November 2021 - Hijaubiru

Jumat, 26 November 2021

Surabaya dari Balik Jendela
November 26, 20210 Comments

 


Gimana cara mengusir kebosanan di-rumah-aja karena pandemi? Ada banyak cara; dari melakoni hobi hingga iseng ikut tren macam bikin dalgona dan puding. Tapi gimana kalau hobinya jalan-jalan? Well, ini sih memang harus ditahan dulu.


Namun, kalau kita termasuk orang yang bisa menahan diri nggak mampir-mampir, jalan-jalan tipis dalam kota masih mungkin dilakukan. Bener-bener cuma jalan atau nyetir kendaraan tanpa berhenti. Paling cuma singgah sebentar buat isi bensin atau beli makanan/jajan yang bungkus bawa pulang.


Sejak sebelum pandemi, saya emang udah doyan muter-muter tanpa berhenti buat cuci mata. Nggak jauh, di dalam kota aja. Ngelihat gedung tua, sawah atau tegalan yang hijau, atau sekadar nyobain rute jalan yang jarang dilewatin. Literally nggak ngapa-ngapain; cuma naik kendaraan tanpa berhenti sambil lihat pemandangan kanan-kiri doang. Kadang disambi hunting foto kalau ada panorama bagus dan memungkinkan buat berhenti.

 

Bahasa umumnya: sight-seeing. Bahasa jowonya: mblakrak.

 

Sejak pandemi dan nggak bisa travelling beneran, ini jadi cara alternatif saya kalau lagi pengin jalan-jalan. Nggak sering, seminggu sekali belum tentu.

 

Kalau di kota/kabupaten yang nggak terlalu ramai, pemandangan ijo royo-royo relatif gampang didapat karena masih banyak sawah, lahan, sungai yang lumayan bersih, plus dekat lembah & gunung. Gimana kalau di kota, apa yang mau dilihat? Surabaya, misalnya?

 

Kalau di Surabaya, saya beralih ke gedung tua. September lalu (kalau nggak salah), saya sempat motret beberapa gedung lawas dari balik jendela mobil, waktu kebetulan melintas di depannya (God bless penemu autofokus!)


Berikut beberapa landmark yang terlewati dari rute Surabaya utara ke selatan

(NB: dibuat berdasar cerita mulut-ke-mulut, jadi besar kemungkinan ada yang bias atau nggak valid. Untuk yang lebih tepat, harap cari sumber lain yang lebih otentik).

 

1. TUGU PAHLAWAN

Tugu Pahlawan (kiri), bendera, dan kantor gubernur Jatim (kanan)
Gambar diambil dari area dalam Tugu Pahlawan, 2015
(foto yg dijepret sambil jalan ternyata burik, jadi pake ini aja)


Monumen juang untuk memperingati keberanian arek-arek Suroboyo (yang hingga kini masih suka bondo nekat) mengusir penjajah. Selain tugu yang menjulang bak pena tembus ke langit, juga ada museumnya. Bentuk bangunan museum ini agak mirip dengan kubah piramid Museum Louvre, Perancis.

 

Di sini juga ada lapangan luas. Dulu pada zaman kerajaan-kerajaan, saat Surabaya masih berupa kadipaten independen, di sinilah letak alun-alun kota. Keraton Surabaya, yang sekarang tak ada jejaknya, terletak tak jauh dari sini. Perkampungan dan ruko yang ada saat ini, dulu adalah perkampungan abdi dalem dan para pekerja kadipaten.

 

Konon, nama-nama jalan di sekitar sini dibuat berdasar jenis perkampungan di masa lalu. Misalnya, Jl. Jagalan yang ditengarai sebagai pusat jagal ternak di waktu itu. Btw kalau nggak salah di sekitar sini juga ada kampung yang di sana ditemukan sumur kuno zaman Majapahit. Tapi saya lupa tepatnya di mana. 

 

 

2. KALISOSOK


Nama ‘Kalisosok’ adalah nama penjara legendaris di Surabaya. Puing bangunan ini masih terletak di kota tuanya Surabaya.

 

Dulu, waktu eyang-eyang pejuang kemerdekaan masih banyak yang hidup, nama bui ini sering disebut dan diceritakan ke kami yang masih kecil-kecil.

“Kalisosok ya … Dulu pernah dipenjara di situ.”

“Kenapa, Mbah?”

“Biasa … ditangkap Belanda.”

 

In frame: bukan Kalisosok, tapi gedung-gedung lawas di sekitarnya. Nuansa kota tua terlihat dari bentuk bangunan dan jendela yang besar-besar khas gaya kolonial. Masih berpenghuni.

 


3. KALIMAS DAN MATARAM



Salah satu sungai besar dan penting di Surabaya yang merupakan sempalan Sungai Brantas. Sungai ini sudah jadi jalur transportasi air sejak zaman Majapahit (untuk masuk ke Mojokerto) dan zaman kolonial.

 

Masih ingat cerita penaklukan dunia oleh tentara Mongol khususnya dinasti Khan? Pertempuran Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, dengan pasukan Mongol utusan Kubilai Khan terjadi di sekitar sungai ini.


Kalimas yang membelah Surabaya
(maafkeun garis animasinya nggak terlalu pas, ngedit di HP)

Nama ‘Kalimas’ punya arti ‘sungai (kali) yang berwarna kuning/keemasan’. Nama ini didapatkan ketika Kadipaten Surabaya sedang berperang dengan Mataram Islam. Saat itu, Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung sedang meluaskan ekspansinya ke Jawa Timur.

 

Pasukan Mataram kesulitan menaklukkan Surabaya karena selain kuat, keraton Surabaya (daerah sekitar Tugu Pahlawan tadi) dikelilingi sungai dan rawa. Mereka pun bersiasat dengan membuang banyak kotoran, termasuk feses manusia, ke Kalimas sehingga airnya kotor dan berwarna kekuningan. Akibatnya, sungai tersebut tercemar sehingga menyebabkan penyakit bagi prajurit dan penduduk setempat.

 

Taktik oldies bioweaponry ini berhasil. Surabaya menyerah.

 

Setelah ditaklukkan dan jadi bagian dari Mataram, beberapa pemimpin Surabaya pun dikirim ke Yogya, pusat Mataram Islam. Salah satunya adalah Pangeran Pekik. Beliau dinikahkandengan adik Sultan Agung dan ikut terlibat aktif dalam pemerintahan sultan.

 

Pangeran Pekik hidup di Yogya sampai meninggal. Beliau dimakamkan di kompleks makam Banyusumurup yang terletak di Imogiri, Kab. Bantul, D. I. Yogyakarta. Tak jauh dari kompleks makam raja-raja. Lokasinya tak jauh dari pertigaan utama ke arah Kebun Buah Mangunan.

 

 

4. JEMBATAN MERAH

Pagar jembatan yang dicat merah tampak di bagian paling kiri dan kanan foto


Selain sebagai penyeberangan melintasi Kalimas, jembatan ini juga dijadikan batas pemisah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bagian barat jembatan merupakan area untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan sebelah timur untuk Tionghoa, Arab, dan Melayu.

 

Makanya bila diperhatikan, gedung-gedung di Jl. Rajawali dan sekitarnya (barat) punya gaya arsitektur ala Eropa, sedangkan area Kyakya dan sekitarnya punya bangunan bernuansa Timur Jauh.

 

Jembatan ini juga jadi saksi penting sejarah perang kemerdekaan ketika Sekutu (Allied Forces) masuk ke Indonesia. Brigjend Mallaby disebut tewas di sekitar sini menjelang pertempuran 10 November.

 

Aaanyway, Jembatan Merah punya lagu yang dibuat oleh Gesang. Keroncong gitu. Liriknya sedih bener, ngegambarin situasi zaman mbah-mbah kita yang ditinggal perang orang terkasih. Coba simak potongannya berikut ini:

Biar jembatan merah

Andainya patah aku pun bersumpah

Akan kunanti dia di sini

Bertemu lagi~

 


5. KYAKYA/KEMBANG JEPUN


Pecinannya Surabaya. Nuansa bisnisnya terasa. Banyak toko dengan pintu folding-gate berteralis berjajar di kanan-kiri.

 

‘Kyakaya’ berarti ‘jalan-jalan’ dalam salah satu dialek Tionghoa (Hokkian, kalau nggak salah *cmiiw). Artinya, tempat ini biasa jadi jujugan untuk jalan-jalan.

 

Namun, ada pendapat lain yang berkata bahwa ‘kyakya’ berarti ‘jalan, jalan!’. Dulu, tempat ini sangat ramai hingga manusia pun berjalan umpel-umpelan. Maka banyak orang berseru, “Kya! Kya!” dengan maksud menyuruh orang di depannya supaya berjalan lebih cepat.

 

Nama ‘Kembang Jepun’ muncul ketika pasukan Jepang datang dan mereka menjadikan tempat ini sebagai jujugan mencari ‘kembang’ *iykwim

 

 

6. HOTEL ARCADIA



Dulu bernama Hotel Ibis. Dulunya lagi, bekas gedung perusahaan Geo Wehry & Co. Ini perusahaan termasuk Big Five di Hindia Belanda pada masanya. Geo Wehry & Co juga punya gedung di kota-kota besar lain, seperti Jakarta dan Padang.



7. SIOLA DAN TP (TUNJUNGAN PLAZA)


Tunjungan adalah pusat jalan-jalan sejak zaman dulu kala, bahkan sebelum ada plaza-plaza yang menjulang tinggi dan sering bikin orang nyasar itu. Demikian juga Siola.

 

Banyak toko; dulu dan kini. Hotel Majapahit/ex-Yamato/ex-Oranje tempat insiden penyobekan bendera Belanda juga terletak di ruas ini. Dengar-dengar, pemkot bakal bikin area ini jadi semacam sentra jalan-jalan.

 

Sama seperti Jembatan Merah, Tunjungan juga punya lagu.

Rek, ayo, Rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek, ayo, Rek, rame-rame bebarengan

Cak, ayo, Cak, sopo gelem melu aku~

 


8. BALAI PEMUDA


Dekat balai kota. Sering jadi tempat pameran dan rute pawai. Dekat situs sejarah patung Joko Dolog juga. Konon disebut 'Balai Pemuda' karena dulu dijadikan tempat kumpul-kumpul para jongens (pemuda/lelaki Belanda). Macam gentleman clubhouse gitu lah. 

 


9. WISMILAK


Menuju selatan, di persimpangan Jl. Dr. Soetomo dan Jl. Polisi Istimewa, ada hiasan jalan berupa rangkaian kandang burung (tanpa burung) yang dihiasi lampu warna-warni. Di selatan ada gedung yang jelas mencolok karena gayanya yang lebih oldies dibandingkan yang lain. Itulah Grha Wismilak.

 

Sebelum masa kemerdekaan, bangunan ini menjadi toko elit bagi warga Belanda. Kemudian, disewa menjadi Toko Yan. Ketika Jepang masuk, mereka menjadikannya asrama Pasukan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu-tai, sekarang istilahnya Brimob). Ketika Sekutu datang pada ’45, para pejuang diultimatum dan diminta menyerahkan senjata ke sini.

 

Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah jadi kantor polisi RI. Sekarang, gedung ini menjadi milik PT. Wismilak

(sumber: Grha Wismilak | Wismilak Group)

 


10. PINTU AIR JAGIR

Pintu air untuk mengatur volume air. Termasuk cagar budaya karena dibangun (selesai) pada 1917 (sumber: Pintu Air Jagir - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

 


11. GRAHA PENA

Now the modern time it is!

Salah satu gedung di Surabaya yang ikonik karena bentuk menaranya yang mirip pena. Nggak heran, karena gedung ini milik perusahaan surat kabar Jawa Pos. Tapi, di dalamnya ada beberapa kantor, nggak cuma Jawa Pos aja.

 

Di depan Graha Pena terdapat gedung ‘anak mudanya Surabaya’: DBL Arena. Gedung ini dipakai anak-anak SMP & SMA untuk tanding basket dan suporteran. Biasanya sepulang suporteran anak-anak sekolah ini bakal mampir ke KFC di sebelahnya. Sekarang sih, kayaknya tempat nongkrongnya makin beragam.

 

==========

 

Sekian.

Cerita-cerita didapat dari obrolan, kisah orang-orang tua, virtual tour, dan baca dari beberapa buku dan webpage (yang, maaf, lupa apa aja--bakal ditambahkan kalo udah nemu). Foto dan takarirnya pernah saya jadiin instastory beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir karena cerita tiap tempat (yang saya tahu) sedikit, ngapain ditulis di blog? Tapi akhirnya, "Ya udah nggak apa-apa buat pemanasan nulis lagi", hehe.


Selamat malam. Semoga bisa menikmati Surabaya yang kini sedang dibalut hujan (dan kenangan (?)




Reading Time:

Jumat, 12 November 2021

Supaya (Kembali) Suka Membaca
November 12, 2021 2 Comments




(Judulnya formal & serius amat ya kayaknya, haha. Padahal isinya lebih kayak cerita biasa. Rada template  biar ke-detect SEO aja padahal ya nggak kayak gitu cara mainnya lol  Ilustrasinya juga nggak nyambung)

Okay, back to business.

 

Seseorang pernah nanya ke saya, “Gimana sih biar suka/hobi baca?”

Pertanyaan ini bikin garuk-garuk kepala. Ini sama aja kayak nanya kenapa ada orang yang suka es krim tapi ada juga yang nggak suka; kenapa teman kita ada yang naksir si X dan bukan si Y.

 

Ya karena … emang suka.

Apa rasa suka bisa dipaksakan? Kan enggak. Sama dengan baca buku.

 

Tapi, bukan berarti nggak bisa dibiasakan. Sama kayak kita yang nggak semuanya suka Matematika tapi karena dibiasakan, seenggaknya kita bisa kalau tiba-tiba disuruh ngitung perbandingan senilai (apalagi kalau yang dibandingin itu harga barang di toko online pas event 11.11).

 

Jadi gimana caranya?

Untuk catatan, cara orang beda-beda, yak. Cocok buat saya belum tentu cocok buat ngana. Ini cuma berdasar pengalaman (halah!) personal saya aja sih.

 

1. START SMALL

… tapi rutin. Usahakan sehari baca paling enggak sekali. Nggak perlu lama-lama, 15 menit aja cukup. Dan, nggak perlu panjang-panjang. Baca teks panjang juga nggak apa-apa sih—apalagi kalau enjoy— tapi membaca sedikit ini lebih buat memicu minat baca. Khawatirnya bakal jenuh dan hilang minat kalau ngerasa diwajibkan baca agak banyak.

 

Berapa banyak ‘sedikit’ itu? Terserah. Saya kemarin cuma tiga lembar per hari. Meski kadang karena ngerasa nanggung dan telanjur penasaran jadi dilanjutin lebih dari tiga, hehe. Ini cuma butuh waktu paling lama 15 menit.

 

Kalau dibatesinnya bukan lembar, tapi waktu, gimana?

Ya, monggo kerso, silakan aja. Suka-suka.

 

Cuma kalau pengalaman saya, dibatasi pakai waktu terasa lebih mengganggu. Sedikit-sedikit lihat HP buat lihat waktu (“Duh kok masih lama sih?”). Tapi kadang malah waktu lagi asik-asiknya, alarm keburu bunyi. Jadi keasyikan baca bukunya berkurang. Jadi saya pilih pakai lembar aja.

 

 

2. BACA BUKU YANG DISUKAI

… atau genre buku yang disukai. Atau, buku yang emang pengin dibaca karena penasaran. Supaya ada pemantik: memang suka bacaan itu/penasaran isinya.

 

“Tapi aku sukanya baca komik.”

 

Nggak apa-apa. Baca! Ini kan baru pembiasaan. Nanti kalau sudah biasa, bisa lanjut ke buku-buku yang lebih tebal. Waktu kecil, saya juga juga gitu. Ortu membiasakan dengan buku dongeng bergambar. Lalu waktu agak besar, ke komik tokoh-tokoh dunia dan novel anak. Terus saya melebar ke koran, majalah, dan semacamnya, kemudian berlanjut ke novel teenlit, lalu novel sastra, lalu buku-buku nonfiksi. No problemo, semua bertahap. Yang penting enjoy dulu.

 

Lagipula, komik itu nggak jelek, kok. Banyak komik-komik yang bagus. Bahkan saya pernah nemu komik yang pembacanya kudu mikir dulu, sedangkan ada pula novel yang udahlah isinya nggak jelas, gaya penulisannya kayak anak SD baru belajar ngarang.

 

Saya juga pernah coba baca buku yang masuk kategori must read. Kebetulan semacam buku pengembangan diri yang lagi ngetren gitu lah di kalangan mahasiswa. Banyak teman yang review, “Bagus nih, kamu kudu baca apalagi kamu suka baca!” Terus, saya bacalah itu buku.

 

And then?  Udah seminggu nggak habis-habis, euy. Jangankan habis/enjoy, isi bab yang barusan dibaca aja nggak begitu ngeh, masih nggrambyang. Bukan nggak paham, tapi karena I can’t grasp the idea. Kemudian saya sadar: saya baca itu buku bukan karena pengin/penasaran tapi karena ngerasa kudu baca, ikut tren para pembaca lainnya.

 

Kalau dari awal udah nggak enjoy, ya gimana bisa suka (baca)?

Sama lah kayak naksir orang. 

 

NB: ada sih buku yang sebaiknya dibaca meski kita nggak terlalu pengin tahu. Bisa buku nonfiksi atau fiksi. Kadang saya juga memaksa diri baca buku-buku itu supaya nambah isi otak atau memperluas referensi. Bisa, kok. Masuk ke otak. Cuma nggak masuk ke hati. Nggak apa.

Namun, karena di sini yang dibahas adalah membiasakan membaca, jadi saya saranin supaya cari sesuatu yang bisa bikin suka secara alamiah dulu.

 

 
3. SEDIAKAN BUKU KHUSUS KETIKA MALAS MELANDA

Akan ada waktu saat dalam seminggu full kita malas baca. Atau, kalau programnya harian, ada hari yang sibuk banget atau maleeees banget baca (penginnya main medsos atau main HP aja—ini sih saya, wkwk). Terus gimana biar nggak putus dan bisa istikomah?

 

Biasanya saya sediakan satu buku yang antarbab nggak begitu berhubungan. Maksudnya?

 

Gini. Sebetulnya, saya tipe orang yang nggak bisa kalau baca itu dipotong-potong. Misalnya satu buku dibaca dalam seminggu. Nggak bisa. Soalnya, saya bakal gampang lupa apa yang udah dibaca. Jadi emang harus habis dalam sehari. Max 3 hari. Kecuali textbook dan buku nonfiksi scientific. Makanya dulu, meski bacanya ngejoss, paling seminggu saya cuma bisa baca 1 buku meski sehari langsung habis.

 

Nah, karena saya harus mulai membiasakan membaca dari awal lagi, ya nggak mungkin ritmenya kayak gitu, dong. Jadi untuk menyiasati hari malas baca, saya sedia buku macam kumpulan cerpen/esai/artikel. Nah kalau kayak ini kan, satu cerpen paling 10 lembar bahkan bisa lebih pendek. So yang dibaca lebih pendek, tapi tetap baca.

 

Kalau nggak suka cerpen, gimana?

 

Bisa diganti buku-buku yang ‘babnya adalah pembahasan terpisah’. Selain antologi cerpen, kadang saya baca kompilasi artikel Ekspedisi/Liputan Kompas, misalnya. Atau buku semacam ‘jenis-jenis tumbuhan TOGA Indonesia’, itu kan tiap babnya cuma bahas satu jenis tanaman.

 

 

4. JAUHKAN SUMBER DISTRAKSI

Ini ‘tips’ paling penting, paling krusial, paling esensial.

Jauhkan HP atau matikan internet. Dua itu sih sumber distraksi saya yang paling utama. Bahkan, yang disebut kedua adalah hal yang bikin saya berpindah hati dari buku. Apalagi setelah pandemi ketika harga paket data dan wifi jadi jor-joran murahnya (dulu mah buka Youtube pakai HP aja kalau mepet banget).

 

Duluuu, sebelum harga paket data & wifi ‘semurah’ sekarang, saya suka ngakalin dengan sengaja beli paket data yang memang koneksinya jelek. Jadi memang cuma lancar buat chatting aja. Terus kalau butuh buka web dll gimana? Di kampus. Kalau terpaksa buka web di kosan, paling cuma buka website jurnal yang notabene teks semua jadi loading-nya cepet.

 


5. EBOOK

Gimana kalau masih tetap lebih suka pegang HP?

 

Baca ebook (yang legal). Ada beberapa aplikasi, seperti Google Books dsb. Saya pakai iPusnas. Dia gratis. Selain itu, ada aplikasi perpustakaan lain yang juga gratis, cari aja.

(“Ngantre lama dong?” Kalau buku yang populer, iya. Tapi nggak semua juga. Beberapa buku Dee, misalnya, saya pinjam tanpa antre. Kadang malah nemu hidden gem; buku yg isinya bagus tapi jarang orang cari/tahu. Tanpa antre.)

 

Saya baca ebook via HP kalau lagi males banget baca buku dan seharian lebih sering pegang HP. Mau berpisah, rasanya susah. Tapi saat dipegang, terasa bosan. Sering kan, kita pindah-pindah apps karena bosan sampai mikir, “Buka apa lagi yaa?”

 

Nah, cara ini saya pakai kalau lagi kayak gitu. Daripada random tanpa guna, buka aja apps membaca. Tips ini biasanya saya kombinasikan dengan tips nomor 3 karena moodnya sama: lagi males.


Dan, karena mata saya tipe yang cepat perih kalau baca buku di HP, cara ini lumayan membantu. Tetap baca, tapi nggak terlalu lama.



 

 

==============================

 

 

Mau cerita sedikit. Sebenarnya, udah hampir dua tahunan ini saya nggak melahap habis satu buku. Setahun mungkin cuma tamat 1-2 buku baru. Bacanya juga loncat-loncat aja dan itu buku udah terlupakan bahkan sebelum dibaca separuh. Durasinya pun nggak lama. Satu jam nggak pakai tengak-tengok itu udah rekor banget.

 

Padahal dulu? Satu buku dengan tebal 500 halaman lebih bisa saya lahap dalam sehari. Nggak skimming atau scanning, tapi emang beneran dibaca. Dan, kalau diminta mengisahkan ulang, saya bisa nyeritain detail isinya apa.

 

Karena makin sibuk, kali?

 

Well, no. Malah kayaknya dulu jauh lebih sibuk, secara fisik ataupun otak.

 

Sebenernya udah tahu kenapa, sih …. Tak lain tak bukan: distraksi HP. Scroll medsos (apalagi kalau lagi bangun niche ya kan—alasan aja sih), nonton Youtube, chatting, dll dsb dst. ‘Untungnya’ masih baca juga meski baca komik online yang per episodenya terbit per minggu (sehingga fokusnya cepat loncat ke judul komik lain yang juga lagi update hari itu).

 

Nah itu kan masih baca!

 

Kalau ngitungnya gitu, ya, masih baca. Masih sering baca artikel juga, misalnya yang di-share akun-akun macam NatGeo dkk. Tapi, kan, itu paling cuma 3-5 lembar. Setelahnya langsung ganti baca artikel lain. Jadi durasi fokus baca di satu topik itu nggak lama. Beda dengan buku yang butuh berjam-jam buat stay di satu bahasan.

 

Untungnya sebulan lalu, ada teman-teman yang menggagas program rutin membaca buku sebulan penuh. ODTL namanya, singkatan dari One Day Tiga Lembar (jangan tanya kenapa bahasanya campuran, saya juga lupa kenapa, wkwk). Setiap hari harus lapor mandiri ke tautan yang diberikan: baca buku apa & berapa lembar. Di akhir pekan, laporan itu akan direkap admin dan dibagikan progress membaca tiap orang. Yang dibaca nggak banyak kok, sehari minimal 3 lembar. Dan, idealnya emang membaca tiap hari, tapi kalau bolong juga nggak ada hukuman.

 

Saya mutusin ikut buat membangun kembali kebiasaan membaca. Siapa tahu setelah ada dorongan eksternal a.k.a kewajiban setor, saya jadi lebih ajeg. Dan, kalau berhasil 30 hari tanpa bolong, bisa jadi fondasi buat ngelanjutin kebiasaan baca di bulan-bulan selanjutnya, meski nggak laporan ke admin lagi.

 

Did I manage, considering that I haven’t do it for a long time?

 

Yes. Thankfully, alhamdulillah, walau diwarnai ke-moody-an dan kemalasan. Bahkan bisa habis dua buku 300++ halaman yang salah satunya mampu dihabiskan dalam sehari dengan enjoy dan nggak ngoyo (yep, buku yang pekan kemarin baru saya review di sini, wkwkwk).

 

Dan sisanya adalah buku-buku yang saya baca dengan ‘5 Kiat Agar Suka Membaca’ di atas, wkwk. Jadi ya … emang banyak buku yang dibaca lompat-lompat atau pilih-pilih bab. Ada sih beberapa buku yang full dibaca (tapi tipis).

 

Barangkali ada yang punya kiat lain supaya suka membaca, mangga drop di kolom komentar. Siapa tahu lebih efektif dari cara saya.

Reading Time:

Kamis, 04 November 2021

Review: Aroma Karsa
November 04, 2021 6 Comments

 


Penulis : Dewi Lestari (Dee)

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2018 (cetakan 1), 2021 (cetakan 7)

Tebal: 702 halaman

Ukuran: ±13,5 x 19,5 cm


==============================

Index (click to jump to section):

==============================


Novel ini diawali dengan cerita salah satu tokoh utama, Raras Prayagung, ketika remaja. Raras dekat dengan sang nenek, Janirah, yang suka mendongenginya. Saat akan meninggal, Janirah membuka satu rahasia besar: Puspa Karsa yang selama ini ia dongengkan itu betulan ada. Kembang inilah yang mengubah kehidupan Janirah dari anak seorang abdi dalem keraton Yogya menjadi CEO perusahaan top di Indonesia. Janirah juga memberi Raras satu misi penting yaitu menemukan Puspa Karsa yang asli; yang hanya bisa ‘dibaui’ lewat ‘aromanya’.

 

Cerita berputar haluan dan membuka bab tentang Jati, pemuda yang tumbuh besar di TPU Bantar Gebang. Hidung Jati ini luar biasa. Dia bisa membaui aroma-aroma spesifik dan membedahnya satu-satu hingga terperinci. Saking hebatnya, Jati bisa menemukan mayat usia beberapa hari yang sudah terpendam dalam bukit sampah TPU hanya dengan membedakan baunya (padahal kalau kita ya bau sampah ya bau aja, mana bisa bedain satu-satu, ya nggak?). Karena itulah Jati dijuluki ‘Si Hidung Tikus’.

 

Satu peristiwa mengantar Jati bertemu Raras dan menjadikannya karyawan di perusahaan wanita itu. Ketika peristiwa ini terjadi, Raras sudah bukan remaja lagi. Ia sudah jadi wanita berusia menjelang senja sekaligus lumpuh separuh badan. Raras juga sudah jadi CEO Kemara (perusahaan warisan Janirah) dan ibu dari satu anak seumuran Jati, Tanaya Suma.

 

Pengangkatan Jati menjadi karyawan dan perlakuan khusus Raras padanya membuat Suma tak menyukai pemuda tegap itu. Meski keduanya punya kemampuan olfaktori yang sama hebat, banyak cekcok di antara mereka sebab Suma menganggap hanya dirinyalah yang mampu menemukan Puspa Karsa. Suma makin sebal saat Arya, kekasih Suma, justru seperti membela pemuda itu.

 

Bab-bab selanjutnya diisi dengan persiapan keberangkatan ekspedisi mencari Puspa Karsa ke Gunung Lawu, Jawa Timur. Mengumpulkan personel, penjabaran bukti arkeologi, sekaligus ‘membuka’ satu per satu misteri yang menyelubungi Puspa Karsa. Siapa sangka bahwa ternyata ia lebih dari sekadar bunga langka, tapi juga penghubung kisah-kisah hidup orang-orang yang terlibat dalam ekspedisi?

 

Bahwa masa lalu dan orang tua Jati ternyata seperti itu. Bahwa kehebatan indra penciuman Jati dan Suma ternyata karena itu. Bahwa ada selimut-selimut rahasia dan masa lalu, bahkan sejak era kerajaan, yang membungkus Puspa Karsa dan membelit perjalanan hidup orang-orang yang mencarinya. 

 

==============================

 

Waktu buku ini terbit, jujur nggak ada keinginan buat beli/baca karena mikir, “Oh, paling mirip sama serial Supernova”. Tapi nggak tahu deh, akhir-akhir ini kayaknya adaaa aja post tentang Aroma Karsa yang berseliweran. Entah ngomongin ceritanya yang memikat, risetnya yang dalem banget, atau penulisannya yang detail tapi tetap bisa bikin enjoy pas dibaca. Etc etc.

 

Akhirnya saya goyah juga, hahaha. Padahal kalau dipikir-pikir, serial Supernova (dan karya-karya Dee lain yg pernah saya baca) pun memikat, risetnya dalam, dan detail, tapi asik dibaca. Mungkin, yang bikin saya goyah adalah perbedaan universe antara keduanya. Saya penasaran gimana Dee mengawinkan dunia nyata ala kita dengan mitos kuno yang kemudian dibumbui dunia fantasi.

 

“Lah kan fantasi, mirip kayak Supernova?”

Beda.

Bila universe Supernova dibangun atas desain imajinasi penulis + berbagai folklore/kepercayaan di dunia, maka semesta fantasi Aroma Karsa punya titik berat berupa cerita rakyat/mitos sebagai salah satu fondasinya.

 

Dalam serial Supernova memang ada sisipan cerita rakyat, mitos, dan fakta ilmiah, seperti legenda suku Batak, ayahuasca, jamur psilocybe, dll. Namun, detail-detail itu bukan ‘fondasi utama’ dunia fantasi Asko; pelengkap detail aja. Nah, di Aroma Karsa, mitos-mitos itu termasuk salah satu fondasi utama dunia fantasinya. Mitos awal mula orang Jawa, mistisisme Gunung Lawu, dan cerita salah seorang raja yang ‘ngilang’ di Lawu turut membangun universe/semesta fantasi di dalamnya.

 

Sederhananya, kalau mitos/cerita rakyat ini dihilangkan atau diganti, maka dunia fantasi Aroma Karsa nggak bakal ada dan cerita akan berubah signifikan.

 

Dee menghubungkan benang merah antara mitos dan cerita rakyat masyarakat Jawa dengan dunia imajinasinya. Kisah-kisah ini misalnya:

-     Gunung Lawu yang mistis:

kenyataannya emang mistis, hehe. Teman-teman yang ‘bisa ngelihat’ bilang emang terasa banget. Lawu masih jadi jujugan orang-orang melakukan ritual doa dan ziarah sampai sekarang. Dulu waktu naik Lawu sering papasan dengan peziarah, padahal naiknya di hari biasa. Apalagi kalau hari istimewa macam Malam Satu Suro.

-     Mahisa Guning yang bersembunyi di Lawu:

Diceritakan kalau raja satu ini lenyap dan nggak dicatat dalam sejarah karena suatu sebab. Beliau kemudian minggir ke Lawu bersama orang-orangnya dan mendirikan perkampungan tersembunyi.

Cerita ini agak mirip dengan kisah Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. Menjelang keruntuhan Majapahit, Brawijaya dan orang-orangnya juga menyepi ke Gunung Lawu kemudian moksa (meninggal dan menghilang) di Hargo Dalem, salah satu puncak Lawu. Ada sebuah bangunan di Hargo Dalem yang biasa digunakan peziarah untuk sowan. Tapi, Mahisa Guning bukan Brawijaya; ia sepenuhnya tokoh fiktif.

-     Gagak hitam di Lawu:

Emang ada. Pernah lihat waktu hiking. Konon, mereka adalah penunjuk arah ke rute yang benar. Dalam sejarah, salah satu pengikut Brawijaya V ada yang bernama Kyai Jalak. Kalau di Aroma Karsa,  diceritakan bahwa gagak hitam ini adalah jelmaan warga Dwarapala.

 

Dari segi penceritaan, sejak dulu Dee udah ngalir banget. Jadi enjoy banget dibaca. Tiap bab selalu bikin tambah penasaran meski di tiap bab itu juga Dee ngasih petunjuk sedikit demi sedikit. Ya ini yang bikin nggak kerasa, pengin lanjut baca terus sampai nggak sadar udah baca berbab-bab, hehe. Aroma Karsa inilah yang ‘berhasil’ bikin saya ngabisin 500+ halaman dalam sehari lagi, kayak dulu waktu masih getol ngelahap buku (sekarang pace-nya udah berkurang huhu).

 

Aroma Karsa ini misterinya banyak. Namun, Dee juga adil dengan membuka keping demi keping pelan-pelan. Jadi, rahasianya nggak ujug-ujug terbongkar. Di halaman-halaman akhir memang dijelaskan semua, tapi pertandanya sudah diberi di bab-bab depan sehingga pembaca nggak kaget dan terjejali informasi. Jadi lebih ke ngerasa, “Ooh ternyata gini toh. Pantesan di halaman x dia kayak gini”.


Semua misteri di sini juga saling terhubung benang merah dan ending misterinya plot twist banget. Semacam 'kirain gini, ternyata sebetulnya gitu' dan ini haluuus banget 'penyamarannya'. Jadi sebagai pembaca ngerasa kecele, tapi kecele yang asik dan justru enjoy karena emang itu daya tariknya. 


Backstory tokoh-tokohnya juga keren. Lengkap dan menariknya bisa ditarik benang merah yang berkelindan di antara takdir-takdir mereka. Ini menarik karena banyak novel yang lebih fokus ke plot dan alur di masa depan (yang menuju ending) daripada masa lalu dan background story tokoh-tokohnya.

 

Oh ya, meski setting lokasinya banyak di Jabodetabek, aroma Jawa di novel ini kerasa banget. Mulai dari pemilihan nama tokoh sampai penjelasan setting dan detail-detail lain. Satu hal yang saya suka adalah nama Raras, Suma, dan Arya yang ‘Jawa banget’ tapi lux.

Kenapa, kan cuma nama doang?

Tiga orang ini tokoh utama sekaligus orang-orang dengan strata sosial high class. Raras bahkan CEO, yang artinya Suma adalah calon CEO. Sering, penulis ngasih nama ala Barat buat tokoh-tokoh kayak gini. Mulai dari yang umum macam Alexander sampai nama Barat yang dibuat-buat sendiri (dan susah dilafalkan) dengan nempelin banyak huruf e, h, x, atau y.  

 

Satu hal yang menurut saya bikin Aroma Karsa agak beda dengan novel-novel Dee yang lain adalah penggunaan katanya. Di sini, banyak kosakata bahasa Indonesia yang nggak umum dipakai. Antara lain: saru (kirain ini bahasa Jawa, ternyata udah masuk KBBI), mencureng (ini juga), gegep, menjeluak, membalam, dsb. Jadi nambah kosakata juga buat pembaca.

 

“Wah, kudu buka kamus, dong?”

Enggak. Bagusnya, Dee meramu kata-kata yang asing didengar itu sedemikian rupa sehingga dengan ngerti konteksnya aja kita bisa paham apa maksud/arti kata itu. Mirip-miriplah kayak kalau kita baca teks berbahasa Inggris terus nggak tahu artinya tapi tetap lanjut baca kemudian tetap paham maksudnya apa. Istilahnya ‘context clues’.

 

Context clues ini juga berlaku waktu Dee menulis soal dunia bebauan dan parfum (karena Jati kerja di toko parfum dan salah satu produk Kemara adalah parfum). Banyak istilah soal aroma, perfumery, bahkan kompos dan sampah yang dideskripsikan. Tapi saya sebagai pembaca tetap ngerasa ceritanya ngalir aja, nggak kayak baca laporan.

 

Namun, penjelasan-penjelasan itu emang bisa jadi bumerang tersendiri kalau tekniknya nggak pas atau porsinya kebanyakan. Ini saya temukan juga di Aroma Karsa.

 

Mungkin untuk menekankan suasana dan tema, jadi banyak paragraf tentang aroma. Tapi … banyak banget dan paragrafnya panjang. Deskripsi satu aroma disebutkan rinci satu per satu penyusunnya. Not atas, tengah, akhir, ditulis berkali-kali untuk aroma yang berbeda.

 

Awalnya memang asik. Terasa banget tema olfaktorinya plus nambah pengetahuan juga soal beberapa komponen penyusun aroma tertentu. Dan, tujuannya bagus yaitu supaya pembaca bisa ngebayangin wanginya. Namun lama-kelamaan jadi agak jemu. Berasa disebut-sebut terus. Akhirnya beberapa paragraf yang seperti ini saya baca skimming aja.

 

Selain itu, ada kosakata ilmiah yang diulang-ulang. Terutama kata yang berhubungan dengan ilmu Kimia (ya karena ngebahas bau-bauan). Keton, benzen, dsb. Buat orang yang nggak familiar dengan istilah ini tapi kerap dimunculkan, jadinya monoton. Saya yang paham dan emang sering berkutat sama Kimia aja ngerasa bosan.

 

Hal lain yang bikin saya kurang sreg dengan Aroma Karsa adalah pace-nya. Entah ya, meski ceritanya tetap ngalir, tapi serasa ngalirnya lambat. Berasa beda aja sama serial Supernova atau Perahu Kertas yang timing-nya terasa pas.

 

Dua per tiga bagian novel menceritakan soal perfumery, persiapan, pertentangan anggota (terutama Jati dan Suma), backstory, dsb. Sampai ngebatin, ini ekspedisinya kapan? Nyari Puspa Karsanya kapan?  Di sepertiga akhir, barulah masuk ke bab-bab petualangan di lapangan. Awalnya, saya kira titik beratnya adalah di pencarian Puspa Karsa a.k.a ekspedisinya.

 

Selain plot yang relatif lebih lambat, eksekusi turning point-nya juga lebih pelan. Sederhananya, adegan ‘jeng-jeng-jeng’nya (istilahnya yang bener apa yak, wkwk) kurang memicu adrenalin. Kalau di Supernova, jeng-jeng-jengnya bisa sampai bikin deg-degan dan ngejerit dalam hati, “OMG!!! Ternyata giniii!”. Di Aroma Karsa ini serasa pembaca dibuat lebih sabar dan menahan emosi meski ada rahasia besar yang terungkap, hehe. Kayak ada perasaan yang ditekan gitu.


Termasuk saat rahasia dan keberadaan Puspa Karsa ‘terbuka’. Tetap tegang, tetap mencekam, tapi nggak sampai bikin spaneng.

 

Kalau soal ending, ini relatif. Menurut saya cukup memuaskan karena semua misteri akhirnya terbuka jelas. Episode Puspa Karsa dan tokoh-tokoh yang terlibat pun sudah ‘selesai’. Yang agak janggal mungkin soal nasib Raras yang berasa, “Hah, gitu aja?” padahal dia salah satu tokoh sentral.

 

Hal yang kurang memuaskan mungkin adalah tipe endingnya. Saya penyuka segala ending, tapi yang satu ini rasa-rasanya bukan tipe gantung atau open ending. Kayak ada satu episode yang belum selesai; ada satu pertanyaan sangat penting yang emang baru muncul di ending dan belum terjawab.

 

Jadi bukan ending gantung yang sudah selesai, tapi gantung yang memang belum ada penyelesaiannya. Jelas tapi belum tuntas. Mungkin ada niat mau dibuat sekuel atau supaya mudah kalau mau lanjut sekuel, nggak tahu juga.

 

Itu hal-hal yang cuma kurang sreg. Tapi, apa ada hal-hal yang nggak disukai di Aroma Karsa?

Ada.

Satu hal doang, sih. Hal yang sebetulnya memang penting buat plot cerita, tapi saya nggak nyaman.

 

Hal itu adalah

~SPOILER STARTS here~

hubungan Jati dan Suma. Dari awal saya udah feeling kalau dua orang ini akan bersama. No problem. Yang jadi masalah adalah ternyata Suma waktu itu masih punya kekasih, Arya. Belum putus.

 

Hubungan Suma-Arya yang childhood friends turned to lovers ini baik-baik aja dan Arya orangnya juga baik. Bahkan dia suka belain Jati waktu Suma benci setengah mati. Laki-laki ini juga ngingetin Suma supaya berpikir jernih dan nggak segitunya benci sama Jati.

 

Sejak tahu Suma punya pacar, saya makin was-was. Kenapa?

 

Kita tahu ini memang novel untuk orang dewasa. Dan, temanya adalah indra penciuman. Jati bahkan bisa mencium perubahan hormon seseorang. Dalam hubungan asmara, ada satu hormon yang paling berefek: feromon. Feromon adalah hormon kawin.

 

Dan, yang jelas bisa mendeteksi aromanya adalah Jati dan Suma. Padahal, posisi Suma udah punya pasangan. Kalau udah putus mah nggak apa.

 

Hewan-hewan biasa menguarkan feromon saat sudah musim kawin untuk menarik hewan lain sebagai pasangannya. Manusia, meski punya akal, juga punya hormon ini. Apa jadinya kalau Jati dan Suma sama-sama bisa mengidentifikasi aroma tubuh dan feromon masing-masing? Ya, intercourse.

 

Mereka melakukan ‘itu’ bukan semata karena pengaruh feromon, sih. It was stated that they have a deeper connection than that. Diceritakan kalau mereka saling tertarik karena punya kemampuan penciuman yang mirip sehingga mereka saling mengerti. Juga karena cerita masa lalu yang ternyata berhubungan erat, trauma olfaktori, dsb. Semacam match made in myth gitu lah.

 

Arya, betapa pun pengertiannya, nggak punya kemampuan olfaktori ini sehingga dia kurang connect dengan Suma dibandingkan Suma dengan Jati, meski lelaki ini sudah sangat pengertian dan suportif. Padahal, dulunya Arya adalah sahabat Suma. Tapi, ditikung orang-orang yang ia percayai.

(So sad… I'm with you, Arya )

 

"Namanya jodoh, kan, nggak ada yang tahu."

 

Tapi tetap aja itu selingkuh. Meski akhirnya Suma terus terang ke Arya, lalu Arya merelakan, rasanya … hmmm. Berasa gemas pengin bilang, “Suma, kamu kok gini, sih?!” Jati juga. Udah tahu Suma punya pasangan, tapi kenapa dia membuka celah duluan? Arya bahkan termasuk salah satu orang yang pertama bantuin kamu!

 

Seenggaknya Suma putus dulu lah biar Arya nggak dikhianati. Atau mereka tahan diri apa gimana. Kasihan sama Arya. Serius. Kebayang sosok Arya yang lunglai begitu tahu soal mereka berdua tapi berusaha tegar dan ikhlas melepaskan. 

 

Cinta memang butuh pengorbanan. Dan kadang, berkorban itu sakit. Tapi berkorban karena dikhianati rasanya lebih menyakitkan.

 

Penggambaran adegan intim Jati dan Suma memang nggak digambarkan secara vulgar. Yes, ada kalimat yang menjurus ke bahasa dewasa. Kalimat/paragraf ini nggak deskriptif harfiah, tapi dibalut metafora. Beberapa reviewer lain menyebutnya sensual. Namun ini nggak dipanjang-panjangkan; ‘seperlunya’ aja. Beberapa untuk menekankan betapa erat keterkaitan bakat olfaktori Jati-Suma hingga mereka punya deeper connection.

~SPOILER ENDS here~   

 

Ada satu hal menarik. Pasangan yang saling menyukai bau pasangannya (bau alami yak, bukan parfum dsb) bisa memiliki anak dengan ketahanan imun yang lebih tinggi. Ini betulan. Ada penelitiannya juga. Mungkin karena unsur kimiawi tubuh mereka emang cocok, jadi kalau punya anak maka kualitas/ketahanan hidupnya lebih baik karena ortunya chemically klop.

 

Over all, Aroma Karsa sangat bagus. Plotnya apik, ngalir, bahasanya praktis tapi puitis. Terlepas dari beberapa hal yang personally saya rasa belum tuntas, misteri dan rahasianya sudah diterangkan jelas. Buat penghobi baca, bisa lah dibaca selesai dalam sekali duduk karena isinya hypnotic.

 

==============================

 

Review novelnya sendiri udah selesai sampai di atas. Tapi ada beberapa hal yang saya pengin highlight dan bahas lebih lanjut. Nggak terlalu berhubungan dengan novelnya, kok, jadi mangga kalau mau skip.

 

Hal itu adalah … jeng-jeng! Tumbuhan yang muncul di novel dan wujud Puspa Karsa.

 

1. MANISREJO

Nama tumbuhan ini berkali-kali disebut saat rombongan sudah memulai ekspedisi di Gunung Lawu. Diceritakan bahwa buahnya yang bulat kecil berwarna ungu bisa menambah energi warga Desa Dwarapala jadi berkali lipat kemampuan manusia.

 

Apa tumbuhan ini beneran ada?

Iya.

 


Di kalangan pendaki, tumbuhan ini dikenal dengan nama ‘cantigi’. Cantigi gunung lebih tepatnya. Saya baru tahu kalau cantigi punya nama lain ‘manisrejo’, yang merupakan nama lokal/nama Jawanya.

 

Deskripsi bentuk buahnya sama seperti di novel. Buah cantigi juga aman dimakan manusia (edible). Cantigi bisa jadi salah satu makanan survival kalau-kalau nyasar di gunung. Tapi setahu saya cantigi baru ada di ketinggian tertentu, biasanya kalau udah tinggi banget dan di hamparan, bukan di tengah hutan. Di Lawu, apalagi puncaknya, emang banyak semak cantigi.

 

Fun fact! Cantigi masih satu keluarga dengan blueberry.

Iya, blueberry yang itu, yang dijual umum dan banyak dibudidayakan di luar negeri. Keduanya berasal dari satu genus, Vaccinium. Ada beberapa spesies cantigi di Indonesia, yang paling umum adalah cantigi ungu (Vaccinium variengiaefolium). Sementara itu, blueberry adalah Vaccinium sect. Cyanococcus.

 

Selain berkerabat dengan blueberry, manisrejo/cantigi juga masih punya hubungan keluarga dengan cranberry, huckleberry, dan beberapa beri lain. Semuanya berbentuk bulat dan punya bunga seperti lonceng. Namun, yang jelas nggak ada hubungan dengan strawberry.

 

(Btw, buah dewandaru juga beneran ada. Dulu pernah punya tanamannya tapi nggak pernah berbuah, huft )




 

2. PUSPA KARSA

Sedari awal sudah ditengarai para tokoh bahwa bunga ini termasuk jenis anggrek. Di salah satu bab—entah keberapa—Iwan (ahli botani personel ekspedisi) berujar bahwa kemungkinan jenisnya (genus) Utricularia atau Gastrodia. Iwan bahkan menambahkan kemungkinan anggrek baru ini diberi nama Utricularia satyanae atau Gastrodia satyanae.

 

Apakah Utricularia satyanae atau Gastrodia satyanae beneran ada?

 

Awalnya, saya kira beneran ada. Sampai googling nama-nama ini buat memastikan gara-gara penasaran bentuknya seperti apa. Tapi ... nihil. Adanya ya, hanya di page-page yang ngebahas Aroma Karsa.

 

Sampai kemudian saya sadar: nama lengkap Iwan adalah Iwan Setyawan. Artinya, nama satyanae diambil dari nama belakangnya. Gastrodia satyanae dinamakan demikian karena ‘penemunya’ adalah Iwan dalam novel.

 

Ya pantes aja nggak nemu-nemu, lha wong emang rekaan!  Wkwkwk. Tumbuhannya nggak beneran ada.

 

Pencarian dengan kata kunci yang sama membawa ke page lain yang menceritakan soal anggrek-anggrek Gastrodia. Belakangan disebutkan kalau ada ‘anggrek hantu’ dari genus ini yang punya beberapa kemiripan dengan deskripsi Puspa Karsa. Anggrek hantu ini punya nama resmi Gastrodia bambu.

 



Gastrodia bambu ditemukan di Jawa, tepatnya di area Turgo di Gunung Merapi, Yogyakarta. Disebut ‘anggrek hantu’ bukan karena bentuknya kayak hantu (bentuknya kayak bunga biasa malah), melainkan karena tumbuh di tempat yang gelap; di sela-sela seresah daun bambu. Bentuknya nggak seperti anggrek pada umumnya yang besar-besar, cantik, dan warna-warni. Anggrek ini berukuran agak kecil (±1,7-2 cm) dan warnanya kurang menarik, yaitu coklat yang mirip tanah basah.

 

“… Nyala obor di tangan Jati memberi penerangan bagi organisme berbentuk bunga yang ukurannya sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar. Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai tengkorak. Terjulur labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna dan tekstur kelopaknya mirip daging busuk. ...”


Puspa Karsa punya beberapa kemiripan dengan Gastrodia bambu, antara lain:

-     Sama-sama nggak punya daun seperti anggrek pada umumnya, tapi mereka tersambung langsung dengan jaringan fungi yang disebut mikoriza. Mikorizalah yang memberi mereka nutrisi karena si anggrek tak punya klorofil (zat hijau daun) untuk ‘memasak’ makanan

Makanya, Iwan menyebut Puspa Karsa aklorofilik (tak punya klorofil) dan holomikotrofik (tergantung jamur—myco)

-     Bila bau Puspa Karsa seperti bangkai, maka Gastrodia bambu punya aroma ikan busuk

-     Warna keduanya mirip, yaitu coklat yang nggak cantik (daging busuk warnanya agak coklat-coklat gimana gitu bukan sih?)

 

Bedanya ya, banyak juga. Bila anggrek hantu ukurannya mungil, maka Puspa Karsa berukuran sebesar kepala manusia. Bentuknya juga mirip tengkorak, sedangkan anggrek hantu punya wujud lebih abstrak: seperti bunga setengah kuncup tapi setengah mekar. Seperti lonceng (bell-shaped flower) tapi bukan lonceng juga.


( Info lebih lanjut tentang anggrek hantu Gastrodia bambu bisa dibaca di

https://www.biotaxa.org/Phytotaxa/article/view/phytotaxa.317.3.5. Ada PDF-nya juga. Gratis. )

 

Mungkin Dee terinspirasi dari anggrek ini?


Saya ngebayangin wujud Puspa Karsa ini seperti gabungan seed pod (wadah biji) kembang snapdragon (bentuknya kayak tengkorak) yang terbentuk dari helaian mahkota dan punya kelopak di sekitarnya. Soal “dua mahkota” dalam novel ini masih bikin saya belum bisa bayangin bentuk imajinasi Dee seperti apa.



“Jadi gini 'aja' penampakan Puspa Karsa?”

Hohoho, jangan tertipu, Saudara! Deskripsi di atas cuma wujud fisik dan salah satu bentuknya aja. Di novel, dijelaskan kalau ‘bentuk’ Puspa Karsa ini lebih kompleks daripada itu. Nyambung ke mitos dan hikayat lainnya.

 

Maka biar jelas, ya, baca aja novelnya. Hehehe. 

  

 

 

Reading Time: