Maret 2022 - Hijaubiru

Jumat, 25 Maret 2022

Bunga Bangkai: yang Mana?
Maret 25, 2022 2 Comments

Pernah dengar bunga bangkai?

Kebanyakan orang kayaknya pasti pernah dengar meski belum pernah lihat langsung. Maklum, 'wangi' bunga ini memang semerbak dan unik karena beda sendiri. Kalau kembang-kembang lain umumnya beraroma wangi, maka bunga ini baunya super-duper nggak enak karena mirip daging busuk (katanya sih gitu. Saya belum pernah lihat dan nyium sendiri).


Orang-orang sering keliru antara bunga bangkai dan bunga yang berbau bangkai. Banyak orang mengira bahwa bunga bangkai itu ya Rafflesia sp., di antaranya Rafflesia arnoldii. Namun, bunga bangkai sebetulnya merujuk pada bunga Amorpophallus sp., contohnya Amorpophallus titanum. Apa bedanya? Beda banget, seperti gambar di bawah ini. 





Bunga bangkai (Amorpophallus sp.) berbentuk mirip lonceng terbalik. Dari dalam 'lonceng', muncul putik serupa pedang panjang yang tumbuh tinggi melebihi tinggi mahkotanya. Bunga ini punya nama lokal 'kibut'. Saat masih berbentuk umbi, sekilas kelihatan mirip banget dengan 'suweg'. Ya gimana nggak mirip, keduanya masig sama-sama famili talas-talasan.


Beda halnya dengan bunga rafflesia. Bunga ini bentuknya kayak bunga biasa yang mekar merebah dengan lingkaran di tengah. Lubang lingkaran inilah yang menguarkan aroma nggak sedap tapi sekaligus bisa menarik serangga masuk. Bunga rafflesia umumnya berwarna merah, oranye, atau coklat.


Rafflesia adalah puspa langka Indonesia, lho. Bunga ini juga jadi salah satu komponen lambang provinsi Bengkulu. Kenapa Bengkulu? Sebab, kembang ini pertama kali ditemukan di sana. Nama bunganya pun diambil dari dua anggota tim ekspedisi yang menemukannya, yaitu Thomas Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold.


Raffles dan Arnold adalah warga Inggris. Raffles menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda (waktu itu 'Indonesia' ditukar oleh Belanda buat Inggris sebagai imbas perang negeri-negeri Eropa zaman kerajaan. Baru setelah Perang Napoleon selesai, Indonesia 'dibalikin' ke Belanda). Pria ini juga berperan sebagai kepala ekspedisi ke Bengkulu saat itu sehingga namanya diabadikan jadi nama bunga. Demikian juga Dr. Arnold yang bertugas sebagai naturalis (peneliti) di ekspedisi tsb. Konon, salah satu pemandu lokal melihat bunga rafflesia kemudian melaporkannya pada Arnold. Ia kemudian meneliti dan mengidentifikasi bunga ini.


Mungkin nama Rafflesia arnoldii lebih tenar dibandingkan dengan saudara-saudarany sesama rafflesia. Jadi sebetulnya ada beberapa jenis rafflesia di Indonesia. Di Jawa ada, nggak? Ada, di Jember. Duluuu banget ditemukan di sekitar situ. Sekarang, adanya di area Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Hanya saja, yang tumbuh di sini adalah jenis Rafflesia zolingeriana. Kenampakannya mirip dengan R. arnoldii, cuma kayaknya warnanya agak coklat.


Mungkin karena sama-sama parasit, nggak punya daun/badan yang lengkap,  berukuran raksasa, dan berbau nggak enak, maka orang-orang sering keliru di membedakan rafflesia dan Amorpophallus. Apalagi dua alasan terakhir yang unik banget & nggak dimiliki banyak tumbuhan. 


Jadi mudah gini:

bunga bangkai = Amorpophallus sp. = corpse flower

bunga rafflesia = Rafflesia sp. = stinking corpse lily

Dulu saya juga ngiranya sama aja, sama-sama bunga bangkai, hehe. Ada yang pernah kecele juga?





===============

Maafkeun belum sempat nge-list sumber. 

Penjelasan lebih rinci bisa dilihat di sini:

http://lipi.go.id/lipimedia/6-perbedaan-harus-diketahui-antara-bunga-bangkai-dan-rafflesia/19787 




Reading Time:

Jumat, 04 Maret 2022

Kebetulan (?)
Maret 04, 20221 Comments

Beberapa hari lalu, seorang sobat ngajakin makan di salah satu tempat yang emang lagi happening di kalangan kancah muda. Habis cek-cek online, oke lah. Emang tampak nyaman, panorama di sana juga cantik. Cuma, ini salah satu tantangannya: karena happening abis, maka besar kemungkinan itu tempat bakal ruamee pol.


Apalagi, kami emang berencana pergi di hari libur.
(Ya gimana, kalau hari biasa kepentok hari kerja)

Salah satu trik saya kalo pengin jalan-jalan/wisata ke tempat yang disukai banyak orang: pergi di hari kerja atau datang pagi-pagi banget. Yang pertama, tentu nggak bisa. Nah, yang kedua bisa diusahakan.

Tapi karena satu dan lain hal, kami baru bisa mampir menjelang sore. Terus gimana? Sesuai dugaan. Bukan rame lagi, tapi full! Pemilik resto sampai bilang ke bapak parkir supaya nggak nerima pengunjung lagi.

Ya wes kita cari tempat lain yang suasananya masih 11-12. Lagipula kalau penuh manusia gitu rasanya agak gimanaaa gitu. Sebelum ada Covid19 aja, saya cenderung ngehindarin tempat nongkrong yang rame karena berasa sumpek dan malah nggak bisa santai. Apalagi pas ada Covid, tambah lagi. 

Nggak jauh dari situ ada resto lain. Resto yang ini sama happening-nya dengan yang tadi. Kita coba masuk. Udah parkir nih, udah jalan sampai ke gerbang, lalu dicegat seorang bapak (security, maybe?) yang intinya pengunjung harus antre dulu dan syarat berkunjung harus memesan makan/minum minimal sekian rupiah per orang. Udah jam segini dan kudu ngantre dulu buat makan siang? No way. Selak keluwen, cak. 

Sebelum tempat parkir kebetulan ada beberapa resto lagi. Salah satu terlihat lebih sederhana dibanding tempat makan di sekelilingnya. Di sana pun pengunjung tampak sedikit, jadi sepi. Maka kami berbelok ke resto itu. Urusan rasa, nanti-nanti lah. Yang penting makan dan duduk dulu.

Dari ukuran, tempat ini jelas lebih kecil. Hanya seukuran rumah dengan halaman yang rada luas. Soal konsep, nggak tahu. Mungkin mengusung konsep fasad tradisional karena ada beberapa saung jerami khas Indonesia, beda dengan resto-resto di sekitarnya yang tampak mengusung tema lumbung tani ala Eropa (a.k.a rustic Western barn). Tapi karena lebih sepi, kami bisa lebih santai.

Selain agenda meet up sama sobat, sebenernya saya sekalian hunting foto juga. Awalnya rada skeptis, sih. Tempat yang sederhana kan biasanya bikin otak harus lebih muter karena kudu cari angle yang pas biar foto jadi enak dipandang. Karena udah agak capek juga, jadi saya cuma motretin bunga-bunga di sekitar situ aja. Sekenanya; cenderung asal jepret.

Kemudian nyadar. Lah, kok, di sini ada lebih banyak bunga dan lebih berwarna daripada resto sebelah? 

Salah satu alasan kenapa saya motret bunga adalah mereka eye-catching. Nggak perlu banyak usaha, mereka sudah bisa 'tampil' dengan cantik. Jadi buat saya yang amatir ini, objek bunga sangat memudahkan hunting foto, hehehe. Selain itu, bunga juga bisa jadi salah satu alat buat framing. Karena masih latihan (lama amat latihannya, wkwk), maka kalau ada objek kayak gini ya membantu banget. 

Mungkin, kalau kami jadi ke resto tujuan tadi (baik yang pertama ataupun kedua), kami bakal kurang bisa santai karena ada banyak orang. Kami pun, mungkin, kurang max menikmati pemandangan alam dan hawa sejuk yang ada di sekitar. Dan, saya nggak bakal ketemu bunga-bunga elok aneka warna yang bisa jadi objek foto.

Kebetulan banget, bukan?
Padahal resto itu kami pilih asal. Asal dapet tempat, asal bisa makan (udah laper! wkwk), asal bisa duduk. Suasana dan makanan nomor sekian (meski surprisingly rasa makanannya lumayan meski menunya biasa aja). Serasa kebetulan yang merupakan keberuntungan.

Kalau kata orang bijak, sih, nggak ada yang namanya kebetulan. Kan, udah ada yang ngatur takdir. Hanya saja, logika takdir nggak semudah logika otak manusia. Atau mungkin pakai hukum logika yang berbeda. Jadi ya... nggak nyampe.  

"Oh, Sherlock, what do we say about coincidence?"
"The universe is rarely so lazy."
- Sherlock (BBC ver)

Hal yang kita anggap kebetulan, mungkin sebetulnya adalah hasil dari sebuah rangkaian rumit dan teramat panjang yang didesain Yang Maha Kuasa. Rentetan reaksi ini begitu njelimet dan 'nggak logis' bagi otak kita. Tahu butterfly effect? Ya mirip-mirip itu lah, cuma lebih rumit sebab ilmu kita kan jauh lebih sedikit. Seperti yang kita tahu, logika dan matematika Tuhan seringkali beda dengan kita. Dan bukannya dunia ini sebetulnya perwujudan sebuah model matematika? Bahkan cahaya yang dianggap maya toh bisa dihitung pakai formula. 

Yaa kebetulan waktu itu takdirnya dapat tempat yang lumayan cozy. 
Berarti, bisa aja dong dapatnya justru tempat yang lebih nggak enak? Bisa. Bisa aja kebetulan kami jadi dapat resto yang suasana dan makanannya nggak enak. Bisa jadi kebetulan malah dapat tempat yang enak tapi harganya selangit. Daaan kebetulan-kebetulan lainnya.

Namanya juga kemungkinan; ada banyak. Hampir tak hingga.

So, kebetulan tak harus selalu dapat keberuntungan; kadang malah bisa buntung. Bahkan ketika sudah diusahakan, udah ikhtiar mati-matian, hasilnya tetap bisa jelek dan nggak sesuai harapan. Para pengunjung resto happening tadi mungkin ada yang udah rencana jauh-jauh hari, datang dari tempat yang jauh juga, atau mungkin berangkat pagi dari rumahnya. Tapi bisa jadi dengan usaha yang lebih itu, ada yang justru rugi karena malah nggak bisa nikmatin suasana akibat penuh sesak. Atau, nggak bisa dapat foto bagus karena banyak orang seliweran. Di sisi lain, ada yang lebih santai, tanpa usaha, mungkin malah asal aja (kayak kami tadi), tapi justru dapat hasil yang baik.

Kok kayak nggak adil gitu?
Well, that's life. Life is unfair. You want fair? That's afterlife.

Manusia cuma bisa usaha dan antisipasi. Hasilnya? Entah.
Beberapa bisa seperti prediksi, sebagian bisa seratus delapan puluh derajat.
Bisa kebetulan bagus sesuai perhitungan atau kebetulan apes meleset berlawanan.
Bisa qadarullah pas dengan hal yang dipengeni atau qadarullah malah bikin istigfar berkali-kali. 

Hidup toh memang dinamis. Nggak sesimpel 'jika x maka y'. Jika berusaha maka berhasil, jika malas pasti miskin, dan jika-jika lainnya. Nggak juga seideal kalimat motivasi ataupun kata-kata mutiara; mau yang berbau senja ataupun yang tampaknya berbalut agama. 

Life is just... too complex to be comprehended from only one sentence.
And it is too complex to be summarised to only one sentence.

Or one paragraph.
Or one random written thoughts.


Siapa sangka dari asal pilih, ternyata kebetulan dapat pemandangan lumayan cakep

Reading Time: