September 2022 - Hijaubiru

Jumat, 23 September 2022

September 21, 1945
September 23, 2022 4 Comments


Mumpung masih sama-sama September. 


Pernah kenal dengan gambar di atas? Atau justru langsung pengen nangis waktu lihat gambar di atas? Waktu lihat post di atas di story salah seorang teman, rasanya saya pengin memekik, "Kok kamu tega ngingetin soal ini. Di-post pagi-pagi, lagi!" 


Gambar di atas merupakan potongan adegan dari film animasi Grave of Fireflies (Hotaru no Haka). Meski film lawas banget, film besutan Studio Ghibli ini tetap sukses bikin penontonnya menangis tersedu-sedu. Film ini ber-setting di Negeri Matahari Terbit, ketika kekaisaran itu sedang mengalami perang dunia. Tepatnya, waktu mereka sedang dibombardir balik Amerika Serikat. Film ini sebetulnya merupakan adaptasi dari cerpen semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka[1]. 


Grave of Firelies bukan bercerita soal perang itu sendiri, tapi tentang hidup-hidup rakyat biasa yang terimbas perang. Tokoh utama film ini, seorang kakak lelaki dan adik perempuannya yang masih kecil, terpaksa kehilangan orang tua dan rumah karena perang. Nggak cuma ending, sepanjang adegan di film ini semuanya bikin nyesek dan nangis. 


Kali ini, saya nggak ngomongin soal isi cerita atau review filmnya. Tulisan kali ini lebih ngebahas tentang refleksi perang buat manusia non-militer. 


Film-film bertema militer sudah lama beredar. Bahkan film action yang bukan reka ulang kejadian masa lalu, juga bejibun. Sebutlah film-film Hollywood, antara lain seri Delta Force, dsb. Yang digambarkan di film itu adalah betapa kerennya action mereka (ya emang keren, sih), betapa rasanya bangga kalau berhasil menyelesaikan misi, betapa rasanya senang karena misi sudah selesai.


Tapi, apa betul begitu rasanya perang?

Yang kita lihat di film itu adalah serdadu yang hoki; yang berhasil menyelesaikan misi dan tetap hidup. Atau malah pasukan elit yang skill-nya memang di atas rata-rata. Tapi, berapa tentara biasa yang mati dan keluarga yang kehilangan sosok ayah/anak/suami/saudara? POV penuh rasa bangga itu akan berubah signifikan bila dilihat dari kacamata warga sipil. Grave of Fireflies menyinggung hal itu dari kacamata sepasang anak kecil.


Betapa adegan perang yang terlihat gagah, diiringi musik dengan beat berdentum, berubah jadi alarm penuh tanda bahaya di mata sepasang kakak beradik yang usianya masih kurang dari 12 tahun itu. Apalagi mereka kehilangan orang tua dan rumah. Maka hal seperti kelaparan, mencari tempat tinggal, terpaksa mencuri demi bisa makan, adalah hal yang harus mereka hadapi. Dan, hal-hal ini juga terjadi betulan pada manusia di masa perang. Mungkin, malah terjadi pada leluhur atau tetangga leluhur kita, dulu. 


Lupakan sekolah dan pendidikan. Mendapatkan kebutuhan primer seperti pangan dan papan saja susahnya minta ampun. Maka pendidikan jadi salah satu barang mewah waktu itu. Tak heran zaman dulu banyak orang yang buta huruf. Buat apa? Yang penting bisa bertahan hidup dulu. (Meski dalam beberapa kondisi, tidak buta huruf bisa juga sangat menolong untuk tetap hidup. Bisa ngelamar jadi pegawai di kantor pemerintahan, misalnya.)


Dalam Grave of Fireflies, hal-hal yang lumrah dilakukan anak kecil menjadi sesuatu yang super mewah. Permen? Duh, sekaleng harus dieman-eman bener biar nggak cepat habis. Sebab, jajan mereka ya cuma itu. Anak kecil juga nggak bisa pakai baju yang lucu-lucu kayak balita zaman sekarang saat mereka keluar main sore. Sehelai baju harus betul-betul dijaga supaya nggak sobek. Nggak apa-apa warnanya sudah luntur, yang penting masih bisa terpakai. Mainan? Buku? Lupakan seri-seri mainan dan buku mahal nan edukatif zaman sekarang. Sebuah ranting, bola usang, dan lahan depan sungai sudah harus cukup jadi bahan permainan. 


Bukan cuma barang atau materi, bahkan kebersamaan pun menjadi suatukemewahan. Berbanding terbalik dengan perpisahan yang telah jadi satu hal yang umum.


Seseorang pernah berkata bahwa nasib kakak-beradik dalam film nggak akan sesusah itu kalau saja si kakak mau bekerja mencari nafkah, seperti anak-anak lain seusianya yang juga bekerja. Itu ada betulnya, sebab di zaman tersebut, anak-anak memang sudah bekerja. Bahkan ada segolongan balita yang sudah dipekerjakan. Hal itu memang menjadi miris bila dibandingkan dengan standar sekarang.


Namun, saya pribadi tetap nggak sreg bila anak-anak, apalagi di bawah usia legal, sudah harus bekerja. Dan, bekerjanya bukan sekadar buat nambah uang jajan, tapi betul-betul untuk hidup. Saya tahu bahwa hal itu merupakan sesuatu yang di masa tersebut. Bahkan harus dilakukan kalau mau tetap hidup. Tapi, apa 'sesuatu yang harus' itu selalu manusiawi? Anak-anak, bekerja?


"Kan, zaman perang. Beda, dong."

That's the exact point. Perang membuat semua yang lumrah dan normal menjadi ekstrem. Sesimpel leisurely playing menjadi satu kemewahan. Suatu kebutuhan dasar yang wajar berubah jadi satu hal yang sulit didapatkan. Hal yang normal adalah suatu hal yang tidak normal, vice versa


Perang beda dengan penggambaran di film-film. Nggak semua orang ikut merasakan kemenangan. Nggak semua pihak bisa merasakan euforia kebanggaan dan kekerenan setelah bom dilempar dan si tokoh utama melenggang macho dengan kobaran api sebagai background


Justru banyak pihak yang terdampak adalah warga sipil yang nggak tahu apa-apa, nggak ikut apa-apa, tapi kena imbasnya. Warga sipil yang simply pengin hidup biasa-biasa aja. Kisah-kisah miris yang terjadi pada kelompok rentan, apalagi. Dan kisah-kisah itu masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, meski jumlahnya menurun jauh bila dibandingkan dengan waktu PD I atau PD II.


Tapi, rasa sakit tetap rasa sakit meski yang merasakan hanya sedikit.

Kehilangan tetaplah kehilangan meski hanya terjadi pada sebagian orang.

Kita, yang alhamdulillah tidak mengalaminya, tak punya hak untuk berkata, "Halah cuma gitu doang."


Betul bahwa perang adalah masalah politik. Akan selalu ada unsur politis. Tapi itu hendaknya nggak menghalangi kita untuk berempati pada sesama. Apalagi pada manusia yang nggak tahu apa-apa tapi tetap kena imbasnya akibat pilihan politik para pentolan negara.


Karena pada akhirnya mereka hanyalah rakyat biasa.

Seperti kita.

Bila kita saja tak sanggup membayangkan hal yang sama terjadi pada kita atau keluarga atau para sahabat dan teman dekat atau tetangga, maka mari bertenggang rasa. Atau setidaknya, tak usah mencela.




==================


Yang sering muncul di kisah atau diajarkan di sekolah adalah perang 'permukaannya' aja. Kalau kita gali sedikit lebih dalam, ugh, it was more gruesome. (Apalagi kalo gali sampai dalam banget.) Sampai kadang dibikin bingung sebab semua pihak jadi abu-abu. Dan pada akhirnya berkesimpulan, "Oalah... menungso, menungso..."






Reading Time:

Jumat, 16 September 2022

Ketika Travelling Kembali, Apa yang Berganti?
September 16, 2022 4 Comments




Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula sebagian orang harus menahan diri untuk tidak bepergian tanpa keperluan yang mendesak, karena wabah. Keinginan untuk jalan-jalan tentunya bukan sesuatu yang urgen sehingga harus ditahan. Saya tahan. Selama itu pula saya nggak pergi travelling ke luar kota.


Perjalanan kereta api atau bus yang biasanya saya jabani, paling tidak enam bulan sekali, sama sekali tiada. Keinginan jalan-jalan syukurnya bisa terpuaskan dengan motoran dalam kota saja, tanpa mampir kecuali isi bensin. Jalan-jalannya pun sendirian atau hanya dengan segelintir orang yang sehari-harinya memang berkontak dengan saya.


Ketika gelombang Covid mereda akhir tahun lalu, setelah berhitung, barulah saya mulai travelling ke luar kota. Itu pun masih dengan syarat yang saya buat strict: pakai kendaraan pribadi, hanya dengan orang serumah, dan nggak pergi ke tempat yang banyak orang. Saat itu, kami hanya berhenti dua kali: untuk salat dhuhur dan makan. Sengaja kami cari resto sepi yang punya area outdoor


Alhamdulillah wabah Covid-19 sudah mereda tahun ini. Jauh, jauh lebih mereda dibanding tahun lalu. Tahu bahwa situasi sudah relatif aman (tapi tetap tidak abai), seorang sahabat memberanikan diri mengajak saya travelling luar kota dengan kendaraan umum. And, we were to stay overnight.


Setelah rundingan bikin itinerary, kami berdua sepakat untuk mbolang lagi. Kali ini dengan kereta api. Perjalanan waktu itu juga berupa open trip, yang artinya kami bakal satu mobil dengan beberapa orang yang tak kami kenal dan dari daerah lain. Apalagi, malamnya ternyata kami harus menginap. Di hostel, lagi. Bukan hotel yang lebih privat, tapi hostel yang sekamar diisi banyak orang. (Pengalaman nginap di hostel pernah saya bahas di sini)


Ternyata, dua tahun hidup dalam kondisi wabah mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan saya, termasuk dalam travelling. Mungkin style travelling juga berubah. Apa aja?



🏷️  Bawaan lebih banyak 

Saya nggak suka bawa barang terlalu banyak saat travelling. Dompet, HP, dan jaket adalah barang yang wajib dibawa. Sisanya opsional. Bermalam sehari? Tinggal tambah sehelai kaus dan deodoran. Barang lain bisa dibeli on the spot, kalau perlu. Satu tas pinggang udah cukup banget menampung semua kebutuhan.


Saat kemarin itu, saya cukup kaget karena ransel saya penuh. 'Ini cuma travelling 1D1N, lho. Kok penuh banget?' batin saya. 


Saya bongkar lagi. Ada tambahan barang rupanya. Sabun cair, hand sanitizer, setumpuk obat, buku bacaan, segepok roti, powerbank, dan charger HP. Selain sabun dan obat, barang-barang lain sebetulnya jarang atau nggak pernah saya bawa sebelumnya.


Dulu, saya nggak pernah bawa dan pakai hand sanitizer. Saya cuma pakai alkohol saat di lab, itu pun hanya sebelum/sesudah pegang sampel. Kalau mau makan atau minum ya cuci tangan biasa. Belum tentu pakai sabun dan jelas nggak cuci selama minimal 20 detik. Sekarang, mau keluar jauh atau dekat, botol mungil berisi etanol 70% selalu tersedia di saku.


Obat, selalu saya bawa. Jaga-jaga barangkali masuk angin atau mabuk darat di jalan, setidaknya bisa membantu tanpa perlu gupuh cari apotek. Buku genre fotografi saya bawa karena jalan-jalan ini sekalian hunting foto. Rencananya, itu buku bakal dibaca malam menjelang tidur. Namun, ending-nya nggak kebaca karena udah capek duluan. Zonk!


Powerbank dan charger cukup jarang saya bawa karena jarang pakai ponsel saat travelling, kecuali buka peta atau motret. Sayang, daripada utak-atik ponsel, lebih enjoy lihat dan ngamati lingkungan sekitar atau sekadar ngobrol dengan rekan seperjalanan/warga setempat. Kali ini, keduanya harus saya bawa karena ada rencana merekam video timelapse dengan ponsel yang, tentu aja, bakal ngabisin baterai. (Dan bener, dong, timelapse 10 menit langsung habis 10-15% kalau nggak salah).


Roti? Entah kesambet apa saya bawa ini. Ransum ini saya bawa buat jaga-jaga kalau di lokasi nggak ada warung yang jual makanan (tujuan kami cukup jauh dari mana-mana). Tapi kok ya bawa sebanyak itu!


Well, dua tahun tanpa travelling bikin insting light-travel  saya jadi aus rupanya. Bahkan, sobat saya pun merasakan perbedaan itu.

"Kok kamu sekarang jadi lebih ribet daripada aku?" katanya. 😄



🏷️ Lebih jaga jarak dengan orang lain 

Orang lain di sini adalah orang yang bukan rekan serombongan/orang yang nggak kami kenal. Mudahnya, orang yang kenal di jalan. Tahu lah, kalau travelling gitu kan ketemu banyak orang. Banyak yang cari travel-buddy juga. 


Mungkin ini efek physical distancing. Berusaha menjaga supaya kita nggak tertular orang lain dan kita nggak menulari orang lain. Apalagi, kalau kita (saya) datang dari kota besar menuju kota/desa yang lebih kecil. Kota/desa kecil itu tentu relatif lebih bebas wabah daripada kita (saya) yang dari kota besar. Biasanya penularan kayak gitu emang dari faktor luar, kan?


Masker terus terpasang. Di dalam kamar hostel juga tetap digunakan (meski penghuni lain copot masker). Apalagi ini kamar penghuninya bukan cuma WNI, tapi juga WNA. Dan waktu itu kasus Covid-19 dan cacar monyet di luar negeri agak naik kurvanya. Masker baru saya lepas ketika sudah masuk bilik pribadi. Di tempat terbuka pun, kami usahakan mask always on. Kecuali di tempat terbuka yang minim orang (atau, ketika mau difoto). 


Gimana jaga jaraknya? Apa nggak ngobrol sama sekali?

Oh, tentu aja tetap ngobrol. Jaga jarak nggak berarti kita judes dan ansos. Cuma jarak waktu ngobrol agak jauh aja, lebih dari jarak sopan. Apalagi kalau tempatnya sempit macam di kamar. Interaksinya ya tetap kayak dulu, sebelum wabah. 



🏷️  Skincare 

This is unexpected

Bahkan ketika hiking pun, paling pol saya cuma bawa tabir surya, sabun cuci muka, plus pelembap bibir. Itu pun biar kulit dan bibir nggak ngelupas seperti lapisan tomat setelah diblansir; kebutuhan basic yang cowok juga butuh. Itu pun, kalau lupa ya wes nggak jadi pakai, meski dibawa. 


Kemarin ini, bertambah beberapa skincare yang saya bawa. Ada kali ketambahan 2-3 botol lain. Ngapain? Ini imbas akibat setahun terakhir wajah saya rajin disambangi jerawat. Supaya doi nggak makin rajin ngapelin, jadilah terpaksa bawa beberapa krim dan obat. Apakah terpakai? Kepakai, sih, tapi nggak serutin yang seharusnya hahahah. Mana sempaaat. Lagian kalau dipikir-pikir absen sehari harusnya nggak apa-apa, kan. Kenapa waktu itu bela-belain bawa, ya? Nambah berat iya, dipakai enggak. Wkwkwk.



🏷️  Botol minum: antara termos dan zero waste 

Ini juga salah satu ke-riweuh-an waktu travelling kemarin. Bisa-bisanya kepikiran bawa dua botol minum! Tepatnya satu botol volume 1L dan satu termos kecil. Keduanya berisi air putih. Rencananya, ketika sampai di lokasi, termos itu akan saya isi kopi panas. 


Soal termos ini agak lucu (dan konyol). Saya dan sobat memang sengaja barengan bawa termos karena spot tujuan yang kami tuju memang terkenal dingin. Termos ini bakal berguna banget kalau pengin nyeruput minuman hangat. Namun, ada maksud lain juga. Saya sengaja bawa termos untuk ... properti foto.


Astaga. 


Rencananya, sih, pengin bikin shoot ala-ala adventure. Tahu lah, macam foto cangkir bushcraft dengan asap mengepul  dan latar belakang rangkaian gunung. Atau foto diri dengan separuh wajah tertutup cangkir dan background alam. One of the most mainstream travel aesthetic photos. (Tapi keren, hahaha)


Kayaknya pengaruh medsos sudah mulai merasuki kami, LOL. Padahal sebelum-sebelumnya, mana pernah kami peduli soal ginian. Living in the moment is our motto. Yang penting ada 2-3 foto diri dan barengan. Peduli amat itu foto aesthetic atau enggak.


Jadi apakah foto itu berhasil diambil?

Enggak! 😅 We were too immersed in the moment to care about those flasks. Pemandangannya terlalu cantik sampai kami lupa kalau bela-belain bawa termos. Astaga (lagi) ....


Gimana dengan nasib botol 1L-nya? Oh, jelas terpakai. Meski akhirnya tetap beli minum lagi karena mana cukup air putih satu liter buat dua hari.


Inspirasi bawa botol itu datang setelah beberapa saat ngikuti tulisan soal wisata minim sampah a.k.a zero waste adventure. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya nggak pernah bawa botol minum (selain kalau hiking) adalah kita dengan gampangnya bisa beli air mineral botolan. Toh, saya selalu butuh lebih dari satu botol sehingga percuma juga bawa botol sendiri karena ending-nya pasti beli juga.


Namun, setelah dipikir-pikir ulang, kayaknya nggak ada ruginya kalau dicoba dulu, toh? Beberapa kali travelling kecil-kecilan ke tempat yang dekat, kebetulan menyempatkan bawa botol kecil. Lumayan jadi nggak perlu berhenti buat cari minum. Karena 'percobaan kecil' itu berhasil, maka kali ini saya coba aplikasikan ke perjalanan yang agak panjang.


Memang, sih, 1L itu kurang. Dan bila kita melancong berhari-hari, pasti ada barang yang kita beli dan sampah yang kita hasilkan. Sampah wisatawan adalah salah satu faktor penting yang nggak semua daerah wisata bisa menyelesaikan. Kejauhan kalau saya ngomongin soal zero waste trip karena toh saya belum bisa aplikasikan menyeluruh. Bahkan mungkin ada yang mikir, "Cuma ngurangin satu botol/satu lembar bungkus doang, apa efeknya?" Meski bakal ada juga yang menyanggah, "Satu botol/lembar kalau banyak orang, bisa jadi setumpukan juga." Again, kejauhan emang, karena zero waste trip ini selain butuh akal dan perencanaan juga butuh modal. Cuma, mungkin berawal dari penasaran, lama-lama beneran bisa? Meski lama. Who knows ....




Hm ... apa lagi, ya? Kayaknya masih ada satu hal lagi, soal kereta. Tapi rasanya masih kabur dan hablur sampai saya juga nggak bisa pegang benang utamanya. Nanti, deh, ditambahin kalau udah jelas, hehe. 


Yang jelas adalah ada kemungkinan kebiasaan-kebiasaan baru ini yang akan terus terbawa dan memang ingin saya bawa. Lebih peduli soal kebersihan (tangan terutama), misalnya. Yang jelas, ketambahan barang bawaan yang nggak perlu bukan salah satunya, haha.


Yah, pandemi global eemang mengubah segalanya. Tanpa pandemi pun perubahan gaya hidup akan tetap terjadi, meski mungkin lebih lambat dan nggak drastis. Memilah mana perubahan yang baik diteruskan dan layak ditinggalkan, itu tergantung kitanya.



Reading Time: