November 2022 - Hijaubiru

Jumat, 25 November 2022

Makan Lumut atau 'Lumut'?
November 25, 2022 4 Comments


Pic from:


Makanan itu terlihat seperti lembaran rumput laut yang sering seliweran di film-film Asia Timur. Lembar pipih, hijau, panjang, dan tampak licin. Namun ukurannya lebih kecil; hanya selebar jari tangan orang dewasa. Sekilas orang akan mengiranya sebagai lumut atau sejenis jamur aneh. 


Saya mengenalnya sebagai lumut sridempok. Kadang kami menyebutnya sebagai 'sridempok' saja. Ibu yang pertama mengenalkannya pada saya. Suatu siang beberapa bulan lalu, Ibu membuka bungkusan serupa pincuk pecel.


"Mau?" tawarnya.


Ada parutan kelapa berwarna oranye yang menutupinya. Mengira itu urap-urap/krawonan biasa, saya mengiyakan. Ketika parutan kelapa itu disibak, tampaklah 'sayuran' warna hijau gelap serupa kangkung yang direbus terlalu lama. Lha, apaan, nih?


"Ini sridempok," ujar Ibu sambil mulai menyuap. "Lumut."


Jujur, baru kali itu saya tahu kalau 'lumut' pun bisa dimakan. Kalau lumut diperas untuk diambil airnya untuk minum, saya tahu. Tapi, dimakan?


"Ini makanannya orang lawas," jelas beliau. 'Orang lawas' merujuk pada mbah-mbah saya dan para orang tua zaman dulu. "Udah jarang yang jual, nih. Jadi jarang  orang sekarang yang tahu."


Beliau mengatakan bahwa sridempok sebetulnya cukup mudah ditemui. Kalau bukan di tanah ya di permukaan batu. Ibu bahkan menemukan 'entitas' ini ketika ziarah ke pemakaman. Ia menemukan banyak yang menempel di nisan batu atau kijing semen.




Sridempok suka tempat lembap. Belakangan baru saya tahu kalau di tempat yang kering pun dia bisa tumbuh. Hanya saja bentuknya nggak akan segar seperti yang tumbuh di tempat basah, tapi akan kering agak kekuningan, mengkeret, dan akan super lengket di batu/rumput yang tertempeli. Sridempok kering lebih mirip keripik sayur.


Gimana rasanya?

Tanpa rasa. Anyep. Jadi yang terasa ya hanya bumbu urapnya. Hal yang berbeda adalah teksturnya yang jelas berbeda dengan sayur yang biasanya diurap. Sridempok punya tekstur yang agak licin dan kenyal, tapi  'kriak-kriak' bila dikunyah (apa ya istilahnya, crunchy tapi basah?). Sekilas teksturnya mengingatkan saya pada tekstur jamur kuping, tapi dalam versi lebih lembut. Dan, oh, ada sedikit hint serupa aroma lembap di ujung kerongkongan. Namun entah ini rasanya memang begini atau orang yang masak kurang ahli.


Selain kurang familiar sebagai masakan, nama 'sridempok' ini rupanya juga kurang umum dikenal. Berbekal browsing di dunia maya, rupanya sebutan ini dikenal di daerah Surabaya dan sekitarnya. Ada juga yang nyebut kalau ini makanan khas Gresik atau Sidoarjo. Namun entahlah ya, lha wong mbah-mbah Surabaya juga tahu, mungkin sridempok memang khas daerah Surabaya Raya (Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dll)


Awalnya, saya pikir begitu. Sampai kemudian saya nemu foto sridempok di sebuah komunitas dan ternyata ia juga dikenal di daerah luar Surabaya Raya sebagai makanan. Bedanya adalah namanya. Lumut jamur, jamur lumut, jamur watu, dan jamur selo adalah beberapa sebutannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belum lagi kalau di daerah selain itu, mungkin namanya beda lagi. Di luar negeri, ia dikenal dengan nama star jelly (karena bentuknya kayak jeli), witch's butter, fahtsai, atau facai.


Penamaan lumut jamur, jamur lumut, dan jamur watu mungkin sudah self-explanatory. Nama 'jamur selo' juga demikian, karena beberapa orang bilang bahwa 'selo' artinya batu dalam bahasa Jawa dialek tertentu. 


Jadi, sridempok ini sebetulnya jamur atau lumut?

Atau rumput laut? 

Atau alga?

Atau bukan semuanya?


Coba tebak, hehe. Kalau dari bentuknya, memang dia mirip beberapa kategori di atas.  Namun, sebenarnya dia adalah...

BAKTERI.


Iya, nggak salah baca, kok. Serius. Sridempok/jamur watu/jamur lumut/lumur jamur/ jamur selo itu adalah bakteri. Nama ilmiahnya Nostoc commune dan dia termasuk jenis (filum) cyanobacteria. Jenis ini lebih dikenal dengan nama 'alga hijau-biru', dulu, sebab warna 'anggotanya' banyak yang hijau atau hijau kebiruan.


Jadi, dia sebetulnya bakteri, bukan alga?

Oh enggak, dia tetap bakteri. Alga adalah jenis umumnya yang lebih familiar di masyarakat. Tapi menurut klasifikasi secara biologi, dia tetap bakteri.


Kita kilas balik sebentar kenapa bisa mbulet begini, hehe. Dulu, jenis cyanobacteria ini dikategorikan sebagai alga. Karena, ya itu tadi: dia punya zat yang bikin tubuhnya berwarna hijau. Ini yang bikin dia mirip dengan alga hingga dikira sebagai alga. Bentuk selnya juga mirip dengan alga. Di kemudian hari, baru diketahui kalau ternyata cyanobacteria nggak punya membran sel yang jadi salah satu ciri alga (alga prokaryot, cyanobacteria eukaryot). Jadilah dia dimasukin ke jenis bakteri.


Cyanobacteria sendiri adalah jenis yang unik karena dianggap sebagai moyang tanaman. Tadi sudah disebutkan bahwa dia punya zat hijau bernama klorofil. Masih ingat, nggak, kalau klorofil inilah yang membuat tumbuhan bisa fotosintesis dan membuat 'makanan' sendiri? Inilah uniknya cyanobacteria. Alih-alih seperti bakteri lain yang 'memakan' mineral dsb dari lingkungan, cyanobacteria justru bisa membuat 'makanan' di dalam tubuhnya sendiri dengan fotosintesis.


Kemampuan inilah yang membuatnya dianggap jadi nenek moyang tumbuhan. Kita tahu bahwa hewan bersel satu macam bakteri adalah makhluk hidup yang pertama menghuni bumi. Nah, bakteri yang pertama punya klorofil adalah cyanobacteria ini. Tumbuhan, yang punya klorofil tapi baru muncul belakangan, adalah keturunan makhluk ini. 


Jadi, sridempok dan 'konco-konconya' adalah makhluk yang terhitung pertama menghuni bumi. Primitif dan kuno, sudah hidup sejak sebelum dinosaurus muncul. Bahkan, yang ikut mengubah komposisi gas di bumi sehingga seperti sekarang ya cyanobacteria ini. 

(Kalau penasaran gimana, bisa ditilik di video ini: PBS Eons-That Time Oxygen Almost Killed Everything)


Eh, kalau sridempok itu bakteri, apa tetap aman dimakan?

Aman, insyaallah. Asal ngolahnya benar. Karena dia nempel banget ke batu/tanah, maka membersihkan butir-butir tanah jadi tantangan tersendiri. 


Tapi, apa tetap aman makan bakteri?

Aman. Berkebalikan dengan apa yang umumnya diyakini masyarakat umum, nggak semua bakteri itu jahat. Perut kita bahkan penuh dengan bakteri (gut microbiome) yang membantu pencernaan. Bakteri juga jadi (pembantu) sumber makanan. Sebut saja keju, yoghurt, kimchi, dan beberapa makanan lainnya yang pembuatannya dibantu bakteri fermentasi. 


Oke, balik ke Nostoc a.k.a sridempok.

Beberapa sumber bahkan menyebut kalau makanan ini punya kandungan protein yang cukup tinggi karena dia bisa mengikat nitrogen (bahan baku protein) dari tanah. Tentu, ini artinya dia juga bisa jadi penyubur tanah yang kekurangan N.  


Selain sebagai makanan, bakteri ini juga punya potensi lainnya. Penyubur tanah seperti di atas misalnya. Ada juga sumber yang meneliti potensinya menyerap logam yang mencemari tanah. Nostoc bisa berperan sebagai agen bioremediasi di sini. Dan manfaat-manfaat lainnya. 






[ Sebagai catatan, 'memiliki potensi' itu artinya masih perlu diteliti lagi. Sebab seringkali dalam skala kecil bisa berpotensi, tapi bila ditingkatkan ke skala besar ada berbagai tantangan atau masalah. Entah biaya, sarana-prasarana, atau mungkin efektivitasnya kurang dibandingkan proses/organisme lainnya. Jadi, sebagai masyarakat awam, sebaiknya kita nggak langsung terpicu begitu ada yang bilang, "Tumbuhan X punya potensi sebagai anti-kanker, anti-radiasi, dsb." Jadi, harus cek lagi. Apalagi beberapa media suka membesarkan dan salah mengartikan yang dibilang perisetnya. Misal, periset cuma bilang, "Tumbuhan X punya potensi Z" tapi di media, headline-nya sudah bombastis, "Tumbuhan X Bisa Digunakan Sebagai Obat Penyakit Y." This is... misleading. Yang bisa berujung pada overproud  pembaca dsb. ]


Anyway, karena bentuk sridempok ini lumut yg sederhana banget mendekati tak beraturan, jadi susah nyari foto yang bagus karena biasanya pada sederhana bahkan nggak estetik. Saya nyoba motret sendiri pun hasilnya juga naudzubillah sekali. Cuma jepretan dijepret PHOTOGRAPHY di atas yang bagus. Jadi, kredit foto di atas adalah beliau. ]


(Soal potensi dan cerita soal Nostoc commune ini masih ada lagi sebetulnya. Dan, semuanya menarik. Tapi, belum ditulis, haha. Mungkin selanjutnya bakal dilengkapi. Semoga saya nggak lupa, hahah)




Referensi:

Boggs, J. 2020. Nostoc commune: From "The Blob" to Crusty Black Stuff. https://bygl.osu.edu/node/1580. Diakses November 2022.

Facebook Komunitas Pemburu Jamur Indonesia.

Wisanti dan N.K. Indah. 2011. Kajian Taksonomi Lumut Sri Dempok dan Potensinya. Berk. Penel. Hayati 7F: 65-68.

Dan sumber lainnya, lupa nge-list, next bakal dilengkapi 😅

Reading Time:

Selasa, 15 November 2022

Bertemu Eks Bandara dan Istana di Belantara Argopuro
November 15, 20220 Comments

 


Pernahkah kamu membayangkan bahwa di Indonesia ada istana di puncak gunung, layaknya di dongeng-dongeng? Tempat ini ternyata bukan fiksi belaka. Di Gunung Argopuro, Dataran Tinggi Yang, Jawa Timur, istana tersebut pernah ada; nyata. Bahkan, lapangan terbang tertinggi di Jawa pun sempat berdiri di tengah-tengah hutan belantara ini.

            Berbicara tentang Argopuro tak bisa lepas dari legenda Dewi Rengganis. Putri Majapahit tersebut mengasingkan diri ke sini kemudian membangun istananya di salah satu puncak gunung. Puing kuno inilah sumber nama Argopuro yang berarti ‘tempat suci di gunung’.

            “Di sini agak beda dengan gunung-gunung lain yang biasa didaki. Selain ada bangunan bersejarah, hewannya juga lebih banyak karena termasuk suaka margasatwa,” tutur Susiono, petugas BKSDA Dataran Tinggi Yang, desa Baderan, kabupaten Situbondo.

Bapak ini lantas menceritakan serba-serbi Argopuro yang perlu diketahui oleh kami bertujuh sebelum mendaki.

“Musim hujan begini harus lebih hati-hati,” nasihatnya sebelum kami berangkat.

Benar saja, hujan deras mengguyur tak lama setelah tim beranjak dari pos perizinan. Januari memang bulan hujan. Jalur pendakian terpanjang di Jawa berjarak tak kurang dari empat puluh kilometer itu tentu akan sangat licin. Belum lagi tempat berkemah yang rawan basah. Untunglah Argopuro memiliki beberapa camp yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Salah satunya Cikasur.

 

Cikasur: Sabana Bekas Lapangan Terbang

Dari Baderan, kami butuh dua hari perjalanan dan satu kali menginap untuk mencapai Cikasur. Padang rumput ini luas, datar, dan punya sungai bersih yang ditumbuhi gerumbulan selada air. Para pendaki biasanya tak akan melewatkan kesempatan mencicipi sayuran ini di habitat aslinya. Tentunya dalam jumlah wajar, tak boleh berlebihan.

Hari menginjak petang ketika tim mencapai lokasi ini. Seekor burung merak yang bertengger di salah satu dahan buru-buru menyingkir ketika rombongan manusia berdatangan. Di antara sisa-sisa sinar senja, terlihat tembok-tembok rendah berwarna putih berdiri dikepung ilalang dan semak-semak. Itulah bekas shelter zaman Belanda yang diceritakan Pak Susiono.

Cikasur memang punya sejarah panjang. Penjelajah Belanda bernama Junghuhn pernah terpesona oleh kecantikan Cikasur. Pada 1880, ia mengusulkan pembangunan hill station seperti yang dimiliki Inggris di Darjeeling. Ide ini disambut baik oleh seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama Van Gennep sehingga perencanaannya dimulai.

Sayang, proyek itu batal pada 1916 karena dianggap kurang meyakinkan. Cikasur pun diserahkan pada Ledeboer, seorang administrator perkebunan kopi, agar dikembangkan menjadi tempat konservasi rusa. Namun, pemerintah Hindia Belanda mengambil alihnya kembali pada tahun 1940-an untuk dijadikan lapangan terbang.

Saat itulah muncul desas-desus mistis yang diyakini masyarakat setempat hingga kini. Mereka percaya bahwa pembuatan bandara kecil tersebut bukan demi alasan pertahanan saja, melainkan juga untuk membawa emas yang terkandung di tanah Cikasur secara diam-diam. Rakyat yang dipekerjakan paksa dalam pembangunannya kemudian dibunuh agar kabar tak tersebar luas. Oleh sebab itu, sabana ini dianggap angker karena banyak yang mengaku mendengar ramai suara manusia atau derap sepatu tentara saat tengah malam.

Terlepas mendengar suara mistis atau tidak, para pendaki sepakat bahwa suara yang pasti didengar di padang rumput luas ini adalah kokok ayam hutan. Selain bunyi yang khas, ayam hutan juga lebih ramping dan gesit. Ketika pagi tiba, tim kami beberapa kali melihat badannya yang berbulu hitam akan tampak berseliweran dengan cepat di antara ilalang dan bekas landasan pacu. 

Ya, selain sisa bangunan, bekas landasan pacu zaman perang itu masih ada sampai sekarang. Jalurnya membentang sepanjang satu kilometer dari lereng bukit ke sisi hutan. Ketika kabut menghilang, alurnya jelas terlihat dari tempat kami mendirikan tenda.

 

 

Istana Dewi Rengganis

Argopuro tak hanya menyimpan kisah zaman penjajahan. Puing-puing bangunan tertua berdiri di dua dari tiga puncak tertingginya. Kami mencapai Sabana Lonceng, checkpoint sebelum puncak, dua hari setelah meninggalkan Cikasur. Di sinilah titik kumpul sebelum mencapai Puncak Rengganis, Hyang/Arca, atau Argopuro.

Kami memilih Puncak Rengganis dahulu karena lebih dekat. Sekitar dua puluh menit mendaki santai, pepohonan mulai berkurang dan digantikan pemandangan tanah putih dari batuan kapur serta semak-semak cantigi. Di sinilah terdapat sisa-sisa istana yang dibangun di akhir masa keemasan Majapahit itu. Misalnya, cekungan yang dibilang Pak Susiono sebagai kolam pribadi sang putri. Tidak jauh dari kolam, terdapat struktur bebatuan persegi panjang yang disusun rendah mengelilingi dua bujur sangkar kecil. Inilah makam dua abdi setia Dewi Rengganis.

Perjalanan dilanjutkan dengan meniti bukit kapur. Lima menit setelahnya, tempat sang putri pernah bersemedi mulai terlihat. Tak ada wujud utuhnya, tetapi masih tampak batu-batu sebesar kepala manusia yang membentuk tangga pendek dan dasar suatu bangunan.

Mengapa Dewi Rengganis membangun istananya di puncak? Karena masyarakat masa itu meyakini bahwa puncak gunung adalah tempat dewa bersemayam. Apalagi, Puncak Rengganis terletak di dekat bekas kawah. Mereka percaya bahwa kawah merupakan pintu masuk alam ruh.

Selanjutnya kami turun karena mengejar waktu ke puncak tertinggi di Dataran Tinggi Yang, yaitu Puncak Argopuro, dengan ketinggian 3.080 mdpl. Namun, mendung mulai datang. Padahal sebelumnya, cuaca siang itu tergolong cerah. Begitulah cuaca di gunung, mudah berganti-ganti dalam hitungan menit.

Akhirnya sampailah kami di Puncak Argopuro, yang berupa tanah landai dengan pepohonan yang menghitam sisa kebakaran. Kali ini kabut sudah membekap sekeliling sehingga bukit-bukit lain tidak terlihat sama sekali. Bahkan, jarak pandang makin pendek ketika kami mendekati Puncak Hyang.

Kewaspadaan meningkat jauh mengingat jalan meniti punggung bukit dengan jurang menganga di kanan-kiri. Sebuah patung kuno terduduk di tepi jalur pendakian selebar satu meter, tak jauh dari plang penanda Puncak Hyang. Arca inilah alasan puncak ini juga dikenal sebagai Puncak Arca.

Sambaran kilat mulai terlihat di kejauhan. Ditemani hujan yang berubah badai, tim pun turun ke Sabana Lonceng. Tuntas sudah rasa penasaran tentang dongeng istana putri di puncak gunung dan bandara tertinggi yang sering disambangi hewan liar. Setiap gunung dan perjalanan punya cerita yang berbeda. Keistimewaan apa lagi yang bisa ditemukan di gunung-gunung nusantara lainnya?








--Tulisan ini alhamdulillah pernah jadi salah satu

naskah favorit kategori feature perjalanan Bulan Bahasa UGM 2019.

NB: Beberapa bagian telah diedit ulang--



Referensi:

Hoogerwerf, A. 1974. Report on Visit to Wildlife Reserves in East Java. Netherlands Commission for International Nature Protection, Austerlitz.

 

Van Der Meer, A. H. C. 2014. Ambivalent Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927. University of New Jersey. Disertasi.

 

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, dan S. A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Jawa-Bali. Prenhallindo, Jakarta.

 

Widyatama, H. A. 2016. Penempatan Punden Berundak di Puncak Pegunungan Iyang Argopuro, Situbondo, Jawa Timur: Tinjauan Aspek Lingkungan dan Religi yang Mempengaruhinya. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

Reading Time:

Jumat, 04 November 2022

Treehouse
November 04, 20220 Comments


Nowadays, treehouse is not something so foreign anymore. We may have seen it at some tourist objects, especially those which located near the forests or located in lodgings with outdoor concept. Some children parks or adult's outbound spots even have them. Some of them even gone viral, like treehouses in Coban Rondo camping ground and Nusa Penida's cliff. 


It has been widely accepted now. (At least here. I don't know about all places but in those western kid novels I read, the children were playing in a treehouse). At some point, at least to people around me, the concept of treehouse was so peculiar. I still remember the time when I was so obsessed with treehouse and people ridiculed it.


It was after I read an old comic titled "Swiss Family Robinson", I think. The comic was so old because it was Dad's childhood comic. I thought, 'the comic is Dad's so people who are the same age as Dad now must have been heard/know about this'. Because I was obsessed with it, I drew it anywhere and anytime.


And I mean, really anytime. In art class in school, I drew it for a few weeks consecutively. At home, I drew it leisurely. Of course, the designs were not the same. There were several forms and details I added to different pictures. But the object was still the same: treehouse. Either it was surrounded by forest or beach. 


At some point, my homeroom teacher asked me why I drew houses perched on a tree. I said that the building has a name: treehouse. I explained where I knew about it bla bla bla. He said that he never knew house like that. I told him it's okay because from the sources I obtained it was actually an emergency house, not a 'normal' one. It was used by someone when he was stranded—like the Swiss Robinson family—or by children when they were playing (later when I became an adult, I found out that some tribes including the ones in Indonesia use treehouse as their living home). I remembered a weird expression etched on his face at that time. I couldn't name it. It was mixed between confusion, confusion, and... disbelief.


I didn't think much about it. It wasn't until my friends asked me too. I told them the same thing I said to my teacher. There was one unforgettable response,

"I don't think that exists. I asked my dad and he said that the only treehouse he knows of is a birdhouse."

or in our language, "Masak, sih, ada yang kayak gitu? Aku nanya bapakku terus dibilang kalau rumah pohon yang bapak tahu ya rumah doro (merpati)."

Then they laughed. In a mocking tone. 

It was quite blurry but in the back of my head I recalled someone (probably) saying, "Ah dia ngayal, kali."


And I remember that I kept silent and looked back at those looks of disbelief with a stare in disbelief. 

"Maybe your dad doesn't know all thing? Maybe my dad actually knows more things than yours."


But they were insignificant and I knew they would keep mocking me if I explain it further (yeah you know how kids mocking, right) so I let that be.


This 'insignificant thing' reached the ear of my family members. They asked me the same thing: why I drew that, where I knew that from. And the ending was quite predictable.

"That's uncommon thing to draw. You should try to draw more normal things."


I declined. Why should I? Other people drew robots, princess and castles. Those were 'unreal' things too. So why should I stop? Moreover when I know that it was real, it existed.


The comic book itself was an adaptation from an old, classic, adult's adventure novel. And I mean, the treehouse had been shown everywhere aside from the comic I mentioned. Winnie The Pooh picture books (okay some people might not read it), TV's cartoon (certainly they had seen it because we talked about the cartoon at school). So why didn't they know of it? Why did they think I lied?


I didn't care. So I kept drawing treehouses until I got bored with it.


I realised now that the treehouse was a small detail in kids cartoon so they most probably didn't pay much attention to it while I recognised it because of mere-exposure effect.


At that moment, maybe up until this time, I might be a headstrong—or a stubborn one if you may—person. But, that character was what I actually need in some occasions. Yes, we—I—should consider another people's perspectives. As an adult, we have to be open to the other's opinion and then filter it. The problem is, as an adult, we—or just me? Maybe—pay attention to another's voice too much that we become docile and don't have our own voice. 


Or simply said as people pleaser.

Many adults do things not because they want it, but because the people around them told them to do it. The 'things' I mean are those that are trivial. Matters about prestige of owning some stuffs, wearing some stuffs. Things like that. 


In certain point, it reached some things that aren't quite trivial. Life choices, for example. Even though it gives more impact to my life than those trivial things. And I regret it.


At these times did I wish that I was as headstrong as the kid in me who kept drawing treehouse because that kid believed in me and believed in it. Even when people around me, adults around me, even my own family, doubted it. 


There were some occasions that I regret that I was headstrong, uncompromising.

But there were some occasions too that I regret why I wasn't headstrong and so compromising. 

Maybe I should've listened to my guts more than I listened to the voices around me.


Maybe I should believe to the 'treehouse' rooted in me.




=====================

Disclaimer: photo is courtesy of AzzanArts

Reading Time: