Hijaubiru

Senin, 29 Agustus 2022

Trawas Tipis-Tipis
Agustus 29, 2022 2 Comments

 We can let July just be July 

Let the sun hang in the sky 

Clear your mind of all the things you’re waiting on 

- July (Later On), Lily Williams 


Juli lalu pas banget lagi butuh ‘clear my mind’. Salah satunya dengan cara… yes, you guess it right, jalan-jalan! Buat saya, jalan-jalan nggak harus travelling yang jauh banget atau berhari-hari. Kalau kerja/sekolah kan susah yak cari libur. Jadi, cari yang dekat (atau lumayan dekat) aja. 


Gimana kalau pengin wisata alam, tapi tinggal di perkotaan yang jauh dari gunung-sawah-dkk? Surabaya misalnya. Buat yang tinggal di Kota Pahlawan dan sekitarnya, wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Pasuruan, Mojokerto, dkk, biasa jadi opsi liburan. Sejak dulu kala~


“Gimana kalau cuma punya waktu libur sehari, apa keburu? Apalagi kalau pengin jalan-jalan yang low budget.”


Bisa aja; tergantung lokasi tujuan, berapa lokasi tujuan, dan makan apa. Ada daerah-daerah yang banyak menyajikan wisata dan tempat makan low budget. Atau bisa pakai trik ini: minimalkan tujuan. Satu-dua aja cukup. Dan, jadikan perjalanan ke tujuan juga sebagai travelling. Cuci mata gitu lah. Kalau ke area pegunungan, pemandangan pinggir jalan pun biasanya udah oke punya.


Waktu itu, karena cuma punya waktu satu hari dan nggak bisa jauh-jauh, saya memilih jalan ke Trawas dan cangkruk santai di sana. Kalau nanti ada sisa waktu mungkin bisa lah main ke tempat lain yang masih berlokasi di Kab. Mojokerto itu. Motor jadi pilihan transportasi (karena bisanya ya itu, haha).   


Motor juga jadi salah satu alasan milih main ke Trawas. Udah agak lama nggak nyetir di tempat berbukit-bukit dan agak jauh bikin saya rada nggak PD. Paling enggak, jalan ke Trawas bisa ditempuh lewat rute yang agak landai. Jaraknya pun nggak terlalu jauh; sekitar dua jam motoran santai.


💡Jadi buat orang yang jarang nyetir jauh atau berkendara ke daerah bergunung-gunung (kayak saya, hehe), kira-kira nggak begitu berat dan nggak kaget medan lah.


Kami berangkat pukul tujuh dari arah Surabaya. Agak siang sebenarnya, karena udara jalanan lebih segar (standar perkotaan, ya) kalau berangkat agak pagi. Berboncengan kami jalan terus lewat Ahmad Yani membelah Sidoarjo yang tumben-tumbenan nggak macet. 


Perjalanan menuju Trawas dari arah Surabaya sebenarnya bisa dicapai lewat tol. Namun karena kami pakai sepeda motor, jadi lewat jalan biasa. Lewat jalan raya ini pun bisa lebih cepat bila melintas via Porong. Jalannya juga tinggal lurus aja. Cuma karena saya cari rute yang lebih sepi (thus, bisa lebih cepet ketemu ijonya sawah dan kebun), saya berbelok dan mencapainya lewat Tulangan, lalu tembus Krembung.



『 TOELANGAN DAN KREMBOON

“Bukannya itu jalannya rame?”

Iya, di beberapa titik. Paling enggak relatif lebih nggak padat daripada jalur Porong. Bisa lewat kebun tebu dan desa yang masih asri juga. Buat yang demen sejarah, mungkin juga bakal tertarik karena ngelewati pabrik gula Tulangan dan Krembung yang sudah tersohor sejak zaman Belanda (ejaan lama: Toelangan, Kremboong). Pabrik inilah yang jadi cikal bakal PTPN di Jawa Timur. 


Meski nggak bisa masuk ke pabrik, kita bisa lihat tampak luar dari pabrik gula abad 19 ini. Bentuknya khas bangunan lawas yang tinggi besar dan terkesan gagah meski di beberapa bagian nampak retak dan usang digerus zaman. Di antara lautan motor dan manusia yang modern, bangunan dengan arsitektur yang jelas lawas itu menjadi kontras.


Saya lupa tepatnya di sebelah mana, tapi di jalan dekat pabrik masih tersisa rel yang dulu dilewati oleh lori. Lori adalah kereta pengangkut tebu. Gerobak-gerobak ini riuh mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diolah menjadi gula sejak lebih dari seabad lalu. Kini, rel dan lorinya sudah lama ‘pensiun’. 


Lanjut ke rute….


Selepas dari Krembung, roda bergulir ke arah Jalan Raya Trawas-Mojosari. Inilah jalan yang terhubung dengan Trawas, tapi relatif landai. Bukan berarti jalannya nggak nanjak/bertikungan, tapi mendingan lah daripada lewat jalan kecil yang, meski asik, tapi lebih curam (buat saya). Di tepi jalan raya mulai muncul gerumbul pucuk-pucuk pinus. Dari balik pepohonan tinggi ini, Gunung Welirang muncul-sembunyi bak sedang petak umpet. Udara yang mulai sejuk menembus kaos tangan dan menelusup ke kulit.


Lewat dari jalan raya dan belok kiri memasuki area Kecamatan Trawas, jalan mulai lebih naik-turun. Pas lewat sini, nggak berhenti bismillah terus sambil deg-degan karena udah lama nggak bawa motor ke daerah begini, hehe. 


Tujuan pertama kami adalah: tempat makan. Lapar, euy. Kebetulan berangkat tadi belum sarapan. Dan, ini sudah pukul setengah sepuluh. Kok lama? Karena sempat balik kucing (STNK ketinggalan, LOL) dan faktor utama ya sebab saya nyetirnya nyantai; pelan. Sambil lihat pemandangan di kiri-kanan. 



『 GARTENHUTTE 



Kami rehat di Gartenhütte, salah satu tempat makan yang menurut teman saya lagi happening. Selain konsepnya yang dibuat mirip Western barn, resto ini juga terkenal karena view-nya yang langsung menghadap terasering luas. Di akhir pekan, jangan datang mendekati jam makan siang. Rame! Jangankan bisa milih tempat duduk, dapat tempat aja nggak bisa dapat. Restonya sampai nolak-nolak pengunjung karena penuh. 


Apa kemarin setengah sepuluh udah rame? Lumayan. Meski nggak bisa dapat tempat yang view-nya strategis, tapi masih bisa milih tempat lah. 


Antrean pun bisa mengular tanpa kami sadar. Waktu pertama antre, kami berdiri nggak jauh dari ‘rumah’ tempat kasir. Eh, waktu keluar, udah panjang aja sampai hampir ke tempat makan. Padahal kami ngantre paling 10 menitan. Saat pergi ke sana lagi beberapa pekan kemudian, saya minta teman langsung antre begitu kami datang. Sementara, saya bertugas parkir kemudian. Antrean yang mengular pun kembali terulang; setelah kami pesan.


Sistem di sini adalah datang langsung antre. Antre-pesan-bayar-dapat nomor meja-pilih tempat duduk. Menunya cukup variatif dan ramah di kantung. Sekitar 10-20 ribuan aja. Heran juga saya. Biasanya resto aesthetic gini kan rate-nya paling nggak 20 ribu ke atas. Oh ya, menu itu bisa dilihat di website mereka.


Terasering yang bisa dilihat dari resto

Sepertinya belakangan ini memang tempat makan yang mengusung konsep menyajikan view estetis pedesaan makin menjamur. Kayaknya duluuu masih jarang banget yang kayak gini, di sini. Resto ya resto aja, kafe ya tempat ngopi aja. Sekarang, warung pinggir jalan pun didekor ala cottage Barat.


Di area sekitar Gartenhütte pun ada banyak resto cukup besar yang bertema mirip. Tempat-tempat makan didesain serupa barn atau bergaya rustic. Tentunya barn (lumbung padi) dan rustic ala Eropa/Barat, bukan rustic-nya Indonesia. Emang bagus, sih, gayanya. Berasa lihat rustic wedding board yang seliweran di Pinterest. Tapi, lebih simpel. 


Dan, daerah Selotapak ini kayaknya emang punya terasering cukup banyak. Pemandangannya juga cantik dan strategis sebab gunung-gunung di sekitarnya kelihatan jelas sampai puncak. Dan, kini, lanskap ini jadi daya tarik tersendiri bagi makin banyak orang.


Makanan mulai diantar satu per satu sekitar 10-15 menit kemudian. Jadi salut sama manajemennya. Padahal pengunjung lagi banyak dan lokasi duduknya nyebar pula.


Mie spesial Garten. Warna mienya macam-macam.
Saya pilih yang warna hitam gegara penasaran sama penampakannya

“Menunya masakan Barat?”

Enggak, kok. Meski namanya berbahasa Jerman (literally berarti ‘pondok taman’), menunya Indonesia banget. Kalau minumannya ya standar resto kayak biasanya. Pilihannya banyak. Kabarnya ada kopi lokal juga, tapi sayang belum sempat nyoba. 


“Gimana review Gartenhutte soal makanannya?”

Enak. Bukan yang enak banget, tapi tetap enak. Sesuai lah sama harganya. Porsinya juga pas; nggak terlalu banyak atau sedikit. Mantap/enggak rasa masakan mungkin tergantung menu. Soalnya, waktu saya pesan mie Garten, berasa enak banget di lidah dan pengin nambah. Namun, di lain kesempatan, nasi goreng merahnya hambar. Hanya asin, bumbunya kurang. (Atau beda hari, beda orang yang masak, jadi beda rasa? Entah.)


Overall camilannya biasa aja. Rasanya sama dengan camilan di pedagang-pedagang snack umumnya. Cuma, kalau bisa camilan ini segera dimakan soalnya anginnya kenceng; bikin makanan cepat dingin. Ya gimana nggak kenceng wong sekitaran langsung lembah, jadi nggak ada penghalang angin. Saran aja, kalau pesan camilan, nanti aja setelah makanan utama habis daripada dingin duluan. Kalau sambil nongkrong, nunggu snack datang 10 menitan pun jadi nggak terasa. 


Rumah pohon yang dikelilingi bambu, di belakang resto.
Suara gesekan daunnya yang ditiup angin bikin suasana makin sejuk


👉Tips buat yang nggak kuat angin:

mending tetap pakai jaket atau pilih tempat yang nggak ngadep langsung ke terasering. Ya meskipun anginnya masih kerasa, tapi nggak kenceng-kenceng banget. Khawatir nggak dapat view bagus? Jangan khawatir, kamu bisa bebas jalan-jalan ke sisi lain tanpa ganggu pengunjung yang duduk di situ, kok. Areanya cukup luas.


Kalau pengin makan dengan suasana yang lebih outdoor lagi, bisa juga piknik di tenda dome yang terletak di atas resto. Kita bisa sewa (bayar 25k kalau nggak salah) buat makan doang. Kalau mau nginap juga bisa dengan reservasi dulu. Info dari teman yang pernah kemping di sana, disediakan sleeping bag, alas/kasur tipis, dan listrik. Pun tersedia sewa alat bebakaran buat nge-grill.


Kami nongkrong di sini hingga tengah hari. Meski udah lewat dhuhur, nggak terasa panas. Iyalah lha wong di gunung, adem terusss. Anginnya semilir bikin ngantuk. 



NEXT PITSTOP(S) 


  
Mosque with a view.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat sejuta umat kalau mau istirahat dari perjalanan panjang: masjid. Selain buat shalat, tampaknya banyak orang setuju kalau ini salah satu tempat paling multifungsi: ibadah bisa, selonjoran (bahkan leyeh-leyeh sebentar) bisa, cuci muka/mandi juga bisa.


Kami berhenti di satu masjid di kampung tak jauh dari Gartenhütte. Entah apa namanya. Masjid ini tampak baru dengan dinding putih bersih yang makin kinclong diterpa matahari siang bolong. Untungnya, air yang mengalir dari kran wudhu segar banget pas kena kulit. Fresh from mata air pegunungan, kayaknya. Kontras banget dengan terik panas di luar.


Selain hawa di dalam masjid yang adem dan bikin pengin tidur, masjid yang diapit ladang jagung dan perkampungan ini punya pemandangan cantik. Di sisi kiri terlihat hijaunya Gunung Penanggungan, sedangkan di kanan perbukitan lereng Gunung Arjuno-Welirang tampak kebiru-biruan. Sayangnya pegunungan itu sedang tertutup awan. Kalau di sana cerah, wah, kiri-kanan bakal luas banget arah pandang ke pegunungan. 


Kelar shalat sekaligus istirahat di sana, motor kembali melaju. Kalau tadi kami datang dari arah barat Penanggungan, maka kali ini kami berencana pulang lewat sisi timurnya. Muter lebih jauh, dong? Iya. Namanya juga lagi jalan-jalan, hehe. Muterin lingkar Penanggungan.


Unexpected panorama: sungai kecil dan pegunungan
di pinggir jalan. Memang bukan spot wisata, tapi cantik bgt!

Kami sengaja melintas di jalan desa meski waktu tempuh jadi lebih lama. Biasanya, jalan yang begini punya lanskap lebih apik dan masih alami. Memang nggak seteratur kalau dibuat taman atau kafe, tapi ketidakteraturan itu justru bikin panorama jadi elok natural.


Ada terasering tempat bibit-bibit padi hijau pupus berjajar. Waktu noleh ke sisi jalan, eh ada sungai kecil yang airnya gemericik (meski agak hilir kemudian banyak sampah). Ada lahan kosong yang dipenuhi ilalang liar berbunga lembayung; selaras corak langit di latar belakang yang mulai senja.  Ketemu ladang ubi jalar yang tanahnya disela batu-batu hitam sebesar mobil mini. Itu batu gede banget, dari mana asalnya, ya? Aktivitas vulkanik Penanggungan zaman dulu kala atau gimana?


And many more.



WARUNG TENGAH HUTAN 

Hutan dan sungai kecil di lembah bawah

Jalan yang dilewati kali ini berbeda dengan Raya Trawas yang relatif landai. Memang di sini ada beberapa bagian yang landai, tapi ada juga sejumlah titik yang tanjakan-turunannya agak curam, plus belokan tajam. Seorang warga setempat berdiri di bahu jalan. Ia mengarahkan kendaraan agar lebih hati-hati sebab ada jurang menganga di kiri-kanan.


Sekeliling jalur dekat jurang ini memang dikelilingi hutan, jadi agak gelap tertutup rerimbunan. Hawa sore di sini, meski nggak menggigit, tetap lebih dingin karena tertutup kanopi pohon-pohon tinggi. Di tengah jalur hutan yang jauh dari kampung inilah terdapat sebuah warung.


Warung tersebut agak masuk ke pepohonan. Kalau bukan karena tulisan 'PARKIR' yang ditulis besar-besar, kayaknya saya nggak bakal ngeh kalau ada kedai gubuk di sini. Daripada sebagai tempat nongkrong, kayaknya tempat ini lebih cocok disebut rest area sederhana. Mampir ke sini pun sebenarnya waktu itu nggak terencana. 


Warung di sini beneran cuma sebiji. Itu doang. Sekelilingnya pohon pinus, jati, dan entah pohon apa lagi. Yang jelas, mereka tinggi-tinggi banget. Pohon tua mungkin, walau nggak tahu berapa umurnya. Tempat duduk di sini dari bilah-bilah bambu kasar yang ditancapkan gitu aja. Menunya? Makanan dan minuman instan.


Tapi bukan berarti di sini jelek. Kalau definisi jelek adalah nggak tertata seperti taman atau layaknya tempat makan, mungkin iya. Yang bagus di sini menurut saya yaitu suasananya yang emang ‘hutan banget’ dan gemercik kali kecil di kejauhan. Tempat ini emang sederhana, tapi buat orang yang kangen masuk hutan tapi belum kesampaian main ke hutan atau orang yang pengin tahu hutan itu kayak apa tanpa masuk terlalu jauh, lingkungan sekitar warung ini bisa jadi opsi.


  
Bunga-bunga liar di sekitar lokasi. Ki: kipait/kembang bulan/
Mexican sunflower (Tithonia diversifolia). Ka: ketul (Bidens alba).
Masih ada beberapa bunga liar lain yang cantik, tapi nggak kefoto


Setelah rehat sejenak di sini, roda motor kembali berputar. Udah makin sore dan harusnya kami udah separuh perjalanan pulang.



『 2nd AND LAST SPOT: RANU MANDURO 

  
Danau kecil dan bunga liar. Para pemuda lokal
memancing ikan di sini. Di background tampak G. Penanggungan

Sebenarnya waktu berkunjung kami ke sini kurang tepat. Kami baru sampai sekitar setengah lima. Matahari sudah miring sekali ke ufuk; langit sudah merah muda. Tapi lumayan lah masih terang.


Ada penduduk yang berjaga di jalan masuk lokasi ini. Tarifnya lima ribu per orang. Oh ya, waktu sudah masuk kampung, jalannya agak beda dengan rute Google Maps. Peta menunjuk ke kiri, sedangkan penanda lokal mengarahkan untuk lurus. Saya ngikut yang penanda lokal. (Local sign is the best!)


Ranu Manduro, meski namanya 'ranu' yang berarti danau, sebetulnya adalah lahan bekas tambang. Tambang sirtu tepatnya. Kabarnya nama 'ranu' disematkan karena lubang-lubang dalam bekas galian itu menjadi danau ketika terisi air hujan. 


Tempat inilah yang sempat terkenal banget beberapa tahun lalu. Foto-foto trio danau-gunung-hamparan rumput hijau tersebar di dunia maya. Namun, karena kami berkunjung di bulan Juli yang sudah kemarau, rumput-rumput itu sudah berubah warna jadi kuning atau abu-abu kering.


Ranu. Kemarau.


Perbedaan musim pun membuat seantero ranu memancarkan suasana lain. Entah efek cahaya merah mentari senja atau bukan, dinding-dinding berbatu terkesan lebih kaku dan gersang. Alang-alang tinggi terasa kasar saat disentuh tangan. Udara di sini memang nggak panas, malah cenderung sejuk karena sudah senja, tapi hawanya kering.


Setelah melalui jalan tanah berkerikil yang bikin ban gampang selip, kami menjumpai danau pertama. Mungkin lebih cocok disebut kolam karena ukurannya kira-kira cuma seluas separuh lapangan futsal. Beberapa pemuda lokal duduk santai di pinggirannya. Di tangan mereka tergenggam joran pancing.


Wah, ada ikannya, toh

Menilik isi bungkusan transparan yang dibawa mas-mas itu waktu mereka pulang, kayaknya emang ada. 


Kami nggak lanjut masuk lebih dalam karena khawatir kemalaman. Kalau lihat foto dan video orang-orang, kayaknya makin masuk bakal makin gede kolam-kolamnya. Lebih luas juga pandangan sampai kelihatan Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya. Tapi cukup lah kami cuci mata di sini aja. 


Pukul lima lebih kami keluar dari kawasan. Di horison sana, matahari bulat merah sudah siap menghilang. 


Langit (hampir) merah jambu



==========================================================


📑 IN SHORT 

  •  Pengeluaran (2 orang 1 motor): ±150k
    ±100k makan di Gartenhutt (lebih dari 4 menu. Buat berdua asli kenyang, bahkan bisa nyisa). Di warung ±15k. Sisanya bensin dll. 
  • Durasi: 1 hari. 2 tujuan utama. Start jam 07.00-19.00.
    Perjalanan Surabaya-Trawas kalau santai sekitar 2 jam.
  • Cek cuaca!
    Kalau pengin dapat pemandangan 'bersih' yang minim kabut, cek cuaca sebelum mutusin berangkat. Kemarau sekalipun. Setelah Juli, saya balik lagi ke Trawas dan dapat kabut + hujan deras. 
    


==========================================================




*Oh yaa, yang sempat baca postingan digital journaling di sini, separuh dari teks ini diketik via HP, lho (seneng banget akhirnya bisa nulis panjang via ponsel, nggak cuma mainan doang, wkwkw)


Reading Time:

Jumat, 19 Agustus 2022

Photograph
Agustus 19, 20220 Comments

 I realised something when I post a photograph on my social media, today. Several people gave it likes. The number of people was more than the usual. How so?


The picture was the answer. It was not very good from a photography perspective, but the object was quite majestic. And, it was one of few good photos I took in that location. 


In short, I chose one of the best picture. It was chosen from tons of shots I took. Those good shots were only one-tenth of the total. What about the rest? A real mess.


So what's the point?

My point was people always like something at the peak point. If I were to release a less beautiful photo, the likes wouldn't skyrocket that much.


The same thing happened with life: we, people, love it when it looks good. Either from the perspective of the society or ourselves. Everybody loves an amazing result, a success story, and so on. But how many also loves the failures, the bleeding work that didn't bear fruit? Those failures story that stayed a failure, not a successful ones. Like those messy, blurry, noisy pictures I took. Well, I don't even like them and I was the one who created them.


"Everyone loves a highlight reel but not the behind-the-scenes."

(It actually is 'don't compare your behind-the-scenes with someone else's highlight reel')


That was the blinds of life (pun intended, LOL), I suppose.


But there was another 'blind spot' I realised later.

In fact, I don't think that particular picture was beautiful. It was cropped, kinda blurry, and I couldn't put my finger on its light adjustment. I just thought, "I want to post a landscape pic today and this is just a story so it will disappear in 24h and won't 'dirty' my feed so let's get on with it."


I considered the picture was rather ... unsatisfactory.


The boom was that people actually liked it. Me? Not so much.


Maybe I took it too far by saying this and it shouldn't be this deep, but: sometimes what we think as bad thing or not a standard might be actually good than what we think of them. Perhaps we were just too perfectionist. Maybe we were just too hard on ourselves. Selling ourselves short. I don't know.


Maybe?

Reading Time:

Sabtu, 30 Juli 2022

Digital Journaling
Juli 30, 20220 Comments


Saya nggak pernah pengin banget sepenuhnya nulis atau journaling di laptop atau ponsel. Pertama, karena menurut saya kurang asyik dibanding journaling di buku biasa. Kedua, karena saya pernah nyoba dan berakhir lebih banyak menghabiskan waktu menghias dan menata gambar daripada menulisnya. Utak-atik software editing gambar ternyata butuh skill tersendiri yang saya belum mumpuni, huft....


Namun, pandangan itu berubah pekan ini. Saya juga nggak nyangka. Mana berubahnya berasa ngebalik tangan: berubah gitu aja! Dan, nggak butuh waktu lama.


Ceritanya weekend lalu saya jalan ke toko buku. Eh, kok, hati ini tergerak waktu membaca satu demi satu blurb di sampul belakang novel.

"Kayaknya ceritanya bakal gini-gitu, deh",

"Harusnya dia nggak usah bingung, tinggal gini-gitu aja",

"Eh, kutipannya cantik. Tapi gimana kalau interpretasi kejadiannya jadi gini-gitu aja."

Dan seterusnya. (Toko buku dan perpus emang tempat ajaib buat membangkitkan imajinasi, yak, hehe). Akhirnya, 'gini-gitu' tadi saya ketik di aplikasi notes bawaan ponsel. Tapi... kok beberapa ada yang panjang banget, ya, sampai dua paragraf. Apa nggak sebaiknya ditulis di buku khusus aja?


Sebenarnya saya punya buku khusus 'nulis'. Cuma, nggak tahu, deh, akhir-akhir ini jarang banget saya tulisi. Plus, harus saya akui, belakangan saya emang lebih akrab pegang HP daripada buku/laptop. Padahal, saya kurang suka nyatat ide ataupun nulis panjang di HP karena tampilannya kurang menarik ("Lho kan di laptop juga gitu-gitu aja?" Iya, sih, tapi vibes-nya berasa lebih cocok aja buat nulis panjang). Akhirnya, beberapa 'tabungan ide' pun lolos begitu aja.


Ada, sih, yang tercatat. Tapi itu pun jarang dibuka karena tertimbun bersama dengan daftar belanjaan, to-do-list, dan catatan-catatan lainnya, hehe.


Namun, kalau ingat kejadian di toko buku tadi, apa nggak sayang? Apalagi kalau ngelihat frekuensi penggunaan, kok kayaknya bakal lebih efektif kalau diketik dulu di ponsel, ya? Biarin, deh, kalimatnya acakadul, superpendek, atau nggak nyambung sama sekali. Nanti, kan, bisa 'dijahit' jadi satu tulisan utuh. Daripada kelewat gitu aja dan pegang HP cuma buat main medsos/games doang....


Tapi, pakai apps apa? Rata-rata aplikasi notes/diary/journaling yang pernah saya temui pun tampilannya mirip-mirip. Dan, satu ini yang nggak pernah saya temui padahal cukup penting kalau journaling di buku: bisa nempel stiker atau foto di sembarang tempat; nggak cuma sejajar baris teks. Ada, sih, yang bisa begini tapi biasanya apps editing gambar macam Ca*va dkk.  Padahal, saya pengin apps yang lebih fokus di teks biar ya itu tadi: lebih lama nulisnya daripada menghiasnya.


Awalnya saya skeptis bisa nemu. 'Kalau nggak ada, ya udah, deh, rutinin nulis di buku aja'. 


Setelah scrolling beberapa saat dan nyoba beberapa apps, saya nemu satu aplikasi yang cukup memenuhi keinginan. Tampilannya artsy, sheet 'kertasnya' bisa diganti warna-warni, dan yang terpenting: ada stiker free yang bisa ditempel di mana pun. Yesss! Alhamdulillah.... 


Contoh hasil digital journaling menggunakan aplikasi ponsel


Nama aplikasinya: My Diary

Selain punya fitur stiker, dia juga bisa gonta-ganti font dan warna teks. Suka banget karena ada font tipe handwriting yang bikin jadi kayak tulisan tangan. Ada bullets and numbering-nya juga. Pun meski nggak bisa bikin folder untuk mengumpulkan tulisan yang sejenis, dia punya fitur tags.


Yang paling saya suka adalah tampilan aplikasinya yang nyeni dan warna-warni; beda dari apps sejenis pada umumnya. Sheet 'kertas' pun bisa digonta-ganti. Tersedia beberapa gradasi warna dan ilustrasi. Tampilan antarmukanya (home) juga bisa diubah, jadi nggak monoton gitu aja. 


Buat journaling digitalfiturnya lumayan lengkap. Warna teks, font teks, spasi, bullets-numbering, semua bisa diatur. Tampilannya juga warna-warni tapi nggak mencolok gitu. Berasa ada temanya. Apps ini juga bisa diberi password supaya nggak bisa dibuka sembarang orang yang kebetulan pinjam HP kita. Dan, kalau kita suka nulisnya pindah-pindah antara ponsel-laptop, notes di sini bisa dikonversi ke txt dan PDF. Jadi bisa dilanjut nulis di laptop, deh.


Selain fasilitas di atas, ada juga fitur lain yang nggak begitu saya butuhkan tapi tetap menarik. Antara lain mood tracker, badge untuk beberapa accomplishments, dan template yang bisa bantu kita kalau buntu mau nulis apa. Apa lagi pengin nulis gratitude journal, travel journal, dsb. Kita juga bisa nambahin template yang kita pengin susun sendiri. Buat yang pengin ngerutinin nulis, ada juga fitur tracker yang menandai hari apa aja kita nulis di apps ini.


Namun, nggak semua fitur ini bisa diakses oleh pengguna free. Fitur-fitur macam lebih banyak stiker, lebih banyak ilustrasi sheet, bentuk-bentuk bullets and numbering lucu hanya bisa digunakan di fitur berbayar. Yah, fitur yang lebih nyeni gitu lah. Beberapa fitur sederhana seperti bold-italic-underline-highlight juga berbayar. Mood tracker dan konversi ke PDF juga sama, keduanya hanya bisa diakses oleh pengguna yang upgrade ke versi pro.


Sayang juga, sih. Namun, setelah nyoba pakai aplikasi ini, stiker yang terbatas itu juga udah cukup banyak, kok. Dan, ternyata, ada stiker yang bisa diakses kalau sudah punya accomplishment badge tertentu. Tanpa fitur bold-italic-underline-highlight ternyata juga udah cukup, bisa diakali dengan main capslock. Pun keterbatasan pengaturan warna, font, dan ukuran teks yang seragam di satu sheet ternyata nggak terlalu mengganggu. Nggak bisa ngubah ke PDF? Masih bisa ngubah ke txt. Kalau tulisan panjang yang mau dilanjut ke laptop, kan, biasanya cuma butuh teksnya aja. So, so far, no problemo. 


Namun, kalau pengin digital journaling-nya lebih asyik, emang lebih baik kalau upgrade ke versi pro. Kelihatan lebih bebas berkreasi gitu. 


Jadi, mari lihat apa saya bisa istikomah nulis setelah dimudahkan dengan digital journal atau ini bakal ber-ending sama dengan manual journal yang saya isi angin-anginan, wkwkw. 

Reading Time:

Jumat, 29 Juli 2022

Resep Asupan Pascabegadang
Juli 29, 20220 Comments

Siapa yang pernah nggak tidur sampai pagi tapi esok hari harus tetap terjaga atau beraktivitas? Biasanya night owl, penghobi nulis, atau mahasiswa nugas suka begini, nih, hehe. Dengan kata lain, kita nggak ada waktu buat tidur setidaknya hingga siang. Kalau sudah gitu, biasanya orang bakal menenggak kopi supaya tetap melek. Tapi gimana dengan orang yang nggak biasa minum kopi? Atau yang minum kopi aja udah nggak kuat?


Beberapa hari yang lalu, saya juga begadang sampai pagi. Paginya, baru kerasa, deh, efeknya, haha. Pengin minum kopi aja biar nggak ngantuk, tapi karena masih pagi jadi takut lambung nggak kuat. Agak lunglai pula gara-gara semalam nggak tidur meski sempat goleran. Kalau udah ditambah lemas gini, manalah mungkin minum kopi. Namun, kemudian, saya nemu menu sarapan yang cukup membantu. 


Apa itu?

Kombo protein + (gula) fruktosa + kafein. Bisa ditambah serat atau lemak biar lebih kenyang. 


DISCLAIMER: menu ini bisa aja nggak cocok untuk orang lain karena kondisi tiap orang beda-beda. Apalagi kalau memang punya penyakit tertentu, lebih lagi kalau penyakitnya memang akut (misal maag akut). Kalau seperti itu, please jangan dicoba. Langsung konsul aja ke tenaga medis daripada coba-coba tapi nanti kenapa-kenapa. Apalagi kalau mudah lelah atau nggak biasa begadang, jangan jadi nyobain begadang juga, ya! 


MAKAN: 

  • Telur (2)   ---> protein
  • Sosis (2)   ---> protein
  • Selada (3 lembar kecil)   ---> serat
  • Tomat kecil (1/2 butir)   ---> serat


MINUM (1 mug tinggi), campuran dari:

  • pisang (besar, 1 buah) ---> fruktosa || Bisa 2 buah kalau mau lebih kental atau lebih kenyang. Kalau pisangnya kecil (misal: pisang susu), bisa lebih dari 1
  • kopi hitam (1 sdt) ---> kafein || encerkan dalam segelas kecil air panas. Tunggu mengendap, ambil airnya.
  • susu bubuk, bisa vanila atau coklat. Kemarin pakai keduanya supaya rasa pisang dan kopinya lebih campur. Nggak tahu betul atau enggak, ya, rasa-rasanya pisang lebih bisa nge-blend dengan rasa vanila, sedangkan pahitnya kopi bisa lebih tersamarkan oleh rasa coklat. 
  • air es + air biasa 1:1. Pakai air es biar agak segar. Kalau enggak juga nggak apa-apa. 
  • blender keempatnya. 


(Kalau dipikir-pikir, kok rada mirip cure-nya orang hangover, ya....)


Lemas setelah begadang adalah pertanda tubuh kekurangan energi, selain karena kurang istirahat. Artinya, kita harus segera makan supaya kebutuhan nutrisi dan energi terpenuhi. Namun, karena udah lemas, gizi yang masuk sebaiknya dari golongan yang cepat 'dipecah' tubuh jadi energi supaya lemasnya hilang.


Gula fruktosa bisa cepat 'dipecah' tubuh jadi energi, sedangkan kafein biar tetap melek. Kalau protein, entahlah apa fungsi tepatnya, tapi buat saya bisa bikin nggak begitu lemas dan lebih fokus. Sebagai zat pembangun, mungkin fungsinya buat asupan otot-otak atau sebagai zat selanjutnya yang 'dibongkar' jadi energi ketika fruktosanya udah habis terpakai? Kalau serat ya biar kenyangnya lebih lama aja, plus buat buat sumber vitamin meski sedikit. 


Gula fruktosa itu apa, sih?

'Gula' di sini bukan gula pasir, ya, tapi gula dalam konteks biokimia. Gula adalah zat utama yang jadi sumber energi tubuh kita. Gula ada macam-macam jenis, salah satunya fruktosa. Dia ini gula yang paling cepat 'dipecah' tubuh sehingga bisa lebih cepat ngehasilin energi. Fruktosa biasanya dari buah-buahan. 


Buah favorit saya kalau lagi lemas adalah pisang dan alpukat. Meski sebenarnya, sih, alpukat lebih banyak mengandung lemak daripada gula. Namun, buat saya, kedua buah ini mengenyangkan dan cukup cepat bikin tenaga balik lagi. Tapi karena alpukat termasuk buah musiman, jadi ya tergantung suplai di pasar. Beda dengan pisang yang selalu ada. Plus, harga pisang lebih terjangkau daripada alpukat, hehe.


Anyway, karbohidrat a.k.a karbo pun termasuk jenis gula. Makanya dulu waktu sekolah, kita diajari bahwa nasi adalah sumber energi.

"Jadi boleh kalau fruktosanya diganti karbo; buah diganti nasi?"

Boleh-boleh aja. Kan ngga ada hukumnya, hehe. Cuma, karbo (nasi, jagung, ubi, dkk) itu lebih lama dipecah daripada fruktosa karena rantai karbonnya lebih panjang. Padahal, dalam kondisi di atas, kita lagi butuh yang cepat.


Kelar dengan fruktosa, kita lanjut ke kafein. Kalau ini pada tahu lah, ya, fungsinya biar tetap melek. Sebetulnya, kafein juga punya efek lain ke tubuh: bikin denyut jantung lebih cepat, sakit perut/maag kalau nggak kuat (karena sifatnya asam), bahkan bisa ngurangin sakit kepala. Coba, deh, perhatikan komposisi obat pereda sakit kepala atau migrain, biasanya ada kafeinnya. Tentu dengan dosis yang lebih tinggi daripada kopi. 


Salah satu alasan kenapa  saya cuma pakai sedikit kopi adalah supaya nggak begitu deg-degan. Saya emang nggak biasa minum kopi pagi-pagi sehingga khawatir jantung atau lambungnya kaget. Alasan ini juga yang bikin saya cuma pakai 1 sdt kopi: karena saya kuatnya segitu. Kalau orang yang lebih tahan, mungkin bakal butuh lebih dari 1 sdt.  Apalagi peminum kopi hitam sejati, 3 sendok aja tetap bisa ngantuk, hahaha. Jadi, dosisnya sesuaikan dengan kebutuhan aja, ya.


Oh, ya, campuran buah plus susu juga (harapannya) bisa berfungsi buat menetralisasi (yes, bukan netralisir) efek kopi ke lambung. Kafein, kan, sifatnya cenderung asam. Jadi seenggaknya buah+susu bisa jadi 'alas' ngelemeki lambung biar nggak bersentuhan dengan kopi doang.


Susu buat apa? Sejujurnya, ini saya pakai buat perasa aja kayak di poin atas, hahaha. Tapi fungsinya bisa juga buat penambah energi dan zat pembangun.


Kalau udah minum, kenapa masih butuh makan protein?

Cmiiw, protein adalah 'makanan' buat otot dan otak. Mungkin, ya, mungkin, karena dia adalah zat pembangun, jadi protein ini bisa ngebantu kerja otot yang lagi capek/lemas karena begadang. Mungkin lagi, dia bisa ngasih asupan ke otak biar seenggaknya bisa buat mikir agak jernih meski lagi capek. Nggak tahu, sih, tapi protein ini ngebantu banget supaya badan nggak begitu lemas dan mata nggak begitu muter setiap saya habis begadang (apalagi kalau lama mantengin laptop).


Again, jumlah dan jenis protein ini tergantung kebutuhan karena badan tiap orang beda-beda. Saya mungkin butuh dua telur+sosis, tapi orang lain bisa aja butuh cuma sebutir atau malah nambah jadi tiga butir. Terus, apa harus telur dan sosis? Enggak juga, bisa pakai sumber protein apa aja. Kadang sosis saya ganti tahu atau tempe, kadang makan telur doang, kadang tempe/tahu doang. Seadanya yang ada di kulkas aja, hehehe. Toh protein lokal Indonesia nutrisinya juga nggak kalah dari sarapan ala Barat. Ganti ikan atau daging? Monggo....


Alasan lain kenapa saya pilih menu di atas karena penyajiannya juga gampang: tinggal kasih garam lalu goreng. Saya lebih suka masak yang ringkas aja kalau pagi. Biar nggak ngehabisin lebih banyak waktu+energi pascabegadang. Misal nggak mau digoreng, direbus atau dikukus juga bisa.


"Kok kayak menu sarapan biasa?"

Well, iya. Kalau kamu biasa makan protein sebagai menu utama sarapan. Tapi, kebiasaan yang umum di sini kayaknya lebih banyak porsi karbohidratnya yak daripada protein dsb. Buat saya, kalau habis begadang gini lebih efektif kalau digerojog protein. Atau kalau udah biasa sarapan tinggi protein, mungkin 'dosis' atau kuantitasnya bisa dinaikin lagi karena habis ngeforsir badan semalaman. 


Itu tadi asupan (versi saya) buat membantu tubuh biar bisa tetap terjaga dan beraktivitas pasca begadang tanpa tidur. Garis bawahi kata 'membantu', ya. Jadi tetap nggak bisa bikin performa tubuh jadi optimal kayak biasanya; cuma bantuin aja biar nggak ambruk. 


Dan, sebaiknya emang begadang tanpa tidur sama sekali ini dihindari. Apalagi kalau esok hari harus tetap beraktivitas. Apalagi kalau aktivitasnya sampai sore. Tinggi asupan gizi akan percuma tanpa dibarengi istirahat yang cukup. Jadi, kalau sempat, usahakan siangnya tetap tidur, ya. 


Ibarat mesin, kalau cuma digelontor bahan bakar terus-menerus tapi dijalankan non-stop sampai aus, nggak dikasih berhenti buat maintenance, ya performanya tetap nggak akan bagus. 



Picture credit: CONG and Pinkeu.ping on Pngtree

Reading Time:

Jumat, 15 Juli 2022

Menjajal Hostel
Juli 15, 2022 2 Comments
Tampak dalam kamar hostel. Satu kamar diisi beberapa tempat tidur susun atau bunkbed. Tampak bunkbed terletak tepat berdampingan dan diberi tirai agar tamu hostel lebih privat dan nyaman dalam beristirahat.


Yup, hotel dengan 's'; hostel. Bukan saltik.


Meski cuma beda satu huruf, hotel dan hostel cukup berbeda. Keduanya sama-sama penginapan, tapi fitur yang ditawarkan nggak sama. Kalau di hotel kita menyewa kamar, maka ibaratnya di hostel kita sewa tempat tidur. Sebab, beda dengan hotel yang menyediakan satu kamar+kasur+kamar mandi, hostel menyediakan satu ruangan yang diisi beberapa tempat tidur sekaligus. Artinya, satu ruangan bisa dihuni bersama oleh beberapa orang yang bahkan nggak saling kenal.


Pernah lihat kamar tidur di asrama? Ya kira-kira begitulah bentuknya. 


Gimana dengan fasilitas penginapan lain, kamar mandi misalnya?

Sama, kamar mandi ada di luar kamar dan juga dipakai bersama. Jadi nggak ada tuh istilah kamar mandi dalam kayak kalau cari kos, hehe. Hal lain yang agak beda dari hotel adalah hostel menyediakan dapur+alat masak dan living room. Jadi ya semuanya dipakai bersama. 


Tampak dalam kamar hostel. Satu kamar diisi beberapa tempat tidur susun atau bunkbed. Tampak bunkbed terletak tepat berdampingan dan diberi tirai agar tamu hostel lebih privat dan nyaman dalam beristirahat.
Penampakan kamar/dorm dengan tempat tidur susun.
Di hostel yang saya inapi, tiap bed diberi tirai. 

Meski udah lama tahu soal hostel, sebenarnya saya baru sekali nyobain. Itu pun baru beberapa hari lalu dan kebetulan; nggak direncanakan. Sebelum-sebelumnya lebih akrab bermalam di hotel, homestay, atau penginapan lainnya yang berkonsep sewa 1 kamar untuk sendiri (atau numpang di rumah/kosan teman, hahahah). Cuma perasaan saya atau emang di sini hostel lebih jarang ditemui daripada hotel? Dan orang-orang pun banyak yang lebih familiar dengan hotel?


Gimana ceritanya bisa milih hostel?

Jadi beberapa hari lalu, saya dan seorang teman pergi ke Kota Malang. Sebetulnya nggak berniat menginap, tapi karena ada sedikit perubahan jadwal, kami harus cari tempat istirahat. Agak maju-mundur juga waktu cari penginapan karena dini hari kami sudah harus cabut, jadi sayang bayarnya kalau cuma nginap sebentar. Akhirnya kami cari penginapan berharga paling miring di dekat Stasiun Malang Kota. Ketemulah angka Rp62.000 di salah satu penginapan. "Kok murah banget?"


Penginapan itu ternyata adalah hostel.

"Oh ya pantes."

Harga hostel memang lebih murah daripada hotel, kadang bisa jauh banget murahnya. Meski akhir-akhir ini mulai banyak hostel eksklusif atau capsule hotel yang harganya setara dengan satu kamar di hotel sederhana. Harga tadi adalah harga per orang di dorm campur laki-perempuan. Berdua cuma 125 ribu; lebih murah sekian puluh ribu daripada harga satu kamar hotel sederhana di area situ. Yo wes, langsung booking


Malam itu kami tiba di SO! Boutique Hostel di bilangan Jalan Majapahit. Lokasinya nggak jauh dari stasiun, tugu, dan alun-alun. Dari luar, kami nggak menyangka kalau betul ini bangunannya kalau bukan karena ada plangnya. Soalnya, dari luar kelihatan lebih mirip ruko atau kantor, bahkan begitu masuk, vibes-nya lebih kayak kafe.


Seantero bangunan dipenuhi cahaya warm white. Lantai satu tampak kosong-melompong. Naiklah kami ke lantai dua dan rupanya di sinilah lobinya. Ada meja resepsionis, set meja-kursi serta hamparan karpet di depannya. Seorang bule pirang tengah goleran santai di sana sambil memainkan ponselnya. Denting perkakas masak terdengar dari dapur di belakang resepsionis. 


Dengar-dengar, hostel memang lebih populer di kalangan WNA, khususnya yang backpacker atau budget traveller. Kenapa? Ya karena murah. Ada fasilitas dapur pula, jadi kalau pengin menghemat biaya makan ya bisa masak. Makanya di depan resepsionis tadi ada meja-kursi yang bisa dibuat tempat makan bersama.


Ruang makan/ruang duduk di hostel memang difungsikan sebagai tempat komunal supaya tamu yang tak mengenal bisa saling berinteraksi. Berawal dari sapaan, nanya asal, kemudian berlanjut jadi tukar info soal travelling. Bahkan kemudian bisa jalan bareng kalau tujuannya sama, urunan transpor atau sewa kendaraan, dsb. 


Sepertinya SO! Boutique Hostel cukup banyak dikunjungi WNA. Papan coklat di seberang meja resepsionis dipenuhi foto-foto warga asing yang pernah menginap di sini. Ada juga potret tamu-tamu Indonesia. Kertas warna-warni menyeruak dari sela-sela foto, berisi kesan-pesan mereka.


Setelah check-in, kami masing-masing diberi kartu bertuliskan nomor bed dan semacam gelang oleh mbak penjaga. Dua barang ini berfungsi membuka pintu kamar dan loker serta menyalakan lampu di bilik bed. Naiklah kami ke lantai tiga sambil melihat-lihat desain penginapan yang sangat minimalis.


Satu hal yang kami sadari ketika masuk hostel ini adalah: temanya industrial. Dinding dibiarkan (atau dibuat?) bersemen abu-abu tanpa dicat. Demikian juga lantainya. Pipa dan kabel serba putih mencuat dari langit-langit, berbaris rapi. Terundak tangga terbuat dari kayu coklat muda yang disangga tiang dan teralis putih; minimalis. Tangga ini berada di tengah ruangan seakan jadi pembatas antara sisi kamar+loker dan kamar mandi+wastafel.


Di lantai tiga terdapat dua dorm/kamar campur, sedangkan di lantai empat, kamar cowok-cewek dipisah. Harga kamarnya juga beda antara dipisah atau enggak. Harga mixed dorm lebih murah, sedangkan yang dipisah dibanderol seratus ribu sekian rupiah, kalau nggak salah lihat.  Suara obrolan berbahasa Indonesia terdengar dari lantai atas, sedangkan di sini sayup-sayup percakapan berbahasa asing mengalir dari balik pintu. Di samping pintu-pintu inilah berdiri loker-loker sebagai pengganti lemari. 


Waktu itu kami bingung gimana buka lokernya karena nggak ada kunci atau slot kartu. Nge-tap kartu juga nggak bisa. Setelah tanya pada sesama penghuni yang kebetulan lewat, ternyata tinggal tap aja gelang karet tadi ke nomor loker. Beep, dan cklek! Loker pun terbuka. Saya berasa kudet, haha. Tadinya mikir ini gelang fungsinya apa, kan udah ada kartu. Oh ternyata....


Setelah naruh barang di loker, kami pun masuk ke kamar. Beberapa tempat tidur susun (bunkbed) tertata rapi dengan gorden sebagai penutup. Di sini, antarkasur pun dipisah dengan triplek sehingga lebih tampak seperti bilik kecil daripada bunkbedBed-nya tampak lumayan rapi dengan sprei dan bantal putih. Diberi juga satu selimut tipis.

Loker berderet di depan kamar/dorm hostel. Loker juga dipakai untuk menggantung dan mengeringkan handuk basah. Tampak juga tempat tidur hostel. Di sini, tiap bed diberi papan pemisah sehingga terlihat seperti bilik kecil.

Gimana rasanya tidur di bunkbed, komunal pula?

Ya gitu; sama aja kayak tidur biasa. Buat saya, kasurnya nyaman-nyaman aja, sih. Empuk, nggak keras. Cukup bersih pula meski nggak bersih banget atau nggak wangi. Karena tiap tempat tidur ada tirainya maka bisa lebih bebas meski komunal. Nggak perlu khawatir ada yang ngebatin, "Ini orang pose tidurnya gini banget", hehehe. 


Cuma kalau udah malam banget dan malas ngobrol di ruang duduk, ngomongnya kudu bisik-bisik biar nggak ganggu penghuni di bilik lain. Karena tiap bilik bed ada lampu sendiri, jadi aman lah kalau belum mau tidur tapi pengin goleran atau baca buku di kasur. Nggak kayak asrama yang lampunya satu dipakai seruangan.


Sekadar saran buat yang gampang pusing atau punya vertigo: mending pilih kasur di bawah. Jangan pilih bed yang atas. Waktu nginap kemarin, saya sengaja pilih bed atas karena penasaran. Lupa, kalau saya lagi gampang pusing. Waktu saya lagi tidur-tidur ayam, ada penghuni yang gerak agak kenceng. Meski mungkin nggak sadar pindah posisi tidur, otomatis semua bed ikut goyang. Meski pelan, tapi diayun halus dan berkali-kali kayak gitu ternyata bisa bikin pusing beneran. 


Oh ya, saran ini juga berlaku buat yang trauma gempa atau gampang kebangun karena gempa. Ayunan bed-nya haluuus kayak kalau lagi gempa. Kalau tidur di kasur bawah mungkin nggak akan begitu terasa.


Mandinya gimana? Makannya gimana? Shalatnya gimana?


Kamar mandi dipakai bareng. Di sini shower dan toilet terpisah, tapi saling hadap. Toiletnya model toilet kering, tapi tenang aja ada bidetnya, kok. Toilet dan shower dua-duanya bersih. Biliknya juga ada banyak jadi meski dipakai bareng, nggak perlu ngantre.


Karena bukan hotel, maka nggak dapat makan. Bisa masak atau cari di luar. Pas banget hostel ini dekat dengan pusat keramaian sehingga gampang kalau mau cari makanan jadi. Asal nggak makan di dalam kamar biar kamarnya nggak bau. Bisa makan di lantai dua atau kursi depan kamar.


Di sini kebetulan nggak ada mushalla. Jadi kami wudhu di shower kemudian mojok di kamar lalu gelar sajadah. Oh iya, pastikan posisi shalat nggak menghalangi bed orang. Kalau menghalangi karena nggak ada tempat lain, izin dulu. Kebetulan kemarin bunkbed di pojok kamar nggak ada penghuninya, tapi ada tangga buat bunkbed sebelahnya yang cukup terhalangi kalau kita shalat. Jadi teman saya izin dulu ke mas penghuninya.


Jadi, apa menginap di hostel tergolong recommended?

Tergantung. Kalau sekadar nyari tempat tidur, recommended. Apalagi kalau seharian dipakai travelling dan malam tinggal capeknya. Apalagi buat orang yang, kayak saya yang kemarin, cuma transit sebentar: recommend. Tidur dan istirahat di hostel cukup nyaman juga, kok. 


Hostel kurang cocok kalau kamu orangnya gampang kebangun. Sebab, bisa jadi tidurmu justru nggak nyaman karena tempat tidurnya goyang, dengar suara gedebak-gedebuk, atau terganggu ngoroknya penghuni lain.


Kalau soal kebersihan, fasilitas, kenyamanan, dsb, saya rasa tergantung hostelnya. Karena kemarin hostel yang dikunjungi bersih dan tertata, jadi rasanya cukup nyaman. Anyway ringkasnya kayak di bawah ini. Dan, poin ini buat hostel secara umum, bukan spesifik yang saya kunjungi kemarin, ya. 




==========================================================


H O S T E L

Cocok buat yang:

  • nyari harga (relatif) murah 
  • backpacker/budget traveller
  • cari tempat rehat beberapa jam sambil leyeh-leyeh
  • pengin nambah teman atau latihan English speaking (lebih mungkin ketemu WNA. Tapi pastikan mereka nyaman diajak ngobrol juga, ya)
  • nyari teman jalan bareng/urunan transpor dll
  • tukar info


Kurang cocok buat yang:

  • nyari tempat privat (yang pengin bebas menguasai satu ruangan + KM)
  • susah tidur atau gampang kebangun 
  • kurang waspada/sembrono. Karena kamar komunal, baiknya lebih hati-hati menjaga barang 
  • fisiknya sungguh rentan atau kurang enak badan, karena bisa tertular atau menulari rekan sekamar (karena lagi pandemi. Kalau nggak lagi pandemi sebetulnya juga bisa penularan penyakit lain airborne. Tapi ini balik lagi ke penginapannya, sih. Penginapan selain hostel juga bisa tertular penyakit kalau nggak bersih)


Saran kalau kamu nginap di hostel:

  • Meski ada loker, tetap bawa barang berharga ke kasur. Kalau keluar, ya dibawa. (Ini bisa dipakai nggak cuma di hostel aja, sih. Di hotel dll juga bisa)
  • Friendly tapi tetap hati-hati pada orang baru; nggak sepenuhnya percaya. Ada banyak sharing kisah tertipu teman yang baru kenal di perjalanan 
  • Cek ada jam malamnya atau enggak
  • Kalau lagi kurang enak badan/khawatir tertular penyakit khususnya yang sejenis flu atau penyakit airborne lain, lebih baik nginap di kamar yang lebih privat. Tbh kemarin berani nginap di hostel karena cuma stay beberapa jam


==========================================================


Reading Time: