Juni 2023 - Hijaubiru

Jumat, 16 Juni 2023

Bunga dan Panas
Juni 16, 2023 2 Comments

 



Sudah beberapa minggu ini cuaca terik. Jangankan hujan, mendung aja baru mampir tadi siang. Mampir doang, sebentar. Akibatnya, tumbuhan pun banyak yang mulai meranggas. Yang nasibnya lebih buruk, ya, mati. Tanaman peliharaan yang ada di pot umumnya lebih kritis karena akarnya nggak 'menjejak' tanah sehingga nggak bebas cari air. Makanya pemandangan tumbuhan hijau yang menguning kemudian kuning-kurus-kering dan mati menjadi sesuatu yang biasa (meski tetap menyedihkan) di musim ini.


Namun, nggak semua tumbuhan seperti itu. Ada juga yang malah berkembang saat suhu beranjak naik dan intensitas matahari makin menggila. Kalau tumbuhan lain mengatur tubuhnya supaya hemat air dengan meranggas (seperti jati) dsb, ada tumbuhan yang justru 'berani' untuk berkembang. Di saat tumbuhan lain cuma 'berani' menumbuhkan beberapa bagian yang krusial aja untuk sekadar bertahan hidup, justru ada tumbuhan lain yang 'dengan happy' tumbuh makin semarak dengan bunga warna-warninya.


Memangnya kenapa kalau ada yang berbunga?

Jadi gini, aktivitas berbunga adalah aktivitas ekstra. Tumbuhan berbunga dengan tujuan apa? Betul, berkembang biak. Karena bunga itu nanti akan jadi buah dan biji yang menghasilkan anakan baru. Berkembang biak, 'melahirkan' anak ini tentunya perlu energi ekstra, sama seperti manusia. Kenapa termasuk aktivitas ekstra? Karena aktivitas 'biasanya' cukup tumbuh atau bertahan hidup saja.


Jadi, kalau ada tumbuhan yang justru mau mengeluarkan energi ekstra di saat kondisi lingkungan sedang nggak bersahabat (alias, sedang panas-panasnya), dia adalah tumbuhan yang berbeda. Tentu, metabolismenya juga berbeda dengan tumbuhan kebanyakan yang justru tumbang di saat yang sama. 


Hari ini, di tepi jalan, di sebuah pot berukuran 40x40 cm, saya melihat bugenvil yang tumbuh rimbun. Bukan daunnya yang rimbun, tapi bunganya. Warna merah jambu, merah hati, dan putih berpadu di satu pot. Di balik bunga-bunga itu, barulah terlihat daun-daun hijau yang telak kalah jumlah. 


Apa cuma bugenvil yang justru berbunga saat cuaca panas? Enggak. Pernah dengar tabebuya? Bunga yang semarak sekali saat berkembang ini juga sama dengan bugenvil. Kalau nggak salah memperhatikan, saat cuaca di Surabaya sudah gerah bener, biasanya beberapa hari setelah itu bunga ini akan memenuhi sepanjang jalan raya. Contoh lain adalah jacaranda, pohon yang bunganya ungu. 


Terus, hm... apa lagi, ya?


Kenapa bunga-bunga ini justru 'bersuka-cita' saat suhu lingkungannya memanas? Penjelasan paling sederhana adalah karena iklimnya cocok; mereka memang suka cuaca panas. Penjelasan lainnya adalah metabolisme tubuhnya justru semakin optimal saat cuaca panas. Entah bagaimana caranya. Saya juga lagi cari-cari, tapi belum nemu.


Kalau sudah nemu alasannya, bakalan di-update di sini 😁 

Atau barangkali ada yang sudah tahu? 


========== 

Poin kedua ini baru terpikirkan belakangan, saat tulisan ini sebenarnya sudah selesai. 


Mengapa pohon tabebuya justru berbunga di musim kemarau, padahal di saat yang sama pohon jati sampai menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup? Atau, kenapa bugenvil yang 'cuma' semak, bukan pohon yang sturdy, juga justru bisa berkembang dibanding jati yang kuat?


Saya pernah nemu sebuah ilustrasi dengan beberapa pot tanaman di situ. Tanaman di tiap pot berbeda. Teks yang tertulis di bawahnya kira-kira:

Bila tumbuhan saja butuh kondisi yang berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang, apalagi manusia.

Aaand that hit me. 


Betul juga. Ada tumbuhan yang suka hujan, ada yang kalau kena hujan malah mati. Ada tumbuhan yang suka dipupuk X, ada yang kalau dikasih pupuk X malah mati. Bahkan tumbuhan yang satu spesies dan ditanam di halaman yang sama pun pertumbuhannya bisa berbeda karena faktor-faktor lainnya. Jadi, kenapa manusia yang juga satu spesies dan menyebar di muka bumi dengan kondisi 'lingkungan' yang berbeda-beda, sering disama-samakan?


Oke, memang ada standar tertentu yang bisa (tidak harus) digunakan untuk 'mengukur' tanaman. Misal, rendemen berapa baru boleh dipanen/dijual. Tapi, itu, kan, tanaman komoditas yang memang diperdagangkan? Manusia, kan, bukan.


Ilustrasi di atas (thanks to siapa pun pembuatnya, maaf saya lupa siapa/nemu di mana) terasa sangat uplifting. Seringkali kitamungkin tepatnya sayasuka membandingkan diri-sendiri dengan orang lain. Nggak apa-apa kalau sekali-kali dan tujuannya untuk melecut diri untuk lebih baik. Tapi kalau terlalu sering sampai ngerasa rendah diri dan tertinggal sekali, juga nggak bagus, bukan? 


==========

In frame: bunga kertas / bunga zinnia / Zinnia sp. 

Reading Time:

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time: