Hijaubiru

Jumat, 28 Oktober 2022

Antisipasi Kemping Tepi Kali
Oktober 28, 20220 Comments


Kemping di tepi sungai memang asyik. Dan terlihat estetik. Suasana sejuk hutan dan sungai berpadu, membuat white noise berupa gemericik suara air dan kersik daun di pepohonan. Belum lagi kalau ada cuitan burung-burung kecil saat pagi atau cericit hewan atau serangga malam. Beuh…. Kalau kata teman, “Syahdu bener.”

 

Mau camping ataupun glamping (glamorous campingistilah untuk penginapan full fasilitas yang didesain bak suasana kemping dengan tenda dsb) di tepi sungai sebenarnya sah-sah aja. Pun, dengan penginapan yang menyediakan glamping pas di sisi sungai, hanya berjarak <3 meter (bahkan ada yang persis di pinggir), saya rasa pengelolanya pasti sudah memperhitungkan segala risiko. Cuma, kalau saya pribadi, emang rada nggak tenang kalau mendirikan tenda persis di samping sungai. Terutama kalau musim hujan.

 

Alasan utama adalah keamanan. Di musim hujan, badan air seperti sungai, danau, dsb bakal menerima tambahan air. Dari hujan, of course. Selain itu, debit air juga bisa meningkat karena kiriman dari hulu. Inilah yang berisiko.

 

Di gunung, sungai-sungai yang nampaknya kecil itu terhubung dengan sumber air di bagian yang lebih tinggi. Yang kadang terjadi adalah di sungai bagian bawah nggak hujan, tapi di hulu/sumber ternyata hujan deras. Akibatnya, debit air di sana pun meningkat dan bikin alirannya tambah deras. Namanya juga aliran pasti akan mengalir ke bawah. Ya, ke sungai yang nggak kena hujan tadi.

 

Bila hujan sangat deras, aliran itu bisa menjadi air bah. Meluber ke mana-mana, termasuk ke tepian sungai. Selain membawa air, aliran yang sangat deras juga bisa saja turut membawa lumpur, pasir, bahkan batuan besar. Oleh karena itu, bila mengunjungi air terjun saat musim hujan, hendaknya lebih berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan air terjun atau berlama-lama berada di bawahnya. Takutnya ada kiriman banjir dari atas itu.

 

Lalu, apa hubungannya banjir kiriman tadi dan kemping?

Selama ini yang saya tahu adalah disarankan mendirikan tenda tidak terlalu dekat dengan sumber air. Paling tidak, di jarak aman atau jarak perkiraan luberan air. Kalau tempatnya nggak datar, lebih baik karena kita bisa mendirikan tenda di tempat yang lebih tinggi dari permukaan sungai. (Ini setahu saya aja. Kalau ternyata ada update lain soal keamanan nge-camp di tepi sungai, saya belum tahu. Let me know if you know, pls). Ya untuk mengantisipasi kalau tiba-tiba banjir tadi. Kan, nggak enak kalau lagi nyenyak tidur kemudian tiba-tiba basah. Atau, yang lebih bahaya, ikut kebawa aliran.

 

Sungai yang kelihatannya sangat dangkal atau bahkan kering pun belum tentu jaminan aman. Berkaca dari pengalaman, saya dan teman-teman pernah menemukan sebuah jalur yang awalnya kami kira jalur pendakian (karena nggak ada rumput tumbuh di garis itu). Eh, sesaat kemudian hujan turun. Nggak deras (di tempat kami). Namun, dalam hitungan menit, jalur itu menjadi sangat becek dan berlumpur kemudian nampak aliran air di sana. Kecil, nggak sampai merendam sepatu kami. Tapi, itu sudah menjadi alarm.

 

Kami segera naik dan mencari jalan lain karena baru kami sadari bahwa jalan tadi sesungguhnya bukan trek pendakian, tapi jalur air. Tadinya nampak kering karena nggak ada hujan. Tapi begitu hujan turun, aliran air dengan cepat terbentuk. Bukan tak mungkin bahwa jalur tadi aslinya merupakan sungai, tapi saat itu sedang kering. Saat kami sudah naik dan berjalan agak jauh, terlihat bahwa aliran air di jalur tadi sudah bertambah. Kira-kira sudah seperempat paha.

 

Memang secepat itu berubahnya. Bukan dalam hitungan jam, cukup menit. Bahkan dalam beberapa kasus, cukup detik.

 

Alasan lain mengapa disarankan mendirikan tenda tak terlalu dekat dengan sungai adalah untuk menghindari kontak dengan hewan liar. Baik yang buas ataupun tidak. Sebab, hewan-hewan biasa turun ke sungai untuk minum atau berburu. Apalagi saat malam. Apalagi bila badan airnya adalah sumber air, bukan lagi sungai/danau, yang merupakan sumber air minum bagi satwa di daerah itu dalam radius entah berapa kilometer. Jadi, hewan kalau minum, ya ke sana. Oleh karena itu, beberapa tempat sighting hewan yang pernah dilaporkan salah satunya adalah di badan ataupun sumber air. (*cmiiw)

 

Kalau tempat yang memang sudah didesain untuk glamping atau camping ground, kayaknya nggak bakal ada risiko hewan ini buas ini. Beda kalau memang di hutan atau gunung.


Gimana dengan foto kayak di atas, yang di tepi kali pas?

Mungkin ada beberapa, pun tempat glamping. Namun, ada juga yang menyeret tenda hingga ke tepi sungai/danau hanya saat sesi foto. Buat properti. 


=============


Picture credit: Joshua Sukoff on Unsplash

Reading Time:

Jumat, 14 Oktober 2022

Open Trip Bromo
Oktober 14, 2022 4 Comments



Kalau kemarin sudah sempat baca sampai tbc,

sila klik link ini biar langsung ke teks update hari ini: lanjutan 1.

----------


Dulu, kalau saya atau teman pengin jalan-jalan, kami harus ngumpulin beberapa orang dulu. Setelah itu baru survei transpor, akomodasi, dan lain-lain. Karena jaringan sosial media dan internet belum semaju sekarang, jadi nanyanya ke orang-orang yang pernah ke lokasi itu atau telepon ke lokasi sekalian. Transportasi? Kalau jauh, ya, pakai kendaraan umum. Ngebus, kereta, carter jeep atau numpang mobil bak terbuka. Kalau orang yang pengin ke sana cuma sedikit, pilihannya ada 2: tetap berangkat dengan sedikit orang dan bayar lebih mahal, atau nggak jadi berangkat (atau nunda sambil ngumpulin ‘pasukan’ pelan-pelan, berbulan-bulan).

 

Ya gimana lagi, harus diakui bahwa nggak semua daerah di Indonesia, bahkan Jawa, mudah terhubung dengan transportasi umum (wong sekelas Surabaya aja masih pada ngandalin motor). Akibatnya, butuh kendaraan pribadi untuk mencapai daerah tertentu. Kalau nggak punya, tentu harus nyarter. Nah biaya carter ini yang nggak murah. Kalau orang yang pergi cuma segelintir, biaya patungannya akan lebih mahal.

 

Beruntunglah sekarang ada layanan open trip via agen travel. Jadi, dengan sedikit orang pun kita bisa tetap travelling ke tempat-tempat yang butuh kendaraan khusus atau biaya transpor yang cukup tinggi. Memang nggak semua tempat ter-cover, tapi sudah cukup.

 

Seperti Juli lalu saat saya pengin banget main ke gunung yang agak jauh. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, seorang karib mengajak jalan ke Bromo. Dia kemudian mengirim akun sebuah operator tur yang ia temukan di instagram. Agensi itu menyediakan layanan open trip ke beberapa daerah di Malang dan Batu. Cek-cek dan terbukti bukan travel bodong, kami pun booking.

 

Open trip adalah layanan tur yang pesertanya macam-macam. Dalam satu kelompok, akan ada orang-orang lain yang nggak kita kenal. Asalkan tujuan dan tanggal keberangkatannya sama, maka kita bakal dijadikan satu rombongan: satu itinerary, satu mobil/bus, dan mungkin satu hotel/restoran (kalau termasuk biaya inap/makan).


Jujur awalnya saya sangsi. Bukan apa-apa, hanya saja sejak era medsos makin menggaung dan hiking/travelling makin lumrah diterima masyarakat, banyak banget kasus open trip ataupun shared cost yang berujung penipuan (meski nggak semuanya; yang beneran jujur dan baik juga banyak). Maka dari itu, personally, saya lebih suka jalan sama teman sendiri. Udah kenal. Jalan bareng orang tak dikenal juga masih oke, asalkan dia ‘dibawa’ teman (ya intinya ada yang kenal: dia temannya teman saya dan teman saya ini ikut).

 

Namun karena saat itu kami lagi butuh banget refreshing ‘besar’, maka kami putuskan jalan berdua dengan ikut open trip aja. Biar cepat; nggak kebanyakan rundingan jadwal. Kebetulan open trip ini menawarkan trip tiap hari a.k.a kami bebas pilih tanggal (di hari kerja sekalipun) dan bebas berapa orang pun tanpa minimal peserta. Sounds too good to be true, though, so I was a bit suspicious. Atau emang saya aja yang ndeso karena nggak ngerti sistem kerjanya? Maybe, hahahah.

 

Jadi, sebagai pengguna open trip pertama kali, ini cara yang kami lakukan untuk menentukan agen travel ini valid atau enggak (disclaimer, tips ini bukan jaminan sukses 100%, tapi bisalah biar ada gambaran sedikit):

1. Cek akunnya

Karena kami nemu dari IG, ya cek IG-nya. Foto dan komentar di sana, interaksi mereka, price list dan rundown jelas, dsb. Tidak ada komentar yang dimatikan, jadi kami tengarai nggak pernah berkasus. Sahabat saya juga sempat bertanya pada akun lain yang kelihatannya pernah pakai jasa tur tsb.

 

Karena teman saya nemu akun tur tsb dari iklan IG, apa jaminan kalau akun itu valid? Belum tentu. Aturan pasang iklan di IG sudah nggak seribet dulu, jadi siapapun bisa pasang, termasuk akun bodong. Beberapa bulan lalu, seorang teman menemukan iklan bank abal-abal yang mencatut sebuah bank besar.

 

2. Crosscheck ke agen travel langsung

Setelah cek akun, kami langsung kontak ke narahubung/contact person. Tanyakan harga, itinerary (jadwal/rundown), fasilitas yang didapat. Salah satu yang terpenting, tanya juga perihal pembayarannya. Jangan percaya kalau minta bayar full langsung. Travel yang kami pakai kemarin hanya meminta DP 50k per orang dari harga total open trip Bromo yang 250k/orang. Oke, masuk akal. Harga 250k sudah termasuk:

  • penjemputan dari dan ke area Malang Kota:
    setelah trip selesai, kita diantar balik ke kota/titik penjemputan
  • carter jeep (kapasitas 8 orang)
  • tiket dan izin masuk ke kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
  •  fotografer + dokumentasi:
    tentu berbagi dengan 6 peserta lainnya. Foto tanpa editing dengan kamera mirrorless. Jadi kalau kebetulan hasilnya biasa aja, ya diedit sendiri. Awalnya saya kira dieditin sekalian agar estetis, makanya ngebatin, ‘Kok murah banget 250k udah sama editing’. Ternyata yang dikasih foto mentah, hehe. Tapi itu pun udah lumayan, sebab ada tur berharga 300k yang tanpa fotografer/dokumentasi

Oh, jangan lupa tanyakan detail mobil seperti jenis, warna, nopol, serta sopir yang mengantar ke dan dari lokasi. Juga perkiraan jumlah peserta yang barengan dengan kita.

 

3. Konfirmasi H-1 dan hari-H

Kontak lagi narahubung untuk mengingatkan dan memastikan. Di hari-H biasanya mereka akan mengirim detail mobil dan sopir yang menjemput. Kemarin kami cuma dibilang, “Bakal ada sopir yang menghubungi” meski sudah minta identitas sopir. Akhirnya, ketika dihubungi sopir, kami konfirmasi ulang ke pihak travel apa benar orang tsb.

 

Ini yang agak bikin ribet. Ternyata kami harus crosscheck sendiri-sendiri ke pihak travel dan sopir. Kirain mereka satu pusat komando, jadi terhubung satu dengan lain dan sama-sama tahu sehingga kami cukup nanya ke satu orang aja. Ternyata enggak.

 

Usut punya usut, ternyata sistem terpisah-pisah inilah yang bikin agen travel mau menerima peserta dengan jumlah sedikit: karena mereka memang bukan satu travel agent. Jadi ada orang yang bertugas marketing seperti narahubung yang kami hubungi tadi, kemudian ada sopir sendiri, ada sopir jeep sendiri, dan fotografer sendiri. Mereka adalah mitra yang punya modal sendiri (misal: mobil, jeep) dan kayaknya mendaftar ke satu pengelola. Pengelola inilah yang nanti ngatur peserta mana ikut mobil siapa, sedangkan narahubung tadi sudah lepas karena sudah ‘menyerahkan’ customer ke pengelola.

 

Mirip mitra gojek/grab gitu lah. Perusahaannya kan bukan yang punya kendaraan; mereka cuma menyalurkan.

 

Narahubung, pemilik mobil, fotografer, dan pemilik jeep ini bisa jadi nggak saling tahu mana customer yang dapat siapa karena memang nggak ada dalam satu travel agent yang sama. Semuanya terpusat di pengelola tadi. Mereka nggak saling berinteraksi karena dapat perintah langsung dari pengelola tadi.

 

Itulah kenapa travel agent menjanjikan bebas pilih tanggal berangkat dan tanpa minimal peserta: karena peserta dari mereka akan digabung dengan peserta yang didapat oleh agen lain. Jadi, di hari-hari sepi pun, pasti ada mobil yang full peserta. Awalnya kami kira peserta open trip ini ya hanya dari narahubung yang kami kontak aja….


lanjutan...


Oh ya, apa harga open trip ke Bromo masih 250k? Entah. Kalau ngelihat harga BBM yang naik, kayaknya ya pasti ikut naik, ya…. Tapi saya belum pernah cek lagi. Waktu itu banyak agen lain yang sudah mematok harga 300k, jadi yang 250k ini masih tergolong lebih murah dengan fasilitas yang sama. Bahkan ada yang 300k tanpa dokumentasi.

 

Singkat cerita, perjalanan 2D1N (2 days 1 night) itu kami mulai dengan menumpang KA Penataran. Berangkat dari Stasiun Gubeng Lama (SGU) pukul 17.40-an dan estimasi sampai di Stasiun Malang (ML) sekitar pukul 20.00. Meski kereta lokal, pastikan untuk nggak beli tiket secara mendadak mengingat ini jam pulang kerja. Karena KA lokal (wilayah Jatim aja), tiketnya hanya bisa dibeli di aplikasi KAI, nggak bisa lewat web. Kayaknya waktu itu cari lewat web juga nggak ketemu.

 

Actually, that was my first time riding a train after the pandemic hit. How was it?

Like nothing had changed. Kereta, meski di hari kerja, tetap penuh sesak. Tetap berisik (karena ekonomi, lokal pula, kan). Ada ibu-bapak pulang kerja, ada satu keluarga yang bawa anak bayi dan balita, ada pemuda-pemudi yang kayaknya mau berangkat main kayak kami. Macam-macam, deh. Saya pikir kereta di hari kerja bakal lebih sepi, ternyata enggak, hehe. Untung kereta zaman sekarang pasti dapat tempat duduk. Kalau ini di zaman dulu, bisa dipastikan kami bakal susah atau rebutan kursi.

 

Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari narahubung bahwa waktu penjemputan diundur. Tadinya dijadwalkan pukul 23.00, tapi diubah jadi 01.00. Duh, tambah malem aja. Jadilah kami batal melekan di kafe dan memutuskan nyewa hostel seperti yang pernah saya ceritain di sini. Penjemputan dini hari inilah yang bikin kami agak rewel soal konfirmasi identitas dan mobil sopir; buat mastiin keamanan bahwa betul itu mobil dari travel dan bukan yang lain.

 

Pukul 01.00 kami dijemput di hostel, setelah itu menjemput orang lain yang serombongan dengan kami. Selanjutnya kami lanjut ke daerah Tumpang untuk oper ke jeep. Meski bukan open trip pun, kalau masuk TNBTS lewat Malang, sejak dulu memang berhenti di daerah ini untuk oper jeep. Waktu ke Semeru satu dekade lalu pun (catper di sini) juga. Nampaknya memang pusatnya jeep.

 

Kalau ke Bromo/Semeru harus naik jeep?

Nggak harus sebenarnya, tapi sebaiknya memang mobil 4-wheel-drive karena medannya ekstrem dan ada jalur pasir yang susah-susah-gampang dilalui ban. Mana jalannya nggak lebar juga kan, jadi kudu hati-hati kalau papasan dengan kendaraan lain. Era 2010-an, mobil 4WD pribadi masih boleh masuk Lautan Pasir. Namun, beberapa tahun belakangan ini kayaknya pengelola TNBTS mewajibkan sewa jeep agar membantu perekonomian warga sekitar taman nasional. Mobil masih boleh masuk sampai poin tertentu, lalu kemudian harus sewa jeep.

 

Kalau motor?

Masih boleh, asal bukan motor matic. Dan pastikan benar-benar menguasai motor dan medan. Yang paling tricky, ya, jalan yang meliuk naik-turun mendadak dan jalur pasir di kaldera itu. Nggak jarang ada motor yang susah jalan karena pasirnya licin banget. Dulu saya harus turun dan jalan, sedangkan partner menuntun motor, saat ngelewatin pasir ini. Road trip TNBTS juga nggak kalah seru dengan open trip, lho.

 

Balik ke Tumpang. Di sini, kami dan peserta-peserta lain dikumpulkan di satu rumah sambil menunggu rombongan dan jeep komplet.

 

“Kok belum berangkat juga, sih? Ini udah hampir setengah tiga, lho,” bisik kawan saya sambil melihat arloji. Beberapa peserta yang semobil juga mengutarakan hal yang sama.   

 

Saya cuma menggumam, sedikit tak sabar pula. Kalau trip ini memang hanya mengejar matahari terbit, gagal sudah rencana kami menikmati dan mendokumentasikan star-trail Bimasakti yang cantiknya bak permata langit itu. Asli itu pemandangan bikin kangen meski demi melihatnya harus diterpa angin gunung dan suhu dini hari yang menggigit ke sumsum tulang.

 

“Iya memang rencana sampai sana subuh, Kak. Beberapa hari ini dingin banget sampai peserta pada nggak mau keluar mobil sebelum sunrise. Daripada kita kedinginan lagi,” jelas fotografer saat itu.

 

Akhirnya kami maklum. Waktu itu memang puncaknya kemarau. Namun, puncak kemarau berarti suhu di gunung turun serendah-rendahnya saat malam tiba. Orang Jawa mengenalnya sebagai bediding. Fenomena inilah yang bikin butiran es-es terbentuk di pegunungan, termasuk yang terkenal di Semeru dan Dieng. Es yang disebut embun upas ini membungkus permukaan, merusak beberapa tanaman perkebunan.

 

Pukul tiga kurang, mobil meluncur membelah jalan sepi temaram. Sedikit demi sedikit jalan meliuk naik membelah perbukitan. Gelap. Mantap sekali skill nyetir pak sopir jeep, Pak Agus, karena saya pun nggak bisa lihat jalan depan meski sudah diterangi lampu mobil. Perjalanan tak lama. Entah memang dekat atau karena rada ngebut. Sekitar 03.10-an kami sampai di pertigaan Jemplang, sebelum turun ke Kaldera Lautan Pasir.  

 

Hari ini istimewa: purnama. Di kota, mungkin nggak begitu terasa efeknya. Namun, di tengah gunung tanpa polusi cahaya sama sekali, sinar lembut keperak-perakan itu menerangi seantero penjuru. Sisi tebing dan punggungan gunung tersorot garis silver bak distabilo. Silver lining.

 

Tiga puluh menit kami mengelilingi Lautan Pasir yang masih gelap. Sempat ketemu orang-orang yang kayaknya camping di sana. Vibes camping-nya dah kayak kemping di padang pasir ala-ala film Wild West. Rombongan sempat berhenti sesaat untuk membantu jeep dari grup lain yang mesinnya error. Setelah kelar, jeep kemudian naik ke sisi lain. Tak lama, roda berhenti di dekat sebuah warung. Di tebing depan warung inilah rencananya rombongan kami akan menanti matahari terbit.

 

Ada beberapaapa ya istilahnya, viewpoint?—tempat untuk menanti sunrise di sekeliling gugusan Gunung Bromo. Semacam Pananjakan gitulah. Rupanya grup kami berhenti di viewpoint yang tak jauh dari tanjakan sehingga Gunung Bromonya nggak nampak dari sini karena tertutup Gunung Batok.

 

Orang yang baru pertama kali ngelihat mungkin akan terbalik mengenali Bromo dan Batok. Meski nama Bromo lebih terkenal daripada Batok, tapi ukuran Batok lebih besar (dan lebih tinggi). Tinggi Bromo ini ada kali separuhnya Batok. Dari arah ini, Bromo terletak lebih ke kiri. Gunung ini juga nggak punya puncak kerucut seperti Batok sebab dia punya kawah sebagai gantinya.

 

Kalau kita lihat di kartu pos atau foto, ada kepulan asap yang menguar dari cekungan sebuah gunung, itulah Gunung Bromo. Saat upacara Yadnya Kasada, upacara besar suku Tengger, ke dalam kawah inilah mereka menghaturkan berbagai hasil bumi. Bromo juga satu-satunya gunung yang masih aktif di area Lautan Pasir ini (*cmiww).

 

Subuh menjelang. Di tempat tinggi, matahari memang lebih cepat terbit. Saya dan sobat menumpang shalat subuh di salah satu warung di antara kios-kios yang berjajar.

 📑A tip: kalau nggak kuat nyentuh air karena dingin, bisa diakali dengan punya wudhu sebelum berangkat (naik jeep). Jadi waktu di lokasi tinggal shalat.

Atau bisa juga karena nggak tahan dingin kalau harus lepas jaket/pakaian tebal (karena susah kalau cuma digulung sampai lengan) atau lepas sepatu. Kan bisa tayammum? Kalau itu, kita kembalikan ke orangnya masing-masing. Sebab kadang ada orang yang nggak mau tayammum selama masih ada air.

 

Kelar subuhan, kami naik ke pinggir bukit buat ngelihat sunrise. Di luar dugaan, ramai banget, euy! Seluruh pinggiran sudah disesaki pengunjung. Banyak yang duduk-duduk. Ada penjaja yang nawarin sewa karpet buat duduk juga (10k). Kalau cari foto yang ‘bersih’, susah memang. Namun, pemandangan ke bawah ke arah gugusan Bromo dkk masih terlihat jelas.

 

Menurut tour leader saat itu, kami beruntung bisa lihat Lautan Pasir diselimuti kabut putih seluruhnya bak kapas lembut. Sebab, malam sebelumnya hujan.

 

Oh, ya, mumpung berada di ketinggian, jangan lewatkan pula pemandangan dari gugusan gunung lain yang jaraknya puluhan kilometer nun jauh di kota-kota tetangga. Dari sini kita bisa lihat kompleks Welirang-Arjuno dan (sepertinya) Anjasmoro di arah kanan. Di kiri, meski lebih kecil, samar-samar terlihat gugusan Pegunungan Iyang-Argopuro yang kondang dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa.

 

Serasa baru saja matahari terbit; udara baru saja terasa hangat. Langit pun masih merah-jingga-kekuningan khas nuansa pagi. Namun, tour leader sudah meminta kami balik ke mobil karena rombongan akan segera turun ke Lautan Pasir pukul enam.


Sejujurnya, saya merasa ini kurang lama. Kenapa? Well....


to be continued 😄

Psst, foto-fotonya juga belum ditambahin, hehe. Kalau udah kelar milih dan milah nanti insyaallah bakal bertabur foto


Reading Time:

Jumat, 07 Oktober 2022

Sudut-Sudut yang Bercerita
Oktober 07, 2022 2 Comments

- Salah satu bekas kantung pertahanan di area benteng - 

Untai-untai daun hijau muda merambati permukaan seluruh dinding rapat-rapat bak kelambu. Rimbun. Bunga-bunga liar berwarna merah muda melapisi sela-selanya. Sekilas, bangunan itu tampak seperti bangunan terbengkalai biasa. Kalau bukan dari info yang sudah didapat sebelumnya, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tembok-tembok di tepi pantai Kota Surabaya ini adalah bekas benteng pertempuran saat Perang Dunia II.


Bangunan yang berbentuk seperti dinding itu adalah Benteng Kedung Cowek. Letaknya tak jauh dari Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Jawa dan Madura itu bahkan terlihat jelas dari area ini. Namun, berbeda dengan jembatan yang jelas ramai dan terawat, bangunan-bangunan Benteng Kedung Cowek jauh lebih sepi dari suara dan aktivitas manusia. Siang itu, hanya terdengar debur ombak Selat Madura dan cericit burung yang bersarang di pohon-pohon tinggi yang akarnya menembus dinding benteng.


Di sini, sekitar 7-8 dekade lalu, pasukan Jepang merangsek masuk ke Indonesia. Surabaya jadi salah satu titik pendaratan mereka. Untuk mempertahankan posisi di Jawa bagian timur, Belanda pun membentuk kantung-kantung pertahanan di pinggir pantai untuk menghalau armada laut Jepang. Salah satunya, ya, Benteng Kedung Cowek ini.


- Salah satu pojok benteng yang dirambati bunga liar. 
Bentengnya sampai nggak kelihatan -

Jika dilihat sekilas, Benteng Kedung Cowek tak ubahnya bangunan terbengkalai lainnya yang banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Bangunan-bangunan semacam ini di Surabaya sebetulnya tak hanya satu-dua. Bila kita tahu di mana mencari, ada saja bangunan atau struktur bersejarah yang terselip di tengah ingar-bingar kota.


Namun, tak semua bangunan bernilai sejarah itu tidak terawat. Banyak pula gedung lawas yang tetap berdiri kokoh dan tampak cantik. Banyak dari bangunan itu yang menjadi cagar budaya dan dirawat oleh dinas kota, tapi tak sedikit juga yang merupakan milik pribadi dan masih dipergunakan hingga kini.


Hal yang agak mencengangkan adalah ketika menyadari bahwa sesuatu yang sering kita jumpai, mungkin setiap hari kita lewati, ternyata menyimpan cerita berusia ratusan tahun. Gang-gang yang berada di area Kramat Gantung, misalnya. Gang yang berada tak jauh dari pusat kota ini ternyata menyimpan sejarah yang lebih tua daripada balai kota atau gubernuran, yaitu kisah Surabaya semenjak zaman Majapahit, saat kota pelabuhan ini masih memiliki keraton.


Kini, mungkin jarang yang menyangka bahwa gang-gang padat penduduk ini dulunya adalah tempat para bangsawan Surabaya hidup: makan, mandi, kerja, bercengkerama dengan keluarga dan tamu jauh, termasuk menyelenggarakan upacara/adat keraton seperti keraton-keraton yang sekarang masih eksis. Well, saya sendiri juga kaget begitu tahu bahwa jalan yang saya sering saya lewati dan saya abaikan (karena ya cuma lewat doang) ternyata eks keraton Surabaya.


Untuk ukuran kota metropolitan yang dikenal tidak memiliki jejak 'kekeratonan' seperti Surabaya, hal ini adalah sesuatu yang mengundang dengung kagum. Seenggaknya bagi saya, hehe. Akan beda kesannya bila sejarah kebangsawanan ini saya saksikan di kota yang terkenal memiliki keraton (dan sistem pemerintahan keraton), misalnya Yogya atau Solo. Di dua kota ini, nuansa keraton begitu lekat, sedangkan di Surabaya justru sebaliknya.


Terasa jauh karena bekas-bekasnya sudah tiada, mungkin sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang sudah berganti bangunan modern.  Namun, di saat yang sama juga terasa dekat karena tahu bahwa area yang kita lewati setiap hari ternyata punya sejarah panjang.


Dekat, tapi masa itu terasa jauh.

Jauh, tapi area/bangunannya masih bisa disentuh tangan.


- Salah satu bangunan di area Keraton Surabaya.
Bak pintu ke masa lalu -

Akan beda cerita bila sejarahnya berkisah soal situasi di lokasi saat era kolonial. Bangunan dari era ini masih banyak yang berdiri tegak, terutama di pusat kota. Atau, sejarah era kemerdekaan misalnya. Seperti bangunan Benteng Kedung Cowek tadi. Mungkin karena masanya lebih dekat dan bangunannya juga masih ada.


Apapun itu, di balik gedung-gedung tinggi yang gemerlap dan jalan-jalan besar yang kadang bikin orang luar kebingungan, Surabaya masih menyimpan berjilid-jilid cerita. Mungkin bahkan sejak masa pra-Majapahit ketika kota ini masih disebut Ujunggaluh. Detail kisah-kisah itu terselip di gang-gang kecil, tanah dan bangunan terbengkalai, di sudut sebuah lapangan golf, atau tempat-tempat nyempil lain yang bahkan banyak warga Surabaya pun juga nggak tahu.


Maka, kalau memang suka sejarah, asik rasanya jalan-jalan sambil ngelihatin bangunan lawas yang kita tahu ceritanya. Sering ada komunitas sejarah yang jalan-jalan begini. Ada juga layanan walking tour dari beberapa penyedia jasa pariwisata. Ada guide yang bakal menjelaskan sejarah tempat-tempat yang kita sambangi. 


Buat orang dalam kota yang pengin jalan-jalan dengan nuansa berbeda atau pengin jalan-jalan tapi nggak bisa keluar kota/punya sedikit waktu aja, walking tour sebetulnya bisa jadi salah satu opsi travelling. Jadi nggak melulu refreshing ke mall atau apalah yang biasa jadi jujugan main pada umumnya. Apalagi kemarin waktu pembatasan perpindahan antarkota diperketat ketika kasus Covid-19 lagi meradang, jalan-jalan dalam kota sendiri pun bisa jadi opsi refreshing (dengan tetap patuh protokol kesehatan tentunya). Plus, ini jalan-jalan yang budget friendly banget. Biayanya di bawah IDR 100k bahkan di bawah 50k. Paling membengkak kalau ternyata di tengah jalan pengin jajan atau beli minum.


Nggak cuma di Surabaya, di beberapa kota lain, acara (atau tur) jalan kaki semacam ini juga ada. Umumnya memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, atau Semarang. Namun, kadang ada juga yang mengadakan di kota lain. Apalagi dari komunitas pencinta sejarah lokal daerah tsb. Saya kurang tahu kalau di luar Jawa, mungkin di kota besarnya juga ada. Mungkin ada yang punya infonya? Siapa tahu kapan-kapan ke sana, jadi bisa walking tour juga, hehe.


"Eh, terus soal Benteng Kedung Cowek sama Keraton Surabaya sejarahnya sebenernya gimana?"


Stay tuned. Rencananya bakal dipos dalam waktu dekat. Mungkin pekan depan, mungkin pekan depannya lagi. Who knows, hehe. Nyari referensi dulu biar rada lengkap. Atau yang udah telanjur penasaran, bisa lihat sneak peek-nya di highlight IG. 


 


======================



Sedikit cerita (slash curhat? Wkwk)

Tulisan ini seharusnya dipos di platform lain karena saya berencana ikut lomba nulis kategori non-fiksi. Udah jadi, nih, kerangkanya. Tinggal eksekusi nulisnya aja. Eh, ternyata … waktu ngecek SnK lagi ... alpa ngelihat kalau kategori non-fiksi syaratnya min 20.000 karakter 😭 Kirain cuma sepanjang artikel biasa huhuhu.


Padahal udah ancang-ancang pengin ikut sejak Agustus dan udah rencana pakai topik ini. Mana DL-nya tinggal hitungan hari. Ya sudahlah, dipos di sini dulu aja. Toh tulisannya belum ‘matang’ juga. Siapa tahu bakal ada kompetisi sejenis kapan-kapan. Mungkin bisa buat tabungan, nanti tinggal dipoles dan nambah ini-itu sedikit lagi. Maybe.




Reading Time:

Jumat, 23 September 2022

September 21, 1945
September 23, 2022 4 Comments


Mumpung masih sama-sama September. 


Pernah kenal dengan gambar di atas? Atau justru langsung pengen nangis waktu lihat gambar di atas? Waktu lihat post di atas di story salah seorang teman, rasanya saya pengin memekik, "Kok kamu tega ngingetin soal ini. Di-post pagi-pagi, lagi!" 


Gambar di atas merupakan potongan adegan dari film animasi Grave of Fireflies (Hotaru no Haka). Meski film lawas banget, film besutan Studio Ghibli ini tetap sukses bikin penontonnya menangis tersedu-sedu. Film ini ber-setting di Negeri Matahari Terbit, ketika kekaisaran itu sedang mengalami perang dunia. Tepatnya, waktu mereka sedang dibombardir balik Amerika Serikat. Film ini sebetulnya merupakan adaptasi dari cerpen semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka[1]. 


Grave of Firelies bukan bercerita soal perang itu sendiri, tapi tentang hidup-hidup rakyat biasa yang terimbas perang. Tokoh utama film ini, seorang kakak lelaki dan adik perempuannya yang masih kecil, terpaksa kehilangan orang tua dan rumah karena perang. Nggak cuma ending, sepanjang adegan di film ini semuanya bikin nyesek dan nangis. 


Kali ini, saya nggak ngomongin soal isi cerita atau review filmnya. Tulisan kali ini lebih ngebahas tentang refleksi perang buat manusia non-militer. 


Film-film bertema militer sudah lama beredar. Bahkan film action yang bukan reka ulang kejadian masa lalu, juga bejibun. Sebutlah film-film Hollywood, antara lain seri Delta Force, dsb. Yang digambarkan di film itu adalah betapa kerennya action mereka (ya emang keren, sih), betapa rasanya bangga kalau berhasil menyelesaikan misi, betapa rasanya senang karena misi sudah selesai.


Tapi, apa betul begitu rasanya perang?

Yang kita lihat di film itu adalah serdadu yang hoki; yang berhasil menyelesaikan misi dan tetap hidup. Atau malah pasukan elit yang skill-nya memang di atas rata-rata. Tapi, berapa tentara biasa yang mati dan keluarga yang kehilangan sosok ayah/anak/suami/saudara? POV penuh rasa bangga itu akan berubah signifikan bila dilihat dari kacamata warga sipil. Grave of Fireflies menyinggung hal itu dari kacamata sepasang anak kecil.


Betapa adegan perang yang terlihat gagah, diiringi musik dengan beat berdentum, berubah jadi alarm penuh tanda bahaya di mata sepasang kakak beradik yang usianya masih kurang dari 12 tahun itu. Apalagi mereka kehilangan orang tua dan rumah. Maka hal seperti kelaparan, mencari tempat tinggal, terpaksa mencuri demi bisa makan, adalah hal yang harus mereka hadapi. Dan, hal-hal ini juga terjadi betulan pada manusia di masa perang. Mungkin, malah terjadi pada leluhur atau tetangga leluhur kita, dulu. 


Lupakan sekolah dan pendidikan. Mendapatkan kebutuhan primer seperti pangan dan papan saja susahnya minta ampun. Maka pendidikan jadi salah satu barang mewah waktu itu. Tak heran zaman dulu banyak orang yang buta huruf. Buat apa? Yang penting bisa bertahan hidup dulu. (Meski dalam beberapa kondisi, tidak buta huruf bisa juga sangat menolong untuk tetap hidup. Bisa ngelamar jadi pegawai di kantor pemerintahan, misalnya.)


Dalam Grave of Fireflies, hal-hal yang lumrah dilakukan anak kecil menjadi sesuatu yang super mewah. Permen? Duh, sekaleng harus dieman-eman bener biar nggak cepat habis. Sebab, jajan mereka ya cuma itu. Anak kecil juga nggak bisa pakai baju yang lucu-lucu kayak balita zaman sekarang saat mereka keluar main sore. Sehelai baju harus betul-betul dijaga supaya nggak sobek. Nggak apa-apa warnanya sudah luntur, yang penting masih bisa terpakai. Mainan? Buku? Lupakan seri-seri mainan dan buku mahal nan edukatif zaman sekarang. Sebuah ranting, bola usang, dan lahan depan sungai sudah harus cukup jadi bahan permainan. 


Bukan cuma barang atau materi, bahkan kebersamaan pun menjadi suatukemewahan. Berbanding terbalik dengan perpisahan yang telah jadi satu hal yang umum.


Seseorang pernah berkata bahwa nasib kakak-beradik dalam film nggak akan sesusah itu kalau saja si kakak mau bekerja mencari nafkah, seperti anak-anak lain seusianya yang juga bekerja. Itu ada betulnya, sebab di zaman tersebut, anak-anak memang sudah bekerja. Bahkan ada segolongan balita yang sudah dipekerjakan. Hal itu memang menjadi miris bila dibandingkan dengan standar sekarang.


Namun, saya pribadi tetap nggak sreg bila anak-anak, apalagi di bawah usia legal, sudah harus bekerja. Dan, bekerjanya bukan sekadar buat nambah uang jajan, tapi betul-betul untuk hidup. Saya tahu bahwa hal itu merupakan sesuatu yang di masa tersebut. Bahkan harus dilakukan kalau mau tetap hidup. Tapi, apa 'sesuatu yang harus' itu selalu manusiawi? Anak-anak, bekerja?


"Kan, zaman perang. Beda, dong."

That's the exact point. Perang membuat semua yang lumrah dan normal menjadi ekstrem. Sesimpel leisurely playing menjadi satu kemewahan. Suatu kebutuhan dasar yang wajar berubah jadi satu hal yang sulit didapatkan. Hal yang normal adalah suatu hal yang tidak normal, vice versa


Perang beda dengan penggambaran di film-film. Nggak semua orang ikut merasakan kemenangan. Nggak semua pihak bisa merasakan euforia kebanggaan dan kekerenan setelah bom dilempar dan si tokoh utama melenggang macho dengan kobaran api sebagai background


Justru banyak pihak yang terdampak adalah warga sipil yang nggak tahu apa-apa, nggak ikut apa-apa, tapi kena imbasnya. Warga sipil yang simply pengin hidup biasa-biasa aja. Kisah-kisah miris yang terjadi pada kelompok rentan, apalagi. Dan kisah-kisah itu masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, meski jumlahnya menurun jauh bila dibandingkan dengan waktu PD I atau PD II.


Tapi, rasa sakit tetap rasa sakit meski yang merasakan hanya sedikit.

Kehilangan tetaplah kehilangan meski hanya terjadi pada sebagian orang.

Kita, yang alhamdulillah tidak mengalaminya, tak punya hak untuk berkata, "Halah cuma gitu doang."


Betul bahwa perang adalah masalah politik. Akan selalu ada unsur politis. Tapi itu hendaknya nggak menghalangi kita untuk berempati pada sesama. Apalagi pada manusia yang nggak tahu apa-apa tapi tetap kena imbasnya akibat pilihan politik para pentolan negara.


Karena pada akhirnya mereka hanyalah rakyat biasa.

Seperti kita.

Bila kita saja tak sanggup membayangkan hal yang sama terjadi pada kita atau keluarga atau para sahabat dan teman dekat atau tetangga, maka mari bertenggang rasa. Atau setidaknya, tak usah mencela.




==================


Yang sering muncul di kisah atau diajarkan di sekolah adalah perang 'permukaannya' aja. Kalau kita gali sedikit lebih dalam, ugh, it was more gruesome. (Apalagi kalo gali sampai dalam banget.) Sampai kadang dibikin bingung sebab semua pihak jadi abu-abu. Dan pada akhirnya berkesimpulan, "Oalah... menungso, menungso..."






Reading Time:

Jumat, 16 September 2022

Ketika Travelling Kembali, Apa yang Berganti?
September 16, 2022 4 Comments




Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula sebagian orang harus menahan diri untuk tidak bepergian tanpa keperluan yang mendesak, karena wabah. Keinginan untuk jalan-jalan tentunya bukan sesuatu yang urgen sehingga harus ditahan. Saya tahan. Selama itu pula saya nggak pergi travelling ke luar kota.


Perjalanan kereta api atau bus yang biasanya saya jabani, paling tidak enam bulan sekali, sama sekali tiada. Keinginan jalan-jalan syukurnya bisa terpuaskan dengan motoran dalam kota saja, tanpa mampir kecuali isi bensin. Jalan-jalannya pun sendirian atau hanya dengan segelintir orang yang sehari-harinya memang berkontak dengan saya.


Ketika gelombang Covid mereda akhir tahun lalu, setelah berhitung, barulah saya mulai travelling ke luar kota. Itu pun masih dengan syarat yang saya buat strict: pakai kendaraan pribadi, hanya dengan orang serumah, dan nggak pergi ke tempat yang banyak orang. Saat itu, kami hanya berhenti dua kali: untuk salat dhuhur dan makan. Sengaja kami cari resto sepi yang punya area outdoor


Alhamdulillah wabah Covid-19 sudah mereda tahun ini. Jauh, jauh lebih mereda dibanding tahun lalu. Tahu bahwa situasi sudah relatif aman (tapi tetap tidak abai), seorang sahabat memberanikan diri mengajak saya travelling luar kota dengan kendaraan umum. And, we were to stay overnight.


Setelah rundingan bikin itinerary, kami berdua sepakat untuk mbolang lagi. Kali ini dengan kereta api. Perjalanan waktu itu juga berupa open trip, yang artinya kami bakal satu mobil dengan beberapa orang yang tak kami kenal dan dari daerah lain. Apalagi, malamnya ternyata kami harus menginap. Di hostel, lagi. Bukan hotel yang lebih privat, tapi hostel yang sekamar diisi banyak orang. (Pengalaman nginap di hostel pernah saya bahas di sini)


Ternyata, dua tahun hidup dalam kondisi wabah mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan saya, termasuk dalam travelling. Mungkin style travelling juga berubah. Apa aja?



🏷️  Bawaan lebih banyak 

Saya nggak suka bawa barang terlalu banyak saat travelling. Dompet, HP, dan jaket adalah barang yang wajib dibawa. Sisanya opsional. Bermalam sehari? Tinggal tambah sehelai kaus dan deodoran. Barang lain bisa dibeli on the spot, kalau perlu. Satu tas pinggang udah cukup banget menampung semua kebutuhan.


Saat kemarin itu, saya cukup kaget karena ransel saya penuh. 'Ini cuma travelling 1D1N, lho. Kok penuh banget?' batin saya. 


Saya bongkar lagi. Ada tambahan barang rupanya. Sabun cair, hand sanitizer, setumpuk obat, buku bacaan, segepok roti, powerbank, dan charger HP. Selain sabun dan obat, barang-barang lain sebetulnya jarang atau nggak pernah saya bawa sebelumnya.


Dulu, saya nggak pernah bawa dan pakai hand sanitizer. Saya cuma pakai alkohol saat di lab, itu pun hanya sebelum/sesudah pegang sampel. Kalau mau makan atau minum ya cuci tangan biasa. Belum tentu pakai sabun dan jelas nggak cuci selama minimal 20 detik. Sekarang, mau keluar jauh atau dekat, botol mungil berisi etanol 70% selalu tersedia di saku.


Obat, selalu saya bawa. Jaga-jaga barangkali masuk angin atau mabuk darat di jalan, setidaknya bisa membantu tanpa perlu gupuh cari apotek. Buku genre fotografi saya bawa karena jalan-jalan ini sekalian hunting foto. Rencananya, itu buku bakal dibaca malam menjelang tidur. Namun, ending-nya nggak kebaca karena udah capek duluan. Zonk!


Powerbank dan charger cukup jarang saya bawa karena jarang pakai ponsel saat travelling, kecuali buka peta atau motret. Sayang, daripada utak-atik ponsel, lebih enjoy lihat dan ngamati lingkungan sekitar atau sekadar ngobrol dengan rekan seperjalanan/warga setempat. Kali ini, keduanya harus saya bawa karena ada rencana merekam video timelapse dengan ponsel yang, tentu aja, bakal ngabisin baterai. (Dan bener, dong, timelapse 10 menit langsung habis 10-15% kalau nggak salah).


Roti? Entah kesambet apa saya bawa ini. Ransum ini saya bawa buat jaga-jaga kalau di lokasi nggak ada warung yang jual makanan (tujuan kami cukup jauh dari mana-mana). Tapi kok ya bawa sebanyak itu!


Well, dua tahun tanpa travelling bikin insting light-travel  saya jadi aus rupanya. Bahkan, sobat saya pun merasakan perbedaan itu.

"Kok kamu sekarang jadi lebih ribet daripada aku?" katanya. 😄



🏷️ Lebih jaga jarak dengan orang lain 

Orang lain di sini adalah orang yang bukan rekan serombongan/orang yang nggak kami kenal. Mudahnya, orang yang kenal di jalan. Tahu lah, kalau travelling gitu kan ketemu banyak orang. Banyak yang cari travel-buddy juga. 


Mungkin ini efek physical distancing. Berusaha menjaga supaya kita nggak tertular orang lain dan kita nggak menulari orang lain. Apalagi, kalau kita (saya) datang dari kota besar menuju kota/desa yang lebih kecil. Kota/desa kecil itu tentu relatif lebih bebas wabah daripada kita (saya) yang dari kota besar. Biasanya penularan kayak gitu emang dari faktor luar, kan?


Masker terus terpasang. Di dalam kamar hostel juga tetap digunakan (meski penghuni lain copot masker). Apalagi ini kamar penghuninya bukan cuma WNI, tapi juga WNA. Dan waktu itu kasus Covid-19 dan cacar monyet di luar negeri agak naik kurvanya. Masker baru saya lepas ketika sudah masuk bilik pribadi. Di tempat terbuka pun, kami usahakan mask always on. Kecuali di tempat terbuka yang minim orang (atau, ketika mau difoto). 


Gimana jaga jaraknya? Apa nggak ngobrol sama sekali?

Oh, tentu aja tetap ngobrol. Jaga jarak nggak berarti kita judes dan ansos. Cuma jarak waktu ngobrol agak jauh aja, lebih dari jarak sopan. Apalagi kalau tempatnya sempit macam di kamar. Interaksinya ya tetap kayak dulu, sebelum wabah. 



🏷️  Skincare 

This is unexpected

Bahkan ketika hiking pun, paling pol saya cuma bawa tabir surya, sabun cuci muka, plus pelembap bibir. Itu pun biar kulit dan bibir nggak ngelupas seperti lapisan tomat setelah diblansir; kebutuhan basic yang cowok juga butuh. Itu pun, kalau lupa ya wes nggak jadi pakai, meski dibawa. 


Kemarin ini, bertambah beberapa skincare yang saya bawa. Ada kali ketambahan 2-3 botol lain. Ngapain? Ini imbas akibat setahun terakhir wajah saya rajin disambangi jerawat. Supaya doi nggak makin rajin ngapelin, jadilah terpaksa bawa beberapa krim dan obat. Apakah terpakai? Kepakai, sih, tapi nggak serutin yang seharusnya hahahah. Mana sempaaat. Lagian kalau dipikir-pikir absen sehari harusnya nggak apa-apa, kan. Kenapa waktu itu bela-belain bawa, ya? Nambah berat iya, dipakai enggak. Wkwkwk.



🏷️  Botol minum: antara termos dan zero waste 

Ini juga salah satu ke-riweuh-an waktu travelling kemarin. Bisa-bisanya kepikiran bawa dua botol minum! Tepatnya satu botol volume 1L dan satu termos kecil. Keduanya berisi air putih. Rencananya, ketika sampai di lokasi, termos itu akan saya isi kopi panas. 


Soal termos ini agak lucu (dan konyol). Saya dan sobat memang sengaja barengan bawa termos karena spot tujuan yang kami tuju memang terkenal dingin. Termos ini bakal berguna banget kalau pengin nyeruput minuman hangat. Namun, ada maksud lain juga. Saya sengaja bawa termos untuk ... properti foto.


Astaga. 


Rencananya, sih, pengin bikin shoot ala-ala adventure. Tahu lah, macam foto cangkir bushcraft dengan asap mengepul  dan latar belakang rangkaian gunung. Atau foto diri dengan separuh wajah tertutup cangkir dan background alam. One of the most mainstream travel aesthetic photos. (Tapi keren, hahaha)


Kayaknya pengaruh medsos sudah mulai merasuki kami, LOL. Padahal sebelum-sebelumnya, mana pernah kami peduli soal ginian. Living in the moment is our motto. Yang penting ada 2-3 foto diri dan barengan. Peduli amat itu foto aesthetic atau enggak.


Jadi apakah foto itu berhasil diambil?

Enggak! 😅 We were too immersed in the moment to care about those flasks. Pemandangannya terlalu cantik sampai kami lupa kalau bela-belain bawa termos. Astaga (lagi) ....


Gimana dengan nasib botol 1L-nya? Oh, jelas terpakai. Meski akhirnya tetap beli minum lagi karena mana cukup air putih satu liter buat dua hari.


Inspirasi bawa botol itu datang setelah beberapa saat ngikuti tulisan soal wisata minim sampah a.k.a zero waste adventure. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya nggak pernah bawa botol minum (selain kalau hiking) adalah kita dengan gampangnya bisa beli air mineral botolan. Toh, saya selalu butuh lebih dari satu botol sehingga percuma juga bawa botol sendiri karena ending-nya pasti beli juga.


Namun, setelah dipikir-pikir ulang, kayaknya nggak ada ruginya kalau dicoba dulu, toh? Beberapa kali travelling kecil-kecilan ke tempat yang dekat, kebetulan menyempatkan bawa botol kecil. Lumayan jadi nggak perlu berhenti buat cari minum. Karena 'percobaan kecil' itu berhasil, maka kali ini saya coba aplikasikan ke perjalanan yang agak panjang.


Memang, sih, 1L itu kurang. Dan bila kita melancong berhari-hari, pasti ada barang yang kita beli dan sampah yang kita hasilkan. Sampah wisatawan adalah salah satu faktor penting yang nggak semua daerah wisata bisa menyelesaikan. Kejauhan kalau saya ngomongin soal zero waste trip karena toh saya belum bisa aplikasikan menyeluruh. Bahkan mungkin ada yang mikir, "Cuma ngurangin satu botol/satu lembar bungkus doang, apa efeknya?" Meski bakal ada juga yang menyanggah, "Satu botol/lembar kalau banyak orang, bisa jadi setumpukan juga." Again, kejauhan emang, karena zero waste trip ini selain butuh akal dan perencanaan juga butuh modal. Cuma, mungkin berawal dari penasaran, lama-lama beneran bisa? Meski lama. Who knows ....




Hm ... apa lagi, ya? Kayaknya masih ada satu hal lagi, soal kereta. Tapi rasanya masih kabur dan hablur sampai saya juga nggak bisa pegang benang utamanya. Nanti, deh, ditambahin kalau udah jelas, hehe. 


Yang jelas adalah ada kemungkinan kebiasaan-kebiasaan baru ini yang akan terus terbawa dan memang ingin saya bawa. Lebih peduli soal kebersihan (tangan terutama), misalnya. Yang jelas, ketambahan barang bawaan yang nggak perlu bukan salah satunya, haha.


Yah, pandemi global eemang mengubah segalanya. Tanpa pandemi pun perubahan gaya hidup akan tetap terjadi, meski mungkin lebih lambat dan nggak drastis. Memilah mana perubahan yang baik diteruskan dan layak ditinggalkan, itu tergantung kitanya.



Reading Time: