Hijaubiru: Dunia Corat-Coret
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Februari 2023

Mengumpulkan Kepingan Detail Perjalanan
Februari 24, 20230 Comments


[ Sebetulnya, ini adalah secuplik tips tentang bikin detail catatan perjalanan (catper/travel notes) dengan cepat. Versi saya. Disclaimer: beberapa cara adalah ajaran dari orang/penulis lain atau pelatihan yang kemudian diatur gimana enaknya supaya saya nyaman mencatat dan menulis dengan metode itu. Dan ini konteksnya buat tulisan perjalanan, bukan vlog dan semacamnya.]


Banyak hal terjadi selama kita melakukan perjalanan. Untuk sebagian orang, travelling ya untuk dijalani dan dinikmati, plus didokumentasi dalam foto sebagai bukti. Bagi sebagian orang lainnya, jalan-jalan bisa menjadi bahan tulisan atau memoar tersendiri. Atau, simply pencatatan itinerary untuk diingat atau dibagi ke orang lain yang mungkin ingin menempuh perjalanan yang sama. Terutama untuk pejalan tipe kedua, jalan-jalan nggak hanya dinikmati aja, tapi juga dicermati.


Tapi, kan, banyak hal terjadi selama kita jalan-jalan. Gimana caranya kita mencatat/menulis itu semua?


Memang, nggak harus semuanya.

Kesalahan saya (dan juga kesalahan umum banyak penulis catper pemula, seperti yang dibilang penulis catper kawakan, Agustinus Wibowo) adalah menuliskan semua dengan detail. Mulai dari bangun pagi, mandi, sikat gigi, sarapan, dst. Padahal maksud detail itu adalah: rinci boleh, tapi hal yang penting-penting aja. Kalau nggak penting, buat apa ditulis? Apa pembaca mau ngabisin waktu buat baca hal yang berlarat-larat kayak ... 


Pemandangan itu sangat indah. Lautan luas terhampar di hadapan mata. Warnanya biru sejauh mata memandang. Pasir putih yang halus aku rasakan di bawah kaki. Rasanya nyaman sekali. Rasanya seperti sedang di-massage sembari menikmati belaian sutra superlembut yang tak kasat mata. Air pantainya pun jernih dan segar sekali. Rasanya seperti air murni yang dibawa langsung dari surga. Apalagi pemandangan di pucuk horizon sana ... dst. 


... gitu? Karena kalau berkaca dari diri sendiri, saat nyari review atau catper orang untuk survei lokasi pun saya biasanya scanning aja kalau nemu yang begini (meski kadang juga masih kepeleset nulis hal kayak gini, wkwk).


Apa deskripsi keindahan dan lokasi itu nggak penting atau nggak perlu ditulis? Penting! Asal nggak terlalu banyak. Kalau satu pemandangan digambarkan sampai tiga paragraf dengan isi yang mirip, kan bosan juga bacanya.

(Ini mirip dengan nulis fiksi, sih. Saat editing, bagian yang bertele-tele atau nggak berhubungan dengan plot ya dibuang karena menuh-menuhin dan nggak ngefek ke cerita. Apalagi kalau di cerpen yang jumlah halamannya lebih terbatas.)


Masalah kedua yang berkaitan dengan rincian: kekurangan bahan.

Ini juga sering terjadi sama saya. Rasanya, pengalaman di lokasi itu banyak, penuh, tumpah-tumpah. Namun begitu ditulis, lha, kok "isinya" cuma 1-2 paragraf aja. Sisanya entah deskripsi perasaan atau lokasi yang panjang sekali dan semacamnya. Kalau sudah gini, mau nggak mau memang harus riset untuk nambah bahan dan perspektif. Namun, lebih mudah lagi sebetulnya kalau kita kembangkan pengalaman di lokasi plus riset. Biasanya yang seperti ini menghasilkan tulisan yang lebih ‘nyambung’; lebih relate. Mungkin karena asal bahan tulisannya real time.


Lalu muncul masalah baru: ketika kita nggak mampu mengingat detail yang terjadi di perjalanan. Maklum, daya ingat manusia memang terbatas. Untuk itulah kertas diciptakan; untuk ditulisi hal-hal yang bisa dilupakan atau tak muat ditampung otak. Jadi, solusinya adalah ditulis? Iya dan enggak, karena ada beragam metode. Ini cara yang saya pakai di trip baru-baru ini:

1. tulis di buku/notes kecil, atau

2. ketik di catatan HP

3. catat dengan rinci, atau

4. catat garis besar atau kata kuncinya aja

5. rekam suara

6. foto/video.

Mari kita bahas satu-satu.


Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah jamak dilakukan. Pertama dapat ilmu ini waktu bergabung di ekskul Pecinta Alam. Ketika diklat, kami disuruh menulis catatan tentang hal-hal penting hari itu: apa aja yang dilakukan, ngapain dan ke mana aja, ada peristiwa tertentu atau enggak, dsb. Ketika naik gunung juga sama. Kami diminta mencatat jam-jam secara rinci, jarak tempuh pos X ke pos Y, kondisi medan, dsb.


Di zaman itu memang catatan begini sangat berarti karena bisa jadi panduan untuk pendakian selanjutnya. Gampangnya, kalau ada teman/adik kelas/klub pecinta alam lain yang mau naik gunung tsb, mereka bisa survei waktu dan medan ke orang yang pernah naik duluan. Selain tanya-tanya, cara lain, ya, lihat catatan perjalanan orang yang sudah pernah naik. Kalau sekarang, kayaknya info begini udah bejibun. Apalagi di jagad internet dan medsos. 


Penulisan jam, medan, dll, ini masih saya pakai sampai sekarang. Cuma, kalau dulu nyatat di buku, sekarang saya lebih suka nyatat di ponsel. Lebih cepat aja ngetiknya daripada nulis. Karena lebih cepat itu, jadi bisa ‘mengejar’ otak yang kadang baru mikir kejadian A, eh, udah lompat ke kejadian B.


Seringkali mikir lompat-lompat ini yang bikin malas nyatat karena kayaknya banyak banget yang perlu dicatat dan diingat kembali. Saya biasanya baru nulis lengkap kalau malam. Saat kegiatan sudah selesai semua, ketika sudah makan-ganti baju-siap tidur. Padahal itu jam capek-capeknya, kan. Kadang malah nggak jadi nulis karena langsung bablas ke alam mimpi.


Oleh karena itu, saya pakai cara keempat, yaitu catat garis besarnya. Cara ini saya pakai kalau sudah capek/malas ngetik panjang. Sejujurnya, ini cara baru saya pakai semingguan lalu. Mikirnya, “Daripada nggak ditulis, mending tetap nyatat tapi pendek-pendek.” Saya ketikkan kata kunci-kata kunci yang ketika dibaca ulang (harapannya) bisa membangkitkan ingatan detail tentang perjalanan. Kalaupun lupa lagi ngebahas apa, kata-kata tsb juga bisa bantu buat browsing sehingga voila, muncullah cerita yang nyambung.


Misalnya, waktu berkunjung ke desa adat Batak. Pemandu tur menjelaskan banyak hal soal perkakas adat. Maka ditulis: tongkat raja, anak kembar, relief jiwa, pohon. Dengan baca kata-kata ini, saya jadi ingat kalau raja Batak punya tongkat berelief ukiran wajah orang-orang. Raja Batak ini punya anak kembar yang kisah hidupnya miris hingga lengket di pohon.


Namun, sejujurnya cara ini termasuk last resort. Soalnya, kadang nggak semua hal yang kita temui di lokasi bisa ditemui di internet. Jadi browsing-nya rada ribet atau, bad news, nggak nemu. Apalagi kalau kata kuncinya keliru.


Tapi, kan, udah capek seharian jalan-jalan. Masa harus nulis detail, sih?

Untuk itulah ada cara kelima: rekam suara.

Cara ini juga baru kemarin saya pakai dengan total. Sebelum itu pernah, sih, ngerekam suara, tapi durasinya nggak lama. Soalnya, saya malu dan sungkan kalau ngerekam suara tapi ada orang lain yang satu ruangan, hahaha. Pernah saya ‘rekaman’ waktu teman sekamar lagi di kamar mandi. Atau kalau seruangan, ngerekamnya pelan banget kayak bisik-bisik.


Ngerekam suara lebih enak karena kita nggak capek nulis dan mikir. Ngomongnya kayak ngobrol sama teman biasa; ngalir aja kayak lagi curhat. Hanya saja ini ngomong sendiri. Alhamdulillah kalau teman dengar dan mau benerin/nambahin info. Tapi, sisi nggak enaknya adalah kita harus dengerin rekaman itu ketika pulang, kemudian mencatat ulang. Buat orang yang nggak telaten dengar dan lebih cepat baca, ini jadi salah satu cobaan tersendiri. Berasa kerja dua kali. Namun, saat hari-H dan di lokasi, memang jadi hemat energi.


Rekaman suara adalah cara paling final dan paling mudah buat nyatat catper. Cuma, ya, hati-hati aja supaya file-nya nggak keburu dihapus karena dianggap rekaman nggak penting. Untuk mempermudah, di awal rekaman bisa diomongin tuh tanggal dan lokasinya. Misal, “Halo, hari ini 20 Februari 2023, hari pertama trip ke Bandung.” Nge-record-nya sama kayak tulisan, yaitu bisa dibikin per hari atau per malam.


Nah, kalau lagi di jalan dan nggak mungkin nyatat atau ngerekam, gimana?

Misalnya, lagi naik gunung. Ngerekam, kan, butuh waktu. Padahal waktu rest saat hiking toh terbatas buat betul-betul rehat dan tarik napas. Nyatat pun jadi out of question dan kadang jamnya jadi diingat-ingat aja. Sebetulnya bisa aja diketik cepat di ponsel. Tulis aja jam, lokasi, dan medan kalau perlu. Tapi untuk itu pun kadang juga udah malas. Pun ketika malam, bisa jadi lupa detailnya karena kecapekan.


Untuk itulah ada cara keenam: foto/video. Foto tempat, spot yang penting, atau plang penanda. Kalau mau detail medan, fotolah kondisi jalan dan sekitarnya. Kalau mau lebih ringkas, videokan aja. Nggak perlu bagus, yang penting jelas, karena tujuannya untuk pencatatan. Beda cerita kalau mau bikin footage video, memang harus lebih dipikirkan.


Dulu, cara ini saya pakai kalau naik gunung dan capek. Banget. Apalagi kondisi hujan. Males banget ngetik. Ngeluarin HP aja risiko kebasahan. Maka jalan cepatnya adalah potret! Sampai pos 3 misalnya. Potret shelter atau plang posnya. Sampai pos/camp berikutnya juga sama, gitu terus. Saat sudah pulang atau lagi nge-camp dan mau nyusun catper, baru, deh, dilihat properties fotonya: diambil jam berapa, dilihat kondisi cuaca dari gambar kayak gimana, dsb. Baru ditulis ulang. 


Nggak cuma buat naik gunung, cara ini juga lumayan berguna di liburan non-hiking. Liburan kemarin, inilah cara yang saya pakai buat ngitung durasi perjalanan dari spot ke spot. Apalagi kalau bareng rombongan, kan, harus gerak cepat. Manalah mungkin nyatet-nyatet. Jadi begitu sampai tujuan selanjutnya, langsung potret aja apa yang ada di depan mata. Meski nggak ada ‘objek bagus’ sekalipun. Kan, memang buat penanda aja. Motret 'objek beneran'-nya nanti kalau udah di dalam.


Selain mengingat detail durasi dll, cara ini juga bisa dipakai saat lihat sesuatu di tengah perjalanan. Foto-foto yang dikumpulkan bisa dilihat lagi sebagai pengingat saat kita mulai menulis. "Oh, waktu itu di lokasi X ternyata aku lihat ada kejadian Y." Cara ini bisa memperbanyak isi tulisan, sebab yang ditulis nggak cuma deskripsi pemandangan dkk tapi juga peristiwa dan rasa yang terjadi ketika sedang di lokasi.


Ini cara mengumpulkan detail tulisan. Sebenarnya metode-metode di atas juga sudah umum banget. Katakanlah lewat story Instagram/Facebook, vlog, dsb. Hanya saja kalau saya, story dsb itu cuma sekelebat sehingga detailnya masih kurang tercatat. Dan mungkin karena saya mau ‘alihkan’ bahan itu dalam bentuk tulisan kemudian. Namun kalau memang nyaman pakai video dsb dan nggak suka nulis atau mau liburan aja tanpa perlu nyatat macam-macam, ya, mangga aja karena toh hobi dan preferensi orang beda-beda. Kita nggak harus mengambil jalan yang sama. Sebab, apa yang enjoy kita nikmati emang beda-beda.


=====

Ngomong-ngomong, 

kalau diperhatikan, di sini pakai kata "travelling" (dobel L). Ejaan yang betul "travelling" atau "traveling", sih? Dua-duanya benar. Bedanya, dobel L untuk ejaan ala British English dan satu L untuk American English.

 

 

 

Photo credit: wallpaperflare.com

Reading Time:

Jumat, 06 Januari 2023

Memilih Lomba Cerpen
Januari 06, 2023 2 Comments


Sama seperti novel, cerpen pun punya 'aliran' sendiri-sendiri. Entah apa istilah resminya. Bukan tema, sebab tema lebih seperti topik: cinta, perjuangan, lingkungan, dsb, bukan? Bukan pula genre karena genre berarti cerpen horor, cerpen romance, cerpen misteri, dll. Atau, 'aliran' ini lebih ke gaya bahasa dan isi/hal yang dibahas. Beberapa orang menggunakan istilah 'cerpen serius' dan 'cerpen santai' atau 'cerpen berat' dan 'cerpen ringan' untuk membedakan ini. Meski tentu serius/santai dan berat/ringan ini debatable.


Jadi, saya gunakan 'aliran' aja.


Mudahnya, ada cerpen yang bahasanya lebih baku dan isi ceritanya lebih 'dalem'. Contohnya cerpen-cerpen koran. Topik dalam tulisan ini beraneka ragam, bisa tentang cinta, politik, isu sosial, atau sesimpel kejadian sehari-hari yang jamak terjadi di sekitar kita. Cerpen ini bisa serius, tapi kadang juga bisa lucu atau lucu slash nyindir. 


Di sisi lain, ada cerpen yang bahasanya teramat bebas, seperti bahasa percakapan sehari-hari. Isi cerita lebih mengulik alur dan elemen surprise dan semacamnya. Hal yang diulik biasanya baru permukaan atau kalau 'dalam' pun tidak sedalam tipe pertama. Oleh karena itu, ada beberapa yang menyebutnya cerpen santai. Umumnya topik berkisar di cerpen cinta remaja, persahabatan, cerpen anak-anak, dsb. (Not to say cerpen cinta remaja dkk tadi nggak bisa dibikin tipe pertama. Bisa. Semua tergantung penulisnya). Bila menilik pangsa pasar, mungkin ini jatuhnya ke tulisan teenlit, metropop, dan semacamnya. 


Mana yang lebih baik di antara keduanya?

Pendapat orang beda-beda. Kalau menurut saya, keduanya sama-sama bagus. Tergantung pada keahlian si penulis menuangkan cerita. Cerita aliran pertama yang membosankan, nggak sesuai fakta, atau terlalu melodramatik; ada. Namun, yang bagus dan merangkul konflik sederhana tapi mengena; juga ada. Di sisi lain, ada juga cerpen teenlit atau metropop yang asyik banget dibaca, bikin deg-degan atau ikut nangis. Tapi di sisi lain, ada juga cerpen tipe ini yang luar biasa alay.


Gimana dengan lomba cerpen?

Seiring dengan makin maraknya lomba menulis, tentu penulis akan pilih-pilih lomba mana yang ingin ia ikuti. Nggak mungkin, kan, ngikutin semua lomba? Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan alasan pemilihan.


Alasan pertama tentu kredibel atau enggak. Kredibel artinya panitia bertanggung jawab. Apalagi kalau ada biaya pendaftaran. Jangan sampai setelah bayar dan kirim naskah, kemudian sama sekali tiada kabar. Atau lebih buruk, naskahnya diambil dan di-hak milik tapi penulis tidak diberi apa-apa. 


Masih ada poin pertimbangan lainnya, tapi di sini lebih soal 'aliran' tadi. Kenapa? Sebab dengan mengetahui 'aliran' yang 'dianut' penyelenggara, penulis bisa lebih melihat kans dirinya lebih berpeluang atau tidak, terlepas siapa pun saingannya. Mudahnya: lebih baik kirim naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan tulisan kita. 


Kalau cerpen kita lebih ke arah teenlit, ya jangan dimasukin ke lomba cerpen yang 'nyastra banget'. Begitu pula kalau gaya tulisan kita ala cerpen koran, maka sebaiknya nggak diikutkan lomba cerpen remaja. Kalau dikirim, apa pasti nggak menang? Ya belum tentu. Cuma kita sedang mempertimbangkan peluang tadi. Bila tulisan kita bukan jenis tulisan yang mereka cari, tentu peluang menangnya jauh lebih kecil.


Gimana cara tahu 'alirannya' apa? Kalau lombanya sudah berlangsung bertahun-tahun, kita bisa lihat naskah-naskah yang menang tahun sebelumnya. Apalagi kalau dibukukan dan ada e-booknya. Kalau nggak ada, gimana? Lihat bahasa dan desain poster yang digunakan penyelenggara. Kalau dia pakai bahasa santai/sehari-hari, mungkin cerpen 'santai' bisa dicoba. Kalau bahasanya lebih kaku, mungkin memang nyari cerpen 'serius'.


Lomba cerpen dari kampus umumnya lebih ke tipe cerpen pertama. Apalagi kalau penyelenggaranya adalah Fakultas Bahasa dan Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Kadang, ada himpunan dan organisasi semacamnya yang bikin lomba cerpen dan meloloskan cerpen tipe kedua. Namun, dalam situasi seperti itu, cerpen tipe pertama tetap dapat peluang yang lebih besar untuk menang. Kenapa? Karena biasanya yang dicari adalah yang tipe rada serius (biasanya karena disesuaikan dengan tema kegiatan/visi organisasi). 


Lomba cerpen dari komunitas? Maka lihat jenis komunitasnya. Apakah ia jenis komunitas yang nyastra banget, atau santai banget, atau menerima semua naskah? Sebab, ada juga komunitas besar yang beragam sekali tulisan anggotanya sehingga dalam lomba-lomba yang ia adakan, ada cerpen-cerpen dengan beragam gaya yang turut lolos.


Gimana dengan penerbit? Ini juga mirip dengan komunitas; tergantung penerbitnya. Bahkan, kadang, tergantung jenis event-nya. Penerbit besar nggak berarti selalu nyari cerpen ala koran. Gramedia atau Mizan, misalnya. Kadang mereka juga cari cerpen teenlit dan sejenisnya. Lebih lagi kalau penyelenggaranya adalah platform perpanjangan tangan mereka, misalnya Gramedia dengan GWP dan Mizan dengan Rakatanya. 


Dari lomba-lomba yang pernah diselenggarakan, kadang ada penyelenggara yang transparan sekali soal penilaian. Jadi dibahas tuh cerpen ini kurangnya di mana, poin plusnya di mana. Nggak semua cerpen dibahas, memang. Kalau peserta sedikit, bisa aja dibahas. Tapi kalau pesertanya ratusan, hanya tulisan yang masuk nominasi aja. Kadang, penyelenggara bakal ngadain kelas menulis gratis dan di situ kita bisa tanya soal naskah kita.


Dalam beberapa kesempatan, saya nemu lebih banyak peserta yang menulis teenfic dan semacamnya memasukkan naskah ke lomba cerpen ala koran daripada sebaliknya. Mungkin karena belum tahu background penyelenggara tadi. 


Jadi apa cerpen aliran kedua nggak bisa lolos penjurian di lomba cerpen tipe pertama, begitu juga sebaliknya?

Menurut saya, itu tergantung eksekusi, penulisan, dan penulisnya.  Selama bisa meramu tulisan sedemikian rupa, ya, bisa aja. Kisah remaja atau dewasa muda pun bisa diulik lebih dalam dan disajikan dalam tulisan yang lebih serius. Sebaliknya, cerpen ala koran juga bisa dibawa ke ranah lebih santai. Entah dengan membahas hal-hal yang lebih terbatas atau cara lainnya.


Apa eksekusi (dan mengubah style naskah ini) mudah? Sekali lagi: tergantung penulisnya. Kalau buat saya, sih, susah, hahahah. Makanya kalau pengin ikut lomba cerpen, saya lihat-lihat 'alirannya' dulu supaya nggak mengubah banyak hal, melainkan sedari awal menulis cerita dengan style emang-gaya-gue. 


Beberapa contoh nyata, buat saya, adalah karya-karya Asma Nadia dan Dewi "Dee" Lestari yang tulisannya 'lentur'. Keduanya bisa menulis santai dengan bahasan ringan dan gaya lo-gue, tapi di lain waktu—dengan topik yang sama—mereka bisa mengubahnya menjadi fiksi yang lebih serius. Ini contoh eksekusi yang berbeda dari orang yang sama. Apa hanya dua orang ini saja? Tentu enggak. Masih ada penulis-penulis lainnya.


Jadi, sebaiknya menulis yang 'aliran' mana?

Terserah kita, penulisnya. Dan, tergantung apa yang kita kejar. Untuk beberapa hal, tentu ada kompromi yang harus dilakukan. Bila tidak mau kompromi, ya, betul-betul kembali pada apa yang kita sukai: masukkan naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan kita. Sebab, kalau kilas-balik dari pengalaman sendiri, kelihatan betul mana tulisan yang berasal dari hati dan mana yang cuma mengikuti struktur tapi minim empati (demi mengikuti 'aliran' yang dicari oleh juri). Tulisan siapa itu? Tulisan siapa lagi kalau bukan saya sendiri, wkwkwk.


Buat orang yang nggak tahu kamu, cerpen itu mungkin bagus. Tapi, saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih otentik, lebih original, dan lebih mencerminkan kamu yang sebenarnya. Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri kamu.  

          Keenan pada Kugy, Perahu Kertas by Dee




* * * * *

Photo is courtesy of Karolina Grabowska via Pexels.com

Reading Time:

Sabtu, 30 Juli 2022

Digital Journaling
Juli 30, 20220 Comments


Saya nggak pernah pengin banget sepenuhnya nulis atau journaling di laptop atau ponsel. Pertama, karena menurut saya kurang asyik dibanding journaling di buku biasa. Kedua, karena saya pernah nyoba dan berakhir lebih banyak menghabiskan waktu menghias dan menata gambar daripada menulisnya. Utak-atik software editing gambar ternyata butuh skill tersendiri yang saya belum mumpuni, huft....


Namun, pandangan itu berubah pekan ini. Saya juga nggak nyangka. Mana berubahnya berasa ngebalik tangan: berubah gitu aja! Dan, nggak butuh waktu lama.


Ceritanya weekend lalu saya jalan ke toko buku. Eh, kok, hati ini tergerak waktu membaca satu demi satu blurb di sampul belakang novel.

"Kayaknya ceritanya bakal gini-gitu, deh",

"Harusnya dia nggak usah bingung, tinggal gini-gitu aja",

"Eh, kutipannya cantik. Tapi gimana kalau interpretasi kejadiannya jadi gini-gitu aja."

Dan seterusnya. (Toko buku dan perpus emang tempat ajaib buat membangkitkan imajinasi, yak, hehe). Akhirnya, 'gini-gitu' tadi saya ketik di aplikasi notes bawaan ponsel. Tapi... kok beberapa ada yang panjang banget, ya, sampai dua paragraf. Apa nggak sebaiknya ditulis di buku khusus aja?


Sebenarnya saya punya buku khusus 'nulis'. Cuma, nggak tahu, deh, akhir-akhir ini jarang banget saya tulisi. Plus, harus saya akui, belakangan saya emang lebih akrab pegang HP daripada buku/laptop. Padahal, saya kurang suka nyatat ide ataupun nulis panjang di HP karena tampilannya kurang menarik ("Lho kan di laptop juga gitu-gitu aja?" Iya, sih, tapi vibes-nya berasa lebih cocok aja buat nulis panjang). Akhirnya, beberapa 'tabungan ide' pun lolos begitu aja.


Ada, sih, yang tercatat. Tapi itu pun jarang dibuka karena tertimbun bersama dengan daftar belanjaan, to-do-list, dan catatan-catatan lainnya, hehe.


Namun, kalau ingat kejadian di toko buku tadi, apa nggak sayang? Apalagi kalau ngelihat frekuensi penggunaan, kok kayaknya bakal lebih efektif kalau diketik dulu di ponsel, ya? Biarin, deh, kalimatnya acakadul, superpendek, atau nggak nyambung sama sekali. Nanti, kan, bisa 'dijahit' jadi satu tulisan utuh. Daripada kelewat gitu aja dan pegang HP cuma buat main medsos/games doang....


Tapi, pakai apps apa? Rata-rata aplikasi notes/diary/journaling yang pernah saya temui pun tampilannya mirip-mirip. Dan, satu ini yang nggak pernah saya temui padahal cukup penting kalau journaling di buku: bisa nempel stiker atau foto di sembarang tempat; nggak cuma sejajar baris teks. Ada, sih, yang bisa begini tapi biasanya apps editing gambar macam Ca*va dkk.  Padahal, saya pengin apps yang lebih fokus di teks biar ya itu tadi: lebih lama nulisnya daripada menghiasnya.


Awalnya saya skeptis bisa nemu. 'Kalau nggak ada, ya udah, deh, rutinin nulis di buku aja'. 


Setelah scrolling beberapa saat dan nyoba beberapa apps, saya nemu satu aplikasi yang cukup memenuhi keinginan. Tampilannya artsy, sheet 'kertasnya' bisa diganti warna-warni, dan yang terpenting: ada stiker free yang bisa ditempel di mana pun. Yesss! Alhamdulillah.... 


Contoh hasil digital journaling menggunakan aplikasi ponsel


Nama aplikasinya: My Diary

Selain punya fitur stiker, dia juga bisa gonta-ganti font dan warna teks. Suka banget karena ada font tipe handwriting yang bikin jadi kayak tulisan tangan. Ada bullets and numbering-nya juga. Pun meski nggak bisa bikin folder untuk mengumpulkan tulisan yang sejenis, dia punya fitur tags.


Yang paling saya suka adalah tampilan aplikasinya yang nyeni dan warna-warni; beda dari apps sejenis pada umumnya. Sheet 'kertas' pun bisa digonta-ganti. Tersedia beberapa gradasi warna dan ilustrasi. Tampilan antarmukanya (home) juga bisa diubah, jadi nggak monoton gitu aja. 


Buat journaling digitalfiturnya lumayan lengkap. Warna teks, font teks, spasi, bullets-numbering, semua bisa diatur. Tampilannya juga warna-warni tapi nggak mencolok gitu. Berasa ada temanya. Apps ini juga bisa diberi password supaya nggak bisa dibuka sembarang orang yang kebetulan pinjam HP kita. Dan, kalau kita suka nulisnya pindah-pindah antara ponsel-laptop, notes di sini bisa dikonversi ke txt dan PDF. Jadi bisa dilanjut nulis di laptop, deh.


Selain fasilitas di atas, ada juga fitur lain yang nggak begitu saya butuhkan tapi tetap menarik. Antara lain mood tracker, badge untuk beberapa accomplishments, dan template yang bisa bantu kita kalau buntu mau nulis apa. Apa lagi pengin nulis gratitude journal, travel journal, dsb. Kita juga bisa nambahin template yang kita pengin susun sendiri. Buat yang pengin ngerutinin nulis, ada juga fitur tracker yang menandai hari apa aja kita nulis di apps ini.


Namun, nggak semua fitur ini bisa diakses oleh pengguna free. Fitur-fitur macam lebih banyak stiker, lebih banyak ilustrasi sheet, bentuk-bentuk bullets and numbering lucu hanya bisa digunakan di fitur berbayar. Yah, fitur yang lebih nyeni gitu lah. Beberapa fitur sederhana seperti bold-italic-underline-highlight juga berbayar. Mood tracker dan konversi ke PDF juga sama, keduanya hanya bisa diakses oleh pengguna yang upgrade ke versi pro.


Sayang juga, sih. Namun, setelah nyoba pakai aplikasi ini, stiker yang terbatas itu juga udah cukup banyak, kok. Dan, ternyata, ada stiker yang bisa diakses kalau sudah punya accomplishment badge tertentu. Tanpa fitur bold-italic-underline-highlight ternyata juga udah cukup, bisa diakali dengan main capslock. Pun keterbatasan pengaturan warna, font, dan ukuran teks yang seragam di satu sheet ternyata nggak terlalu mengganggu. Nggak bisa ngubah ke PDF? Masih bisa ngubah ke txt. Kalau tulisan panjang yang mau dilanjut ke laptop, kan, biasanya cuma butuh teksnya aja. So, so far, no problemo. 


Namun, kalau pengin digital journaling-nya lebih asyik, emang lebih baik kalau upgrade ke versi pro. Kelihatan lebih bebas berkreasi gitu. 


Jadi, mari lihat apa saya bisa istikomah nulis setelah dimudahkan dengan digital journal atau ini bakal ber-ending sama dengan manual journal yang saya isi angin-anginan, wkwkw. 

Reading Time:

Jumat, 01 Juli 2022

Readability
Juli 01, 2022 2 Comments

Sekian lama ngeblog, ternyata topik SEO (Search Engine Optimisation) dalam dunia perbloggingan masih jadi barang yang kurang begitu saya akrabi. Secara teori udah paham, tapi dalam praktiknya ya... gitu, deh, hahahah.


Coba aja perhatikan, berapa keyword yang disisipin di artikel, ada meta-tag atau enggak di gambar yang ditampilin, apa judul header dan subheader udah sama dengan target keyword? Dijamin, hampir nggak ada, wkwkwk. Apalagi, tulisan yang saya bikin kejar deadline atau on-a-whim aja; bukan yang emang direncanakan. So pasti ini praktik SEO-nya nol besar.


Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol virtual dengan seorang kenalan yang juga suka blogging. Bedanya, ini orang udah lebih serius dibanding saya. Blognya udah terdaftar domain TLD (kayak .com, .net, dsb, bukan yang .blogspot atau .wordpress yang gratisan). Karena dia update di medsos, saya tanya-tanya ke dia karena gambaran saya soal per-domain-an ini masih buram.


Obrolan kami mengalir hingga soal SEO. Dia cerita kalau dia nggak terlalu mikirin penulisan dengan SEO. Pertama, karena dia belum terlalu serius dan kedua, udah ada indikator SEO yang built-in di blognya. 


"Hah, kok bisa?"

Ternyata, dia pakai wordpress.com (?). Di sana ada plugin yang otomatis mendeteksi tulisan kita: apa keyword untuk SEO-nya sudah cukup, apa kalimatnya sudah enak dibaca, apa dari tulisan itu yang bisa diperbaiki, dsb.


"Lah, enak bener ada mesin otomatisnya gitu?"

Beneran enak. Apalagi buat penulis atau yang pengin ningkatin skill nulis, jadi terbantu banget. Nggak perlu repot ngoreksi sendiri satu-satu, mengira-ngira mana yang kedengaran nggak enak dsb. Dan, ini kan subjektif sekali. Pun kalau peer review ke teman. Kalau pakai mesin, kan, lebih objektif (meski mesin belum tentu selalu benar juga).


Fasiliitas di atas sayangnya nggak tersedia di blogspot. Akhirnya saya browsing, siapa tahu bisa diinstal manual ke blogspot atau gimana. Ternyata ada beberapa apps/plugin/web yang bisa dipakai dan gratis. Beberapa nggak bisa diinstal ke blogspot, tapi kita bisa copas tulisan ke sana buat dideteksi. Coba aja cari 'readability SEO checker' atau kata semacamnya.


Hal yang bikin saya agak ragu setelah nyoba beberapa website ini adalah: nilai readability-nya pakai skala tulisan berbahasa Inggris. "Emangnya bisa diaplikasikan ke bahasa Indonesia juga?" pikir saya. Kan, tiap bahasa punya standar yang beda. Kalau YOAST SEO atau AIO SEO bisa jadi sudah terintegrasi dengan bahasa Indonesia, tapi kalau web/apps lain yang saya coba tadi, entah. Sebab waktu saya coba masukkan tulisan, beuh, merah semua akibat ditengarai sebagai saltik. Ya iya saltik, lha kan bukan pakai bahasa Inggris. 


Saya pun ngubek-ngubek biar nemu checker yang (kata orang-orang) semantap YOAST atau AIO. 


And that's when something strucked me. 

"Jadi, kamu nulis biar enak dibaca atau biar sesuai SEO aja?"


Penulis atau blogger yang udah malang-melintang udah bisa menggabungkan dua hal ini. Jadi, selain ber-SEO (biar pengunjung/traffic-nya banyak), tulisan mereka juga enak dibaca. Dan, IMO, ini nggak cuma buat blogging atau tulisan yang terbit online aja. Dalam fiksi/nonfiksi pun, poin SEO seperti kalimat yang panjangnya pas/nggak terlalu banyak frasa/dll juga kepakai. Dan, toh, kalau sudah lihai memang enak-enak aja pas dibaca. 


Balik ke tulisan saya: masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, kayak:

  • kalimatnya belum efektif
  • kalimatnya kepanjangan
  • mbulet dalam menyampaikan maksud
  • kurang runut sehingga pembaca kadang bingung ("Lagi bahas apa ini kok loncat-loncat?"
  • terlalu kaku
  • kalau nggak lagi terlalu kaku, ya terlalu santai kayak nulis diary
  • terlalu deskriptif yang detail tapi lupa menyampaikan 'rasa'
  • deskripsinya terlalu visual, belum memakai semua indra
  • hm... apa lagi ya? Tolong tambahin coba, hehehe
  • ...

Nah, ini kan perlu dibenerin dulu. Kualitas tulisan, yang adalah hal terpenting dan paling inti daripada SEO dan 'kemasan' segala macam, harus dibenahi dulu kalau emang mau bikin tulisan yang nyaman dibaca dan mudah dipahami. 


Seperti gambar di bawah ini, saya setuju kalau tulisan itubaik fiksi, nonfiksi, atau post di blogsama dengan musik: ada ritmenya biar enak dibaca. Nah, ini yang harus saya poles sehingga nggak melulu mengandalkan SEO aja. SEO itu baik & bagus, tapi kalau tulisannya acakadul ya tetap nggak bisa membantu; biasanya kalah dengan yang tulisannya bagus sekaligus pakai SEO. 


Belum lagi soal tampilan blog yang masih kurang friendly. Ada kode-kode yang perlu diubah dsb. Belum lagi mempertimbangkan domain TLD kalau emang mau upgrade.


Note to myself, actually. Kapan gw mau benerin tulisan gw dan nggak sekadar nulis/blogging hore-hore aja? *plak






===================


Update: Sept 2023


Dalam postingan yang berjudul “Readability” di atas, saya ngebahas soal tulisan panjang yang terbaca atau mudah ditemukan berdasarkan SEO. Sekarang, yang dibahas adalah tulisan lebih pendek atau bukan tulisan sama sekali, tapi foto. Nggak ngomongin tentang SEO website juga, tapi lebih ke algoritma aplikasi.

 

Kok, kedengarannya teknis banget. Nggak juga, sebenarnya intinya ini: dibaca/enggak.

 

Singkat cerita, udah hampir setahunan ini traffic medsos saya turun drastis. Efeknya terasa tahun lalu, waktu sempat crash. Setelah kejadian itu, traffic nggak setinggi biasanya: turun hampir separuh. Akhir-akhir ini, penurunan ini merembet ke feeds yang turunnya nggak main-main. Secara reach memang masih lumayan (apalagi kalau memperhatikan timing posting), tapi engagement-nya rendah banget. Mudahnya, yang ngasih comment/likes/save kalau ditotal turun hampir 75%. 

 

Awalnya, saya kira ini efek crash tadi. Tapi, kok, lama? Ya sudah mungkin ada yang berubah. Sempat kepikiran jangan-jangan kena shadowbanned atau gimana, tapi kayaknya enggak. Alasan kedua, saya pikir, adalah karena aktivitas followers menurun. Kalau dirunut ke belakang, akun saya memang rame banget justru saat Covid-19 lagi tinggi-tingginya. Mungkin efek orang-orang nyari kesibukan saat terkungkung di rumah aja, jadi mereka beralih ke medsos. Sekarang kegiatan alhamdulillah sudah balik seperti sebelum wabah, jadi mereka juga balik ke aktivitas sehari-hari yang artinya makin sedikit buka medsos (because life’s ‘happening’ again).

 

Toh sebagian besar followers saya emang teman-teman sendiri, yang artinya bukan akun hobi. Karena akun personal, ya, tentu saja bukanya sesuka hati. Kalau akun hobi, meski sama-sama sesuka hati, kadang lebih sering dibuka entah untuk refreshing atau sekadar update info sesama penghobi. Ini juga jadi kemungkinan alasan ketiga kenapa traffic saya rendah: karena akun saya lebih ke akun hobi (yaa meski kadang campur-campur sama personal life juga, hehe). Jadi kalau nggak satu selera dengan hobi saya, ya, nggak akan engage alias cuma lewat aja.

 

Alasan keempat, yang rada mellow dan bikin rada gimanaa gitu, adalah juga karena pandemi. Followers dan following saya memang nambah banyak waktu pandemi. Sekarang, saya jadi kepikiran, jangan-jangan mereka yang nggak muncul lagi ini karena … terkena imbas pandemi? Entah jadi hidup sulit atau, worse, meninggal? Kadang sedih saat tiba-tiba keingat dulu pernah/sering interaksi dengan akun A atau sering lihat fotonya lewat di feeds. Tapi begitu saya cek akunnya, eh, terakhir aktif 1-2 tahun lalu. Are you guys doing okay? Are you guys … still alive? Semoga mereka cuma sedang sibuk dengan kehidupan dan nggak aktif medsos aja.

 

Alasan kelima, yang paling mungkin dan pasti di antara alasan lainnya karena confirmed by IG, berhubungan dengan SEO dan readability. Belakangan beredar info bahwa algoritma IG berubah lagi. Kalau dulu hal seperti timing, tagar, dan likes menjadi faktor, maka sekarang balik ke konten. Mudahnya, kalau konten itu banyak yang suka/engage, ya bisa naik. Nggak terlalu tergantung faktor-faktor sebelumnya. Ini sedikit berhubungan dengan alasan ketiga: bahwa ini bukan akun khusus hobi alias followers-nya banyakan temannya daripada yang sehobi. Karena teman, kan, belum tentu sehobi sama saya. Jadi feed yang saya unggah pun besar kemungkinan ‘cuma lewat’ karena mereka nggak tertarik. Karena sedikit yang tertarik, maka IG pun menurunkan traffic kemunculannya di laman orang lain (PS: cara main IG adalah konten makin naik kalau yang tertarik/engage/visit makin banyak, dan sebaliknya).

 

Makanya kalau dilihat-lihat, akun yang ‘satu selera’/satu niche/satu hobi suka berbalas likes atau komentar ya supaya traffic-nya saling naik. Dan kalau nggak salah ngelihat, yang begini ini lebih efektif kalau ada dalam satu komunitas karena akan lebih ramai dan terdeteksi. Nah, akun saya kan nggak ikut komunitas apa-apa di IG, hehe. Paling kalau lagi ikut acara apa gitu terus tag-tag-an, tapi setelah itu ya sudah. Bukan tipe yang sering aktif upload dsb. 

 

Ini sedikit berhubungan sama readability/SEO di blog.

 

Waktu ngebahas soal readability itu, saya juga mikir gimana caranya masukin kata kunci atau bikin tulisan yang SEO-friendly supaya lebih banyak yang baca. Di kasus akun IG ini, saya juga melakukan hal yang sama: gimana caranya supaya postingan bisa naik dengan merhatiin tagar, timing, dsb. Akhirnya apa? Satu, jadi nggak enjoy. Padahal saya bikin ginian niat awalnya buat hobi (dan melatih skill hobi tsb) supaya hidup lebih hepi. Kedua, saya jadi berkutat dengan teknis dan melupakan kualitas isi/kontennya sendiri. Tentu kualitas versi growth saya yak, bukan standar media.

 

Endingnya sama: sama-sama bikin semangat berkurang.

Berasa, "Udah susah-susah nulis/motret, yang berkunjung/engage cuma segini."

Jadi nggak semangat kalau nggak dapat respons sesuai ekspektasi.

 

Ini mirip dengan kejadian yang konon katanya menimpa banyak penulis ketika memutuskan melepas karyanya ke khalayak: jadi patah semangat kalau yang likes/comment sedikit, jadi minder ketika yang suka tulisannya ternyata nggak banyak. Saya kira ini cuma terjadi pada penulis. Oh, ternyata juga bisa menjangkiti penghobi fotografi, haha. (*ambil cermin)

 

Well, kalau buat tulisan di blog, karena emang saya niatkan buat nulis-nulis aja, maka saya nggak masang ekspektasi tinggi meski ini blog lama. Sebab, kalau dilihat dari traffic ya segitu-segitu aja. Tentu kalah dengan website yang benar-benar diopeni, apalagi kalau sampai pasang iklan. Terus kalau di IG apakah bukan buat ‘nulis-nulis/foto-foto aja’? Ya enggak juga, sih, wong akun saya nggak dimonetisasi. Hanya aja, mungkin, karena sebelumnya sempat ngerasain traffic tinggi, jadinya rada kecewa saat dapat traffic rendah.

 

Padahal kalau dipikir-pikir, dulu juga traffic-nya segini-segini aja. At least buat story. Kalau buat feeds, mungkin dulu bisa tinggi karena faktor yang udah disebutin di atas plus dulu belum ada story, kan, jadi probabilitas dilihat lebih besar.

 

Faktor terakhir, yang bikin saya kepikiran adalah: jangan-jangan selama ini saya yang kurang engage sama akun teman-teman/followers? Alias isi IG saya kurang relate sama teman-teman. Kemungkinan lain adalah mungkin saya ‘asyik sendiri’ ngulik sesuatu tapi secara komunikasi kurang melibatkan? Bisa jadi. Akibatnya respons alias timbal balik dari viewers pun nggak banyak.

 

Apalagi belakangan ini saya emang jarang explore medsos dan saling mengunjungi karena lagi bosan, sehingga akhirnya cuma ngebuka foto yang emang lagi bikin tertarik aja.

 

Apa pun itu, output-nya sama: jadi malas nulis/foto, wkwk. Padahal seperti yang dibilang tadi, itu merupakan sarana refreshing dan mengurai pikiran supaya enjoy. Jadi gimana, dong? Kalau di blog, nggak akan berubah karena yo wes emang buat nulis apa pun. Kalau di IG, mungkin akhirnya saya bakal meniru blog: tulis dan unggah yang saya pengin di saat yang saya pengin tanpa terlalu memperhatikan traffic. Paling enggak dengan begitu saya jadi senang dan lebih enteng karena—seperti di blog—bisa menuangkan apa yang saya mau. Soal traffic, ya udahlah apa adanya. Toh dulu niat bikin IG juga bukan supaya dapat likes banyak, tapi buat album.

 

If I cannot make people enjoy it, at least I can enjoy it myself.

Kalau nggak bisa memuaskan orang lain, paling nggak saya sebagai pembuatnya bisa ngerasa puas.

 

Lagian ini hobi. Apa tetap disebut hobi kalau nggak enjoy, padahal hobi sendiri berarti “kegemaran”?

 

I’ll start a new path, then.

 

Ngapain, sih, nulis kayak gini? Toh SEO/algoritma juga nggak begitu paham, medsos pun bukan buat keperluan (amat) profesional. Ya… apa ya, buat mengurai pikiran aja. Sekaligus sebagai pengingat kalau misal di masa depan nanti saya frustasi dengan traffic, minat orang lain, dan sejenisnya, saya bisa mengingat kalau saya nulis/motret sebagai pelampiasan supaya nggak banyak pikiran, bukan supaya menambah beban pikiran.

 


Reading Time:

Jumat, 25 Februari 2022

Pesan dalam Tulisan
Februari 25, 2022 2 Comments


Apa, sih, pesan dalam tulisan itu?

Apa pesan adalah sesuatu yang jelas-jelas dituliskan penulis di naskah? Misalnya, ajakan 'jangan mencuri, jangan berbuat jahat, jangan merebut milik orang' dsb. Atau, pesan dalam tulisan adalah sesuatu yang bisa dipahami pembaca secara tersirat tanpa si penulis menuliskannya dengan gamblang?


Menurut saya, keduanya benar. Namun, poin pertama lebih cocok digunakan untuk buku anak-anak sehingga memang harus gamblang. Di sisi lain, poin kedua lebih sesuai untuk buku-buku/tulisan remaja dan dewasa karena mereka punya tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada anak-anak. 


Ini konteksnya tulisan fiksi, ya. Sebab pada nonfiksi, sebagian besar memang tersurat.


Namun, pada praktiknya, pesan model pertama (yang gamblang itu) masih sering ditemukan di buku untuk dewasa/remaja. Pesan-pesan seperti ini seakan menyuapi pembaca sehingga kita serasa sedang diceramahi dan didikte bagaimana harus bersikap. Meski pesannya baik, tapi gimana ya.... Kan, ini fiksi yang 'tugasnya' bercerita; bukan teks peraturan atau ceramah tokoh agama.


Biasanya, model-model tulisan seperti ini sebagian besar adalah hasil karya para pemula, baik itu yang baru 'nyemplung' dalam dunia kepenulisan ataupun orang yang bukan pendatang baru tapi masih belajar merangkai cerita. Namanya juga proses jadi sebetulnya normal-normal aja. Namun, akibat belum halus dalam bercerita, maka biasanya ada dua kemungkinan, antara (1) pesannya nggak sampai, atau (2) pesan tsb jadi cenderung kayak menceramahi. Kemungkinan kedua lebih sering ditemui. (Saya juga masih sering kayak gini, haha. Apalagi kalo udah buntu terus bingung ini enaknya 'dibungkus' kayak gimana, LOL).


Namun, ternyata bukan cuma penulis-penulis aja yang 'terjebak' di pesan tersurat, pembaca juga kayaknya masih banyak yang sulit mengambil pesan dan lebih suka ngambil 'permukaannya' aja. 


Soal pembaca yang nggak bisa memahami lebih dalam ini sebenernya saya agak kaget juga, sih. Kalau tulisan sastra, maklum, karena emang dibungkus metafora berlapis-lapis. Tapi kalau tulisan populer, hm... kan itu sudah lebih mudah dipahami, yak. Dan, saya pikir, jenis tulisan/genre/aliran/dll penulis sudah akan menyaring siapa yang akan jadi pembaca sehingga mereka sudah paham gaya tulisannya memang seperti itu dan mampu mengambil pesan yang tersirat di situ.


Gampangnya, 'pasar'/sasaran pembacanya udah terseleksi lewat genre dll-nya gitu, lho. Jadi harusnya mereka memang orang yang relate dan 'nyambung' dengan si penulis ini.


Jadi saya cukup terhentak waktu nemu ini di kolom Facebook.



Saya nggak tahu apa orang yang request ini udah baca semua tulisan Asma Nadia atau belum. Soalnya, kalau ngikutin, judul-judul seperti Emak Ingin Naik Haji, Cinta di Ujung Sajadah, itu bukan ngomongin soal cinta cowok-cewek, euy. Misalnya di Emak Ingin Naik Haji. Duh, itu, kalau disorot dari segi kekuasaan Allah seperti kata sender, pas banget karena isinya bener-bener nunjukin kuasa Allah. [SPOILER ALERT!] Dari Emak yang cuma jadi ART tua di rumah juragan, yang jelas gajinya cuma cukup buat hidup sederhana, sampai bisa haji karena tiba-tiba juragannya mau syukuran dengan berangkatin orang lain haji. Padahal, juragan itu sebelumnya kalau syukuran ya syukuran biasa aja; makan-makan ramai-ramai. [SPOILER END]


Poin saya adalah di ucapan Asma Nadia soal perspektif yang banyak itu. Ambil contoh topik cinta. Perspektifnya memang bisa jadi kisah kasih pria-wanita, tapi bisa juga antara ortu-anak, Tuhan-hamba, atau riilnya cinta Emak terhadap Allah lewat keinginan naik haji tadi. Buku/novel mbak Asma yang bertema pernikahan pun ada pesan terselubungnya; nggak cuma nunjukin indahnya romantisme kehidupan setelah married.


Sayangnya, hal-hal seperti inilah yang masih luput dari kacamata beberapa pembaca. Entah belum bisa atau nggak mau, mereka nggak menyelami isi cerita lebih dalam sehingga pesan tulisan justru kelewat gitu aja. Biasanya, karena yang menjadi fokus ketika membaca hanya alurnya. Apa sih ini konfliknya? Gimana sih ending-nya? Gimana nasibnya si A, B, C? Akhirnya, yang dipahami, ya, cuma garis besarnya. Padahal (menurut saya sih), penulis macam Asma Nadia, Andrea Hirata, dsb itu meski pesannya kadang agak berat, tapi penyampaiannya udah halus dan 'merakyat' sekali sampai remaja aja bisa paham. 


Lagipula, banyak, kok, penulis kondang dan andal di Indonesia yang sudah menuangkan berbagai kisah yang nggak cuma cinta-cintaan. Mungkin pembaca aja yang kudu cari-cari lebih banyak daripada disajikan begitu saja. 


Lalu, poin kedua.

Bila memperhatikan kolom sebelah kanan, apa yang terlintas?

Kalau saya, yang terpikir adalah ensiklopedia, bukan novel. Mungkin cerpen, tapi cerpen anak. Sebab, pesan-pesannya terlalu gamblang dan konfliknya terlalu sederhana dan pendek. Entah kalau ada yang bikin seperti cerpen koran yang dibungkus metafora bermacam-macam, mungkin bisa (?) Entah. Tapi yang jelas, sulit rasanya buat saya untuk membayangkan hal seperti ini diangkat menjadi topik utama di novel untuk dewasa/remaja.


Mungkin, memang pembaca yang harus mau menggali pesan lebih dalam daripada hanya membaca pesan dan alur permukaan aja. Sebab, salah satu kelemahan fiksi Indonesia dibandingkan luar negeri memang perkembangan karakter dan 'isi' yang kurang karena terlalu fokus pada alur dan penyelesaian konflik. 


Nggak semua tulisan, tentu. Tulisan yang matang biasanya sudah melewati hal ini. Tapi untuk fiksi pop, masih banyak yang begini. Bahkan, tulisan yang sudah dicetak menjadi buku pun bukan jaminan kalau ia sudah 'lepas' dari style seperti ini.


Pada akhirnya ya tergantung pembaca. Nggak bisa menggantungkan quality control pada penulis aja. Sebab, nggak cuma penulis, pembaca juga harus cerdas untuk menentukan tulisan yang masuk ke otaknya.

Reading Time:

Jumat, 11 Februari 2022

Ketika Menulis Malah Nggak Bikin Happy
Februari 11, 2022 4 Comments


"Menulis itu, kan, harusnya dinikmati," ujar seseorang. "Bukan malah kayak ada tekanan dan dikejar-kejar."


Saya setuju itu. Apalagi, awalnya, saya menulis memang karena pengin numpahin imajinasi; pengin mengeluarkan yang nggak tertahankan di hati dan pikiran.


Saya juga ngerasa, kok, beda banget rasanya menulis dulu dan sekarang. Dulu, akhir SD hingga SMP, nulis rasanya lancar jayaaa. Nggak ada yang namanya writer's block, hilang mood, atau kehilangan kata-kata. Sehari 1.000 kata mah hayuk aja. Bahkan bisa lebih. Tapi sekarang? Hm...


Milih kalimat pembuka aja bisa 15 menit sendiri. Bulan kemarin bikin program 1 hari 1 tulisan berdasarkan prompt juga ternyata makan waktu paling nggak 30-45 menit buat bikin cerita superpendek sepanjang 2 halaman. Kalau nulis artikel apalagi, beuuh bisa macet berhari-hari. Nulis catatan perjalanan yang dulu sehari-dua hari bisa selesai (nulis doang, nggak termasuk ngumpulin data dll), sekarang bisa seminggu cuma baca-baca referensi aja. 


Daaaan, saya juga ngerasa, kok kayaknya lebih sering macetnya, ya? Kok lebih sering bingungnya ya? Kok lebih banyak porsi bingungnya daripada porsi hepi-hepi dan hati berasa plong kayak dulu? Kenapa saya nggak ngerasa sepuas dan sesenang dulu kalau nulis? Apa ini sisi gelap dan negatif dari menulis? (halah bahasane!)


Umm, no

Semakin dewasa, semakin banyak tulisan yang saya, atau kamu, baca. Artinya semakin banyak juga gaya tulisan yang saya lahap. Ada beberapa teori dan tips menulis juga yang coba saya praktikkan karena menurut saya bagus. 


"Lha ya ini! Karena pake teori dan tips! Makanya jadi lambat, makanya malah writer's block! Nulis ya nulis aja lah! Suka-suka!"


Memang iya. Kalau terlalu terpaku dan nggak tepat penggunaannya. Namun, ketika digunakan dengan pas, itu justru tools untuk memperbaiki tulisan. Okelah jujur emang ada rasa nggak nyaman ketika ada aturan yang harus diikuti. Misalnya, pemilihan diksi yang pas dan menggugah imajinasi dsb. Tapi, memang itu biar tulisannya bagus. Kalau nggak pakai itu, mungkin saya akan ngerasa los-plong kalau nulis, tapi tulisannya nggak akan enak dibaca. Nggak akan mengalir, nggak akan menang lomba, dan nggak cantik dipajang buat portofolio. 


Makanya ada penulis kondang yang sampai bilang, "Menulis itu sulit, tapi editing itu lebih sulit dan bikin males."


Kalau nulis asal ngeluarin kata emang 'gampang'. Yang susah kan emang bikin gimana biar tulisan itu berisi, enak dibaca, ngalir, dsb. 


Tekanan itu emang kerasa. Nyata. Makanya, saya berusaha mempraktikkan saran dari seseorang yang udah lama malang-melintang di dunia ini: tulis aja dulu, sebebas-bebasnya. Jangan pikirkan kalimat pertama, diksi, puitisasi, nilai yang mau dibagi, dsb. Tulis seperti kamu bicara. Tulis seperti kamu lagi nyeritain ke orang lewat lisan. Kalau semua sudah selesai, baru edit. Tata, ganti, bongkar, isi yang bolong, hapus bila perlu. Barulah di tahap ini kamu mikir kalimat pertama, adegan peralihan, dsb.


Beberapa kali tips ini saya pakai dan, ya... it works.


Dulu, saya pikir editing itu cuma cek PUEBI dan mindah kalimat/paragraf. Ternyata... milih diksi, bikin kalimat utama, ngatur 'ritme', itu juga termasuk editing. Oalaaah, pantes saya nulisnya jadi lama. Kirain, saya bukan penganut 'menulis sambil mengedit'. Eh ternyata malah pengikut sejak lama, wkwkwk.


Dan, gimana ya, kalau memang mau profesional atau semiprofesional, teori tips dll itu memang diperlukan demi kualitas tulisan. Jadi ya memang pasti ada tekanan. Tapi bukan berarti nggak bisa nulis hepi juga. Kalau sudah biasa, bisa jadi hepi, kok, karena udah melekat ke gaya menulis (yang ini testimoni penulis kondang, sih. Saya sendiri belum ngerasain, hehe). Atau kalau belum bisa, mungkin 2-langkah tadi bisa dicoba: tulis bebas, baru tata.


Sebab, menulis dan rasa lega selepas tulisan jadi 'ada' itu seperti dua sisi bulan: ada sisi gelap dan ada sisi terang, ada sensasi dikejar-kejar tapi juga ada sisi senangnya. Keduanya nggak bisa dipisahkan. Dan, dua-duanya sama-sama dibutuhkan demi si tulisan. 

Reading Time:

Rabu, 29 Desember 2021

Tentang Selingkung
Desember 29, 2021 2 Comments




Selingkung, yak. Bukan selingkuh. Jadi memang nggak salah ketik. 


Apa itu selingkung? Ada yang bilang gaya bahasa (dalam lingkungan tertentu), ada yang bilang gaya penulisan, dsb. Intinya sama: gaya penulisan/bahasa yang disepakati di lingkungan tertentu. Saya sendiri nggak tahu arti bakunya apa. Dengar istilah ini pun baru sekitar dua tahun belakangan. Emang kadang suka kudet soal ginian, haha.


Supaya lebih gampang, ini contohnya:

👉     Mana yang benar: Ramadan atau Ramadhan?

Kalau nurut KBBI, yang benar ‘Ramadan’. Namun, ada juga media besar dan terpercaya yang menulis ‘Ramadhan’ karena faktor pembaca yang mayoritas lebih suka bentuk mirip asli daripada transliterasi.

👉     Mana tanda elipsis (…) yang benar: “Tapi … itu salah!” atau “Tapi… itu salah!”

Kalau ngikutin PUEBI, maka yang benar adalah yang pertama. Namun, kenapa di banyak novel-novel bahkan penerbit mayor/besar, justru lebih banyak penulisan tipe kedua? Tempo juga pakai yang pertama (diceritakan oleh Ivan Lanin, maafkeun saya belum cek langsung).


Belakangan, saya baru tahu kalau selingkung ini bukan cuma soal ejaan dan tanda baca, tapi juga diksi. Seorang teman jurnalis pernah berkata bahwa salah satu surat kabar (cetak) nasional ada yang suka pakai kata-kata yang tidak baku supaya lebih luwes. Satu hal yang saya ingat adalah kata 'gerumbulan'/'gerumbul'. Waktu saya pakai kata ini di naskah feature, teman tsb bertanya, "Coba ini cek lagi, deh. Apa ada kata ini di KBBI?" Padahal, seingat saya, saya justru 'mengambil' kata ini dari koran tersebut. (Dan, di KBBI emang kata tsb nggak ada.)


Apakah salah? Bisa iya, bisa enggak. 

(Nah, ini lagi. Kalau nurut KBBI, ejaan yang benar itu 'enggak'. Tapi, banyak juga media besar/penerbit mayor yang pakai 'nggak'.)

Tergantung tempat/lingkungannya. Misal, kalau berdasarkan contoh di atas, ada wartawan Tempo yang nulis 'Ramadan' di sana, ya nggak salah. Kalau dia ganti tempat kerja di Republika dan tetap nulis kayak gitu, ya jadi salah karena mereka pakai 'dh'. 


Jadi, kayaknya, orang-orang yang udah paham soal selingkung cenderung nggak ambil pusing soal ini. Udah pada maklum kalau tiap tempat punya style nulis sendiri. Asal nggak kebablasan jauh dari pakem atau PUEBI. Perhatikan bahwa kata 'cenderung' saya garis bawahi karena inilah masalahnya.


Cenderung berarti sebagian besar. Artinya, toh ada juga orang yang memahami soal selingkung tapi tetap mempermasalahkan. Biasanya, soal diksi. Biasanya, perbedaan pendapat kayak gini ada di forum/grup/komunitas menulis. Jeleknya, biasanya, ini bakal dibahas dan dibedah habis-habisan di forum karena orang yang selingkungnya beda itu 'berbeda aliran/grup'.


I mean, ya udah sih. Lo udah tahu kalau ada selingkung. Hormatin aja kenapa. 


"Oh, tidak bisa, Ferguso. Cara dia salah dan dia bikin teman-temannya juga salah karena pakai cara dia."


Um, well, it depends. For some extent, yes, but...


Betul, ada selingkung yang salah banget karena nabrak aturan pol-polan. Tapi, ada juga yang cuma soal 'beda mazhab' a.k.a beda perspektif aja.

Langsung contoh aja biar nggak nggrambyang. 


Misal di komunitas F dibilang kalau terlalu banyak menggunakan -ku dan -nya itu nggak baik karena ada banyak pengulangan yang tidak perlu. Juga penggunaan -mu, itu, ini, dsb. Niatnya bagus: biar nggak boros kata dan memperjelas yang sudah jelas. Tapi, komunitas L nggak setuju karena bisa bikin kalimat jadi nggak lengkap secara struktur. Akibatnya, maknanya pun jadi nggak/kurang jelas. 


Alasan keduanya benar sehingga menurut saya, perselisihan ini masing-masing punya sisi positif dan negatif. Supaya gampang, kita pakai contoh aja, ya.


Contoh 1:

Aku mempercepat langkahku menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepalaku. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragamku agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.

Perhatikan, ada berapa -ku di sana?


Atau contoh 2 ini:

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-bajunya ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatunya. Ia benci sebenci-bencinya pada ayahnya yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliahnya.


Banyak banget, kan, partikel -ku dan -nya di sana. Beberapa bisa dihapus aja. Misal di contoh 1, 'langkahku' jadi 'langkah' karena di depan udah ada 'aku', jadi jelas dong itu langkah siapa. 'kepalaku' jadi 'kepala' karena ya kepala siapa lagi coba? Kecuali di paragraf sebelumnya diceritakan kalau dia jalan bareng temannya. Terus, 'seragamku' jadi 'seragam' aja karena ya seragam siapa lagi kalau bukan si aku? Masa mau ngebasin seragam gurunya?


Di contoh 2, partikel -nya kebanyakan. Sama, bisa dihilangkan aja. Di kalimat kedua, 'baju-bajunya' bisa jadi 'baju-baju' aja, 'sepatu-sepatu' juga. Kenapa? Karena di kalimat pertama udah jelas dia ngemasin barangnya, jadi kalau baju dan sepatu juga jelas punya Diana, dong? Kata 'benci sebenci-bencinya' mungkin bisa diganti 'sangat benci' dan semacamnya. 'Ayahnya' juga bisa dipotong jadi 'ayah' aja karena kalau ayah orang lain pasti dia nyebut nama toh (meski ini debatable, sih. Jadi 'ayahnya' juga gapapa). Kata 'kuliahnya' bisa dipotong jadi 'kuliah' aja karena kuliah siapa lagi yang bikin dia diusir kalau bukan dia sendiri?


Jadinya gini:

Aku mempercepat langkah menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepala. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragam agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.


Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia benci sangat benci pada ayah(nya) yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliah.


Tetap bisa dipahami, kan?

Begitulah. Di pelajaran Bahasa Indonesia zaman sekolah, toh kita juga diajari untuk berbahasa/menulis efektif. 


Jadi, maksudnya bagus, kan? Biar nggak mubazir kata. 

Iya, dalam taraf tertentu. Masalah baru timbul saat ada penulis yang menghilangkan banyak sekali partikel -ku dan -nya, bahkan menghilangkan subjek, sehingga nggak jelas ini adegan siapa/tokoh mana yang melakukan. Ya terang aja, karena struktur kalimatnya jadi nggak lengkap. Soal inilah yang nggak disetujui oleh grup L. Dan, saya sepakat dalam kasus ini.


Kita pakai contoh paragraf Diana, ya:

Contoh 3

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia sangat benci pada ayahnya yang mengusir hanya karena ia melalaikan kuliah.


Dengan asumsi bahwa dia sudah kebanyakan pakai -nya, penulis pun menghapus partikel ini. Apalagi di kalimat terakhir itu sudah ada satu -nya ('ayahnya'). Namun, apa ini bisa dibenarkan?


Menurut saya, enggak. Sebab jadi nggak jelas siapa yang diusir ayah meski pembaca bisa meraba-raba itu siapa. Tapi berasa nggak lengkap aja kalimatnya karena 'mengusir' biasa disertai objek. Mana ada, kan, kalimat kayak: ia mengusir. Titik. Wes. Beda kasus kalau: ia menyelam, ia makan, ia minum. Nggak pakai objek pun nggak perlu diperjelas. 


Kesalahan lain adalah menghilangkan subjek seperti aku, dia, dsb agar nggak ada pengulangan. Misal, contoh 4:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Aku tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, aku ingin berkas-berkas itu hancur sekalian.
 


Kalau partikel/subjeknya asal dihilangkan, jadi begini:

Contoh 5

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, ingin berkas-berkas itu hancur sekalian. 


Kalimatnya jadi agak aneh, kan? Oke lah, kalimat 1 dan 2 masih bisa nyambung. Namun, kalimat kedua ini nggak punya subjek (siapa yang nggak peduli? Aku? Atau dia? Atau mereka?). Kalau emang 'aku' mau dihilangkan, mungkin jadikan satu kalimat aja *cmiiw.

Jadi:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni, tak peduli soal ... dst

Kalimat terakhir juga jadi masalah. Siapa yang ingin berkas itu hancur sekalian? Aku? Dia? Mereka? Mungkin akan lebih pas kalau kalimatnya diganti aja daripada ngehapus subjek atau bagian yang signifikan. 


Inilah yang nggak disetujui oleh komunitas L. "Kenapa sih pakai ada 'mubazir -ku,  -nya, ini, itu'? Toh penulis-penulis besar nggak pakai cara ini juga karyanya tetep bagus". Di sisi lain, para anggota komunitas F pun keukeuh dengan alasan nggak mau mubazir kata dan "Biar nggak ngebosenin. Biar nggak berasa baca laporan atau textbook yang baku banget."

(NB: di dua komunitas ini sama-sama ada penulis besar dan sastrawan yang sering jadi 'panutan')


Kalau menurut kamu, mana yang benar?


Sebab menurut saya, ini kondisional.


Komunitas L betul: tanpa menghilangkan 'serangan' ini, banyak karya yang tetap bagus. Kalimat juga cenderung lebih utuh dan lebih jelas maknanya. Namun, bagaimana dengan penulis pemula?


Saya sering nemu tulisan yang masih mubazir kata. Biasanya, yang nulis memang pemula, baru nyemplung, atau jam terbangnya masih sedikit. Cari aja di platform-platform atau grup menulis di FB, apapun itu. Banyak! Nggak cuma soal 'serangan -ku -nya, ini, itu dsb' tapi juga kasus seperti 'naik ke atas, turun ke bawah, para murid-murid' dsb. Jangankan orang lain, lha wong saya aja dulu juga gitu, kok! 😁 (Sekarang juga masih sering kepeleset, sih, wkwkwk. Ingatkan saya kalau kelupaan, yak!)


Jadi, komunitas F juga betul. Menghilangkan 'serangan' ini bisa membantu. Dengan catatan: kalimatnya harus tetap utuh dan artinya jelas. Bukan malah kayak contoh 3 dan 5 yang bikin rancu. Kalau malah mbulet, mending pakai cara komunitas L aja, deh. Bikinlah kalimat yang artinya jelas dulu. Nanti baru modif macem-macem. 


Satu hal yang bikin saya nggak suka adalah: kok, ya, adaaa aja orang yang masih  ngebahas ini berkali-kali dan menganggap, "Cara grup lu tuh salah, cara gue yang bener!" padahal yang bersangkutan tahu soal selingkung. Kalau mau salah-salahan, gampangnya gini:

- cara F bagus buat pemula tapi jadi salah kalau kalimatnya jadi nggak jelas

- cara L bagus buat yang lebih pro dan paham seluk-beluk kalimat, tapi nggak bagus buat pemula karena berpotensi mubazir dan monoton.


So, tentu dua cara ini harus diajarkan dengan catatan tertentu. Nggak bisa ditelan bulat-bulat. Dan juga, jangan membenci bulat-bulat. Meskipun bahasa punya pakem sendiri, toh ia juga bisa luwes sekali. Namanya juga selingkung: style satu lingkungan/circle.


Dulu saya kira grup literasi berhaluan tertentu itu bisa lebih menghargai perbedaan dibandingkan grup literasi lainnya yang nilai-nilainya cenderung lebih kaku. Eh ternyata enggak juga. Sama aja. Sama-sama suka ngomongin kubu seberang. Di mana-mana orang kayak gini emang selalu ada, ya. Heran. Nggak bisa netral aja gitu? Kalian sama-sama berniat mendidik, lho. 


Oh betapa saya merindukan grup nulis yang rame tapi ramenya asik meski ada banyak 'aliran', bukan yang beda 'mazhab' udah berasa musuh begini. Ini 'cuma' soal selingkung, ya ampun. Bukan soal nilai-nilai internal yang dianut. 


Oke, perihal yang satu itu udah selesai, ya. Sekarang ada lagi ini: bikin selingkung sendiri karena menuruti selera pasar. Jadi standar 'kebenarannya' bukan lagi PUEBI atau bisa dipahami artinya, tapi disukai pembaca. Jadi, meski jelas-jelas salah, tetap dipakai karena pembacanya lebih suka.


Misalnya kalimat berikut:

"Eh...... Tapiii...... Aku nggak bisa........."

atau

Tidak,,, dia nggak mungkin setega itu padaku!!!!!!

Ada, sih, novel penerbit mayor yang pakai '?!' atau '!!!' tapi biasanya nggak sampai berderet kayak kereta gitu...


Jangan salah, banyak yang suka tulisan macam ini. Cek aja (lagi) di platform atau grup FB. Cek jumlah pembacanya dan kita mungkin bakal heran kok bisa peminatnya banyak. Biasanya, karena temanya relate sama pembaca sih. You know what lah. 


Ada juga kasus soal penulisan dialog dan narasi. Seorang acquintance (apa ya istilah yang tepat? Karena bukan teman/kolega. Kenalan, maybe?) pernah berkata, "Iya nih dialognya harus banyak. Soalnya ini kan buat platform online. Biar menarik. Kata mbak yang kemarin ngisi di webinarku tuh, gitu."


Oke, saya menghargai perbedaan pendapat. Tapi dalam hati, like, whaaaat? Saya tahu pembaca online lebih suka scanning dulu sebelum baca, tapi nggak gini juga, euy. Bosan juga kalau dialog sampai satu atau setengah halaman. Apalagi kalau dialognya nggak penting dan cuma basa-basi doang. 


Apapun 'wadah' tulisannya: online ataukah offline/cetak, grup FB ataukah W*ttp*d dan semacamnya, orang akan tetap mau baca kalau tulisan itu menarik. Terlepas dari dialognya banyak atau narasinya sedikit. 


Buktinya? Dee, Asma Nadia, dan beberapa penulis populer lainnya sudah mencoba masuk ke dunia penerbitan daring. Pembacanya? Banyak! Apa porsi dialognya dibanyakin (dan narasinya dikurangin) dibanding buku-buku cetak mereka? Enggak. Menurut saya, porsinya pas. 


Kalau kata Dee Lestari, "Dialog itu gas dan narasi itu rem". Dialog bisa mempercepat alur dan narasi berfungsi melambatkan jalan cerita. Kalau ceritanya digas terus, ya, nggak enak, dong. Orang ngebut juga butuh rem biar nggak nabrak-nabrak. Begitu pun kalau jalannya thimik-thimik, kapan nyampenya? Jadi baiknya memang: pas.


Tapi, bukan berarti yang punya gaya tulisan macam ini langsung dituding, "Lu salah!" Memang salah, tapi mungkin masih pemula? Atau belum tahu? Dibilangin lah pelan-pelan. Kalau kita ngotot, bisa aja dia juga ngotot dengan alasan beda selingkung/aliran itu tadi.


Huft.... mungkin karena inilah, komunitas nulis/literasi seakan-akan jadi terpecah-pecah berdasarkan 'aliran' dan penggemarnya. Orang yang suka karya model begitu ya masuk grup itu, bacanya itu-itu aja, karya dari penulis grup lain pokoke tidak sesuai (atau malah, jelek)! 


Selain ini, masih ada lagi (masih banyaaak sih sebenernya). Selingkung soal diksi. Tapi kayaknya post-nya kepanjangan kalau bahas ini juga, wkwkwk. Coba aja cari kata kunci 'prosa ungu'. Dia ini kayak pemilihan kata biar puitis gitu, tapi malah nggak jadi puitis. Prosa ungu ini sering banget dipakai terutama oleh penulis fiksi (dan saya sendiri kadang nggak sengaja make ini juga, LOL).


Kalau soal prosa ungu, biasanya komunitas-komunitas ini lebih kompak karena sama-sama nggak setuju. 


Kamu pernah dengar selingkung lainnya, nggak? Apa itu?


==============


Disclaimer: pic isn't mine. It's from Food Bloggers of Canada

NB i:

huruf F dan L sebagai inisial nama komunitas adalah huruf acak. Huruf depan di nama komunitasnya bukan itu 😁

NB ii:

karena tulisan ini lebih mirip curhat daripada tulisan serius maka bakal ditemukan banyak banget kesalahan tata kalimat dsb. Cara komunitas F dan L sama-sama saya campur di sini. Kesalahan yang mereka soroti juga bakal ada di sini, wkwkwk.


Reading Time: