Hijaubiru: Novel Pendakian/Buku Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Novel Pendakian/Buku Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel Pendakian/Buku Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Mei 2023

Review Buku: The Journeys 2
Mei 19, 2023 2 Comments

Judul: The Journeys 2, Cerita dari Tanah Air Beta 
Penerbit: Gagasmedia 
Tahun terbit: 2012 (cetakan pertama) 
Tebal: 255 halaman 



“Kamu harusnya lahir sepuluh tahun lebih awal.” Begitu yang biasa diucapkan beberapa teman pada saya. Saya setuju saja karena selera musik saya memang lebih lawas. Namun, untuk buku ini, sepertinya review saya juga harusnya sepuluh tahun lebih awal karena ia terbit satu dekade lalu. 


The Journeys adalah buku berseri. Saya lupa ada berapa, karena yang saya tahu/pernah lihat hanya tiga. Buku pertama pernah saya baca; hasil pinjam dari seorang teman, saat masih berseragam putih abu-abu (review supersingkatnya pernah diulik di postingan ini). Hingga tahun lalu, saya nggak tahu kalau buku ini beranak-pinak. Hingga takdir mengantarkan saya (ceile…) pada sebuah pameran buku tahun lalu. 


Kalau nggak salah pula, di era sepuluh tahun lalu itu, buku-buku travel story dari orang Indonesia mulai membanjir. Sama dengan tren saat itu, The Journeys yang pertama juga bercerita tentang perjalanan penulis-penulisnya mengunjungi negara-negara dunia. Karena saat itu dan hingga kini buku perjalanan macam itu sudah banyak, awalnya saya juga nggak begitu tertarik waktu melihat The Journeys 2 di rak. No offense, semakin banyak buku seperti ini, semakin banyak juga rasanya tulisan yang ketika dibaca serasa laporan yang kaku, bukan teks non-fiksi naratif yang ‘bercerita’. 


Nemun, teks di bawahnya menarik mata saya kemudian. Tagline “Cerita dari Tanah Air Beta” itu… menarik. Buku travel story tentang perjalanan di Indonesia memang tak cuma satu-dua, tapi rasanya masih lebih sedikit (atau kurang populer?) daripada yang perjalanan luar negeri. (Ini konteksnya buku yang dikemas travel story, ya, bukan yang hanya kumpulan tulisan aja). Padahal, keindahan Indonesia sangat boleh diadu dengan mancanegara. Kalau enggak, manalah mungkin jadi salah satu tujuan wisata internasional, meski ya kadang masih kalah dengan negara-negara tetangga kita. 


Tagline tadi bikin saya berharap bahwa The Journeys 2 akan memuat kisah-kisah yang menunjukkan uniknya kelokalan kita atau tempat-tempat hidden gem yang bahkan jarang diketahui WNI sendiri. Apalagi melihat beberapa nama penulis di bawahnya: ada yang jurnalis, pembuat film dokumenter, presenter acara jalan-jalan, dan salah satu travel writer favorit. Dengan latar belakang/pengalaman yang sudah malang-melintang di dunia media, saya jadi berharap buku ini berbeda dengan antologi catatan perjalanan lainnya.


Jadi gimana, apakah sesuai ekspektasi?

Pertama-tama, ada dua belas cerita di sini. Semuanya menyebar dari sekitaran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sekitarnya, serta Papua. Sayang nggak ada cerita dari Tanah Sumatra dan Kalimantan. Namun, kisah-kisahnya cukup menarik. Mungkin karena nggak semua yang diceritakan adalah resor atau tempat yang memang jadi tempat wisata.


Ada satu-dua yang menulis tentang tempat terpencil yang hanya dikunjungi kalau ada keperluan khusus; napak tilas misalnya. Memang bukan tempat wisata. Ada pula satu tempat yang ulasannya menarik, tentang batik. Tempat ini sudah umum dikenal soal batiknya, tapi di sini penulis berhasil mengisahkan nggak cuma filosofi di balik kain dan motifnya, tapi juga cerita para pengrajinnya, dengan menarik.


Yang nggak kalah menarik adalah cara berceritanya. Ada satu tulisan yang bercerita tentang sebuah tempat secara umum. Umum di sini maksudnya lokasi yang diceritakan udah umum banget. Sebuah kota yang cukup punya nama, tempat-tempat yang biasa dikunjungi sejuta umat di sana (Lapangan Merdeka Kota Ambon, contohnya). Namun, style tulisannya yang kocak bikin ngalir dan pembaca jadi ikut nyantai ngikutin alur, meski tempat-tempatnya sekilas nggak/kurang berkesan.


Ada pula tulisan lain yang bikin rada kaget. Pasalnya, tulisan satu ini berkisah soal perjalanan penulis liburan ke salah satu daerah yang dilarang. Pemerintah daerah setempat sudah menutupnya dari wisatawan karena asalnya memang bukan tempat wisata, hanya saja tempatnya memang menarik sehingga banyak orang yang nggak tahu lalu main ke sana. Sempat ngebatin, ‘Kok, bisa dimuat? Apa nggak cross check dulu?’. Tapi suudzon itu berakhir setelah baca tahun terbit buku ini: 2012. Oh, pantes. Lha wong ini buku terbit tahun 2012! Larangan itu baru berlaku kurang lebih tiga tahunan setelahnya. Dan, oh, satu lagi subbab yang bikin kaget adalah pengalaman salah satu kontributor waktu ikutan acara nudis. 


Ngomong-ngomong soal cara bercerita, tiap tulisan di sini punya ciri khas sendiri. Efek karena penulisnya banyak. Ada yang lempeng, ada yang mirip itinerary (hari X jam X ke X, dst), ada yang (menurut saya, sih) berusaha ngelucu tapi jatuhnya agak hm…, tapi ada yang memang lucu beneran. Bagian yang saya tunggu tentu aja tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang setahu saya biasa mengulik tabir lebih dalam dari sesuatu/suatu tempat (dan emang tulisannya bagus, kayak standar majalah/koran cetak gitulah). Terbukti, sih. Tulisan mereka memang ‘dalem’, selain informatif dan menyentuh. Cerita tentang Digul dan bangkai lumba-lumba, salah dua di antaranya. 


Jadi kalau ditanya gimana isinya, ya, macam-macam. Ada yang bagus, ada yang biasa aja.


Kalau lokasinya gimana?

Nggak bisa disangkal, sebagian besar lokasi yang dituju memang cantik-cantik! Ada yang enggak, tapi memang karena bukan tempat wisata. Jadi indahnya yang alamiah gitu. Kalau soal tempat hidden gem, kayaknya nggak ada. Tempat-tempat itu udah umum diketahui di zaman ini. Kalau di tahun itu, memang ada beberapa yang belum terkenal, kecuali di kalangan orang yang suka jalan-jalan. Lokasi tsb pernah saya tahu di sekitaran tahun terbit buku ini, sayang sampai sekarang belum terwujud ke sana, hahaha. 


Tapi jangan khawatir. Meski belum ke sana, penulis berbaik hati membagikan wujud tempat yang mereka kunjungi. Yup, dengan foto. Spesialnya (dan poin yang bikin saya suka buku ini) adalah… foto-fotonya berwarna! Dan banyak! Nggak pelit, deh! Padahal, biasanya kan buku buat orang dewasa ya gitu-gitu aja: tanpa gambar, tanpa warna, hitam-putih doang. Kalau ada foto atau gambarnya pun terbatas alias sedikit banget. Itu pun dicetak grayscale yang tentu kurang menarik daripada gambar warna-warni. Padahal, orang dewasa yang suka buku+gambar berwarna juga ada, lho. Ya mungkin ini lebih ke alasan ekonomis daripada alasan kesukaan. Nggak bisa dipungkiri kalau makin banyak yang dicetak berwarna, harga jual juga bakal makin tinggi, sehingga ngaruh ke daya beli pasar. 



Karena ini buku antologi, yang artinya ada beberapa tulisan terpisah yang nggak saling berhubungan, maka buku ini cocok buat bahan bacaan orang yang baru mau nyoba kebiasaan membaca atau yang mau kembali memulai hobi/kebiasaan membaca. Sejujurnya akhir-akhir ini saya termasuk jenis kedua: berasa malas-nggak sabar-susah fokus kalau baca buku. Tapi kalau gitu terus, kapan nambah masukan otaknya? :’) Akhirnya saya coba baca buku macam ini. Karena fokusnya nggak bisa lama, maka buku macam ini nggak masalah kalau dibaca sepotong-sepotong sebab antarbab nggak berhubungan. Jadi misal hari ini baca bab 1-3, terus ternyata mutung beberapa hari (di kasus saya malah 1-2 minggu), kita bisa lanjut baca bab selanjutnya tanpa ngerasa lupa cerita sebelumnya. Sebab, biasanya, yang bikin malas lanjut baca adalah karena lupa kisah yang udah dibaca, tapi mau re-read malas, sedangkan kalau lanjut baca bisa jadi nggak nyambung karena lupa detailnya.


Untuk buku yang nggak begitu tebal kayak gini, ternyata sekarang saya butuh waktu satu bulan biar kelar baca. Namun, kalau dihitung-hitung, total hari baca lama cuma lima harian aja. Itu pun, nggak terlalu lama. Paling lama sejam lah; di sela-sela ngurus sesuatu, nunggu servis, dsb. 


Kalau niat emang bisa cepat, kok, sebenarnya. Mengabaikan distraksi (ponsel, terutama) itu yang susah, hahaha. 


Sooo, kalau diringkas, begini review-nya:


Kelebihan (+)

  • Ada cerita yang bagus. Gaya bercerita/secara tulisan juga bagus. Informatif, historis, empatis, komedik juga ada
  • Ada foto berwarna, banyak
  • Cocok buat yang lagi kena reading slump atau mau mulai membaca

Kekurangan (-)

  • Ada cerita yang lempeng aja atau kayak baca laporan  
  • Cerita lokalitas ada, tapi nggak semuanya bercerita ‘dalam’



==========


Di luar pengalaman bepergiannya, ada beberapa hal yang membekas buat saya. Salah satunya adalah kisah satu penulis yang mengajak ibunya travelling. Di situ ia bilang bahwa tempo jalan bareng orang tua (orang tua yang mengasuh kita ataupun orang yang umurnya sudah tua) itu beda. Tentu karena faktor fisik dan usia. Kalau ngajak ortu jalan bareng, sebisa mungkin kita ‘berjalan’ lebih lambat, menyesuaikan tempo mereka. Begitu juga dengan kenyamanan. Orang tua mungkin lebih suka jalan-jalan yang mengutamakan kenyamanan dibanding anak muda yang ‘geletakan di mana pun tetap bisa tidur nyenyak’. Apalagi kalau ortunya jarang travelling. Jangan sampai sesi bepergian dengan kita malah bikin mereka nggak nyaman atau kapok, kalau kita masih pengin jalan bareng lagi. 


Buat saya, pendapat itu membekas.

Saya cenderung cepat saat berjalan atau bepergian. Tipe yang ngejar tempat sebanyak mungkin dan menikmatinya sepuas mungkin. Jadi, waktu yang 'dipangkas', ya, semacam makan atau jalan (literally). Belakangan, saat jalan bareng ortu, saya merasa tempo saya diperlambat. Ucapan seperti, “Jangan jalan cepat-cepat” menjadi kian familiar seiring bertambahnya usia mereka. Bisa ditebak, waktu perjalanan pun jadi makin lama. Tapi, ya, travelling kan buat senang-senang. Kalau yang satu nggak enjoy, what for? Akhirnya saya pun kompromi: ‘berjalan’ lebih lambat, nggak jarang mengunjungi lebih sedikit tempat daripada biasanya. Di setiap tempat pun kami siasati dengan menambahkan waktu istirahat yang cukup supaya nggak terlalu capek saat ‘jalan’ lagi. 


Memang, jadinya ada lebih sedikit destinasi yang dikunjungi. Tapi memang baiknya begitu: saling kompromi. Si anak muda (saya) berkompromi dengan ‘jalan’ lebih santai, sedangkan di lain kesempatan para orang tua berkompromi dengan, misalnya, mengunjungi tempat yang lebih ke style anak muda. Oh, tentu ini berlaku kalau jalan-jalan personal, bukan group tour. Kalau yang itu, setahu saya ada beberapa organiser yang menyediakan paket sesuai usia/tempo.


Terakhir, mungkin kita perlu berjalan sesuai tempo masing-masing. Nggak cuma berjalan secara harfiah atau jalan-jalan, tapi juga ‘berjalan’ meniti jembatan rapuh bernama kehidupan. 


Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti halnya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati. Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya.

         Rahne Putri, salah satu kontributor tulisan The Journeys 2


Reading Time:

Minggu, 26 Desember 2021

Review: The Naked Traveler 8 (The Farewell)
Desember 26, 20210 Comments


Penulis: Trinity

Penerbit: BFirst (PT Bentang Pustaka)

Tebal: 250 halaman

Ukuran: 13 x 20,5 cm 

 

 

Para penggemar jalan-jalan biasanya sudah tak asing lagi dengan serial Naked Traveler karya Trinity. Topik yang variatif serta gaya tulisan yang ceplas-ceplos memang jadi ciri khas tersendiri bagi serial bergenre catatan perjalanan ini.

 

Serial Naked Traveler punya ciri lain berupa sampul yang warni-warni dan cerah. Namun, ada yang beda dengan buku kedelapan ini. Kalau biasanya buku-buku Naked Traveler punya kaver serupa warna pelangi, kali ini warnanya hitam. Ada apa gerangan, kenapa beda banget dengan sebelumnya?

 

Ternyata … ini adalah buku terakhir serial Naked Traveler Trinity berkata di bagian pembuka bahwa buku kedelapan ini adalah buku penutup. Sebetulnya sudah kelihatan juga dari judulnya, ‘The Farewell’.

 

Apa, sih, isi bukunya?

 

Seperti buku Naked Traveler lainnya, buku ini bercerita tentang pengalaman Trinity melancong ke berbagai sudut Indonesia dan belahan dunia. Ada pengalaman menyenangkan, menyesakkan, serta tips dan trik travelling aman dan asyik.

 

Trinity menggolongkan kisah-kisahnya dalam beberapa bab berdasarkan kemiripan tema. Misalnya bab ‘Tidak Biasa’ yang berkisah tentang tempat-tempat yang tidak terlalu ramai tapi tak kalah kece dibandingkan destinasi wisata mainstream. Atau, bab ‘Opini’ yang isinya pengalaman dan perspektif Trinity soal beberapa anggapan dan stereotipe seputar pariwisata. Ada 10 bab di buku ini dan tiap bab berisi 4-6 artikel. Jadi, tiap artikel nggak terlalu panjang sehingga bisa selesai dibaca dalam sekali duduk.

 

Jangan bayangkan kalau isinya bakal berupa itinerary detail, deskripsi lokasi, atau tips & trik berupa poin-poin yang membosankan. Enggak. Penulis meramu pengalamannya lebih ke bentuk cerita. Memang ada deskripsi pemandangan dan sebagainya yang umum kita temui dalam catatan perjalanan, tapi modelnya bukan seperti brosur pariwisata yang kaku banget. Malah, Trinity mengemasnya dalam bentuk narasi yang santai. Jadi berasa baca curhatan sobat atau diri sendiri.

 

Jadi, gaya menulisnya bukan bak travel guide, tapi seperti tulisan memoar sehingga lebih mengalir dan lebih santai dibaca. Style menulis khas Trinity yang jujur, terus terang, dan ceplas-ceplos (kalau penginapan/lokasinya emang busuk ya dibilang busuk) jadi seperti angin segar. Sebab, biasanya banyak tulisan tentang travelling yang hanya mengulas hal-hal yang indah-indah saja tapi jarang yang turut menulis cerita nggak enaknya.

 

Namun, pembaca, kan, perlu tahu bahwa jalan-jalan nggak melulu enak. Bisa saja ada kendala bahasa, imigrasi, ditipu, atau ‘sesimpel’ toilet yang tipe dan tingkat kebersihannya beda-beda (di Asia Tengah mayoritas kotor, di satu kota kecil Eropa bersih tapi di kompleks stasiun-kafe cuma ada satu biji dan dikunci lagi! Dan sebagainya …). Trinity berani mengangkat topik ini, bahkan beberapa topik sensitif, dan membawakannya dengan cukup objektif.

 

Dari semua bab, yang paling saya tunggu-tunggu untuk baca (karena saya nggak bisa baca lompat-lompat, hehe) adalah bab Negara “Stan”. Artinya, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Kazakstan, dll. Kenapa? Sebab orang kita sedikit yang berminat melancong ke sini. Buku-buku catatan perjalanan dari Indonesia juga sepertinya jaraaang sekali membahas negara-negara ini saking sedikitnya orang kita yang berwisata ke sana. Rata-rata buku lebih membahas jalan-jalan di Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, atau negara lainnya yang maju atau memang tujuan turis.

 

Buku catatan perjalanan yang banyak membahas negeri-negeri pecahan Uni Soviet ini—setidaknya yang saya temukan—hanya tulisan Agustinus Wibowo. Namun, itu adalah kisah perjalanan di era sekitar tahun 2000-an lebih sedikit. Bagaimana kondisi di sana pada tahun 2015 ke atas?

 

Hal itu diceritakan di buku ini. Apalagi, Trinity dan kedua kawannya melakukan road trip bareng sepanjang beberapa negara -Stan. Yang namanya road trip biasanya lebih menantang sehingga ada lebih banyak cerita. Selain itu, road trip juga berarti bisa mengamati keadaan real di luar wahana atau spot pariwisata yang biasanya dikelola dengan lebih baik. Oh ya, selain kisah petualangan mereka, di sini juga ditulis apa saja yang harus disiapkan kalau-kalau ada yang berminat berlibur ke sana .

 

Jadi, bagaimana negara-negara -Stan ini? Supaya lebih jelas, baca aja bukunya, hehe. Sedikit bocoran: panoramanya nggak kalah cantik dengan pegunungan-pegunungan destinasi favorit turis. Nggak sesuram yang diberitakan meski ada beberapa sisi buruknya juga (tiap negara pasti punya kan). Dan, tempat-tempat tersebut jauh lebih sepi.

 

Salah satu kelebihan Naked Traveler 8 ini adalah ada gambar/fotonya. Ada banyak pula. Yesss! Di buku ini ada foto-foto pemandangan dan orang-orang selama perjalanan. Jadi pembaca bisa tahu seperti apa pegunungan, danau, atau kastil (atau toilet 😁) yang dikunjungi. Ada ilustrasi juga sehingga pembaca bisa membayangkan mimik dan ekspresi Trinity waktu diberhentikan polisi atau happy nukar uang di money changer.

 

Sebagai penggemar buku warna-warni dan bergambar, ini poin plus banget. Jarang-jarang, kan, ada buku untuk orang dewasa yang bergambar.

 

Selain petualangan yang kadang menyentuh, kadang inspiratif, dan lebih sering terasa kocak, buku kedelapan ini juga menyajikan kisah beberapa pembaca yang jadi berani jalan-jalan sendirian setelah baca Naked Traveller.

 

Apa buku kedelapan ini ada kekurangannya?


Hm … apa ya …. Saya, sih, nggak nemu. Walaupun penulis cukup blak-blakan dalam membahas beberapa stereotipe dan sisi negatif sesuatu (dan beberapa hal yang debatable), tapi pembahasannya cukup objektif meski nggak begitu dalam. Itu wajar, sebab buku ini memang bukan tipe buku travel story yang banyak refleksinya atau kudu mikir/merenung banget. Tak ada pula bagian yang menjelek-jelekkan, tapi memang kondisinya begitu sepengamatan penulis. Namun, karena ini pendapat personal, maka mungkin banget kalau saya juga bias.

 

Karena buku ini gayanya santai dan ringan, maka bisa banget jadi teman bersantai selagi ngopi atau ngeteh di akhir pekan. Tiap artikel juga nggak terlalu panjang, jadi bisa dinikmati selagi nunggu angkutan umum atau abang G-food. Bagi yang baru coba-coba atau memulai lagi kebiasaan membaca, buku ini juga recommended karena itu tadi: artikelnya pendek. Cukup lah buat melatih fokus membaca beberapa menit.

 

Akhir kata, selamat membaca dan berjalan-jalan dalam kepala!

Reading Time:

Minggu, 20 Agustus 2017

Buku-Buku Perjalanan Agustinus Wibowo
Agustus 20, 20170 Comments


Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

TITIK NOL
Tahun terbit: Mei 2014 (cetakan 5)
Tebal: 552 halaman

SELIMUT DEBU
Tahun terbit: April 2013 (cetakan 4)
Tebal: 461 halaman

GARIS BATAS
Tahun terbit: 2011 (cetakan pertama)


Bila kita mencari buku tentang travelling yang berbeda dari buku-buku kebanyakan, sepertinya ketiga buku di atas bisa memuaskan keinginan itu.

Dewasa ini, travelling sudah jadi bagian dari tren 'kekinian'. Buku-buku tentang travelling pun kian marak di pasaran, mulai dari manual travelling, kumpulan catatan perjalanan, hingga novel-novel fiksi yang menyinggung topik ini. Rata-rata buku tentang jalan-jalan akan membahas tujuan perjalanan, pengalaman di sana, dan metode mencapainya, bahkan hingga rinci. Itinerary. Rata-rata cenderung deskriptif, meski beberapa memang ada yang penyampaiannya lebih puitis & melankolis, terutama bila itu novel. Namun, hanya sedikit yang menulis tentang pengalaman humanis dalam proses mencapai tempat tujuan.

Bila mencari buku yang seperti itu, saya rasa ketiga buku tulisan Agustinus Wibowo ini lebih dari layak untuk masuk hitungan. 

Sudah ada tiga buku yang ditulis pria ini. Lelaki yang juga wartawan Kompas ini menulis Titik Nol, Selimut Debu, dan Garis Batas, semuanya dilengkapi dengan foto-foto berwarna jepretannya sendiri. Kisah dalam buku-buku ini pernah dimuat pula di media Kompas beberapa tahun lalu. Bila ada yang penasaran tentang gambaran buku ini, mampir saja ke website penulisnya http://agustinuswibowo.com/.

Saya baru selesai baca dua di antaranya. Maka, yang saya bahas di sini hanya Titik Nol dan Selimut Debu aja ya. Garis Batasnya menyusul.


_________________________________


"Memberi arti pada perjalanan". Itu judul pengantar yang ada pada Titik Nol. Secara garis besar, buku ini berkisah tentang pengalaman penulis melintasi negara-negara Asia. Jangan salah, yang dikunjungi bukan negara-negara tersohor nan maju seperti Jepang, Korea, atau Singapura, melainkan negara-negara yang sedang berkembang. Berbekal mimpi menjadi petualang dunia, mencapai negeri-negeri jauh, Agustinus memulai perjalanannya dari Cina. Dari negeri tempatnya berkuliah itu, perlahan-lahan ia berpindah ke wilayah Tibet, lalu ke negara sekitarnya: Mongolia, Nepal, India, Pakistan, negeri-negeri atap dunia tempat rangkaian pegunungan tinggi dunia bersemayam. Dari sana ia menyusuri negeri-negeri Asia Tengah: negara-negara berakhiran -tan (Afghanistan, Uzbekistan, dan kawan-kawannya). Seluruh perjalanan ini ditempuhnya melalui jalan darat yang tentu relatif lebih ribet.

Hanya itu? Oh enggak. Perjalanan tidak selalu mulus. Ada kala ia harus menunggu angkutan berjam-jam di padang sepi yang jauh dari mana-mana, menumpang kendaraan pribadi, berjalan kaki sendirian berkilo-kilometer dengan medan yang tak selalu mulus (dan jalan yang tak senantiasa ada). Bukan hanya itu, ia harus merasakan yang rasanya ditampar penduduk lokal, dicurigai sebagai penyelundup, dicopet dan dirampok, dan berbagai pengalaman tidak mengenakkan lainnya.

Kok nelangsa sekali? Benar, penulis dituntut lihai dalam perjalannya, tak saklek, dan banyak akal menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak pernah termaktub di buku teks kuliahan maupun buku panduan travelling. Tak banyak buku travelling yang berani menyampaikan duka perjalanan yang dialami, tetapi peristiwa itu dituliskan di sini. 

Tentu tidak semua kisah-kisahnya menyedihkan, ada kehangatan dan eksotisme yang ditawarkan. Entah lewat kisah keramahan teman nemu-di-jalan, teman nemu-di-warung, atau warga lokal yang terlalu baik. Disampaikan pula budaya, mitos, kebiasaan, dan kisah-kisah masa lalu di tempat-tempat yang dilalui, menjadikan cerita lebih 'hidup'.


_________________________________

Bila Titik Nol menceritakan garis besar perjalanan penulis melintasi Asia, maka Selimut Debu menitikberatkan pada pengalamannya selama berada di negeri perang, Afghanistan. Siapa yang tak pernah mendengar tentang keganasan kota Karachi, Kandahar, atau kelompok Taliban? Negara yang tersohor akan perangnya yang tak habis-habis ini memiliki sisi-sisi menarik, unik, dan kaya yang tak banyak diketahui orang. Afghanistan ternyata tidak melulu tentang debu padang pasir, rentetan kalashnikov dan bom yang siap meledak sewaktu-waktu, Taliban, atau tempat yang terisolasi dan mengisolasi dari dunia global. Negara ini pernah jaya pada masanya, dahulu sekali ketika Jalur Sutra masih sering dilintasi. Ia memiliki gunung-gunung tinggi, lembah-lembah hijau, dan danau serta sungai deras berwarna biru terang. Ia juga memiliki mall mewah, hotel berbintang, bahkan bar.

Di balik negeri yang dipenuhi aroma perang dan kematian, kehidupan terus berjalan. Inilah yang diulik penulis. Masyarakat di sana beragam, mulai yang tertutup sekali hingga agak terbuka. Ada kisah kuno soal penyebaran agama Hindu dan Buddha yang pernah menjamah daerah yang sekarang mayoritas muslim ini. Ada cerita tentang minaret dan masjid yang pernah menjadi bukti kejayaannya di masa lampau, ada pula cerita yang di negara kita dianggap tabu tetapi ternyata di sana sudah jadi rahasia umum. Tak hanya nilai-nilai kemanusiaan dan aroma kepasrahan, kita pun bisa menemukan kebanggaan dan api semangat yang tersemat di dalam hati para warga Afghan, yang selama ini kita anggap tak lebih dari sekedar korban perang.


_________________________________

Bahasa yang digunakan pada buku-buku ini tepat dan bernas. Tak ada basa-basi, kalimat-kalimat penuh kiasan, atau penggambaran yang kadang malah membuat pembaca tak paham. Meski bahasa yang dipakai adalah bahasa baku khas koran, tapi saya rasa ceritanya tetap mengalir. 

Buku-buku ini tak selalu menceritakan kisah secara runtut. Alur yang digunakan pada Selimut Debu memang cenderung menggunakan alur maju bersetting sekitar tahun 2006, sedikit berbeda dengan Titik Nol yang beralur maju-mundur. Meskipun demikian, pada keduanya banyak ditemukan kisah-kisah lain yang berhubungan (misalnya mitos, sejarah, budaya) yang diselipkan di tengah-tengah cerita. Jangan kira selipan ini sedikit, kadang justru sisipan inilah yang porsinya lebih banyak. Awalnya, saya sedikit bingung dengan gaya ini karena kesannya melompat-lompat. Namun pada akhirnya terbiasa dan malah menikmati kisah-kisah sisipan bernilai tinggi tersebut, karena menurut saya inilah daya tarik utama buku ini dan yang membuatnya berbeda dengan buku travelling lainnya. Penulis tak hanya fokus pada tujuan dan itinerary belaka, tetapi lebih pada proses selama perjalanan dan orang-orang yang ditemui.

Buku ini mengajak kita melanglang buana ke belahan bumi yang jarang dijamah orang. Negara-negara yang dilalui bukanlah negara tujuan pariwisata yang sudah sangat maju. Namun itulah sisi lebihnya, yaitu menguak kisah tak terduga di balik negara-negara yang masih samar-samar di mata dunia. Negara-negara ini bukanlah tempat yang bisa dengan mudah kita cari infonya dari dunia maya, yang gampang ditemukan website pariwisata (atau badan pemerintah lain) resminya. Sebagian kita bahkan mungkin tidak tahu letak negara-negara ini, bahkan hanya pernah sekali mendengarnya zaman pelajaran Geografi di SD dulu, kemudian lupa selamanya. Buku travelling ini menuntun kita mengintip negara-negara yang masih berada di balik tirai, mengantarkan pada situasi di sana masa kini, dulu, bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.


_________________________________


Suka dan takjub! Itu reaksi saya saat selesai membaca Titik Nol, buku Agustinus Wibowo yang pertama saya beli. Titik Nol sebenarnya sudah saya incar beberapa bulan sebelumnya. Meski buku tersebut tak boleh dibuka segelnya saat di toko buku, saya tahu dari larik-larik gelap di sisinya bahwa buku ini menyajikan foto-foto berwarna. Jarang saya temukan buku travelling, dalam hal ini buku cerita (bukan manual  travelling), yang melengkapi ceritanya dengan gambar. Inilah yang membuat saya tertarik, selain tulisan 'best seller travel writing' pada cover-nya. Maklum, gambar berwarna pasti berimbas pada harga yang lebih tinggi. Karena alasan inilah, Titik Nol berusaha tidak saya gubris tiap kali melewatinya di toko buku, meski seringkali saya menimang dan menimbang, "Kapan ya, ini buku bisa terbeli?"

Suatu saat ketika melewati rak buku ini, saya teringat perkataan seseorang, "Kenapa kita sulit sekali menganggarkan uang untuk membeli buku? Kenapa terlalu banyak pertimbangan? Dengan enteng kita keluarkan uang untuk baju berharga sembilan puluh ribu, bahkan yang harganya di atas seratus. Lalu kenapa untuk buku, untuk ilmu dan investasi masa depan yang bisa diwariskan, kita terlalu berhitung?". Kurang lebih itu yang dikatakan penulis Asma Nadia di seminar yang saya hadiri beberapa bulan sebelumnya.

Kalimat itulah yang akhirnya memantapkan saya membawa Titik Nol ke kasir, meski saat itu harganya Rp125.000,00. 

Dan, kalimat itulah yang selalu saya dengungkan saat saya ragu dalam membeli buku. Meski kadang saya jadi kalap dan jadi memborong buku banyak-banyak, hehehe.

Ternyata tidak mengecewakan. Sangat amat tidak mengecewakan a.k.a sangat memuaskan. Jujur saya mulai bosan pada buku-buku travelling yang isinya kurang lebih sama, ya seperti yang disebut di atas: itinerary, tips dan trik, keindahan lokasi. Atau, novel yang menggunakan tema perjalanan atau luar negeri sebagai tempelan di cerita-cerita romantis tapi kata-katanya tidak romantis. Maka, buku-buku seperti Titik Nol dan Selimut Debu jadi semacam angin segar buat saya yang tetap ingin baca cerita perjalanan yang tak semu dan umum.

Selesai dengan Titik Nol, sejenak saya terlupa hingga pada awal 2017 lalu saya kembali mencari novel perjalanan lainnya. Browsing sana-sini, akhirnya saya teringat buku Agustinus Wibowo yang lain. Dimulailah perburuan itu, saya mencari Selimut Debu. 

Nihil.

Toko-toko buku mayor di Yogya sudah saya sambangi, tetapi stoknya selalu kosong. Ya sudah, coba dulu ke lain kota. Saya pun beralih ke Surabaya. Apes pula, toko-toko buku mayor langganan saya pun kosong. Seorang pramuniaga di salah satu toko berkata, "Terbitnya sudah agak lama ya? Wah maaf, kalau sudah lebih dari sekian tahun, biasanya sudah dikembalikan ke penerbit".

Saya tambah patah hati.

Berbekal pasrah, pergilah saya ke salah satu toko buku terbesar di Surabaya, yang kalau di toko ini buku itu tidak ada, maka bisa dipastikan buku tersebut sudah tidak beredar di Surabaya. Kembali saya menatap layar komputer toko, mencari. Tuh kan, Selimut Debu stoknya nol. Garis Batas tinggal satu, yang masih banyak adalah Titik Nol yang sepertinya memang lebih terkenal dan best seller  di antara ketiganya. Ya sudah, Selimut Debu tak ada, Garis Batas pun boleh juga.

"Kalau tinggal satu, biasanya sulit ditemukan bahkan sudah nggak ada, bahkan di gudang," kata si mas pramuniaga, tetapi tetap ia antarkan saya untuk mencari. Benar, hanya tumpukan buku berkover biru, Titik Nol, yang masih tersedia. Saya menghela napas kecewa sebelum saya melihat satu buku berkover hitam di antara lautan biru. 

Ternyata, jodoh memang tidak ke mana. Setelah dicari tentunya #eh. Buku itu bukan Garis Batas, tapi justru Selimut Debu. Hanya satu! Benar-benar tinggal satu! Setelahnya, di sisa waktu berkeliling toko, buku tersebut tak pernah saya lepaskan dari genggaman. Takut ada orang lain yang ngincar juga, hehe.

Kenapa saya keukeuh nyari buku ini? Simpel, ingin tahu tentang negara yang selalu dikabarkan berkonflik oleh seluruh media: Afganistan. Apa cerita di baliknya sama seperti yang kita dengar selama ini? Menilik dari Titik Nol, saya yakin Selimut Debu juga akan menuturkan cerita-cerita tak terduga yang tak terkover media. Dugaan itu tak meleset.

Untuk saya sendiri, Selimut Debu menawarkan kisah-kisah sejarah yang menarik dengan benang merahnya. Saat itu (curcol sedikit nih jadinya), saya sedang menggandrungi film Prince of Persia. Iya, saya tahu saya telat tujuh tahun menonton film ini. Saya pun baru benar-benar menonton film ini saat ditayangkan di TV. Terpikat pada ide ceritanya, saya pun mencari info soal film ini untuk memilah mana yang benar-benar ada dan mana yang fiksi.

Kisah Kekaisaran Persia, kota Alamut, Hassanssin, dan pegunungan Hindu Kush merupakan beberapa hal yang nyata adanya dan mereka turut diceritakan dalam Selimut Debu. Mengapa? Sebab Kekaisaran Persia dulu meliputi Afghanistan. Bicara soal sufisme, yang juga ada di Afghanistan, juga bersinggungan dengan Hassanssin (sumber inspirasi dari game terkenal Assassin Creed dan asal kata bahasa Inggris 'assassinate') dan kotanya, yaitu Alamut. Dan pegunungan Hindu Kush? Awalnya saya agak sangsi karena setting padang pasir di film tiba-tiba berubah menjadi pegunungan bersalju. Namun, tempat ini nyata adanya. Penamaan 'Hindu Kush' memiliki beberapa versi, salah satunya berarti 'pembunuh Hindu' karena banyak budak India yang dibawa ke Asia Tengah berabad lalu menjemput ajal di pegunungan ini lantaran tidak tahan suhu dingin yang menggigit. Siapa sangka Hindu pernah melintasi  Afghanistan? Bahkan, agama Buddha pernah berjaya di negara ini. Patung Buddha terbesar di dunia pernah ada di Afghanistan, sebelum hancur dibom oleh Taliban. 

Selimut Debu menceritakan kisah negeri di balik perang, kisah negara yang pernah jaya, cerita lawas para saudagar negeri padang pasir yang melintasi Jalur Sutra untuk mencapai Asia. Ini kisah tentang budaya dan desa yang tak tersentuh arus dunia, kisah tentang hijau lembah dan biru danau yang tersembunyi dari mata yang tak jeli mencari.



_________________________________



NB: salah satu buku perjalanan lain yang ada nilai human-nya yang saya temukan adalah Berjalan di Atas Cahaya tulisan Hanum Rais dan kawan-kawan. Kisah perjalanannya memang jauh lebih sedikit, tetapi setting luar negerinya benar-benar berhubungan dengan manusia dan bukan sekedar tempelan. 

Ada juga novel yang menceritakan tentang negara perang lain: Palestina. Novel ini berjudul Rinai, tulisan Sinta Yudisia. Bentuknya memang fiksi/novel, tapi penggambaran setting-nya amat detail dan nyata. Ceritanya bukan tentang perang-perangan juga, melainkan kisah humanis relawan-pengungsi dan banyak ilmu psikologinya. 

_________________________________



NB: ketika ke toko buku beberapa saat lalu, nemu Selimut Debu banyak di rak. Sepertinya sudah dicetak ulang, Garis Batas juga sudah. Jadi nggak perlu khawatir njelimet nyari, syukurlah :)
Reading Time:

Sabtu, 11 Juli 2015

Rengganis (Altitude 3088)
Juli 11, 2015 2 Comments



Judul: Rengganis
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi, Surakarta
Tahun terbit: Agustus 2014 (cetakan pertama)
Tebal: 232 halaman


Gunung Argopuro, Jawa Timur, terkenal sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang seJawa. Namun itu bukan alasan untuk menyerah. Berdelapan, yaitu Fathur, Dewo, Nisa, Acil, Dimas, Ajeng, Rafli, dan Sonia, mereka berusaha menamatkan medan demi medan untuk mencapai puncak-puncak Argopuro. Salah satunya, puncak yang disebut Rengganis.

Namun, bukan cuma hutan hijau, savanna luas, danau biru, ataupun kumpulan merak atau kijang liar yang menyihir delapan sekawan itu. Argopuro menyimpan pesona tersendiri, yaitu pesona yang ditinggalkan salah satu ningrat dari Majapahit yang konon berdiam dan murca di gunung tersebut, Dewi Rengganis.

Ketertarikan dan rasa penasaran yang berlebihan memang tidak baik. Gara-gara terlalu ingin tahu dan cukup menantang, satu dari delapan sekawan itu hilang. Suatu pagi, ia tak ditemukan oleh teman-temannya. Ketujuh kawan yang lain, dengan sisa semangat yang ada karena sebelumnya sudah tertimpa kejadian alam tak terduga, mati-matian mencarinya. Hingga ketika ditemukan, suatu pengakuan mengejutkan keluar dari mulutnya. Demikian pula pengakuan seorang lain, yang sama-sama mengagetkan.

----------------------------------------------------

Dasar penggemar jalan-jalan, secara naluriah biasanya tangan saya langsung gerak ngambil buku dengan cover atau judul yang berhubungan dengan jalan-jalan. Apalagi kalau tentang pendakian. Namun, semenjak mencuatnya film pendakian beberapa tahun lalu, novel-novel bertema sejenis pun jamak bermunculan. Dan harus diakui, nggak semua novel-novel itu cocok sama selera saya. Ada yang nggak cocok gegara bahasanya terlalu verbal atau terlalu jurnalis, ada yang isinya 'dangkal' (sori yaa), ada yang jalan-jalannya cuma tempelan tapi fokusnya malah soal lain, tapi mayoritas karena tema utama yang diangkat (ya 11-12 sama alasan sebelumnya sih). Atau saya aja yang terlalu pemilih ya? Tapi karena banyak 'cendawan di musim hujan' itulah, kudu pilih-pilih. Ya kali semua novel yang temanya jalan-jalan diembat ke kasir *langsung ngeluarin kalkulator.

Kok jadi curcol?

Pertama kali ngelihat cover dan judul novel ini, otak langsung mengirimkan sinyal tertarik. Alasannya jelas, ini novel tentang pendakian. Apalagi tujuannya salah satu gunung yang saya target puncaknya juga, Argopuro. Dan lagi, pengarangnya Azzura Dayana. Sejauh yang saya tahu, novel yang ditelurkan Azzura Dayana selalu mengangkat tema perjalanan: Tahta Mahameru, Ranu (meski di Ranu, cerita soal perjalanan nggak begitu jadi fokus dan nggak terlalu banyak, menurut saya - ini novel duet dengan Ifa Avianty), dan yang terakhir saya tahu, Rengganis ini. Berekspektasi bahwa Rengganis sama inspiratif-puitisnya dengan Tahta Mahameru, novel ini pun saya culik ke kasir.

Inti novel ini pendakian delapan orang ke Argopuro. Titik. Selesai. Sudah? Belum.

Seperti yang sudah disebutkan, konflik utamanya soal salah satu teman mereka yang tiba-tiba hilang ketika pendakian. Hilangnya teman ini berhubungan dengan mitos mistis yang ada di gunung Argopuro soal Dewi Rengganis. Memang, sedari awal penulis sudah ngasih tanda-tanda kalau kemistisan gunung ini suatu saat akan menghampiri kelompok pendaki itu secara langsung. Kemistisan Argopuro dan Dewi Rengganis jadi tema utama yang diangkat.

Secara catatan perjalanan, novel ini cukup lengkap. Medan yang berurutan dan rincian kesulitannya hingga penggambaran panorama-panorama cantik yang dilalui rasanya sudah genap disebutkan. Nggak cuma digambarkan, di novelnya ada penggambaran berupa ilustrasi beneran. Bukan foto, tapi sketsa hitam putih seperti di bawah ini. Buat saya, cukup membantu plus membangkitkan imajinasi. Sekarang, jarang banget kan ada novel yang dilengkapi ilustrasi.

 

Ceritanya sendiri menarik (atau karena buat saya semua cerita pendakian selalu menarik ya? Hehehe), tetapi karena terlalu 'bahasa reportasi', rasanya jadi lebih mirip baca catatan perjalanan dibandingkan baca novel. Di Rengganis, rasanya kalimat-kalimat mengalir kurang lancar. Mungkin karena bahasa yang reportatif, jadinya kaku. Penggambaran yang ditulis pun akhirnya turut reportatif dan cenderung pakai perumpamaan yang jamak dipakai. Akhirnya, perasaan saya sebagai pembaca pun kurang terbawa.

Tokoh yang banyak (delapan orang) sebenarnya nggak bikin saya terganggu. Apalagi penulis sepertinya berusaha mencirikan satu tokoh dengan satu sifat khusus. Misalnya Nisa yang penakut, Rafli yang tegap-kekar tapi cenderung grudak-gruduk, Dimas yang alim, Acil dan Dewo yang bijak dan dewasa, atau Sonia yang bisa 'ngelihat'. Namun, ciri khas yang dikenakan masih sifat yang tergolong umum. Memang, ada penekanan karakter tersebut di beberapa adegan, tapi kadang keumuman itu bikin bingung saat baca, sehingga saat pertama baca, buka halaman depan dulu buat ngecek tokoh supaya nggak kebalik-balik. Tapi, bukan masalah besar kok. Hanya saja, ada percakapan-percakapan yang rasanya agak janggal karena lebih ke percakapan sehari-hari (mungkin saya terlalu ngebandingin sama Tahta Mahameru yang tiap kalimat & percakapannya sarat makna kali ya).

Satu hal yang bikin alis saya terangkat adalah konfliknya. Hingga separuh buku, kok konfliknya belum kelihatan? Iya sih, pertanda-pertandanya ada. Tapi, konflik besarnya apa, belum ketebak, nggak yakin dengan lanjaran yang ditampilkan. Mungkin aja ini salah satu cara supaya pembaca sabar baca sampai akhir. Namun biasanya, 'bau-bau' konfliknya macam apa sudah tercium di sepertiga awal. Di novel Rengganis ini, konflik pertama baru ditemukan di halaman lanjut. Setelah konflik mini itu selesai, baru dilanjutkan konflik inti seperti yang dicantumkan di sinopsis belakang buku. Konflik inti memang bikin penasaran, "Kenapa kok gini?" dan di akhir memang ada penjelasan, "Ooh ternyata karena ini". Tapi... nggak tahu lah, kayaknya ada yang kurang. Berasa kayak, "Lho, gini aja?" Rasanya, masalah yang diangkat masih bisa digali lebih dalam lagi supaya lebih seru.

Kalau nyari novel pendakian yang cerita pendakiannya bukan cuma tempelan, Rengganis memenuhi syarat. Dan resensi ini sudut pandangnya subjektif ya, kalau orang lain yang baca, tentu aja pendapatnya bisa beda. So, happy reading! Selamat berkelana dalam imaji! 

----------------------------------------------------

(PS: Argopuro emang terkenal rada wingit. Tapi ketika nggak nantangin, tetep waspada, plus percaya sama Yang Di Atas, insyaAllah nggak papa, sama seperti gunung-gunung lain. PPS: sebenernya semua gunung juga punya cerita wingit tersendiri)
Reading Time:

Sabtu, 14 Desember 2013

99 Cahaya di Langit Eropa
Desember 14, 20130 Comments
Picture was taken from  http://1.bp.blogspot.com/-i7OAlrLrUS0/T3LZWAur5lI/
AAAAAAAACD4/zqsqzPCXB6M/s1600/cover-99for-web1.jpg

Yang di atas ini cover novelnya. Akhirnya novel ini difilmkan juga. Baru 5 Desember 2013 kemarin premiere kalau nggak salah. Nah, karena di postingan ini udah ada sekilas info tentang novelnya (meski sekilaaaas banget, tapi coba baca bukunya deh, top abis kok!), maka di postingan ini saya akan bahas filmnya.

Terus, terus, gimana filmnya?

Kalau saya cuma bilang 'keren banget', pasti nggak puas.

Picture was taken from: http://indosinema.com/wp-content/uploads/
2013/11/poster-99-cahaya-di-langit-eropa-e1383578690652.jpg

Film dibuka dengan kisah penaklukan Austria oleh Turki (persis dengan novelnya yang dibuka dengan hal yang sama). Kisah penaklukan ini diceritakan oleh seorang guru sekolah Ayse.

Kisah beralih menuju Hanum yang ikut suaminya, Rangga, kuliah di Austria. Bulan-bulan pertama emang asyik, dia bisa jalan-jalan ngelihat berbagai khazanah budaya yang disuguhkan Eropa. Tapi setelah beberapa waktu berlalu, Hanum bosan. Semua yang dilihatnya sudah terasa hambar. Eropa tidak semenyihir sebelumnya.

Hanum memutuskan ikut les bahasa Jerman. Di sinilah dia berkenalan dengan Fatma Pasha, seorang muslimah keturunan Turki yang tempo hari dilihatnya ditolak bekerja karena tidak lancar berbahasa Jerman. Waktu berjalan, Hanum pun bersahabat dengan Fatma dan menjadi dekat dengan Ayse, anak Fatma. Melihat Fatma dan Ayse yang enjoy mengenakan jilbab di negara non-muslim, Hanum pun penasaran. Bersama Fatma, ia diajak menggali Islam di Eropa.

Kisahnya macam-macam. Mulai dari pandangan orang Eropa terhadap muslim, sejarah Islam yang terjejak di Austria lewat perbukitan dan bangunannya, hingga kendala-kendala yang jamak dirasakan para muslim di Eropa. Namun intinya satu: menjadi agen Islam yang baik, meski dalam kondisi sulit sekalipun.

Jika jejak Islam pada sejarah Eropa digambarkan lewat adegan-adegan jalan-jalan Hanum dan Fatma, maka permasalahan muslim ditampilkan lewat adegan Rangga dan teman-temannya: Khan, Stefan, dan Marja. Khan seorang Islam India yang kukuh tapi terlalu kaku, Stefan adalah seorang kritis yang sering bertanya tentang Islam pada Rangga tetapi 'rame' orangnya, serta Marja yang perhatian tetapi 'ya lihat sendirilah'.

"Kok kayaknya Tuhan kamu suka banget bikin orang menderita," ucap Stefan saat Rangga menolak ajakannya makan karena sedang puasa.

"Nah, kalau asuransi, aku tahu di mana kantornya. Tuhan kamu, kantornya di mana?" ungkap Stefan heran mengapa Rangga begitu teguh memegang kepercayaan untuk sesuatu yang tak bisa dilihat.

"Maaf kawan, untuk agama, saya tidak ada toleransi. Untuk masalah ini, kamu sendirian," tanggap Khan saat Rangga mengajaknya mengajukan dispensasi ke profesor penguji karena jadwal ujian bertepatan dengan jadwal shalat Jumat.

"Mr. Almahendra, saya pernah mendengar kalimat 'bismillahirrahmanirrahim' yang artinya 'dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, what's the big deal?" cetus sang profesor saat Rangga mengutarakan maksudnya.

Adegan-adegan yang ada dalam novel seperti Fatma, Hanum, dan Ayse yang masuk ke gereja untuk menghangatkan diri atau percakapan pengunjung restoran tentang sejarah croissant yang melambangkan kekalahan Turki di Wina, ada dalam film ini. Namun, konflik terbesar yang ada di sini adalah saat Rangga bingung apa ia harus shalat Jumat ataukah mengikuti ujian. Kerasa banget konflik batinnya.

Suatu saat, Rangga ada kegiatan (mungkin semacam seminar) di Paris. Fatma menyarankan Hanum mengontak temannya, seorang sejarawan dan mualaf Prancis bernama Marion. Petualangan mencari jejak Islam di Prancis pun dimulai. Saat Rangga seminar, Hanum ditemani Marion berkeliling Paris.

Sebelum pulang dari Paris, Marion menitip sesuatu untuk Fatma lewat Hanum. Namun begitu kembali ke Austria, Hanum tidak menemukan Fatma. Fatma absen les bahasa Jerman, rumahnya kosong, dikontak lewat internet pun tidak bisa. Hanum teringat paket Marion untuk Fatma. Penasaran, ia dan Rangga membukanya.

"Fatma kanker?" tanya Rangga sambil menunjukkan kotak berisi obat herbal.

Hanum pun buru-buru membaca surat Marion untuk Fatma. Terbata-bata ia mengeja saat tahu bahwa paket obat herbal itu untuk Ayse. Ayse yang masih seusia SD, Ayse yang periang, Ayse yang menanyakan kenapa tante Hanum nggak pake jilbab, Ayse yang kukuh mengenakan jilbab meski sang guru memintanya mencopot saja agar tidak di-bully, Ayse yang ternyata mengidap kanker!

----------------------------------------------------------------

Keren, pake banget. Kemegahan Eropa, mulai dari kecantikan alam hingga keklasikan budayanya, tergambar di sini. Dengan nafas Islam tentunya. Permasalahan-permasalahan yang disajikan memicu pertanyaan: permasalahan klasik muslim di Eropa. Beberapa dijelaskan dengan gamblang, beberapa lagi (menurut saya) tidak dijelaskan. Seperti pada pertanyaan Stefan jika Allah tidak ada atau saat sang profesor bingung karena Rangga enggan mangkir shalat Jumat. Tapi kalau dijelaskan, mungkin durasi filmnya bakalan nggak cukup, hehehe. Tapi di film, ada kok adegan yang menayangkan Hanum dan Rangga konsultasi ke imam masjid, meski percakapannya nggak disuarakan.

Film disajikan dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Percakapan yang banyak (apalagi dengan pemain Indonesia) dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Seperti percakapan Hanum dengan Fatma-Ayse, Rangga dengan Stefan-Khan-Marja. 

Adegannya terkesan alami, nggak dibuat-buat atau didramatisasi (mungkin karena emang kisah nyata ya). Seperti saat Hanum marah karena merasa agamanya diejek, kebimbangan Rangga, ataupun hubungan Hanum-Rangga yang normal. Tahu kan, biasanya di film-film kan suami-istri mesra banget. Lah, di sini, normal banget: ya ketawa, ya ngambek, ya mesra juga tentunya. Dan makanannya! Dalam film-film yang setting-nya di Barat, seringkali makanannya adalah makanan Barat pula. Di sini, pasangan Hanum-Rangga kelihatan Indonesia banget. Makan pake tangan, lauknya krupuk dan ikan asin. Mahasiswa di perantauan banget lah, yang justru bikin alami karena mana ada sih mahasiswa perantauan yang tiap hari makan fine-dining (kecuali emang kaya).

Film ini mirip, kalo nggak bisa dibilang persis, dengan yang ada di novel. Namun, di beberapa bagian memang ada yang dimodifikasi. Seperti adegan-adegan Rangga dan terutama ending yang mellow banget, yang nggak saya rasakan saat baca novelnya. Kalau baca novelnya, kita dapet substansinya, maka kalau lihat filmnya, saya dapet substansi plus feel-nya.

----------------------------------------------------------------

Pemeran:
Acha Septriasa sebagai Hanum Rais
Abimana Aryasatya sebagai Rangga Almahendra
Raline Shah sebagai Fatma Pasha
Geccha Tavvara sebagai Ayse
Dewi Sandra sebagai Marion
Nino Fernandez sebagai Stefan
Alex Abbad sebagai Khan
Marissa Nasution sebagai Marja
Dian Pelangi sebagai Latife (teman Fatma)
Hanum Rais sebagai Ezra (teman Fatma)

Sutradara:
Guntur Soeharjanto

Soundtrack:
Cahaya di Langit Itu - Fatin Shidqia Lubis

FYI, film berlanjut ke Part 2. Belum tahu kapan rilisnya.
Reading Time:

Rabu, 10 Juli 2013

Anak Gunung Jatuh Cinta
Juli 10, 20130 Comments


Judul: Anak Gunung Jatuh Cinta
Penulis: Fransisca Desiana
Penerbit: Puspa Swara
Tahun terbit: 2007 (cetakan I)
Ukuran: 19 cm
Halaman: 112


Icha sama sekali nggak menyangka bisa bertemu orang seperti Kharlly. Kharlly yang akhirnya menjadi sahabatnya, menjadi kakak baginya, menjadi orang yang menyemangati saat sama-sama sedang diklat Pecinta Alam, pun menjadi orang yang pertama turun ke jurang saat Icha jatuh saat pendakian.

Kharlly pula yang membuat Icha mengenal Wildan, yang akhirnya menjadi kekasihnya. Meski Kharlly pula yang meminta Icha menjauhi Wildan karena merasa Icha berubah.

Tapi Icha memilih tak menggubris peringatan Kharlly. Icha hanya bisa terenyak ketika melihat dengan mata kepala sendiri Wildan memang sedang bersama wanita lain.

Icha makin terpukul saat sekembalinya dari rumah sakit, Kharlly yang selama ini menemaninya ternyata sudah meninggalkan kota itu, pindah dan memilih menghilang dari pandangan Icha. Kharlly menitipkan sebuah paket untuk Icha, berisi buku harian yang menguak masa lalu Kharlly yang kelam, yang membuatnya ingin selalu melindungi Icha, membuatnya terpaksa menasihati Icha agar menjauhi Wildan karena masa lalu mereka.

Tapi terlambat. Kharlly sudah terlanjut pergi, menghilang tanpa jejak. Meningggalkan pesan agar Icha tak mencarinya, karena suatu hari nanti ia sendiri yang akan datang menemui Icha

------------------------------------------------------------------


Novel teenlit ini sama seperti novel-novel teenlit lainnya, yang mengutamakan cerita remaja dan cinta. Hanya bedanya, latar belakang para tokohnya adalah pendaki. Namun untuk jalan cerita keseluruhan, hampir sama dengan novel bergenre sama. Setting sekolah masih ada, banyak. Setting gunung diselipkan sedikit-sedikit, namun tak menceritakan gunungnya, lebih fokus pada tokohnya.

Hal tentang gunung yang bisa ditemui di sini adalah adanya istilah-istilah yang akrab di telinga pendaki seperti bivak, survival, navigasi darat, dll. Di halaman terakhir, diselipkan definisi istilah-istilah tersebut untuk memudahkan para pembaca yang bukan anak PA.




Reading Time:

Kamis, 06 Juni 2013

Travel In Love
Juni 06, 2013 2 Comments

Judul: Travel In Love
Penulis: Diego Christian
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: 2013
Tebal: 324 halaman
Ukuran: 13 x 19 cm

Gara-gara bersahabat dengan Jatayu, salah satu anak Mapala itu, Paras jadi mengenal perjalanan. Sekarang, perjalanan seakan sudah menjadi salah satu hobinya. Keliling Indonesia, menikmati tempat-tempat indah Zamrud Khatulistiwa, mulai yang paling tersohor sampai yang nyempil nggak ada di peta.

Tapi gara-gara perjalanan pula, Paras bertemu Kanta. Kanta, saudara kembar Kelana, yang dingin dan nggak bisa ditebak. Hingga perjalanan usai, hubungan mereka di kampus masih tetap baik-baik saja. Kanta memperlakukan Paras dengan baik, tapi tak pernah menyatakan perasaannya. Hal inilah yang membuat Paras bingung.

Paras memutuskan melupakan Kanta, melupakan hubungan tanpa status mereka. Dan salah satu cara melupakannya adalah dengan jalan-jalan, menemukan hal baru, memulai hidup baru tanpa Kanta. Ditemani Jatayu, yang juga ingin melupakan Kelana yang meninggal saat mendaki Semeru, Paras backpacking dari Jakarta sampai Lombok.

Tapi perjalanan tak semulus yang diharapkan. Di Karimunjawa, mereka malah bertemu Kanta. Di Karimunjawa, mereka bertemu Sean, pemuda asal Swiss yang penuh perhatian pada Paras. Sejak di Karimunjawa pula, Paras merasa wajah tersenyum Jatayu hanyalah topeng untuk menutupi hatinya yang lara. Semua memang terlihat baik-baik saja. Sampai ketika di Jogja, Jatayu menghilang semalaman. Di Solo, semua rencana Paras makin terlihat berantakan. Kanta dan Sean bergabung dengan mereka di guesthouse yang sama, keduanya makin memporakporandakan perasaan Paras.

Tapi semua itu belum seberapa ketimbang kejutan yang dilihat Paras di Bali, yang kembali memorakporandakan hatinya, bertanya-tanya apakah Kanta memang lebih baik daripada  Sean dan apakah persahabatannya dengan Jatayu bisa dilanjutkan.

Tapi semua cerita pasti memiliki akhir. Dan ‘sebuah akhir itu’ sudah menanti Paras di Lombok, menjawab semua pertanyaannya.

----------------------------------

Buku yang ditulis Diego Christian ini memang tidak ber-setting di satu tempat aja. Ada cerita-cerita dalam perjalanan backpacking dari Jakarta ke Lombok. Berita baik untuk penghobi baca yang juga doyan travelling adalah novel ini dilengkapi deskripsi destinasi-destinasi dan beberapa info tentang guesthouse di sebuah kota yang diselipkan dalam cerita. Plus, hal-hal yang memudahkan kita sebagai traveller juga ada.

Menurut saya, ide novel ini keren: menggabungkan perjalanan dan cerita (mana ada sedikit ‘manual’ travelling, lagi! :D). Hanya pengolahan kalimatnya yang kurang menyentuh, mungkin terlalu deskripsi. Saya sebagai pembaca nggak bisa merasakan patah hatinya Paras atau galaunya si tokoh utama ketika menghadapi konflik. Turn of event alias konfliknya pun rasanya nggak begitu greget sehingga saya nggak merasakan adanya masalah. Endingnya memang unpredictable, tapi masih membingungkan karena di bab-bab sebelumnya ‘tanda-tanda’ yang bisa mendukung ending kurang dieksplor (meski saat diperhatikan, “Oooh, ternyata karena ini toh!).

Tapi lepas dari minusnya, buku ini masih punya nilai plus. Antara lain, memberitahu bahwa wilayah Indonesia ini sangat layak dieksplor dan menjadi tempat backpacker-an, nggak cuma luar negeri aja :)

Buat yang mentingin kondisi fisik buku, jangan khawatir! Soalnya, sampul buku ini tebal dan kaku. Kertasnya bagus, lagi! Tebal dengan corak hitam-putih di setiap halaman, nggak di judul doang. Plus, dilengkapi pembatas buku yang tebal.

Reading Time: