Maret 2024 - Hijaubiru

Minggu, 31 Maret 2024

Audiobook
Maret 31, 20240 Comments

 



Dari beberapa bentuk buku, audiobook adalah salah satu yang paling jarang saya nikmati—kalau nggak bisa disebut nggak pernah. Saya lebih suka baca teks langsung karena ngerasa lebih gampang ‘masuk’ ke kepala. Kalau mendengarkan aja, rasanya masih ngawang. Dan, ngedengerin audiobook memakan waktu lebih lama dibandingkan kalau saya baca buku fisik. Karena itulah saya nggak pernah ngedengerin audiobook.

 

Seenggaknya, sampai beberapa saat lalu.

 

Semua bermula dari algoritma Youtube yang merekomendasikan potongan bacaan sebuah buku. Ketika saya klik, wah, kok suara yang bacain enak didengar *eh-lho. Memang nggak semua potongannya saya dengarkan saksama sehingga ceritanya baru saya pahami sepotong, tapi nada bacaannya mirip ASMR yang menenangkan dan bisa jadi white noise untuk teman saat laptop-an.

 

Sayangnya durasi buku itu cuma sebentar. Lalu meluncurlah gadget ini ke salah satu website penyedia audiobook yang saya tahu. Tentu, semua buku di sana berbayar. Namun, penyedia berbaik hati menyediakan preview masing-masing buku kurang-lebih lima menit. Baiklah, mari kita coba.

 

Hm... yang ini kok asyik.

 

Audiobook yang saya tahu adalah suara orang membaca teks. Nadanya memang nggak datar-datar saja karena narator perlu menyesuaikan emosi yang ada di buku, apalagi di buku fiksi. Saya kira, pembacanya hanya satu orang (karena kalau banyak atau disesuaikan jumlah tokoh, bukannya mirip sandiwara radio?). Dan itulah yang bikin kesannya seperti ngebosenin di benak saya.

 

Namun, yang ini beda. Saya baru tahu juga kalau ternyata format audiobook tuh beda-beda.

Dalam buku yang kebetulan saya dengerin, naratornya ada beberapa orang. Tiap ganti tokoh, naratornya berganti orang pula. Jadi nggak bikin bingung siapa yang lagi bicara. Asyiknya lagi, ini buku ada sound effect-nya. Saat lagi badai, ya kedengaran ada desau angin. Saat narator berkata bahwa perapiannya mulai dinyalakan, maka kedengaran suara gemeretak kayu yang sedang terbakar. Efek-efek suara itu bikin suasana jadi ‘hidup’ dan saya yang ngedengarin jadi ikut larut dan ngebayangin berada di dalam cerita.

 

Rasanya seperti didongengi.

Tenang, ngalir.

Preview itu saya putar berkali-kali, hahaha.

 

Memang nggak semua audiobook ada efek suara dan naratornya berganti tiap ganti tokoh. Saat ngebuka buku lain, naratornya seringkali cuma satu; dari awal sampai selesai. Dan nggak ada sound effect-nya. Namun, ini lumayan. Ya itu tadi, buat white noise kalau lagi laptop-an atau teman bergadang malam-malam. Namun karena saya dengerinnya disambi, jadi isinya memang nggak sepenuhnya masuk kepala karena nggak intens mendengarkan. But it’s okay, karena niatnya memang untuk jadi ‘teman’.

 

Pada akhirnya, saya tetap nggak bisa ‘membaca buku’ dengan ngedengerin audiobook, haha. Namun saya jadi dapat alternatif white noise baru yang lebih informatif. Pun bisa jadi alternatif kalau lagi males dengarin musik.

 

Audibook ada yang tersedia gratis. Selain preview di beberapa website penyedia, ada juga yang tersedia full version di Youtube. Pilihan bukunya memang nggak banyak dan suaranya/efeknya sepertinya nggak sevariatif yang berbayar (tentunya). Namun buat yang baru coba, bisa dijajal dulu.

 

Untuk yang lagi belajar bahasa asing, audiobook ini lumayan bisa bantu kemampuan mendengar (listening). Asal sudah punya basic berbahasa dan kosakata yang cukup (karena kalau enggak atau baru awal, bisa jadi malah bingung). Belakangan saya makai audiobook untuk pembiasaan dengarin omongan orang native speaker (karena logat native sama logat kita kan beda yak, dan itu bisa jadi kita bingung dia ngomong apa karena pengucapannya beda). Kalau buat belajar intensif, tentu kurang efektif karena saya dengarinnya cuma sekilas. Intinya semacam kalau ada orang ngobrol di dekat kita, dan kita nggak ngedengarin pembicaraan mereka dengan sengaja, tapi sedikit-banyak kita tahu mereka ngomongin apa, garis besarnya.

 

Buat yang suka baca novel, latihan listening-sambil-lalu pakai audiobook juga seenggaknya bisa tahu garis besar ceritanya tuh apa. Ada satu novel dan film yang saya pengin tahu isinya, tapi tebal dan lama, jadi saya dengerin audiobook-nya sambil lalu sehingga jadi tahu ini ngomongin apa (lebih cepat kalau baca review orang sih, tapi oh well, kan buat white noise juga😄)


Audiobook icon by Awicon via Freepik

Reading Time:

Jumat, 08 Maret 2024

When Book Meets Travel
Maret 08, 20240 Comments


 

Siapa yang suka baca buku saat lagi travelling? Bukan saya, haha. Saya lebih suka jalan-jalan, ngobrol, atau bengong ngelihatin sekitar saat travelling. Pun saat nggak ngapa-ngapain seperti waktu di dalam kendaraan. Membaca yang saya lakukan saat travelling biasanya hanya baca artikel daring tentang tempat yang akan/sudah dikunjungi. Membaca buku tentang suatu lokasi, yang biasa jadi penambah info sebelum mengunjungi destinasi, biasanya udah dilakuin sebelum berangkat.

 

Mungkin karena kalau baca buku, saya sering terlalu larut di dalamnya. Jadi kalau ngebaca pas travelling, ntar jangan-jangan malah lebih fokus ke bukunya daripada jalan-jalannya, haha *ngeles

 

Namun, ngelihat postingan para pejalan lain yang sering upload cerita dan foto buku yang mereka baca waktu di perjalanan, jadi pengin ngerasain juga, haha. Mungkin akan beda sensasinya, ada kesan khusus, saat membaca sesuatu di tempat hal itu terjadi atau diceritakan.

 

Jadilah ‘membaca buku tentang suatu tempat ketika berada di tempat tsb’ masuk ke bucket list saya. Meski nggak diseriusi kapan dikerjainnya.

 

Tanpa sengaja, 2023 lalu, alhamdulillah poin bucket list tersebut kesampaian.

 

Tanpa direncanakan, pertengahan 2023 lalu saya main ke area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), tepatnya ke Nongkojajar dan Wonokitri. Karena capek motoran lama, saya dan para partner touring (cuma bertiga sih, haha) memutuskan istirahat lama di kebun edelweis, Wonokitri (catatan perjalanannya bakal ditulis, insyaallah—kalau kelar, entah kapan). Saat mereka ngobrol, saya bengong duduk di gazebo bambu sambil nyeruput matcha latte yang sudah dingin.

 

“Udah, belum? Jalan lagi, yuk. Keburu malam sampai bawah,” ajak saya.

 

“Nanti dululah. Santai. Ini rokoknya belum habis,” kata salah satu partner—yang adalah ayah saya—, mengisap batang rokok yang entah sudah keberapa.

 

“Okay….” Saya kembali ke gazebo, menjauh dari kepulan asap.

 

Saya diam. Bingung mau ngapain. Makanan bahkan camilan sudah habis. Pengin jalan lihat-lihat sekeliling, tadi sudah. Foto-foto, sudah. Sekarang tinggal capeknya. Tidur? Mana mungkin…. Akhirnya iseng saya buka galeri ponsel dengan niat ngehapusin foto yang makin numpuk padahal nggak pernah dilihatin. Eh lho, kok ada foto buku?

 

Ternyata saya masih menyimpan foto beberapa halaman dari buku perjalanan Wormser, seorang pendaki gunung-gunung di Jawa awal tahun 1900-an (sekilas bukunya ada di postingan ini). Untungnya juga, tulisannya tentang area Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru belum saya hapus. Jadilah bab itu saya baca.

 

Di tengah kabut yang mulai menutupi perbukitan di seberang dan hawa yang makin menggigit, catatan perjalanan seabad lalu itu menemani saya menghabiskan sisa siang.

 

Tempat yang sama.

Jalur perjalanan (yang di beberapa bagian sepertinya) sama.

Orang yang berbeda.

Perjalanan yang berbeda.

 

It felt… serene. Blissful, content, fulfilling, beautiful.

 

Oh, jadi gini rasanya.

Mirip dengan sensasi saat masuk ke wilayah atau gedung bersejarah, yang sejarahnya pernah kita baca atau pelajari di bangku sekolah. Rasanya seperti ‘ikut melihat’ kejadian di masa itu, membayangkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Bertumpukan antara mana yang imaji dan mana yang nyata. Seperti diorama.

 

Meski buku (dan bagian itu) udah pernah saya baca sebelumnya, sensasinyanya tetap… beda. Mungkin karena barusan ngelewati area yang diceritakan di buku, maka rasanya lebih fresh. Kayak muncul percikan-percikan rasa senang saat nemuin beberapa hal yang sama, jalan yang sama, atau daerah yang barusan dilewati, disebutkan di buku. Semacam, “Aha!” moment.

 

It was melancholic-kinda nostalgic. Or maybe it was just the melancholic in me.

 

Selesai membaca bagian tentang TNBTS, saya terdiam. Kehabisan bacaan dan kegiatan. Hal selanjutnya yang saya lakukan, tak disangka, juga adalah salah satu poin yang juga ada di bucket list: mendengarkan musik favorit di tengah gunung yang dipeluk kabut.

 

Alunan piano dan biola mengalir harmonis dari earbud, selaras dengan bisikan angin yang membuat semak edelweis dan pucuk-pucuk pinus menari lembut. Aroma cemara segar tercium samar di ujung hidung. Satu, dua, tiga baris kalimat diketik di notes HP. Kata-kata itu beranak-pinak menjadi paragraf panjang sepuluh, dua puluh menit kemudian; menyumbang bagian untuk cerita yang tak kunjung selesai meski ditulis bertahun-tahun sebelumnya.

 

Area TNBTS memang salah satu tempat istimewa bagi saya. Salah satu pegunungan tercantik yang pernah saya lihat, daki, dan kunjungi. Sejarah, budaya, dan proses terbentuknya pun luar biasa. Dan, mungkin karena ini gunung ‘jauh’ yang pertama saya kunjungi ketika masih kecil, juga pendakian di atas 3.000 mdpl pertama saya, sehingga meninggalkan kesan mendalam yang kala itu menginspirasi beberapa potong cerita (yang sampai sekarang nggak tamat-tamat juga, haha).

 

Tiap bagian wilayah ini selalu berhasil membangkitkan memori; memunculkan imajinasi.

Or maybe it was the poet in me.

 

*                      *                      *

 

Kayaknya udah telat untuk 2023 recap karena udah Maret, tapi mumpung ngomongin bucket list, sekalian ajalah, haha. Beberapa hal paling memorable yang alhamdulillah tercapai tahun lalu—yang kebetulan terjadi di satu tempat—adalah:

  • baca buku tentang suatu lokasi, di lokasi itu — di TNBTS
  • ngedengerin lagu favorit (yang sekaligus jadi theme song cerita yang saya tulis) di tempat yang jadi setting lokasi cerita, sambil dikelilingi gunung-hutan-kabut — di TNBTS
  • ngelihat semak arbei/berry liar di tepi hutan (surprised dan senang banget karena biasanya nemu arbei liar saat masuk banget ke dalam hutan/gunung aja) — di kaki Gunung Arjuno

 

Those are small things; seemingly insignificant and unimportant (don’t affect my course of life much, I think)

but I count them as small wins.

My little sparks of joy.

 

Dan semoga, kita bisa menemukan ‘little sparks of joy’ lainnya di tahun ini juga. Juga di tahun-tahun setelahnya.

Reading Time:

Sabtu, 02 Maret 2024

Reminiscing Narnia
Maret 02, 20240 Comments
Soca Valley (Lembah Soca), Slovenia - 
- Salah satu lokasi film Narnia: Prince Caspian -


 [NB: Mengandung spoiler


Beberapa waktu ini sedang suka-sukanya (lagi) sama film Narnia, termasuk sekuel-sekuelnya. Film masa kecil ini nggak cuma punya cerita yang menarik, tapi juga sinematografi yang bagus dan setting tempat yang keren-keren (dan bikin pengin lihat lokasinya langsung, haha). Di mata saya.

 

Kesannya soft dan eloquent (brb nyari padanan katanya) untuk film yang di dalamnya ada cerita perang, makhluk buas setengah manusia, dan adegan-adegan bertahan hidup yang bikin deg-degan.

 

Gara-gara mengenang kembali film ini, saya jadi ‘disadarkan’ betapa waktu sudah berlalu cukup lama.

 

Apa hubungannya?

 

Awalnya, saya nggak sengaja lihat credit sebuah film. Di sana ada satu nama aktor yang pernah main di film Narnia. Penasaran, saya browsing gambar-gambar film itu. Kening saya berkerut. ‘Kok kayaknya nggak ada wajah yang familiar, ya?’ Rasanya nggak ada wajah pemeran tokoh Narnia dalam scene-scene yang bertebaran di film baru ini.

 

Browsing lagilah saya. Kali ini menyertakan nama pemeran+judul filmnya. Lalu… jeng jeng!

Tampaklah sebuah wajah nggak familiar…

 

… yang, ketika dilihat lebih teliti, ternyata mirip dengan salah satu aktor Narnia.

 

Ya gimana nggak mirip, lha wong mereka emang orang yang sama! Wajahnya tambah dewasa aja.

 

Kini saya yang terperangah. Membatin, ‘Seriusan?’

Pasalnya, nama dan wajah yang tersimpan di ingatan saya adalah sosok mas-mas 17 tahunan; sekitar usia SMA atau anak kuliahan. Bukan wajah seseorang yang lebih mirip seperti bos berpengalaman/very gentlemanly-looked gent.

 

Beda banget dibanding dulu. Lalu saya pun menghitung waktu. Ah, udah lebih dari sepuluh tahun semenjak saya pertama nonton Narnia. Itu pun beberapa tahun setelah tanggal rilisnya. Ya… pantas aja kalau wajah aktornya sudah berubah.

 

Di saat yang sama, melihat foto wajah itu, rasanya saya seperti melihat sebuah cermin. Bukan, bukan karena parasnya yang rupawan lalu saya merasa tampang saya ikut cakep juga (LOL), tapi lebih ke usia. Dia yang dulu muda, sekarang udah nampak lebih dari dewasa. Berarti saya juga bertambah  tua, dong!

 

*Sigh*

Namanya hidup memang tambah tua, bukan?’ Saya berkata pada diri sendiri.

 

Memang ada betulnya perkataan orang: kadang, kita nggak berasa kalau bertambah tua atau bertambah usia. Kita baru berasa saat ngelihat orang lain yang bertambah tua. Ortu dan om-tante yang dulu tegap lalu sekarang bungkuk dan mulai ompong, teman-teman yang kini jadi ayah-bunda, adik bayi yang dulu kita jagain yang sekarang udah SMP/SMA bahkan kuliah.

 

Lantaran menemukan fakta bahwa aktor dari film masa kecil kini nggak lagi muda, saya seperti ‘baru melihat’ realita. Seperti udah mengetahui sesuatu, tapi sekarang baru ‘berasa’.

 

The reality that we’re—I am—getting older rarely really sinks in until I see other people age.

I shouldn’t be surprised, but I was  ðŸ˜…


Yah... kayak waktu mengenang film Narnia tadi.



Reading Time: