2022 - Hijaubiru

Jumat, 16 Desember 2022

Jagung dan Kawan-kawannya
Desember 16, 20221 Comments


Suatu sore.

"Jajan, yuk." Seseorang mengajak saya.

"Yuk. Mau apa? Asal jangan makanan berat, ya." Saya sudah berencana makan nasi capcay malam nanti.

"Hm... jagung manis yang dibumbuin bawang putih itu. Enak.”

“Jagung, kan, makanan berat?”

“Halah, makanan berat apaan, nggak usah ngikutin pendapat ala Barat, dibohongin lu.

“Lah orang Madura justru udah makan jagung buat makanan pokok sejak dulu. Kamu ke mana aja?”

 

Siapa yang sering merasa belum makan (berat) kalau nggak makan nasi? Sebagian besar orang Indonesia mungkin setuju dengan pernyataan ini, hehe. Atau mungkin orang Asia/Asia Tenggara? Seperti kawan bicara saya di atas tadi.

 

Dewasa ini, di sini, jagung, ubi, talas, sagu, dll sering dianggap ‘bukan makanan pokok’ atau tidak cukup mengenyangkan. 'Hanya' camilan teman duduk-duduk saja. Padahal, kandungan kalori mereka juga tinggi, lho. Nggak kalah dengan nasi. Simpelnya, makanan-makanan ini juga bisa ngasih energi yang tinggi untuk tubuh agar bisa normal beraktivitas. Hanya saja mungkin budaya kita sekarang lebih menitikberatkan makan nasi.

 

Sekarang? Berarti dulu enggak, dong?

Bukannya ‘ajaran’ makan pengganti nasi itu datang dari budaya Barat yang terbiasa makan roti dan pasta?

 

Enggak, kok. Kalau ditilik ke masa lalu, banyak banget masyarakat Indonesia yang makanan pokoknya bukan nasi. Variatif banget. Kalau selama ini kita cuma tahu jagung, sagu, atau umbi, sebenarnya ini bisa dijabarin lagi. Misalnya, umbi apa? Ketela pohon, ubi cilembu, talas, mbothe, ganyong, you name it. Itu, baru varian umbi-umbian. Belum lagi kalau ada varian sagu dsb.

 

Bahkan di sebagian daerah Indonesia—sayang saya lupa persisnya di mana, Sulawesi kalau nggak salah—pisang juga jadi makanan pokok. Ada yang memakan dengan moncocolnya dengan saus tomat atau sambal. Tak heran, sebab meski termasuk buah-buahan, pisang juga punya kandungan kalori yang nggak kalah tinggi. (Ini jadi salah satu jurus andalan saya kalau nggak sempat sarapan, hehe. Jus pisang+susu, tanpa gula. Kalau ada, blender sekalian beberapa lembar sayur hijau buat tambahan serat.)

 

Leluhur kita pun kreatif mengolah berbagai sumber karbo ini. Sebut saja gaplek (dari ketela pohon) atau nasi jagung. Itu baru dari Jawa. Padahal, kita tahu seberapa luas wilayah Indonesia. Secara logika, harusnya olahan pangannya juga lebih beragam.

 

Jadi, menurut saya salah bila ada yang bilang bahwa yang ngajarin untuk makan berat selain nasi itu orang Barat. Enggak. Nenek moyang kita udah melakukan itu lebih dulu.  

 

Cuma, tren ini sayangnya sempat hilang. Setelah beberapa tahun (atau dekade?), tren ini memang kembali ke sini lewat budaya Barat berupa beragam diet dengan konsumsi kentang, roti, pasta, non-gluten food, dsb, alih-alih nasi.

 

Kenapa bisa hilang?

Mungkin, ada benarnya jika ada yang bilang bahwa budaya ‘makanan berat itu harus nasi’ ini dimulai saat Revolusi Hijau di Indonesia di era Orde Baru. Di satu sisi, program ini bagus karena menggalakkan teknologi dan berbagai alat bantu yang cukup efektif untuk ngedongkrak produksi bahan makanan dalam negeri. Namun, salah satu sisi buruknya adalah penggalakan penanaman padi di mana-mana, termasuk di daerah-daerah yang masyarakatnya awalnya tidak/jarang makan nasi. Akibatnya, warga yang dulu mengonsumsi karbo non-nasi jadi turut makan nasi; meninggalkan karbo lokalnya. Hal itu berlanjut hingga keturunannya sampai kini.

 

Belum lagi ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa beberapa pangan lokal itu identik dengan kemiskinan. Karena nggak mampu beli beras, maka yang dimakan adalah ubi dsb. Mungkin itu benar. Tapi, ya… karena demand beras sudah sangat tinggi, imbas Revolusi Hijau tadi, maka harga juga jadi tinggi. Padahal, secara gizi, sumber karbo alternatif tadi nggak kalah dengan beras.

 

Akibat kejadian ini, saya jadi paham mengapa beberapa tahun lalu Kementerian Pertanian mengampanyekan “Diversifikasi Pangan”. Ya, supaya sumber-sumber pangan lokal ini dikonsumsi lagi. Ya, gimana, ya, sebab kebutuhan beras Indonesia kini sudah "nggak bisa" dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kalau bukan jumlahnya yang nggak cukup, ya harganya yang nggak cocok (sehingga akan sulit laku di pasaran).

 

Gimana dengan rasanya? Mungkin orang-orang menolak makan non-nasi karena alasan itu?

Mungkin ini soal biasa-nggak biasa, kali, ya. Saya aja misalnya, memang nggak biasa makan lauk dengan selain nasi. Namun, di daerah lain, makan lauk/sayur dengan ubi dsb itu biasa. Beberapa bulan lalu saat saya makan nasi jagung plus sayur. Eh, ternyata bisa-bisa aja; enak meski sensasinya berbeda. Dan meski bukan baru kemarin coba membiasakan diri konsumsi karbo non-nasi, saya toh masih pilih-pilih lauk yang sekiranya cocok dengan kentang dkk. Sebaliknya, ada juga lauk yang saya rasa justru nggak nikmat dimakan bersama nasi.

 

Balik lagi ke tadi: biasa-nggak biasa dan selera-bukan selera. Namun, rasa-rasanya yang kedua sangat tergantung pada yang pertama. 

Reading Time:

Jumat, 25 November 2022

Makan Lumut atau 'Lumut'?
November 25, 2022 4 Comments


Pic from:


Makanan itu terlihat seperti lembaran rumput laut yang sering seliweran di film-film Asia Timur. Lembar pipih, hijau, panjang, dan tampak licin. Namun ukurannya lebih kecil; hanya selebar jari tangan orang dewasa. Sekilas orang akan mengiranya sebagai lumut atau sejenis jamur aneh. 


Saya mengenalnya sebagai lumut sridempok. Kadang kami menyebutnya sebagai 'sridempok' saja. Ibu yang pertama mengenalkannya pada saya. Suatu siang beberapa bulan lalu, Ibu membuka bungkusan serupa pincuk pecel.


"Mau?" tawarnya.


Ada parutan kelapa berwarna oranye yang menutupinya. Mengira itu urap-urap/krawonan biasa, saya mengiyakan. Ketika parutan kelapa itu disibak, tampaklah 'sayuran' warna hijau gelap serupa kangkung yang direbus terlalu lama. Lha, apaan, nih?


"Ini sridempok," ujar Ibu sambil mulai menyuap. "Lumut."


Jujur, baru kali itu saya tahu kalau 'lumut' pun bisa dimakan. Kalau lumut diperas untuk diambil airnya untuk minum, saya tahu. Tapi, dimakan?


"Ini makanannya orang lawas," jelas beliau. 'Orang lawas' merujuk pada mbah-mbah saya dan para orang tua zaman dulu. "Udah jarang yang jual, nih. Jadi jarang  orang sekarang yang tahu."


Beliau mengatakan bahwa sridempok sebetulnya cukup mudah ditemui. Kalau bukan di tanah ya di permukaan batu. Ibu bahkan menemukan 'entitas' ini ketika ziarah ke pemakaman. Ia menemukan banyak yang menempel di nisan batu atau kijing semen.




Sridempok suka tempat lembap. Belakangan baru saya tahu kalau di tempat yang kering pun dia bisa tumbuh. Hanya saja bentuknya nggak akan segar seperti yang tumbuh di tempat basah, tapi akan kering agak kekuningan, mengkeret, dan akan super lengket di batu/rumput yang tertempeli. Sridempok kering lebih mirip keripik sayur.


Gimana rasanya?

Tanpa rasa. Anyep. Jadi yang terasa ya hanya bumbu urapnya. Hal yang berbeda adalah teksturnya yang jelas berbeda dengan sayur yang biasanya diurap. Sridempok punya tekstur yang agak licin dan kenyal, tapi  'kriak-kriak' bila dikunyah (apa ya istilahnya, crunchy tapi basah?). Sekilas teksturnya mengingatkan saya pada tekstur jamur kuping, tapi dalam versi lebih lembut. Dan, oh, ada sedikit hint serupa aroma lembap di ujung kerongkongan. Namun entah ini rasanya memang begini atau orang yang masak kurang ahli.


Selain kurang familiar sebagai masakan, nama 'sridempok' ini rupanya juga kurang umum dikenal. Berbekal browsing di dunia maya, rupanya sebutan ini dikenal di daerah Surabaya dan sekitarnya. Ada juga yang nyebut kalau ini makanan khas Gresik atau Sidoarjo. Namun entahlah ya, lha wong mbah-mbah Surabaya juga tahu, mungkin sridempok memang khas daerah Surabaya Raya (Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dll)


Awalnya, saya pikir begitu. Sampai kemudian saya nemu foto sridempok di sebuah komunitas dan ternyata ia juga dikenal di daerah luar Surabaya Raya sebagai makanan. Bedanya adalah namanya. Lumut jamur, jamur lumut, jamur watu, dan jamur selo adalah beberapa sebutannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belum lagi kalau di daerah selain itu, mungkin namanya beda lagi. Di luar negeri, ia dikenal dengan nama star jelly (karena bentuknya kayak jeli), witch's butter, fahtsai, atau facai.


Penamaan lumut jamur, jamur lumut, dan jamur watu mungkin sudah self-explanatory. Nama 'jamur selo' juga demikian, karena beberapa orang bilang bahwa 'selo' artinya batu dalam bahasa Jawa dialek tertentu. 


Jadi, sridempok ini sebetulnya jamur atau lumut?

Atau rumput laut? 

Atau alga?

Atau bukan semuanya?


Coba tebak, hehe. Kalau dari bentuknya, memang dia mirip beberapa kategori di atas.  Namun, sebenarnya dia adalah...

BAKTERI.


Iya, nggak salah baca, kok. Serius. Sridempok/jamur watu/jamur lumut/lumur jamur/ jamur selo itu adalah bakteri. Nama ilmiahnya Nostoc commune dan dia termasuk jenis (filum) cyanobacteria. Jenis ini lebih dikenal dengan nama 'alga hijau-biru', dulu, sebab warna 'anggotanya' banyak yang hijau atau hijau kebiruan.


Jadi, dia sebetulnya bakteri, bukan alga?

Oh enggak, dia tetap bakteri. Alga adalah jenis umumnya yang lebih familiar di masyarakat. Tapi menurut klasifikasi secara biologi, dia tetap bakteri.


Kita kilas balik sebentar kenapa bisa mbulet begini, hehe. Dulu, jenis cyanobacteria ini dikategorikan sebagai alga. Karena, ya itu tadi: dia punya zat yang bikin tubuhnya berwarna hijau. Ini yang bikin dia mirip dengan alga hingga dikira sebagai alga. Bentuk selnya juga mirip dengan alga. Di kemudian hari, baru diketahui kalau ternyata cyanobacteria nggak punya membran sel yang jadi salah satu ciri alga (alga prokaryot, cyanobacteria eukaryot). Jadilah dia dimasukin ke jenis bakteri.


Cyanobacteria sendiri adalah jenis yang unik karena dianggap sebagai moyang tanaman. Tadi sudah disebutkan bahwa dia punya zat hijau bernama klorofil. Masih ingat, nggak, kalau klorofil inilah yang membuat tumbuhan bisa fotosintesis dan membuat 'makanan' sendiri? Inilah uniknya cyanobacteria. Alih-alih seperti bakteri lain yang 'memakan' mineral dsb dari lingkungan, cyanobacteria justru bisa membuat 'makanan' di dalam tubuhnya sendiri dengan fotosintesis.


Kemampuan inilah yang membuatnya dianggap jadi nenek moyang tumbuhan. Kita tahu bahwa hewan bersel satu macam bakteri adalah makhluk hidup yang pertama menghuni bumi. Nah, bakteri yang pertama punya klorofil adalah cyanobacteria ini. Tumbuhan, yang punya klorofil tapi baru muncul belakangan, adalah keturunan makhluk ini. 


Jadi, sridempok dan 'konco-konconya' adalah makhluk yang terhitung pertama menghuni bumi. Primitif dan kuno, sudah hidup sejak sebelum dinosaurus muncul. Bahkan, yang ikut mengubah komposisi gas di bumi sehingga seperti sekarang ya cyanobacteria ini. 

(Kalau penasaran gimana, bisa ditilik di video ini: PBS Eons-That Time Oxygen Almost Killed Everything)


Eh, kalau sridempok itu bakteri, apa tetap aman dimakan?

Aman, insyaallah. Asal ngolahnya benar. Karena dia nempel banget ke batu/tanah, maka membersihkan butir-butir tanah jadi tantangan tersendiri. 


Tapi, apa tetap aman makan bakteri?

Aman. Berkebalikan dengan apa yang umumnya diyakini masyarakat umum, nggak semua bakteri itu jahat. Perut kita bahkan penuh dengan bakteri (gut microbiome) yang membantu pencernaan. Bakteri juga jadi (pembantu) sumber makanan. Sebut saja keju, yoghurt, kimchi, dan beberapa makanan lainnya yang pembuatannya dibantu bakteri fermentasi. 


Oke, balik ke Nostoc a.k.a sridempok.

Beberapa sumber bahkan menyebut kalau makanan ini punya kandungan protein yang cukup tinggi karena dia bisa mengikat nitrogen (bahan baku protein) dari tanah. Tentu, ini artinya dia juga bisa jadi penyubur tanah yang kekurangan N.  


Selain sebagai makanan, bakteri ini juga punya potensi lainnya. Penyubur tanah seperti di atas misalnya. Ada juga sumber yang meneliti potensinya menyerap logam yang mencemari tanah. Nostoc bisa berperan sebagai agen bioremediasi di sini. Dan manfaat-manfaat lainnya. 






[ Sebagai catatan, 'memiliki potensi' itu artinya masih perlu diteliti lagi. Sebab seringkali dalam skala kecil bisa berpotensi, tapi bila ditingkatkan ke skala besar ada berbagai tantangan atau masalah. Entah biaya, sarana-prasarana, atau mungkin efektivitasnya kurang dibandingkan proses/organisme lainnya. Jadi, sebagai masyarakat awam, sebaiknya kita nggak langsung terpicu begitu ada yang bilang, "Tumbuhan X punya potensi sebagai anti-kanker, anti-radiasi, dsb." Jadi, harus cek lagi. Apalagi beberapa media suka membesarkan dan salah mengartikan yang dibilang perisetnya. Misal, periset cuma bilang, "Tumbuhan X punya potensi Z" tapi di media, headline-nya sudah bombastis, "Tumbuhan X Bisa Digunakan Sebagai Obat Penyakit Y." This is... misleading. Yang bisa berujung pada overproud  pembaca dsb. ]


Anyway, karena bentuk sridempok ini lumut yg sederhana banget mendekati tak beraturan, jadi susah nyari foto yang bagus karena biasanya pada sederhana bahkan nggak estetik. Saya nyoba motret sendiri pun hasilnya juga naudzubillah sekali. Cuma jepretan dijepret PHOTOGRAPHY di atas yang bagus. Jadi, kredit foto di atas adalah beliau. ]


(Soal potensi dan cerita soal Nostoc commune ini masih ada lagi sebetulnya. Dan, semuanya menarik. Tapi, belum ditulis, haha. Mungkin selanjutnya bakal dilengkapi. Semoga saya nggak lupa, hahah)




Referensi:

Boggs, J. 2020. Nostoc commune: From "The Blob" to Crusty Black Stuff. https://bygl.osu.edu/node/1580. Diakses November 2022.

Facebook Komunitas Pemburu Jamur Indonesia.

Wisanti dan N.K. Indah. 2011. Kajian Taksonomi Lumut Sri Dempok dan Potensinya. Berk. Penel. Hayati 7F: 65-68.

Dan sumber lainnya, lupa nge-list, next bakal dilengkapi 😅

Reading Time:

Selasa, 15 November 2022

Bertemu Eks Bandara dan Istana di Belantara Argopuro
November 15, 20220 Comments

 


Pernahkah kamu membayangkan bahwa di Indonesia ada istana di puncak gunung, layaknya di dongeng-dongeng? Tempat ini ternyata bukan fiksi belaka. Di Gunung Argopuro, Dataran Tinggi Yang, Jawa Timur, istana tersebut pernah ada; nyata. Bahkan, lapangan terbang tertinggi di Jawa pun sempat berdiri di tengah-tengah hutan belantara ini.

            Berbicara tentang Argopuro tak bisa lepas dari legenda Dewi Rengganis. Putri Majapahit tersebut mengasingkan diri ke sini kemudian membangun istananya di salah satu puncak gunung. Puing kuno inilah sumber nama Argopuro yang berarti ‘tempat suci di gunung’.

            “Di sini agak beda dengan gunung-gunung lain yang biasa didaki. Selain ada bangunan bersejarah, hewannya juga lebih banyak karena termasuk suaka margasatwa,” tutur Susiono, petugas BKSDA Dataran Tinggi Yang, desa Baderan, kabupaten Situbondo.

Bapak ini lantas menceritakan serba-serbi Argopuro yang perlu diketahui oleh kami bertujuh sebelum mendaki.

“Musim hujan begini harus lebih hati-hati,” nasihatnya sebelum kami berangkat.

Benar saja, hujan deras mengguyur tak lama setelah tim beranjak dari pos perizinan. Januari memang bulan hujan. Jalur pendakian terpanjang di Jawa berjarak tak kurang dari empat puluh kilometer itu tentu akan sangat licin. Belum lagi tempat berkemah yang rawan basah. Untunglah Argopuro memiliki beberapa camp yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Salah satunya Cikasur.

 

Cikasur: Sabana Bekas Lapangan Terbang

Dari Baderan, kami butuh dua hari perjalanan dan satu kali menginap untuk mencapai Cikasur. Padang rumput ini luas, datar, dan punya sungai bersih yang ditumbuhi gerumbulan selada air. Para pendaki biasanya tak akan melewatkan kesempatan mencicipi sayuran ini di habitat aslinya. Tentunya dalam jumlah wajar, tak boleh berlebihan.

Hari menginjak petang ketika tim mencapai lokasi ini. Seekor burung merak yang bertengger di salah satu dahan buru-buru menyingkir ketika rombongan manusia berdatangan. Di antara sisa-sisa sinar senja, terlihat tembok-tembok rendah berwarna putih berdiri dikepung ilalang dan semak-semak. Itulah bekas shelter zaman Belanda yang diceritakan Pak Susiono.

Cikasur memang punya sejarah panjang. Penjelajah Belanda bernama Junghuhn pernah terpesona oleh kecantikan Cikasur. Pada 1880, ia mengusulkan pembangunan hill station seperti yang dimiliki Inggris di Darjeeling. Ide ini disambut baik oleh seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama Van Gennep sehingga perencanaannya dimulai.

Sayang, proyek itu batal pada 1916 karena dianggap kurang meyakinkan. Cikasur pun diserahkan pada Ledeboer, seorang administrator perkebunan kopi, agar dikembangkan menjadi tempat konservasi rusa. Namun, pemerintah Hindia Belanda mengambil alihnya kembali pada tahun 1940-an untuk dijadikan lapangan terbang.

Saat itulah muncul desas-desus mistis yang diyakini masyarakat setempat hingga kini. Mereka percaya bahwa pembuatan bandara kecil tersebut bukan demi alasan pertahanan saja, melainkan juga untuk membawa emas yang terkandung di tanah Cikasur secara diam-diam. Rakyat yang dipekerjakan paksa dalam pembangunannya kemudian dibunuh agar kabar tak tersebar luas. Oleh sebab itu, sabana ini dianggap angker karena banyak yang mengaku mendengar ramai suara manusia atau derap sepatu tentara saat tengah malam.

Terlepas mendengar suara mistis atau tidak, para pendaki sepakat bahwa suara yang pasti didengar di padang rumput luas ini adalah kokok ayam hutan. Selain bunyi yang khas, ayam hutan juga lebih ramping dan gesit. Ketika pagi tiba, tim kami beberapa kali melihat badannya yang berbulu hitam akan tampak berseliweran dengan cepat di antara ilalang dan bekas landasan pacu. 

Ya, selain sisa bangunan, bekas landasan pacu zaman perang itu masih ada sampai sekarang. Jalurnya membentang sepanjang satu kilometer dari lereng bukit ke sisi hutan. Ketika kabut menghilang, alurnya jelas terlihat dari tempat kami mendirikan tenda.

 

 

Istana Dewi Rengganis

Argopuro tak hanya menyimpan kisah zaman penjajahan. Puing-puing bangunan tertua berdiri di dua dari tiga puncak tertingginya. Kami mencapai Sabana Lonceng, checkpoint sebelum puncak, dua hari setelah meninggalkan Cikasur. Di sinilah titik kumpul sebelum mencapai Puncak Rengganis, Hyang/Arca, atau Argopuro.

Kami memilih Puncak Rengganis dahulu karena lebih dekat. Sekitar dua puluh menit mendaki santai, pepohonan mulai berkurang dan digantikan pemandangan tanah putih dari batuan kapur serta semak-semak cantigi. Di sinilah terdapat sisa-sisa istana yang dibangun di akhir masa keemasan Majapahit itu. Misalnya, cekungan yang dibilang Pak Susiono sebagai kolam pribadi sang putri. Tidak jauh dari kolam, terdapat struktur bebatuan persegi panjang yang disusun rendah mengelilingi dua bujur sangkar kecil. Inilah makam dua abdi setia Dewi Rengganis.

Perjalanan dilanjutkan dengan meniti bukit kapur. Lima menit setelahnya, tempat sang putri pernah bersemedi mulai terlihat. Tak ada wujud utuhnya, tetapi masih tampak batu-batu sebesar kepala manusia yang membentuk tangga pendek dan dasar suatu bangunan.

Mengapa Dewi Rengganis membangun istananya di puncak? Karena masyarakat masa itu meyakini bahwa puncak gunung adalah tempat dewa bersemayam. Apalagi, Puncak Rengganis terletak di dekat bekas kawah. Mereka percaya bahwa kawah merupakan pintu masuk alam ruh.

Selanjutnya kami turun karena mengejar waktu ke puncak tertinggi di Dataran Tinggi Yang, yaitu Puncak Argopuro, dengan ketinggian 3.080 mdpl. Namun, mendung mulai datang. Padahal sebelumnya, cuaca siang itu tergolong cerah. Begitulah cuaca di gunung, mudah berganti-ganti dalam hitungan menit.

Akhirnya sampailah kami di Puncak Argopuro, yang berupa tanah landai dengan pepohonan yang menghitam sisa kebakaran. Kali ini kabut sudah membekap sekeliling sehingga bukit-bukit lain tidak terlihat sama sekali. Bahkan, jarak pandang makin pendek ketika kami mendekati Puncak Hyang.

Kewaspadaan meningkat jauh mengingat jalan meniti punggung bukit dengan jurang menganga di kanan-kiri. Sebuah patung kuno terduduk di tepi jalur pendakian selebar satu meter, tak jauh dari plang penanda Puncak Hyang. Arca inilah alasan puncak ini juga dikenal sebagai Puncak Arca.

Sambaran kilat mulai terlihat di kejauhan. Ditemani hujan yang berubah badai, tim pun turun ke Sabana Lonceng. Tuntas sudah rasa penasaran tentang dongeng istana putri di puncak gunung dan bandara tertinggi yang sering disambangi hewan liar. Setiap gunung dan perjalanan punya cerita yang berbeda. Keistimewaan apa lagi yang bisa ditemukan di gunung-gunung nusantara lainnya?








--Tulisan ini alhamdulillah pernah jadi salah satu

naskah favorit kategori feature perjalanan Bulan Bahasa UGM 2019.

NB: Beberapa bagian telah diedit ulang--



Referensi:

Hoogerwerf, A. 1974. Report on Visit to Wildlife Reserves in East Java. Netherlands Commission for International Nature Protection, Austerlitz.

 

Van Der Meer, A. H. C. 2014. Ambivalent Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927. University of New Jersey. Disertasi.

 

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, dan S. A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Jawa-Bali. Prenhallindo, Jakarta.

 

Widyatama, H. A. 2016. Penempatan Punden Berundak di Puncak Pegunungan Iyang Argopuro, Situbondo, Jawa Timur: Tinjauan Aspek Lingkungan dan Religi yang Mempengaruhinya. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

Reading Time:

Jumat, 04 November 2022

Treehouse
November 04, 20220 Comments


Nowadays, treehouse is not something so foreign anymore. We may have seen it at some tourist objects, especially those which located near the forests or located in lodgings with outdoor concept. Some children parks or adult's outbound spots even have them. Some of them even gone viral, like treehouses in Coban Rondo camping ground and Nusa Penida's cliff. 


It has been widely accepted now. (At least here. I don't know about all places but in those western kid novels I read, the children were playing in a treehouse). At some point, at least to people around me, the concept of treehouse was so peculiar. I still remember the time when I was so obsessed with treehouse and people ridiculed it.


It was after I read an old comic titled "Swiss Family Robinson", I think. The comic was so old because it was Dad's childhood comic. I thought, 'the comic is Dad's so people who are the same age as Dad now must have been heard/know about this'. Because I was obsessed with it, I drew it anywhere and anytime.


And I mean, really anytime. In art class in school, I drew it for a few weeks consecutively. At home, I drew it leisurely. Of course, the designs were not the same. There were several forms and details I added to different pictures. But the object was still the same: treehouse. Either it was surrounded by forest or beach. 


At some point, my homeroom teacher asked me why I drew houses perched on a tree. I said that the building has a name: treehouse. I explained where I knew about it bla bla bla. He said that he never knew house like that. I told him it's okay because from the sources I obtained it was actually an emergency house, not a 'normal' one. It was used by someone when he was stranded—like the Swiss Robinson family—or by children when they were playing (later when I became an adult, I found out that some tribes including the ones in Indonesia use treehouse as their living home). I remembered a weird expression etched on his face at that time. I couldn't name it. It was mixed between confusion, confusion, and... disbelief.


I didn't think much about it. It wasn't until my friends asked me too. I told them the same thing I said to my teacher. There was one unforgettable response,

"I don't think that exists. I asked my dad and he said that the only treehouse he knows of is a birdhouse."

or in our language, "Masak, sih, ada yang kayak gitu? Aku nanya bapakku terus dibilang kalau rumah pohon yang bapak tahu ya rumah doro (merpati)."

Then they laughed. In a mocking tone. 

It was quite blurry but in the back of my head I recalled someone (probably) saying, "Ah dia ngayal, kali."


And I remember that I kept silent and looked back at those looks of disbelief with a stare in disbelief. 

"Maybe your dad doesn't know all thing? Maybe my dad actually knows more things than yours."


But they were insignificant and I knew they would keep mocking me if I explain it further (yeah you know how kids mocking, right) so I let that be.


This 'insignificant thing' reached the ear of my family members. They asked me the same thing: why I drew that, where I knew that from. And the ending was quite predictable.

"That's uncommon thing to draw. You should try to draw more normal things."


I declined. Why should I? Other people drew robots, princess and castles. Those were 'unreal' things too. So why should I stop? Moreover when I know that it was real, it existed.


The comic book itself was an adaptation from an old, classic, adult's adventure novel. And I mean, the treehouse had been shown everywhere aside from the comic I mentioned. Winnie The Pooh picture books (okay some people might not read it), TV's cartoon (certainly they had seen it because we talked about the cartoon at school). So why didn't they know of it? Why did they think I lied?


I didn't care. So I kept drawing treehouses until I got bored with it.


I realised now that the treehouse was a small detail in kids cartoon so they most probably didn't pay much attention to it while I recognised it because of mere-exposure effect.


At that moment, maybe up until this time, I might be a headstrong—or a stubborn one if you may—person. But, that character was what I actually need in some occasions. Yes, we—I—should consider another people's perspectives. As an adult, we have to be open to the other's opinion and then filter it. The problem is, as an adult, we—or just me? Maybe—pay attention to another's voice too much that we become docile and don't have our own voice. 


Or simply said as people pleaser.

Many adults do things not because they want it, but because the people around them told them to do it. The 'things' I mean are those that are trivial. Matters about prestige of owning some stuffs, wearing some stuffs. Things like that. 


In certain point, it reached some things that aren't quite trivial. Life choices, for example. Even though it gives more impact to my life than those trivial things. And I regret it.


At these times did I wish that I was as headstrong as the kid in me who kept drawing treehouse because that kid believed in me and believed in it. Even when people around me, adults around me, even my own family, doubted it. 


There were some occasions that I regret that I was headstrong, uncompromising.

But there were some occasions too that I regret why I wasn't headstrong and so compromising. 

Maybe I should've listened to my guts more than I listened to the voices around me.


Maybe I should believe to the 'treehouse' rooted in me.




=====================

Disclaimer: photo is courtesy of AzzanArts

Reading Time:

Jumat, 28 Oktober 2022

Antisipasi Kemping Tepi Kali
Oktober 28, 20220 Comments


Kemping di tepi sungai memang asyik. Dan terlihat estetik. Suasana sejuk hutan dan sungai berpadu, membuat white noise berupa gemericik suara air dan kersik daun di pepohonan. Belum lagi kalau ada cuitan burung-burung kecil saat pagi atau cericit hewan atau serangga malam. Beuh…. Kalau kata teman, “Syahdu bener.”

 

Mau camping ataupun glamping (glamorous campingistilah untuk penginapan full fasilitas yang didesain bak suasana kemping dengan tenda dsb) di tepi sungai sebenarnya sah-sah aja. Pun, dengan penginapan yang menyediakan glamping pas di sisi sungai, hanya berjarak <3 meter (bahkan ada yang persis di pinggir), saya rasa pengelolanya pasti sudah memperhitungkan segala risiko. Cuma, kalau saya pribadi, emang rada nggak tenang kalau mendirikan tenda persis di samping sungai. Terutama kalau musim hujan.

 

Alasan utama adalah keamanan. Di musim hujan, badan air seperti sungai, danau, dsb bakal menerima tambahan air. Dari hujan, of course. Selain itu, debit air juga bisa meningkat karena kiriman dari hulu. Inilah yang berisiko.

 

Di gunung, sungai-sungai yang nampaknya kecil itu terhubung dengan sumber air di bagian yang lebih tinggi. Yang kadang terjadi adalah di sungai bagian bawah nggak hujan, tapi di hulu/sumber ternyata hujan deras. Akibatnya, debit air di sana pun meningkat dan bikin alirannya tambah deras. Namanya juga aliran pasti akan mengalir ke bawah. Ya, ke sungai yang nggak kena hujan tadi.

 

Bila hujan sangat deras, aliran itu bisa menjadi air bah. Meluber ke mana-mana, termasuk ke tepian sungai. Selain membawa air, aliran yang sangat deras juga bisa saja turut membawa lumpur, pasir, bahkan batuan besar. Oleh karena itu, bila mengunjungi air terjun saat musim hujan, hendaknya lebih berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan air terjun atau berlama-lama berada di bawahnya. Takutnya ada kiriman banjir dari atas itu.

 

Lalu, apa hubungannya banjir kiriman tadi dan kemping?

Selama ini yang saya tahu adalah disarankan mendirikan tenda tidak terlalu dekat dengan sumber air. Paling tidak, di jarak aman atau jarak perkiraan luberan air. Kalau tempatnya nggak datar, lebih baik karena kita bisa mendirikan tenda di tempat yang lebih tinggi dari permukaan sungai. (Ini setahu saya aja. Kalau ternyata ada update lain soal keamanan nge-camp di tepi sungai, saya belum tahu. Let me know if you know, pls). Ya untuk mengantisipasi kalau tiba-tiba banjir tadi. Kan, nggak enak kalau lagi nyenyak tidur kemudian tiba-tiba basah. Atau, yang lebih bahaya, ikut kebawa aliran.

 

Sungai yang kelihatannya sangat dangkal atau bahkan kering pun belum tentu jaminan aman. Berkaca dari pengalaman, saya dan teman-teman pernah menemukan sebuah jalur yang awalnya kami kira jalur pendakian (karena nggak ada rumput tumbuh di garis itu). Eh, sesaat kemudian hujan turun. Nggak deras (di tempat kami). Namun, dalam hitungan menit, jalur itu menjadi sangat becek dan berlumpur kemudian nampak aliran air di sana. Kecil, nggak sampai merendam sepatu kami. Tapi, itu sudah menjadi alarm.

 

Kami segera naik dan mencari jalan lain karena baru kami sadari bahwa jalan tadi sesungguhnya bukan trek pendakian, tapi jalur air. Tadinya nampak kering karena nggak ada hujan. Tapi begitu hujan turun, aliran air dengan cepat terbentuk. Bukan tak mungkin bahwa jalur tadi aslinya merupakan sungai, tapi saat itu sedang kering. Saat kami sudah naik dan berjalan agak jauh, terlihat bahwa aliran air di jalur tadi sudah bertambah. Kira-kira sudah seperempat paha.

 

Memang secepat itu berubahnya. Bukan dalam hitungan jam, cukup menit. Bahkan dalam beberapa kasus, cukup detik.

 

Alasan lain mengapa disarankan mendirikan tenda tak terlalu dekat dengan sungai adalah untuk menghindari kontak dengan hewan liar. Baik yang buas ataupun tidak. Sebab, hewan-hewan biasa turun ke sungai untuk minum atau berburu. Apalagi saat malam. Apalagi bila badan airnya adalah sumber air, bukan lagi sungai/danau, yang merupakan sumber air minum bagi satwa di daerah itu dalam radius entah berapa kilometer. Jadi, hewan kalau minum, ya ke sana. Oleh karena itu, beberapa tempat sighting hewan yang pernah dilaporkan salah satunya adalah di badan ataupun sumber air. (*cmiiw)

 

Kalau tempat yang memang sudah didesain untuk glamping atau camping ground, kayaknya nggak bakal ada risiko hewan ini buas ini. Beda kalau memang di hutan atau gunung.


Gimana dengan foto kayak di atas, yang di tepi kali pas?

Mungkin ada beberapa, pun tempat glamping. Namun, ada juga yang menyeret tenda hingga ke tepi sungai/danau hanya saat sesi foto. Buat properti. 


=============


Picture credit: Joshua Sukoff on Unsplash

Reading Time:

Jumat, 14 Oktober 2022

Open Trip Bromo
Oktober 14, 2022 4 Comments



Kalau kemarin sudah sempat baca sampai tbc,

sila klik link ini biar langsung ke teks update hari ini: lanjutan 1.

----------


Dulu, kalau saya atau teman pengin jalan-jalan, kami harus ngumpulin beberapa orang dulu. Setelah itu baru survei transpor, akomodasi, dan lain-lain. Karena jaringan sosial media dan internet belum semaju sekarang, jadi nanyanya ke orang-orang yang pernah ke lokasi itu atau telepon ke lokasi sekalian. Transportasi? Kalau jauh, ya, pakai kendaraan umum. Ngebus, kereta, carter jeep atau numpang mobil bak terbuka. Kalau orang yang pengin ke sana cuma sedikit, pilihannya ada 2: tetap berangkat dengan sedikit orang dan bayar lebih mahal, atau nggak jadi berangkat (atau nunda sambil ngumpulin ‘pasukan’ pelan-pelan, berbulan-bulan).

 

Ya gimana lagi, harus diakui bahwa nggak semua daerah di Indonesia, bahkan Jawa, mudah terhubung dengan transportasi umum (wong sekelas Surabaya aja masih pada ngandalin motor). Akibatnya, butuh kendaraan pribadi untuk mencapai daerah tertentu. Kalau nggak punya, tentu harus nyarter. Nah biaya carter ini yang nggak murah. Kalau orang yang pergi cuma segelintir, biaya patungannya akan lebih mahal.

 

Beruntunglah sekarang ada layanan open trip via agen travel. Jadi, dengan sedikit orang pun kita bisa tetap travelling ke tempat-tempat yang butuh kendaraan khusus atau biaya transpor yang cukup tinggi. Memang nggak semua tempat ter-cover, tapi sudah cukup.

 

Seperti Juli lalu saat saya pengin banget main ke gunung yang agak jauh. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, seorang karib mengajak jalan ke Bromo. Dia kemudian mengirim akun sebuah operator tur yang ia temukan di instagram. Agensi itu menyediakan layanan open trip ke beberapa daerah di Malang dan Batu. Cek-cek dan terbukti bukan travel bodong, kami pun booking.

 

Open trip adalah layanan tur yang pesertanya macam-macam. Dalam satu kelompok, akan ada orang-orang lain yang nggak kita kenal. Asalkan tujuan dan tanggal keberangkatannya sama, maka kita bakal dijadikan satu rombongan: satu itinerary, satu mobil/bus, dan mungkin satu hotel/restoran (kalau termasuk biaya inap/makan).


Jujur awalnya saya sangsi. Bukan apa-apa, hanya saja sejak era medsos makin menggaung dan hiking/travelling makin lumrah diterima masyarakat, banyak banget kasus open trip ataupun shared cost yang berujung penipuan (meski nggak semuanya; yang beneran jujur dan baik juga banyak). Maka dari itu, personally, saya lebih suka jalan sama teman sendiri. Udah kenal. Jalan bareng orang tak dikenal juga masih oke, asalkan dia ‘dibawa’ teman (ya intinya ada yang kenal: dia temannya teman saya dan teman saya ini ikut).

 

Namun karena saat itu kami lagi butuh banget refreshing ‘besar’, maka kami putuskan jalan berdua dengan ikut open trip aja. Biar cepat; nggak kebanyakan rundingan jadwal. Kebetulan open trip ini menawarkan trip tiap hari a.k.a kami bebas pilih tanggal (di hari kerja sekalipun) dan bebas berapa orang pun tanpa minimal peserta. Sounds too good to be true, though, so I was a bit suspicious. Atau emang saya aja yang ndeso karena nggak ngerti sistem kerjanya? Maybe, hahahah.

 

Jadi, sebagai pengguna open trip pertama kali, ini cara yang kami lakukan untuk menentukan agen travel ini valid atau enggak (disclaimer, tips ini bukan jaminan sukses 100%, tapi bisalah biar ada gambaran sedikit):

1. Cek akunnya

Karena kami nemu dari IG, ya cek IG-nya. Foto dan komentar di sana, interaksi mereka, price list dan rundown jelas, dsb. Tidak ada komentar yang dimatikan, jadi kami tengarai nggak pernah berkasus. Sahabat saya juga sempat bertanya pada akun lain yang kelihatannya pernah pakai jasa tur tsb.

 

Karena teman saya nemu akun tur tsb dari iklan IG, apa jaminan kalau akun itu valid? Belum tentu. Aturan pasang iklan di IG sudah nggak seribet dulu, jadi siapapun bisa pasang, termasuk akun bodong. Beberapa bulan lalu, seorang teman menemukan iklan bank abal-abal yang mencatut sebuah bank besar.

 

2. Crosscheck ke agen travel langsung

Setelah cek akun, kami langsung kontak ke narahubung/contact person. Tanyakan harga, itinerary (jadwal/rundown), fasilitas yang didapat. Salah satu yang terpenting, tanya juga perihal pembayarannya. Jangan percaya kalau minta bayar full langsung. Travel yang kami pakai kemarin hanya meminta DP 50k per orang dari harga total open trip Bromo yang 250k/orang. Oke, masuk akal. Harga 250k sudah termasuk:

  • penjemputan dari dan ke area Malang Kota:
    setelah trip selesai, kita diantar balik ke kota/titik penjemputan
  • carter jeep (kapasitas 8 orang)
  • tiket dan izin masuk ke kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
  •  fotografer + dokumentasi:
    tentu berbagi dengan 6 peserta lainnya. Foto tanpa editing dengan kamera mirrorless. Jadi kalau kebetulan hasilnya biasa aja, ya diedit sendiri. Awalnya saya kira dieditin sekalian agar estetis, makanya ngebatin, ‘Kok murah banget 250k udah sama editing’. Ternyata yang dikasih foto mentah, hehe. Tapi itu pun udah lumayan, sebab ada tur berharga 300k yang tanpa fotografer/dokumentasi

Oh, jangan lupa tanyakan detail mobil seperti jenis, warna, nopol, serta sopir yang mengantar ke dan dari lokasi. Juga perkiraan jumlah peserta yang barengan dengan kita.

 

3. Konfirmasi H-1 dan hari-H

Kontak lagi narahubung untuk mengingatkan dan memastikan. Di hari-H biasanya mereka akan mengirim detail mobil dan sopir yang menjemput. Kemarin kami cuma dibilang, “Bakal ada sopir yang menghubungi” meski sudah minta identitas sopir. Akhirnya, ketika dihubungi sopir, kami konfirmasi ulang ke pihak travel apa benar orang tsb.

 

Ini yang agak bikin ribet. Ternyata kami harus crosscheck sendiri-sendiri ke pihak travel dan sopir. Kirain mereka satu pusat komando, jadi terhubung satu dengan lain dan sama-sama tahu sehingga kami cukup nanya ke satu orang aja. Ternyata enggak.

 

Usut punya usut, ternyata sistem terpisah-pisah inilah yang bikin agen travel mau menerima peserta dengan jumlah sedikit: karena mereka memang bukan satu travel agent. Jadi ada orang yang bertugas marketing seperti narahubung yang kami hubungi tadi, kemudian ada sopir sendiri, ada sopir jeep sendiri, dan fotografer sendiri. Mereka adalah mitra yang punya modal sendiri (misal: mobil, jeep) dan kayaknya mendaftar ke satu pengelola. Pengelola inilah yang nanti ngatur peserta mana ikut mobil siapa, sedangkan narahubung tadi sudah lepas karena sudah ‘menyerahkan’ customer ke pengelola.

 

Mirip mitra gojek/grab gitu lah. Perusahaannya kan bukan yang punya kendaraan; mereka cuma menyalurkan.

 

Narahubung, pemilik mobil, fotografer, dan pemilik jeep ini bisa jadi nggak saling tahu mana customer yang dapat siapa karena memang nggak ada dalam satu travel agent yang sama. Semuanya terpusat di pengelola tadi. Mereka nggak saling berinteraksi karena dapat perintah langsung dari pengelola tadi.

 

Itulah kenapa travel agent menjanjikan bebas pilih tanggal berangkat dan tanpa minimal peserta: karena peserta dari mereka akan digabung dengan peserta yang didapat oleh agen lain. Jadi, di hari-hari sepi pun, pasti ada mobil yang full peserta. Awalnya kami kira peserta open trip ini ya hanya dari narahubung yang kami kontak aja….


lanjutan...


Oh ya, apa harga open trip ke Bromo masih 250k? Entah. Kalau ngelihat harga BBM yang naik, kayaknya ya pasti ikut naik, ya…. Tapi saya belum pernah cek lagi. Waktu itu banyak agen lain yang sudah mematok harga 300k, jadi yang 250k ini masih tergolong lebih murah dengan fasilitas yang sama. Bahkan ada yang 300k tanpa dokumentasi.

 

Singkat cerita, perjalanan 2D1N (2 days 1 night) itu kami mulai dengan menumpang KA Penataran. Berangkat dari Stasiun Gubeng Lama (SGU) pukul 17.40-an dan estimasi sampai di Stasiun Malang (ML) sekitar pukul 20.00. Meski kereta lokal, pastikan untuk nggak beli tiket secara mendadak mengingat ini jam pulang kerja. Karena KA lokal (wilayah Jatim aja), tiketnya hanya bisa dibeli di aplikasi KAI, nggak bisa lewat web. Kayaknya waktu itu cari lewat web juga nggak ketemu.

 

Actually, that was my first time riding a train after the pandemic hit. How was it?

Like nothing had changed. Kereta, meski di hari kerja, tetap penuh sesak. Tetap berisik (karena ekonomi, lokal pula, kan). Ada ibu-bapak pulang kerja, ada satu keluarga yang bawa anak bayi dan balita, ada pemuda-pemudi yang kayaknya mau berangkat main kayak kami. Macam-macam, deh. Saya pikir kereta di hari kerja bakal lebih sepi, ternyata enggak, hehe. Untung kereta zaman sekarang pasti dapat tempat duduk. Kalau ini di zaman dulu, bisa dipastikan kami bakal susah atau rebutan kursi.

 

Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari narahubung bahwa waktu penjemputan diundur. Tadinya dijadwalkan pukul 23.00, tapi diubah jadi 01.00. Duh, tambah malem aja. Jadilah kami batal melekan di kafe dan memutuskan nyewa hostel seperti yang pernah saya ceritain di sini. Penjemputan dini hari inilah yang bikin kami agak rewel soal konfirmasi identitas dan mobil sopir; buat mastiin keamanan bahwa betul itu mobil dari travel dan bukan yang lain.

 

Pukul 01.00 kami dijemput di hostel, setelah itu menjemput orang lain yang serombongan dengan kami. Selanjutnya kami lanjut ke daerah Tumpang untuk oper ke jeep. Meski bukan open trip pun, kalau masuk TNBTS lewat Malang, sejak dulu memang berhenti di daerah ini untuk oper jeep. Waktu ke Semeru satu dekade lalu pun (catper di sini) juga. Nampaknya memang pusatnya jeep.

 

Kalau ke Bromo/Semeru harus naik jeep?

Nggak harus sebenarnya, tapi sebaiknya memang mobil 4-wheel-drive karena medannya ekstrem dan ada jalur pasir yang susah-susah-gampang dilalui ban. Mana jalannya nggak lebar juga kan, jadi kudu hati-hati kalau papasan dengan kendaraan lain. Era 2010-an, mobil 4WD pribadi masih boleh masuk Lautan Pasir. Namun, beberapa tahun belakangan ini kayaknya pengelola TNBTS mewajibkan sewa jeep agar membantu perekonomian warga sekitar taman nasional. Mobil masih boleh masuk sampai poin tertentu, lalu kemudian harus sewa jeep.

 

Kalau motor?

Masih boleh, asal bukan motor matic. Dan pastikan benar-benar menguasai motor dan medan. Yang paling tricky, ya, jalan yang meliuk naik-turun mendadak dan jalur pasir di kaldera itu. Nggak jarang ada motor yang susah jalan karena pasirnya licin banget. Dulu saya harus turun dan jalan, sedangkan partner menuntun motor, saat ngelewatin pasir ini. Road trip TNBTS juga nggak kalah seru dengan open trip, lho.

 

Balik ke Tumpang. Di sini, kami dan peserta-peserta lain dikumpulkan di satu rumah sambil menunggu rombongan dan jeep komplet.

 

“Kok belum berangkat juga, sih? Ini udah hampir setengah tiga, lho,” bisik kawan saya sambil melihat arloji. Beberapa peserta yang semobil juga mengutarakan hal yang sama.   

 

Saya cuma menggumam, sedikit tak sabar pula. Kalau trip ini memang hanya mengejar matahari terbit, gagal sudah rencana kami menikmati dan mendokumentasikan star-trail Bimasakti yang cantiknya bak permata langit itu. Asli itu pemandangan bikin kangen meski demi melihatnya harus diterpa angin gunung dan suhu dini hari yang menggigit ke sumsum tulang.

 

“Iya memang rencana sampai sana subuh, Kak. Beberapa hari ini dingin banget sampai peserta pada nggak mau keluar mobil sebelum sunrise. Daripada kita kedinginan lagi,” jelas fotografer saat itu.

 

Akhirnya kami maklum. Waktu itu memang puncaknya kemarau. Namun, puncak kemarau berarti suhu di gunung turun serendah-rendahnya saat malam tiba. Orang Jawa mengenalnya sebagai bediding. Fenomena inilah yang bikin butiran es-es terbentuk di pegunungan, termasuk yang terkenal di Semeru dan Dieng. Es yang disebut embun upas ini membungkus permukaan, merusak beberapa tanaman perkebunan.

 

Pukul tiga kurang, mobil meluncur membelah jalan sepi temaram. Sedikit demi sedikit jalan meliuk naik membelah perbukitan. Gelap. Mantap sekali skill nyetir pak sopir jeep, Pak Agus, karena saya pun nggak bisa lihat jalan depan meski sudah diterangi lampu mobil. Perjalanan tak lama. Entah memang dekat atau karena rada ngebut. Sekitar 03.10-an kami sampai di pertigaan Jemplang, sebelum turun ke Kaldera Lautan Pasir.  

 

Hari ini istimewa: purnama. Di kota, mungkin nggak begitu terasa efeknya. Namun, di tengah gunung tanpa polusi cahaya sama sekali, sinar lembut keperak-perakan itu menerangi seantero penjuru. Sisi tebing dan punggungan gunung tersorot garis silver bak distabilo. Silver lining.

 

Tiga puluh menit kami mengelilingi Lautan Pasir yang masih gelap. Sempat ketemu orang-orang yang kayaknya camping di sana. Vibes camping-nya dah kayak kemping di padang pasir ala-ala film Wild West. Rombongan sempat berhenti sesaat untuk membantu jeep dari grup lain yang mesinnya error. Setelah kelar, jeep kemudian naik ke sisi lain. Tak lama, roda berhenti di dekat sebuah warung. Di tebing depan warung inilah rencananya rombongan kami akan menanti matahari terbit.

 

Ada beberapaapa ya istilahnya, viewpoint?—tempat untuk menanti sunrise di sekeliling gugusan Gunung Bromo. Semacam Pananjakan gitulah. Rupanya grup kami berhenti di viewpoint yang tak jauh dari tanjakan sehingga Gunung Bromonya nggak nampak dari sini karena tertutup Gunung Batok.

 

Orang yang baru pertama kali ngelihat mungkin akan terbalik mengenali Bromo dan Batok. Meski nama Bromo lebih terkenal daripada Batok, tapi ukuran Batok lebih besar (dan lebih tinggi). Tinggi Bromo ini ada kali separuhnya Batok. Dari arah ini, Bromo terletak lebih ke kiri. Gunung ini juga nggak punya puncak kerucut seperti Batok sebab dia punya kawah sebagai gantinya.

 

Kalau kita lihat di kartu pos atau foto, ada kepulan asap yang menguar dari cekungan sebuah gunung, itulah Gunung Bromo. Saat upacara Yadnya Kasada, upacara besar suku Tengger, ke dalam kawah inilah mereka menghaturkan berbagai hasil bumi. Bromo juga satu-satunya gunung yang masih aktif di area Lautan Pasir ini (*cmiww).

 

Subuh menjelang. Di tempat tinggi, matahari memang lebih cepat terbit. Saya dan sobat menumpang shalat subuh di salah satu warung di antara kios-kios yang berjajar.

 ðŸ“‘A tip: kalau nggak kuat nyentuh air karena dingin, bisa diakali dengan punya wudhu sebelum berangkat (naik jeep). Jadi waktu di lokasi tinggal shalat.

Atau bisa juga karena nggak tahan dingin kalau harus lepas jaket/pakaian tebal (karena susah kalau cuma digulung sampai lengan) atau lepas sepatu. Kan bisa tayammum? Kalau itu, kita kembalikan ke orangnya masing-masing. Sebab kadang ada orang yang nggak mau tayammum selama masih ada air.

 

Kelar subuhan, kami naik ke pinggir bukit buat ngelihat sunrise. Di luar dugaan, ramai banget, euy! Seluruh pinggiran sudah disesaki pengunjung. Banyak yang duduk-duduk. Ada penjaja yang nawarin sewa karpet buat duduk juga (10k). Kalau cari foto yang ‘bersih’, susah memang. Namun, pemandangan ke bawah ke arah gugusan Bromo dkk masih terlihat jelas.

 

Menurut tour leader saat itu, kami beruntung bisa lihat Lautan Pasir diselimuti kabut putih seluruhnya bak kapas lembut. Sebab, malam sebelumnya hujan.

 

Oh, ya, mumpung berada di ketinggian, jangan lewatkan pula pemandangan dari gugusan gunung lain yang jaraknya puluhan kilometer nun jauh di kota-kota tetangga. Dari sini kita bisa lihat kompleks Welirang-Arjuno dan (sepertinya) Anjasmoro di arah kanan. Di kiri, meski lebih kecil, samar-samar terlihat gugusan Pegunungan Iyang-Argopuro yang kondang dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa.

 

Serasa baru saja matahari terbit; udara baru saja terasa hangat. Langit pun masih merah-jingga-kekuningan khas nuansa pagi. Namun, tour leader sudah meminta kami balik ke mobil karena rombongan akan segera turun ke Lautan Pasir pukul enam.


Sejujurnya, saya merasa ini kurang lama. Kenapa? Well....


to be continued 😄

Psst, foto-fotonya juga belum ditambahin, hehe. Kalau udah kelar milih dan milah nanti insyaallah bakal bertabur foto


Reading Time: