Agustus 2022 - Hijaubiru

Senin, 29 Agustus 2022

Trawas Tipis-Tipis
Agustus 29, 2022 2 Comments

 We can let July just be July 

Let the sun hang in the sky 

Clear your mind of all the things you’re waiting on 

- July (Later On), Lily Williams 


Juli lalu pas banget lagi butuh ‘clear my mind’. Salah satunya dengan cara… yes, you guess it right, jalan-jalan! Buat saya, jalan-jalan nggak harus travelling yang jauh banget atau berhari-hari. Kalau kerja/sekolah kan susah yak cari libur. Jadi, cari yang dekat (atau lumayan dekat) aja. 


Gimana kalau pengin wisata alam, tapi tinggal di perkotaan yang jauh dari gunung-sawah-dkk? Surabaya misalnya. Buat yang tinggal di Kota Pahlawan dan sekitarnya, wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Pasuruan, Mojokerto, dkk, biasa jadi opsi liburan. Sejak dulu kala~


“Gimana kalau cuma punya waktu libur sehari, apa keburu? Apalagi kalau pengin jalan-jalan yang low budget.”


Bisa aja; tergantung lokasi tujuan, berapa lokasi tujuan, dan makan apa. Ada daerah-daerah yang banyak menyajikan wisata dan tempat makan low budget. Atau bisa pakai trik ini: minimalkan tujuan. Satu-dua aja cukup. Dan, jadikan perjalanan ke tujuan juga sebagai travelling. Cuci mata gitu lah. Kalau ke area pegunungan, pemandangan pinggir jalan pun biasanya udah oke punya.


Waktu itu, karena cuma punya waktu satu hari dan nggak bisa jauh-jauh, saya memilih jalan ke Trawas dan cangkruk santai di sana. Kalau nanti ada sisa waktu mungkin bisa lah main ke tempat lain yang masih berlokasi di Kab. Mojokerto itu. Motor jadi pilihan transportasi (karena bisanya ya itu, haha).   


Motor juga jadi salah satu alasan milih main ke Trawas. Udah agak lama nggak nyetir di tempat berbukit-bukit dan agak jauh bikin saya rada nggak PD. Paling enggak, jalan ke Trawas bisa ditempuh lewat rute yang agak landai. Jaraknya pun nggak terlalu jauh; sekitar dua jam motoran santai.


💡Jadi buat orang yang jarang nyetir jauh atau berkendara ke daerah bergunung-gunung (kayak saya, hehe), kira-kira nggak begitu berat dan nggak kaget medan lah.


Kami berangkat pukul tujuh dari arah Surabaya. Agak siang sebenarnya, karena udara jalanan lebih segar (standar perkotaan, ya) kalau berangkat agak pagi. Berboncengan kami jalan terus lewat Ahmad Yani membelah Sidoarjo yang tumben-tumbenan nggak macet. 


Perjalanan menuju Trawas dari arah Surabaya sebenarnya bisa dicapai lewat tol. Namun karena kami pakai sepeda motor, jadi lewat jalan biasa. Lewat jalan raya ini pun bisa lebih cepat bila melintas via Porong. Jalannya juga tinggal lurus aja. Cuma karena saya cari rute yang lebih sepi (thus, bisa lebih cepet ketemu ijonya sawah dan kebun), saya berbelok dan mencapainya lewat Tulangan, lalu tembus Krembung.



『 TOELANGAN DAN KREMBOON

“Bukannya itu jalannya rame?”

Iya, di beberapa titik. Paling enggak relatif lebih nggak padat daripada jalur Porong. Bisa lewat kebun tebu dan desa yang masih asri juga. Buat yang demen sejarah, mungkin juga bakal tertarik karena ngelewati pabrik gula Tulangan dan Krembung yang sudah tersohor sejak zaman Belanda (ejaan lama: Toelangan, Kremboong). Pabrik inilah yang jadi cikal bakal PTPN di Jawa Timur. 


Meski nggak bisa masuk ke pabrik, kita bisa lihat tampak luar dari pabrik gula abad 19 ini. Bentuknya khas bangunan lawas yang tinggi besar dan terkesan gagah meski di beberapa bagian nampak retak dan usang digerus zaman. Di antara lautan motor dan manusia yang modern, bangunan dengan arsitektur yang jelas lawas itu menjadi kontras.


Saya lupa tepatnya di sebelah mana, tapi di jalan dekat pabrik masih tersisa rel yang dulu dilewati oleh lori. Lori adalah kereta pengangkut tebu. Gerobak-gerobak ini riuh mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diolah menjadi gula sejak lebih dari seabad lalu. Kini, rel dan lorinya sudah lama ‘pensiun’. 


Lanjut ke rute….


Selepas dari Krembung, roda bergulir ke arah Jalan Raya Trawas-Mojosari. Inilah jalan yang terhubung dengan Trawas, tapi relatif landai. Bukan berarti jalannya nggak nanjak/bertikungan, tapi mendingan lah daripada lewat jalan kecil yang, meski asik, tapi lebih curam (buat saya). Di tepi jalan raya mulai muncul gerumbul pucuk-pucuk pinus. Dari balik pepohonan tinggi ini, Gunung Welirang muncul-sembunyi bak sedang petak umpet. Udara yang mulai sejuk menembus kaos tangan dan menelusup ke kulit.


Lewat dari jalan raya dan belok kiri memasuki area Kecamatan Trawas, jalan mulai lebih naik-turun. Pas lewat sini, nggak berhenti bismillah terus sambil deg-degan karena udah lama nggak bawa motor ke daerah begini, hehe. 


Tujuan pertama kami adalah: tempat makan. Lapar, euy. Kebetulan berangkat tadi belum sarapan. Dan, ini sudah pukul setengah sepuluh. Kok lama? Karena sempat balik kucing (STNK ketinggalan, LOL) dan faktor utama ya sebab saya nyetirnya nyantai; pelan. Sambil lihat pemandangan di kiri-kanan. 



『 GARTENHUTTE 



Kami rehat di Gartenhütte, salah satu tempat makan yang menurut teman saya lagi happening. Selain konsepnya yang dibuat mirip Western barn, resto ini juga terkenal karena view-nya yang langsung menghadap terasering luas. Di akhir pekan, jangan datang mendekati jam makan siang. Rame! Jangankan bisa milih tempat duduk, dapat tempat aja nggak bisa dapat. Restonya sampai nolak-nolak pengunjung karena penuh. 


Apa kemarin setengah sepuluh udah rame? Lumayan. Meski nggak bisa dapat tempat yang view-nya strategis, tapi masih bisa milih tempat lah. 


Antrean pun bisa mengular tanpa kami sadar. Waktu pertama antre, kami berdiri nggak jauh dari ‘rumah’ tempat kasir. Eh, waktu keluar, udah panjang aja sampai hampir ke tempat makan. Padahal kami ngantre paling 10 menitan. Saat pergi ke sana lagi beberapa pekan kemudian, saya minta teman langsung antre begitu kami datang. Sementara, saya bertugas parkir kemudian. Antrean yang mengular pun kembali terulang; setelah kami pesan.


Sistem di sini adalah datang langsung antre. Antre-pesan-bayar-dapat nomor meja-pilih tempat duduk. Menunya cukup variatif dan ramah di kantung. Sekitar 10-20 ribuan aja. Heran juga saya. Biasanya resto aesthetic gini kan rate-nya paling nggak 20 ribu ke atas. Oh ya, menu itu bisa dilihat di website mereka.


Terasering yang bisa dilihat dari resto

Sepertinya belakangan ini memang tempat makan yang mengusung konsep menyajikan view estetis pedesaan makin menjamur. Kayaknya duluuu masih jarang banget yang kayak gini, di sini. Resto ya resto aja, kafe ya tempat ngopi aja. Sekarang, warung pinggir jalan pun didekor ala cottage Barat.


Di area sekitar Gartenhütte pun ada banyak resto cukup besar yang bertema mirip. Tempat-tempat makan didesain serupa barn atau bergaya rustic. Tentunya barn (lumbung padi) dan rustic ala Eropa/Barat, bukan rustic-nya Indonesia. Emang bagus, sih, gayanya. Berasa lihat rustic wedding board yang seliweran di Pinterest. Tapi, lebih simpel. 


Dan, daerah Selotapak ini kayaknya emang punya terasering cukup banyak. Pemandangannya juga cantik dan strategis sebab gunung-gunung di sekitarnya kelihatan jelas sampai puncak. Dan, kini, lanskap ini jadi daya tarik tersendiri bagi makin banyak orang.


Makanan mulai diantar satu per satu sekitar 10-15 menit kemudian. Jadi salut sama manajemennya. Padahal pengunjung lagi banyak dan lokasi duduknya nyebar pula.


Mie spesial Garten. Warna mienya macam-macam.
Saya pilih yang warna hitam gegara penasaran sama penampakannya

“Menunya masakan Barat?”

Enggak, kok. Meski namanya berbahasa Jerman (literally berarti ‘pondok taman’), menunya Indonesia banget. Kalau minumannya ya standar resto kayak biasanya. Pilihannya banyak. Kabarnya ada kopi lokal juga, tapi sayang belum sempat nyoba. 


“Gimana review Gartenhutte soal makanannya?”

Enak. Bukan yang enak banget, tapi tetap enak. Sesuai lah sama harganya. Porsinya juga pas; nggak terlalu banyak atau sedikit. Mantap/enggak rasa masakan mungkin tergantung menu. Soalnya, waktu saya pesan mie Garten, berasa enak banget di lidah dan pengin nambah. Namun, di lain kesempatan, nasi goreng merahnya hambar. Hanya asin, bumbunya kurang. (Atau beda hari, beda orang yang masak, jadi beda rasa? Entah.)


Overall camilannya biasa aja. Rasanya sama dengan camilan di pedagang-pedagang snack umumnya. Cuma, kalau bisa camilan ini segera dimakan soalnya anginnya kenceng; bikin makanan cepat dingin. Ya gimana nggak kenceng wong sekitaran langsung lembah, jadi nggak ada penghalang angin. Saran aja, kalau pesan camilan, nanti aja setelah makanan utama habis daripada dingin duluan. Kalau sambil nongkrong, nunggu snack datang 10 menitan pun jadi nggak terasa. 


Rumah pohon yang dikelilingi bambu, di belakang resto.
Suara gesekan daunnya yang ditiup angin bikin suasana makin sejuk


👉Tips buat yang nggak kuat angin:

mending tetap pakai jaket atau pilih tempat yang nggak ngadep langsung ke terasering. Ya meskipun anginnya masih kerasa, tapi nggak kenceng-kenceng banget. Khawatir nggak dapat view bagus? Jangan khawatir, kamu bisa bebas jalan-jalan ke sisi lain tanpa ganggu pengunjung yang duduk di situ, kok. Areanya cukup luas.


Kalau pengin makan dengan suasana yang lebih outdoor lagi, bisa juga piknik di tenda dome yang terletak di atas resto. Kita bisa sewa (bayar 25k kalau nggak salah) buat makan doang. Kalau mau nginap juga bisa dengan reservasi dulu. Info dari teman yang pernah kemping di sana, disediakan sleeping bag, alas/kasur tipis, dan listrik. Pun tersedia sewa alat bebakaran buat nge-grill.


Kami nongkrong di sini hingga tengah hari. Meski udah lewat dhuhur, nggak terasa panas. Iyalah lha wong di gunung, adem terusss. Anginnya semilir bikin ngantuk. 



NEXT PITSTOP(S) 


  
Mosque with a view.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat sejuta umat kalau mau istirahat dari perjalanan panjang: masjid. Selain buat shalat, tampaknya banyak orang setuju kalau ini salah satu tempat paling multifungsi: ibadah bisa, selonjoran (bahkan leyeh-leyeh sebentar) bisa, cuci muka/mandi juga bisa.


Kami berhenti di satu masjid di kampung tak jauh dari Gartenhütte. Entah apa namanya. Masjid ini tampak baru dengan dinding putih bersih yang makin kinclong diterpa matahari siang bolong. Untungnya, air yang mengalir dari kran wudhu segar banget pas kena kulit. Fresh from mata air pegunungan, kayaknya. Kontras banget dengan terik panas di luar.


Selain hawa di dalam masjid yang adem dan bikin pengin tidur, masjid yang diapit ladang jagung dan perkampungan ini punya pemandangan cantik. Di sisi kiri terlihat hijaunya Gunung Penanggungan, sedangkan di kanan perbukitan lereng Gunung Arjuno-Welirang tampak kebiru-biruan. Sayangnya pegunungan itu sedang tertutup awan. Kalau di sana cerah, wah, kiri-kanan bakal luas banget arah pandang ke pegunungan. 


Kelar shalat sekaligus istirahat di sana, motor kembali melaju. Kalau tadi kami datang dari arah barat Penanggungan, maka kali ini kami berencana pulang lewat sisi timurnya. Muter lebih jauh, dong? Iya. Namanya juga lagi jalan-jalan, hehe. Muterin lingkar Penanggungan.


Unexpected panorama: sungai kecil dan pegunungan
di pinggir jalan. Memang bukan spot wisata, tapi cantik bgt!

Kami sengaja melintas di jalan desa meski waktu tempuh jadi lebih lama. Biasanya, jalan yang begini punya lanskap lebih apik dan masih alami. Memang nggak seteratur kalau dibuat taman atau kafe, tapi ketidakteraturan itu justru bikin panorama jadi elok natural.


Ada terasering tempat bibit-bibit padi hijau pupus berjajar. Waktu noleh ke sisi jalan, eh ada sungai kecil yang airnya gemericik (meski agak hilir kemudian banyak sampah). Ada lahan kosong yang dipenuhi ilalang liar berbunga lembayung; selaras corak langit di latar belakang yang mulai senja.  Ketemu ladang ubi jalar yang tanahnya disela batu-batu hitam sebesar mobil mini. Itu batu gede banget, dari mana asalnya, ya? Aktivitas vulkanik Penanggungan zaman dulu kala atau gimana?


And many more.



WARUNG TENGAH HUTAN 

Hutan dan sungai kecil di lembah bawah

Jalan yang dilewati kali ini berbeda dengan Raya Trawas yang relatif landai. Memang di sini ada beberapa bagian yang landai, tapi ada juga sejumlah titik yang tanjakan-turunannya agak curam, plus belokan tajam. Seorang warga setempat berdiri di bahu jalan. Ia mengarahkan kendaraan agar lebih hati-hati sebab ada jurang menganga di kiri-kanan.


Sekeliling jalur dekat jurang ini memang dikelilingi hutan, jadi agak gelap tertutup rerimbunan. Hawa sore di sini, meski nggak menggigit, tetap lebih dingin karena tertutup kanopi pohon-pohon tinggi. Di tengah jalur hutan yang jauh dari kampung inilah terdapat sebuah warung.


Warung tersebut agak masuk ke pepohonan. Kalau bukan karena tulisan 'PARKIR' yang ditulis besar-besar, kayaknya saya nggak bakal ngeh kalau ada kedai gubuk di sini. Daripada sebagai tempat nongkrong, kayaknya tempat ini lebih cocok disebut rest area sederhana. Mampir ke sini pun sebenarnya waktu itu nggak terencana. 


Warung di sini beneran cuma sebiji. Itu doang. Sekelilingnya pohon pinus, jati, dan entah pohon apa lagi. Yang jelas, mereka tinggi-tinggi banget. Pohon tua mungkin, walau nggak tahu berapa umurnya. Tempat duduk di sini dari bilah-bilah bambu kasar yang ditancapkan gitu aja. Menunya? Makanan dan minuman instan.


Tapi bukan berarti di sini jelek. Kalau definisi jelek adalah nggak tertata seperti taman atau layaknya tempat makan, mungkin iya. Yang bagus di sini menurut saya yaitu suasananya yang emang ‘hutan banget’ dan gemercik kali kecil di kejauhan. Tempat ini emang sederhana, tapi buat orang yang kangen masuk hutan tapi belum kesampaian main ke hutan atau orang yang pengin tahu hutan itu kayak apa tanpa masuk terlalu jauh, lingkungan sekitar warung ini bisa jadi opsi.


  
Bunga-bunga liar di sekitar lokasi. Ki: kipait/kembang bulan/
Mexican sunflower (Tithonia diversifolia). Ka: ketul (Bidens alba).
Masih ada beberapa bunga liar lain yang cantik, tapi nggak kefoto


Setelah rehat sejenak di sini, roda motor kembali berputar. Udah makin sore dan harusnya kami udah separuh perjalanan pulang.



『 2nd AND LAST SPOT: RANU MANDURO 

  
Danau kecil dan bunga liar. Para pemuda lokal
memancing ikan di sini. Di background tampak G. Penanggungan

Sebenarnya waktu berkunjung kami ke sini kurang tepat. Kami baru sampai sekitar setengah lima. Matahari sudah miring sekali ke ufuk; langit sudah merah muda. Tapi lumayan lah masih terang.


Ada penduduk yang berjaga di jalan masuk lokasi ini. Tarifnya lima ribu per orang. Oh ya, waktu sudah masuk kampung, jalannya agak beda dengan rute Google Maps. Peta menunjuk ke kiri, sedangkan penanda lokal mengarahkan untuk lurus. Saya ngikut yang penanda lokal. (Local sign is the best!)


Ranu Manduro, meski namanya 'ranu' yang berarti danau, sebetulnya adalah lahan bekas tambang. Tambang sirtu tepatnya. Kabarnya nama 'ranu' disematkan karena lubang-lubang dalam bekas galian itu menjadi danau ketika terisi air hujan. 


Tempat inilah yang sempat terkenal banget beberapa tahun lalu. Foto-foto trio danau-gunung-hamparan rumput hijau tersebar di dunia maya. Namun, karena kami berkunjung di bulan Juli yang sudah kemarau, rumput-rumput itu sudah berubah warna jadi kuning atau abu-abu kering.


Ranu. Kemarau.


Perbedaan musim pun membuat seantero ranu memancarkan suasana lain. Entah efek cahaya merah mentari senja atau bukan, dinding-dinding berbatu terkesan lebih kaku dan gersang. Alang-alang tinggi terasa kasar saat disentuh tangan. Udara di sini memang nggak panas, malah cenderung sejuk karena sudah senja, tapi hawanya kering.


Setelah melalui jalan tanah berkerikil yang bikin ban gampang selip, kami menjumpai danau pertama. Mungkin lebih cocok disebut kolam karena ukurannya kira-kira cuma seluas separuh lapangan futsal. Beberapa pemuda lokal duduk santai di pinggirannya. Di tangan mereka tergenggam joran pancing.


Wah, ada ikannya, toh

Menilik isi bungkusan transparan yang dibawa mas-mas itu waktu mereka pulang, kayaknya emang ada. 


Kami nggak lanjut masuk lebih dalam karena khawatir kemalaman. Kalau lihat foto dan video orang-orang, kayaknya makin masuk bakal makin gede kolam-kolamnya. Lebih luas juga pandangan sampai kelihatan Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya. Tapi cukup lah kami cuci mata di sini aja. 


Pukul lima lebih kami keluar dari kawasan. Di horison sana, matahari bulat merah sudah siap menghilang. 


Langit (hampir) merah jambu



==========================================================


📑 IN SHORT 

  •  Pengeluaran (2 orang 1 motor): ±150k
    ±100k makan di Gartenhutt (lebih dari 4 menu. Buat berdua asli kenyang, bahkan bisa nyisa). Di warung ±15k. Sisanya bensin dll. 
  • Durasi: 1 hari. 2 tujuan utama. Start jam 07.00-19.00.
    Perjalanan Surabaya-Trawas kalau santai sekitar 2 jam.
  • Cek cuaca!
    Kalau pengin dapat pemandangan 'bersih' yang minim kabut, cek cuaca sebelum mutusin berangkat. Kemarau sekalipun. Setelah Juli, saya balik lagi ke Trawas dan dapat kabut + hujan deras. 
    


==========================================================




*Oh yaa, yang sempat baca postingan digital journaling di sini, separuh dari teks ini diketik via HP, lho (seneng banget akhirnya bisa nulis panjang via ponsel, nggak cuma mainan doang, wkwkw)


Reading Time:

Jumat, 19 Agustus 2022

Photograph
Agustus 19, 20220 Comments

 I realised something when I post a photograph on my social media, today. Several people gave it likes. The number of people was more than the usual. How so?


The picture was the answer. It was not very good from a photography perspective, but the object was quite majestic. And, it was one of few good photos I took in that location. 


In short, I chose one of the best picture. It was chosen from tons of shots I took. Those good shots were only one-tenth of the total. What about the rest? A real mess.


So what's the point?

My point was people always like something at the peak point. If I were to release a less beautiful photo, the likes wouldn't skyrocket that much.


The same thing happened with life: we, people, love it when it looks good. Either from the perspective of the society or ourselves. Everybody loves an amazing result, a success story, and so on. But how many also loves the failures, the bleeding work that didn't bear fruit? Those failures story that stayed a failure, not a successful ones. Like those messy, blurry, noisy pictures I took. Well, I don't even like them and I was the one who created them.


"Everyone loves a highlight reel but not the behind-the-scenes."

(It actually is 'don't compare your behind-the-scenes with someone else's highlight reel')


That was the blinds of life (pun intended, LOL), I suppose.


But there was another 'blind spot' I realised later.

In fact, I don't think that particular picture was beautiful. It was cropped, kinda blurry, and I couldn't put my finger on its light adjustment. I just thought, "I want to post a landscape pic today and this is just a story so it will disappear in 24h and won't 'dirty' my feed so let's get on with it."


I considered the picture was rather ... unsatisfactory.


The boom was that people actually liked it. Me? Not so much.


Maybe I took it too far by saying this and it shouldn't be this deep, but: sometimes what we think as bad thing or not a standard might be actually good than what we think of them. Perhaps we were just too perfectionist. Maybe we were just too hard on ourselves. Selling ourselves short. I don't know.


Maybe?

Reading Time: