bit suspicious. Atau emang saya aja yang ndeso karena nggak ngerti sistem kerjanya? Maybe, hahahah.

 

Jadi, sebagai pengguna open trip pertama kali, ini cara yang kami lakukan untuk menentukan agen travel ini valid atau enggak (disclaimer, tips ini bukan jaminan sukses 100%, tapi bisalah biar ada gambaran sedikit):

1. Cek akunnya

Karena kami nemu dari IG, ya cek IG-nya. Foto dan komentar di sana, interaksi mereka, price list dan rundown jelas, dsb. Tidak ada komentar yang dimatikan, jadi kami tengarai nggak pernah berkasus. Sahabat saya juga sempat bertanya pada akun lain yang kelihatannya pernah pakai jasa tur tsb.

 

Karena teman saya nemu akun tur tsb dari iklan IG, apa jaminan kalau akun itu valid? Belum tentu. Aturan pasang iklan di IG sudah nggak seribet dulu, jadi siapapun bisa pasang, termasuk akun bodong. Beberapa bulan lalu, seorang teman menemukan iklan bank abal-abal yang mencatut sebuah bank besar.

 

2. Crosscheck ke agen travel langsung

Setelah cek akun, kami langsung kontak ke narahubung/contact person. Tanyakan harga, itinerary (jadwal/rundown), fasilitas yang didapat. Salah satu yang terpenting, tanya juga perihal pembayarannya. Jangan percaya kalau minta bayar full langsung. Travel yang kami pakai kemarin hanya meminta DP 50k per orang dari harga total open trip Bromo yang 250k/orang. Oke, masuk akal. Harga 250k sudah termasuk:

  • penjemputan dari dan ke area Malang Kota:
    setelah trip selesai, kita diantar balik ke kota/titik penjemputan
  • carter jeep (kapasitas 8 orang)
  • tiket dan izin masuk ke kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
  •  fotografer + dokumentasi:
    tentu berbagi dengan 6 peserta lainnya. Foto tanpa editing dengan kamera mirrorless. Jadi kalau kebetulan hasilnya biasa aja, ya diedit sendiri. Awalnya saya kira dieditin sekalian agar estetis, makanya ngebatin, ‘Kok murah banget 250k udah sama editing’. Ternyata yang dikasih foto mentah, hehe. Tapi itu pun udah lumayan, sebab ada tur berharga 300k yang tanpa fotografer/dokumentasi

Oh, jangan lupa tanyakan detail mobil seperti jenis, warna, nopol, serta sopir yang mengantar ke dan dari lokasi. Juga perkiraan jumlah peserta yang barengan dengan kita.

 

3. Konfirmasi H-1 dan hari-H

Kontak lagi narahubung untuk mengingatkan dan memastikan. Di hari-H biasanya mereka akan mengirim detail mobil dan sopir yang menjemput. Kemarin kami cuma dibilang, “Bakal ada sopir yang menghubungi” meski sudah minta identitas sopir. Akhirnya, ketika dihubungi sopir, kami konfirmasi ulang ke pihak travel apa benar orang tsb.

 

Ini yang agak bikin ribet. Ternyata kami harus crosscheck sendiri-sendiri ke pihak travel dan sopir. Kirain mereka satu pusat komando, jadi terhubung satu dengan lain dan sama-sama tahu sehingga kami cukup nanya ke satu orang aja. Ternyata enggak.

 

Usut punya usut, ternyata sistem terpisah-pisah inilah yang bikin agen travel mau menerima peserta dengan jumlah sedikit: karena mereka memang bukan satu travel agent. Jadi ada orang yang bertugas marketing seperti narahubung yang kami hubungi tadi, kemudian ada sopir sendiri, ada sopir jeep sendiri, dan fotografer sendiri. Mereka adalah mitra yang punya modal sendiri (misal: mobil, jeep) dan kayaknya mendaftar ke satu pengelola. Pengelola inilah yang nanti ngatur peserta mana ikut mobil siapa, sedangkan narahubung tadi sudah lepas karena sudah ‘menyerahkan’ customer ke pengelola.

 

Mirip mitra gojek/grab gitu lah. Perusahaannya kan bukan yang punya kendaraan; mereka cuma menyalurkan.

 

Narahubung, pemilik mobil, fotografer, dan pemilik jeep ini bisa jadi nggak saling tahu mana customer yang dapat siapa karena memang nggak ada dalam satu travel agent yang sama. Semuanya terpusat di pengelola tadi. Mereka nggak saling berinteraksi karena dapat perintah langsung dari pengelola tadi.

 

Itulah kenapa travel agent menjanjikan bebas pilih tanggal berangkat dan tanpa minimal peserta: karena peserta dari mereka akan digabung dengan peserta yang didapat oleh agen lain. Jadi, di hari-hari sepi pun, pasti ada mobil yang full peserta. Awalnya kami kira peserta open trip ini ya hanya dari narahubung yang kami kontak aja….


lanjutan...


Oh ya, apa harga open trip ke Bromo masih 250k? Entah. Kalau ngelihat harga BBM yang naik, kayaknya ya pasti ikut naik, ya…. Tapi saya belum pernah cek lagi. Waktu itu banyak agen lain yang sudah mematok harga 300k, jadi yang 250k ini masih tergolong lebih murah dengan fasilitas yang sama. Bahkan ada yang 300k tanpa dokumentasi.

 

Singkat cerita, perjalanan 2D1N (2 days 1 night) itu kami mulai dengan menumpang KA Penataran. Berangkat dari Stasiun Gubeng Lama (SGU) pukul 17.40-an dan estimasi sampai di Stasiun Malang (ML) sekitar pukul 20.00. Meski kereta lokal, pastikan untuk nggak beli tiket secara mendadak mengingat ini jam pulang kerja. Karena KA lokal (wilayah Jatim aja), tiketnya hanya bisa dibeli di aplikasi KAI, nggak bisa lewat web. Kayaknya waktu itu cari lewat web juga nggak ketemu.

 

Actually, that was my first time riding a train after the pandemic hit. How was it?

Like nothing had changed. Kereta, meski di hari kerja, tetap penuh sesak. Tetap berisik (karena ekonomi, lokal pula, kan). Ada ibu-bapak pulang kerja, ada satu keluarga yang bawa anak bayi dan balita, ada pemuda-pemudi yang kayaknya mau berangkat main kayak kami. Macam-macam, deh. Saya pikir kereta di hari kerja bakal lebih sepi, ternyata enggak, hehe. Untung kereta zaman sekarang pasti dapat tempat duduk. Kalau ini di zaman dulu, bisa dipastikan kami bakal susah atau rebutan kursi.

 

Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari narahubung bahwa waktu penjemputan diundur. Tadinya dijadwalkan pukul 23.00, tapi diubah jadi 01.00. Duh, tambah malem aja. Jadilah kami batal melekan di kafe dan memutuskan nyewa hostel seperti yang pernah saya ceritain di sini. Penjemputan dini hari inilah yang bikin kami agak rewel soal konfirmasi identitas dan mobil sopir; buat mastiin keamanan bahwa betul itu mobil dari travel dan bukan yang lain.

 

Pukul 01.00 kami dijemput di hostel, setelah itu menjemput orang lain yang serombongan dengan kami. Selanjutnya kami lanjut ke daerah Tumpang untuk oper ke jeep. Meski bukan open trip pun, kalau masuk TNBTS lewat Malang, sejak dulu memang berhenti di daerah ini untuk oper jeep. Waktu ke Semeru satu dekade lalu pun (catper di sini) juga. Nampaknya memang pusatnya jeep.

 

Kalau ke Bromo/Semeru harus naik jeep?

Nggak harus sebenarnya, tapi sebaiknya memang mobil 4-wheel-drive karena medannya ekstrem dan ada jalur pasir yang susah-susah-gampang dilalui ban. Mana jalannya nggak lebar juga kan, jadi kudu hati-hati kalau papasan dengan kendaraan lain. Era 2010-an, mobil 4WD pribadi masih boleh masuk Lautan Pasir. Namun, beberapa tahun belakangan ini kayaknya pengelola TNBTS mewajibkan sewa jeep agar membantu perekonomian warga sekitar taman nasional. Mobil masih boleh masuk sampai poin tertentu, lalu kemudian harus sewa jeep.

 

Kalau motor?

Masih boleh, asal bukan motor matic. Dan pastikan benar-benar menguasai motor dan medan. Yang paling tricky, ya, jalan yang meliuk naik-turun mendadak dan jalur pasir di kaldera itu. Nggak jarang ada motor yang susah jalan karena pasirnya licin banget. Dulu saya harus turun dan jalan, sedangkan partner menuntun motor, saat ngelewatin pasir ini. Road trip TNBTS juga nggak kalah seru dengan open trip, lho.

 

Balik ke Tumpang. Di sini, kami dan peserta-peserta lain dikumpulkan di satu rumah sambil menunggu rombongan dan jeep komplet.

 

“Kok belum berangkat juga, sih? Ini udah hampir setengah tiga, lho,” bisik kawan saya sambil melihat arloji. Beberapa peserta yang semobil juga mengutarakan hal yang sama.   

 

Saya cuma menggumam, sedikit tak sabar pula. Kalau trip ini memang hanya mengejar matahari terbit, gagal sudah rencana kami menikmati dan mendokumentasikan star-trail Bimasakti yang cantiknya bak permata langit itu. Asli itu pemandangan bikin kangen meski demi melihatnya harus diterpa angin gunung dan suhu dini hari yang menggigit ke sumsum tulang.

 

“Iya memang rencana sampai sana subuh, Kak. Beberapa hari ini dingin banget sampai peserta pada nggak mau keluar mobil sebelum sunrise. Daripada kita kedinginan lagi,” jelas fotografer saat itu.

 

Akhirnya kami maklum. Waktu itu memang puncaknya kemarau. Namun, puncak kemarau berarti suhu di gunung turun serendah-rendahnya saat malam tiba. Orang Jawa mengenalnya sebagai bediding. Fenomena inilah yang bikin butiran es-es terbentuk di pegunungan, termasuk yang terkenal di Semeru dan Dieng. Es yang disebut embun upas ini membungkus permukaan, merusak beberapa tanaman perkebunan.

 

Pukul tiga kurang, mobil meluncur membelah jalan sepi temaram. Sedikit demi sedikit jalan meliuk naik membelah perbukitan. Gelap. Mantap sekali skill nyetir pak sopir jeep, Pak Agus, karena saya pun nggak bisa lihat jalan depan meski sudah diterangi lampu mobil. Perjalanan tak lama. Entah memang dekat atau karena rada ngebut. Sekitar 03.10-an kami sampai di pertigaan Jemplang, sebelum turun ke Kaldera Lautan Pasir.  

 

Hari ini istimewa: purnama. Di kota, mungkin nggak begitu terasa efeknya. Namun, di tengah gunung tanpa polusi cahaya sama sekali, sinar lembut keperak-perakan itu menerangi seantero penjuru. Sisi tebing dan punggungan gunung tersorot garis silver bak distabilo. Silver lining.

 

Tiga puluh menit kami mengelilingi Lautan Pasir yang masih gelap. Sempat ketemu orang-orang yang kayaknya camping di sana. Vibes camping-nya dah kayak kemping di padang pasir ala-ala film Wild West. Rombongan sempat berhenti sesaat untuk membantu jeep dari grup lain yang mesinnya error. Setelah kelar, jeep kemudian naik ke sisi lain. Tak lama, roda berhenti di dekat sebuah warung. Di tebing depan warung inilah rencananya rombongan kami akan menanti matahari terbit.

 

Ada beberapaapa ya istilahnya, viewpoint?—tempat untuk menanti sunrise di sekeliling gugusan Gunung Bromo. Semacam Pananjakan gitulah. Rupanya grup kami berhenti di viewpoint yang tak jauh dari tanjakan sehingga Gunung Bromonya nggak nampak dari sini karena tertutup Gunung Batok.

 

Orang yang baru pertama kali ngelihat mungkin akan terbalik mengenali Bromo dan Batok. Meski nama Bromo lebih terkenal daripada Batok, tapi ukuran Batok lebih besar (dan lebih tinggi). Tinggi Bromo ini ada kali separuhnya Batok. Dari arah ini, Bromo terletak lebih ke kiri. Gunung ini juga nggak punya puncak kerucut seperti Batok sebab dia punya kawah sebagai gantinya.

 

Kalau kita lihat di kartu pos atau foto, ada kepulan asap yang menguar dari cekungan sebuah gunung, itulah Gunung Bromo. Saat upacara Yadnya Kasada, upacara besar suku Tengger, ke dalam kawah inilah mereka menghaturkan berbagai hasil bumi. Bromo juga satu-satunya gunung yang masih aktif di area Lautan Pasir ini (*cmiww).

 

Subuh menjelang. Di tempat tinggi, matahari memang lebih cepat terbit. Saya dan sobat menumpang shalat subuh di salah satu warung di antara kios-kios yang berjajar.

 📑A tip: kalau nggak kuat nyentuh air karena dingin, bisa diakali dengan punya wudhu sebelum berangkat (naik jeep). Jadi waktu di lokasi tinggal shalat.

Atau bisa juga karena nggak tahan dingin kalau harus lepas jaket/pakaian tebal (karena susah kalau cuma digulung sampai lengan) atau lepas sepatu. Kan bisa tayammum? Kalau itu, kita kembalikan ke orangnya masing-masing. Sebab kadang ada orang yang nggak mau tayammum selama masih ada air.

 

Kelar subuhan, kami naik ke pinggir bukit buat ngelihat sunrise. Di luar dugaan, ramai banget, euy! Seluruh pinggiran sudah disesaki pengunjung. Banyak yang duduk-duduk. Ada penjaja yang nawarin sewa karpet buat duduk juga (10k). Kalau cari foto yang ‘bersih’, susah memang. Namun, pemandangan ke bawah ke arah gugusan Bromo dkk masih terlihat jelas.

 

Menurut tour leader saat itu, kami beruntung bisa lihat Lautan Pasir diselimuti kabut putih seluruhnya bak kapas lembut. Sebab, malam sebelumnya hujan.

 

Oh, ya, mumpung berada di ketinggian, jangan lewatkan pula pemandangan dari gugusan gunung lain yang jaraknya puluhan kilometer nun jauh di kota-kota tetangga. Dari sini kita bisa lihat kompleks Welirang-Arjuno dan (sepertinya) Anjasmoro di arah kanan. Di kiri, meski lebih kecil, samar-samar terlihat gugusan Pegunungan Iyang-Argopuro yang kondang dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa.

 

Serasa baru saja matahari terbit; udara baru saja terasa hangat. Langit pun masih merah-jingga-kekuningan khas nuansa pagi. Namun, tour leader sudah meminta kami balik ke mobil karena rombongan akan segera turun ke Lautan Pasir pukul enam.


Sejujurnya, saya merasa ini kurang lama. Kenapa? Well....


to be continued 😄

Psst, foto-fotonya juga belum ditambahin, hehe. Kalau udah kelar milih dan milah nanti insyaallah bakal bertabur foto


Reading Time:

Senin, 29 Agustus 2022

Trawas Tipis-Tipis
Agustus 29, 2022 2 Comments

 We can let July just be July 

Let the sun hang in the sky 

Clear your mind of all the things you’re waiting on 

- July (Later On), Lily Williams 


Juli lalu pas banget lagi butuh ‘clear my mind’. Salah satunya dengan cara… yes, you guess it right, jalan-jalan! Buat saya, jalan-jalan nggak harus travelling yang jauh banget atau berhari-hari. Kalau kerja/sekolah kan susah yak cari libur. Jadi, cari yang dekat (atau lumayan dekat) aja. 


Gimana kalau pengin wisata alam, tapi tinggal di perkotaan yang jauh dari gunung-sawah-dkk? Surabaya misalnya. Buat yang tinggal di Kota Pahlawan dan sekitarnya, wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Pasuruan, Mojokerto, dkk, biasa jadi opsi liburan. Sejak dulu kala~


“Gimana kalau cuma punya waktu libur sehari, apa keburu? Apalagi kalau pengin jalan-jalan yang low budget.”


Bisa aja; tergantung lokasi tujuan, berapa lokasi tujuan, dan makan apa. Ada daerah-daerah yang banyak menyajikan wisata dan tempat makan low budget. Atau bisa pakai trik ini: minimalkan tujuan. Satu-dua aja cukup. Dan, jadikan perjalanan ke tujuan juga sebagai travelling. Cuci mata gitu lah. Kalau ke area pegunungan, pemandangan pinggir jalan pun biasanya udah oke punya.


Waktu itu, karena cuma punya waktu satu hari dan nggak bisa jauh-jauh, saya memilih jalan ke Trawas dan cangkruk santai di sana. Kalau nanti ada sisa waktu mungkin bisa lah main ke tempat lain yang masih berlokasi di Kab. Mojokerto itu. Motor jadi pilihan transportasi (karena bisanya ya itu, haha).   


Motor juga jadi salah satu alasan milih main ke Trawas. Udah agak lama nggak nyetir di tempat berbukit-bukit dan agak jauh bikin saya rada nggak PD. Paling enggak, jalan ke Trawas bisa ditempuh lewat rute yang agak landai. Jaraknya pun nggak terlalu jauh; sekitar dua jam motoran santai.


💡Jadi buat orang yang jarang nyetir jauh atau berkendara ke daerah bergunung-gunung (kayak saya, hehe), kira-kira nggak begitu berat dan nggak kaget medan lah.


Kami berangkat pukul tujuh dari arah Surabaya. Agak siang sebenarnya, karena udara jalanan lebih segar (standar perkotaan, ya) kalau berangkat agak pagi. Berboncengan kami jalan terus lewat Ahmad Yani membelah Sidoarjo yang tumben-tumbenan nggak macet. 


Perjalanan menuju Trawas dari arah Surabaya sebenarnya bisa dicapai lewat tol. Namun karena kami pakai sepeda motor, jadi lewat jalan biasa. Lewat jalan raya ini pun bisa lebih cepat bila melintas via Porong. Jalannya juga tinggal lurus aja. Cuma karena saya cari rute yang lebih sepi (thus, bisa lebih cepet ketemu ijonya sawah dan kebun), saya berbelok dan mencapainya lewat Tulangan, lalu tembus Krembung.



『 TOELANGAN DAN KREMBOON

“Bukannya itu jalannya rame?”

Iya, di beberapa titik. Paling enggak relatif lebih nggak padat daripada jalur Porong. Bisa lewat kebun tebu dan desa yang masih asri juga. Buat yang demen sejarah, mungkin juga bakal tertarik karena ngelewati pabrik gula Tulangan dan Krembung yang sudah tersohor sejak zaman Belanda (ejaan lama: Toelangan, Kremboong). Pabrik inilah yang jadi cikal bakal PTPN di Jawa Timur. 


Meski nggak bisa masuk ke pabrik, kita bisa lihat tampak luar dari pabrik gula abad 19 ini. Bentuknya khas bangunan lawas yang tinggi besar dan terkesan gagah meski di beberapa bagian nampak retak dan usang digerus zaman. Di antara lautan motor dan manusia yang modern, bangunan dengan arsitektur yang jelas lawas itu menjadi kontras.


Saya lupa tepatnya di sebelah mana, tapi di jalan dekat pabrik masih tersisa rel yang dulu dilewati oleh lori. Lori adalah kereta pengangkut tebu. Gerobak-gerobak ini riuh mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diolah menjadi gula sejak lebih dari seabad lalu. Kini, rel dan lorinya sudah lama ‘pensiun’. 


Lanjut ke rute….


Selepas dari Krembung, roda bergulir ke arah Jalan Raya Trawas-Mojosari. Inilah jalan yang terhubung dengan Trawas, tapi relatif landai. Bukan berarti jalannya nggak nanjak/bertikungan, tapi mendingan lah daripada lewat jalan kecil yang, meski asik, tapi lebih curam (buat saya). Di tepi jalan raya mulai muncul gerumbul pucuk-pucuk pinus. Dari balik pepohonan tinggi ini, Gunung Welirang muncul-sembunyi bak sedang petak umpet. Udara yang mulai sejuk menembus kaos tangan dan menelusup ke kulit.


Lewat dari jalan raya dan belok kiri memasuki area Kecamatan Trawas, jalan mulai lebih naik-turun. Pas lewat sini, nggak berhenti bismillah terus sambil deg-degan karena udah lama nggak bawa motor ke daerah begini, hehe. 


Tujuan pertama kami adalah: tempat makan. Lapar, euy. Kebetulan berangkat tadi belum sarapan. Dan, ini sudah pukul setengah sepuluh. Kok lama? Karena sempat balik kucing (STNK ketinggalan, LOL) dan faktor utama ya sebab saya nyetirnya nyantai; pelan. Sambil lihat pemandangan di kiri-kanan. 



『 GARTENHUTTE 



Kami rehat di Gartenhütte, salah satu tempat makan yang menurut teman saya lagi happening. Selain konsepnya yang dibuat mirip Western barn, resto ini juga terkenal karena view-nya yang langsung menghadap terasering luas. Di akhir pekan, jangan datang mendekati jam makan siang. Rame! Jangankan bisa milih tempat duduk, dapat tempat aja nggak bisa dapat. Restonya sampai nolak-nolak pengunjung karena penuh. 


Apa kemarin setengah sepuluh udah rame? Lumayan. Meski nggak bisa dapat tempat yang view-nya strategis, tapi masih bisa milih tempat lah. 


Antrean pun bisa mengular tanpa kami sadar. Waktu pertama antre, kami berdiri nggak jauh dari ‘rumah’ tempat kasir. Eh, waktu keluar, udah panjang aja sampai hampir ke tempat makan. Padahal kami ngantre paling 10 menitan. Saat pergi ke sana lagi beberapa pekan kemudian, saya minta teman langsung antre begitu kami datang. Sementara, saya bertugas parkir kemudian. Antrean yang mengular pun kembali terulang; setelah kami pesan.


Sistem di sini adalah datang langsung antre. Antre-pesan-bayar-dapat nomor meja-pilih tempat duduk. Menunya cukup variatif dan ramah di kantung. Sekitar 10-20 ribuan aja. Heran juga saya. Biasanya resto aesthetic gini kan rate-nya paling nggak 20 ribu ke atas. Oh ya, menu itu bisa dilihat di website mereka.


Terasering yang bisa dilihat dari resto

Sepertinya belakangan ini memang tempat makan yang mengusung konsep menyajikan view estetis pedesaan makin menjamur. Kayaknya duluuu masih jarang banget yang kayak gini, di sini. Resto ya resto aja, kafe ya tempat ngopi aja. Sekarang, warung pinggir jalan pun didekor ala cottage Barat.


Di area sekitar Gartenhütte pun ada banyak resto cukup besar yang bertema mirip. Tempat-tempat makan didesain serupa barn atau bergaya rustic. Tentunya barn (lumbung padi) dan rustic ala Eropa/Barat, bukan rustic-nya Indonesia. Emang bagus, sih, gayanya. Berasa lihat rustic wedding board yang seliweran di Pinterest. Tapi, lebih simpel. 


Dan, daerah Selotapak ini kayaknya emang punya terasering cukup banyak. Pemandangannya juga cantik dan strategis sebab gunung-gunung di sekitarnya kelihatan jelas sampai puncak. Dan, kini, lanskap ini jadi daya tarik tersendiri bagi makin banyak orang.


Makanan mulai diantar satu per satu sekitar 10-15 menit kemudian. Jadi salut sama manajemennya. Padahal pengunjung lagi banyak dan lokasi duduknya nyebar pula.


Mie spesial Garten. Warna mienya macam-macam.
Saya pilih yang warna hitam gegara penasaran sama penampakannya

“Menunya masakan Barat?”

Enggak, kok. Meski namanya berbahasa Jerman (literally berarti ‘pondok taman’), menunya Indonesia banget. Kalau minumannya ya standar resto kayak biasanya. Pilihannya banyak. Kabarnya ada kopi lokal juga, tapi sayang belum sempat nyoba. 


“Gimana review Gartenhutte soal makanannya?”

Enak. Bukan yang enak banget, tapi tetap enak. Sesuai lah sama harganya. Porsinya juga pas; nggak terlalu banyak atau sedikit. Mantap/enggak rasa masakan mungkin tergantung menu. Soalnya, waktu saya pesan mie Garten, berasa enak banget di lidah dan pengin nambah. Namun, di lain kesempatan, nasi goreng merahnya hambar. Hanya asin, bumbunya kurang. (Atau beda hari, beda orang yang masak, jadi beda rasa? Entah.)


Overall camilannya biasa aja. Rasanya sama dengan camilan di pedagang-pedagang snack umumnya. Cuma, kalau bisa camilan ini segera dimakan soalnya anginnya kenceng; bikin makanan cepat dingin. Ya gimana nggak kenceng wong sekitaran langsung lembah, jadi nggak ada penghalang angin. Saran aja, kalau pesan camilan, nanti aja setelah makanan utama habis daripada dingin duluan. Kalau sambil nongkrong, nunggu snack datang 10 menitan pun jadi nggak terasa. 


Rumah pohon yang dikelilingi bambu, di belakang resto.
Suara gesekan daunnya yang ditiup angin bikin suasana makin sejuk


👉Tips buat yang nggak kuat angin:

mending tetap pakai jaket atau pilih tempat yang nggak ngadep langsung ke terasering. Ya meskipun anginnya masih kerasa, tapi nggak kenceng-kenceng banget. Khawatir nggak dapat view bagus? Jangan khawatir, kamu bisa bebas jalan-jalan ke sisi lain tanpa ganggu pengunjung yang duduk di situ, kok. Areanya cukup luas.


Kalau pengin makan dengan suasana yang lebih outdoor lagi, bisa juga piknik di tenda dome yang terletak di atas resto. Kita bisa sewa (bayar 25k kalau nggak salah) buat makan doang. Kalau mau nginap juga bisa dengan reservasi dulu. Info dari teman yang pernah kemping di sana, disediakan sleeping bag, alas/kasur tipis, dan listrik. Pun tersedia sewa alat bebakaran buat nge-grill.


Kami nongkrong di sini hingga tengah hari. Meski udah lewat dhuhur, nggak terasa panas. Iyalah lha wong di gunung, adem terusss. Anginnya semilir bikin ngantuk. 



NEXT PITSTOP(S) 


  
Mosque with a view.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat sejuta umat kalau mau istirahat dari perjalanan panjang: masjid. Selain buat shalat, tampaknya banyak orang setuju kalau ini salah satu tempat paling multifungsi: ibadah bisa, selonjoran (bahkan leyeh-leyeh sebentar) bisa, cuci muka/mandi juga bisa.


Kami berhenti di satu masjid di kampung tak jauh dari Gartenhütte. Entah apa namanya. Masjid ini tampak baru dengan dinding putih bersih yang makin kinclong diterpa matahari siang bolong. Untungnya, air yang mengalir dari kran wudhu segar banget pas kena kulit. Fresh from mata air pegunungan, kayaknya. Kontras banget dengan terik panas di luar.


Selain hawa di dalam masjid yang adem dan bikin pengin tidur, masjid yang diapit ladang jagung dan perkampungan ini punya pemandangan cantik. Di sisi kiri terlihat hijaunya Gunung Penanggungan, sedangkan di kanan perbukitan lereng Gunung Arjuno-Welirang tampak kebiru-biruan. Sayangnya pegunungan itu sedang tertutup awan. Kalau di sana cerah, wah, kiri-kanan bakal luas banget arah pandang ke pegunungan. 


Kelar shalat sekaligus istirahat di sana, motor kembali melaju. Kalau tadi kami datang dari arah barat Penanggungan, maka kali ini kami berencana pulang lewat sisi timurnya. Muter lebih jauh, dong? Iya. Namanya juga lagi jalan-jalan, hehe. Muterin lingkar Penanggungan.


Unexpected panorama: sungai kecil dan pegunungan
di pinggir jalan. Memang bukan spot wisata, tapi cantik bgt!

Kami sengaja melintas di jalan desa meski waktu tempuh jadi lebih lama. Biasanya, jalan yang begini punya lanskap lebih apik dan masih alami. Memang nggak seteratur kalau dibuat taman atau kafe, tapi ketidakteraturan itu justru bikin panorama jadi elok natural.


Ada terasering tempat bibit-bibit padi hijau pupus berjajar. Waktu noleh ke sisi jalan, eh ada sungai kecil yang airnya gemericik (meski agak hilir kemudian banyak sampah). Ada lahan kosong yang dipenuhi ilalang liar berbunga lembayung; selaras corak langit di latar belakang yang mulai senja.  Ketemu ladang ubi jalar yang tanahnya disela batu-batu hitam sebesar mobil mini. Itu batu gede banget, dari mana asalnya, ya? Aktivitas vulkanik Penanggungan zaman dulu kala atau gimana?


And many more.



WARUNG TENGAH HUTAN 

Hutan dan sungai kecil di lembah bawah

Jalan yang dilewati kali ini berbeda dengan Raya Trawas yang relatif landai. Memang di sini ada beberapa bagian yang landai, tapi ada juga sejumlah titik yang tanjakan-turunannya agak curam, plus belokan tajam. Seorang warga setempat berdiri di bahu jalan. Ia mengarahkan kendaraan agar lebih hati-hati sebab ada jurang menganga di kiri-kanan.


Sekeliling jalur dekat jurang ini memang dikelilingi hutan, jadi agak gelap tertutup rerimbunan. Hawa sore di sini, meski nggak menggigit, tetap lebih dingin karena tertutup kanopi pohon-pohon tinggi. Di tengah jalur hutan yang jauh dari kampung inilah terdapat sebuah warung.


Warung tersebut agak masuk ke pepohonan. Kalau bukan karena tulisan 'PARKIR' yang ditulis besar-besar, kayaknya saya nggak bakal ngeh kalau ada kedai gubuk di sini. Daripada sebagai tempat nongkrong, kayaknya tempat ini lebih cocok disebut rest area sederhana. Mampir ke sini pun sebenarnya waktu itu nggak terencana. 


Warung di sini beneran cuma sebiji. Itu doang. Sekelilingnya pohon pinus, jati, dan entah pohon apa lagi. Yang jelas, mereka tinggi-tinggi banget. Pohon tua mungkin, walau nggak tahu berapa umurnya. Tempat duduk di sini dari bilah-bilah bambu kasar yang ditancapkan gitu aja. Menunya? Makanan dan minuman instan.


Tapi bukan berarti di sini jelek. Kalau definisi jelek adalah nggak tertata seperti taman atau layaknya tempat makan, mungkin iya. Yang bagus di sini menurut saya yaitu suasananya yang emang ‘hutan banget’ dan gemercik kali kecil di kejauhan. Tempat ini emang sederhana, tapi buat orang yang kangen masuk hutan tapi belum kesampaian main ke hutan atau orang yang pengin tahu hutan itu kayak apa tanpa masuk terlalu jauh, lingkungan sekitar warung ini bisa jadi opsi.


  
Bunga-bunga liar di sekitar lokasi. Ki: kipait/kembang bulan/
Mexican sunflower (Tithonia diversifolia). Ka: ketul (Bidens alba).
Masih ada beberapa bunga liar lain yang cantik, tapi nggak kefoto


Setelah rehat sejenak di sini, roda motor kembali berputar. Udah makin sore dan harusnya kami udah separuh perjalanan pulang.



『 2nd AND LAST SPOT: RANU MANDURO 

  
Danau kecil dan bunga liar. Para pemuda lokal
memancing ikan di sini. Di background tampak G. Penanggungan

Sebenarnya waktu berkunjung kami ke sini kurang tepat. Kami baru sampai sekitar setengah lima. Matahari sudah miring sekali ke ufuk; langit sudah merah muda. Tapi lumayan lah masih terang.


Ada penduduk yang berjaga di jalan masuk lokasi ini. Tarifnya lima ribu per orang. Oh ya, waktu sudah masuk kampung, jalannya agak beda dengan rute Google Maps. Peta menunjuk ke kiri, sedangkan penanda lokal mengarahkan untuk lurus. Saya ngikut yang penanda lokal. (Local sign is the best!)


Ranu Manduro, meski namanya 'ranu' yang berarti danau, sebetulnya adalah lahan bekas tambang. Tambang sirtu tepatnya. Kabarnya nama 'ranu' disematkan karena lubang-lubang dalam bekas galian itu menjadi danau ketika terisi air hujan. 


Tempat inilah yang sempat terkenal banget beberapa tahun lalu. Foto-foto trio danau-gunung-hamparan rumput hijau tersebar di dunia maya. Namun, karena kami berkunjung di bulan Juli yang sudah kemarau, rumput-rumput itu sudah berubah warna jadi kuning atau abu-abu kering.


Ranu. Kemarau.


Perbedaan musim pun membuat seantero ranu memancarkan suasana lain. Entah efek cahaya merah mentari senja atau bukan, dinding-dinding berbatu terkesan lebih kaku dan gersang. Alang-alang tinggi terasa kasar saat disentuh tangan. Udara di sini memang nggak panas, malah cenderung sejuk karena sudah senja, tapi hawanya kering.


Setelah melalui jalan tanah berkerikil yang bikin ban gampang selip, kami menjumpai danau pertama. Mungkin lebih cocok disebut kolam karena ukurannya kira-kira cuma seluas separuh lapangan futsal. Beberapa pemuda lokal duduk santai di pinggirannya. Di tangan mereka tergenggam joran pancing.


Wah, ada ikannya, toh

Menilik isi bungkusan transparan yang dibawa mas-mas itu waktu mereka pulang, kayaknya emang ada. 


Kami nggak lanjut masuk lebih dalam karena khawatir kemalaman. Kalau lihat foto dan video orang-orang, kayaknya makin masuk bakal makin gede kolam-kolamnya. Lebih luas juga pandangan sampai kelihatan Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya. Tapi cukup lah kami cuci mata di sini aja. 


Pukul lima lebih kami keluar dari kawasan. Di horison sana, matahari bulat merah sudah siap menghilang. 


Langit (hampir) merah jambu



==========================================================


📑 IN SHORT 

  •  Pengeluaran (2 orang 1 motor): ±150k
    ±100k makan di Gartenhutt (lebih dari 4 menu. Buat berdua asli kenyang, bahkan bisa nyisa). Di warung ±15k. Sisanya bensin dll. 
  • Durasi: 1 hari. 2 tujuan utama. Start jam 07.00-19.00.
    Perjalanan Surabaya-Trawas kalau santai sekitar 2 jam.
  • Cek cuaca!
    Kalau pengin dapat pemandangan 'bersih' yang minim kabut, cek cuaca sebelum mutusin berangkat. Kemarau sekalipun. Setelah Juli, saya balik lagi ke Trawas dan dapat kabut + hujan deras. 
    


==========================================================




*Oh yaa, yang sempat baca postingan digital journaling di sini, separuh dari teks ini diketik via HP, lho (seneng banget akhirnya bisa nulis panjang via ponsel, nggak cuma mainan doang, wkwkw)


Reading Time: