Hijaubiru: Kebetulan Kepikiran
Tampilkan postingan dengan label Kebetulan Kepikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebetulan Kepikiran. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Desember 2024

Hujan dan Love-Hate Relationshipnya
Desember 13, 20240 Comments


Iseng-iseng buka notes, menyadari eh ternyata di hari-hari hujan, isi notes lebih banyak. Saya emang lebih gampang nulis kalau hujan. Inspirasi lebih ngalir aja rasanya daripada waktu cuaca cerah.

 

Tapi ini bukan soal hujan, cuma preambule aja.

(Dan ini… panjang. Dan topiknya kadang lompat-lompat. So… read at your own caution?)

 

Beberapa minggu lalu, saat hari-hari hujan dimulai dan banyak orang ngomongin kesukaannya terhadap hujan, saya nemu sebuah kalimat yang menggelitik. Kurang lebih begini:

 

Orang yang bilang suka saat hujan turun itu bukan orang yang pernah ngerasain susah saat hujan.

 

Di bawahnya bermunculan jawaban, kalimat dan foto, tentang kesusahan saat hujan. Potret para pencari rezeki yang berhujan-hujanan di atas motor dengan jas hujan kelelawar, testimoni pejalan kaki yang menerjang jalanan becek dan banjir, orang-orang yang hatinya kebat-kebit takut rumahnya bocor atau kebanjiran.

 

Saat itulah saya sadar, saya pun pernah berada dalam situasi seperti yang disebutkan di atas. Dan perasaan, kok, kayaknya saya pun punya love-hate relationship sama hujan, ya?

 

Saya suka hujan. Hawanya sejuk, aroma petrichor-nya segar menenteramkan. Masih banyak segudang alasan lainnya; alasan yang simpel dan se-‘remeh’ suka ngelihat tetes air jatuh dari pucuk daun atau perasaan melankolis yang muncul saat ngelihat kaca ruangan berembun.

 

Nggak bisa dipungkiri, hujan juga jadi salah satu bahan bakar untuk nulis karena serasa adaaa aja hal-hal yang tiba-tiba terpikir. Catatan saat bulan-bulan berhujan jumlahnya jadi (jauh) lebih banyak. Ibarat tiap hari hujan bisa nulis minimal satu notes (bahkan lebih), sedangkan saat kemarau, tiga/empat catatan sebulan aja udah dianggap banyak. (Apakah ini ada hubungannya sama SAD alias Seasonal Affective Disorder? Entah)

 

Sesuka dan se-inspiring itukah hujan? Iya, bagi beberapa orang.

Namun, baca postingan medsos di atas, saya juga jadi sadar bahwa ada kalanya saya nggak suka hujan.

Bahkan, nggak suka banget.

 

Terbayang beberapa keribetan dan kesusahan yang pernah saya alami saat hujan. Kudu jalan nyeker supaya sepatu sekolah nggak basah kuyup, takut hujan ngerembes ke dalam tas meski udah dipasang rain cover, baju yang terasa lembap dikekep jas hujan karena menempuh jarak jauh dengan motor. Zaman ngekos, sering kerasa was-was kamar kos bocor. Kudu lebih hati-hati juga ngerawat rak buku karena buku jadi rentan berjamur (sempat syok awal-awal ngekos karena buku saya jadi penuh bercak hitam RIP my books).

 

Ada saat-saat ketika saya berdoa supaya nggak turun hujan. Saat-saat ini adalah momen saya langsung bad mood begitu ngelihat rintik yang masih jarang. Momen itu salah satunya saat hiking. Butuh beberapa tahun pembiasaan dan satu pendakian super-berhujan untuk berdamai dengan hujan-saat-naik-gunung. Sebelumnya, kena rintik kabut lewat aja, saya udah cemberut karena kepikir betapa perjalanan ini akan lebih sulit.

 

Hujan juga pernah jadi pengingat menyakitkan; saat lagi nge-drop dan turunnya hujan jadi pengingat kalau saya masih dalam masa penyembuhan meski udah berbulan-bulan dan hampir nggak ada yang percaya kalau saya butuh recovery selama itu; ketika aroma petrichor yang biasanya segar menenteramkan jadi menusuk hati dan hidung sekaligus.

 

Jadi… apakah masih bisa dibilang suka hujan?

Bicara soal suka, atau cinta, saya jadi keinget kutipan dari Bob Marley, penyanyi musik reggae itu.

 

 

Saya jadi mikir, sebenarnya saya beneran suka hujan atau suka sensasinya aja?

Apakah suka hujan dengan segala keindahan dan keribetannya, atau suka sensasi senangnya aja tapi kalau kena efek jeleknya kemudian nggak suka?

 

“Ngapain, sih, mikir sampai kayak gitu?”

Suara hati saya yang lain protes. So what kalau menyadari suka/nggak suka hujan, nggak ada efek signifikannya.

 

Memang enggak, tapi ini sedikit membantu saya untuk ‘nyortir’ perasaan terhadap hal lainnya. Hobi, barang yang ingin dibeli, dan in some level kekaguman dan kedekatan terhadap orang-orang tertentu. What did I say in the first paragraph: hujan cuma preambule, pembukaan aja.

 

Balik ke topik soal suka-nggak suka. Gara-gara mikir itu tadi, jadi keingat kutipan lain (banyak amat keingatnya, tapi ya gimana lagi lha kutipan tentang perasaan kayaknya emang salah satu yang mendominasi dunia per-quote-an). Kurang lebih isinya gini:


Do you really love?

Or do you just like that fluttery flitter feeling?

 

Orang Barat punya ungkapan: ketika jatuh cinta, rasanya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan dalam perut kita. Kalau versi Indonesianya mungkin perasaan deg-degan, gugup, dan senang kali, ya. Dan, itu emang benar, kan? Jangankan ketemu orang, nemu barang yang disukai aja rasanya excited sekali.

 

Namun, perasaan ini bisa berarti dua: suka aja, atau beneran cinta. Yang kedua, lebih butuh effort. Gampangnya, kalau diibaratkan ke soal hujan-hujanan tadi, suka itu kalau suka sensasi saat hujan aja kemudian mengutuk saat dapat keribetannya, sedangkan kalau cinta ya menerima dua-duanya; baik-buruknya.

 

Karena kalau cinta, nggak cukup pakai rasa. Juga butuh usaha.

Perasaan (that fluttery flitter feeling) bisa luntur seiring waktu kalau nggak dipupuk dan dirawat.

 

Orang-orang yang awet bersama pasangannya mungkin bisa ngasih testimoni gimana usaha mereka untuk bertahan meski diterpa berbagai badai cobaan (ceilah…). Tapi okelah, mungkin itu kejauhan, mari bicara soal yang nggak terlalu dalam aja, misalnya: hobi.

 

Hobi artinya aktivitas yang suka dilakukan di waktu luang. Semua orang suka ngelakuin hobi, betul? Baca buku, masak, nulis, sepedaan, olahraga, scrolling medsos, you name it. Namun, kalau aja butuh usaha lebih untuk ngelakuin hobi itu, apa akan tetap dilakukan?

 

Soal hobi ini pernah kejadian di saya sendiri. Alkisah saya suka motret. Kepikiranlah untuk nyambi jualan foto di platform online. Sebelum bikin akun, saya baca syarat foto yang diterima: resolusi minimal sekian, no noise, dll dsb dst—yang, ketika dicocokkan dengan koleksi potret saya, kok, rasanya banyak yang nggak memenuhi syarat meski secara jumlah ada bejibun. Oke, saya pikir, berarti saya harus upgrade skill. This is a challenge!

 

Mulailah saya berburu foto dengan mikirin segala teknisnya. Sebelum jepret satu, diem dulu nentuin angle, setting, dsb. Setelah itu pulang, transfer data, cek foto, eh… ternyata banyak yang missed. Oke, coba lagi. Dan begitu seterusnya. Sampai pada satu titik saya menyadari: kok, rasanya saya mulai nggak enjoy motret, ya?

 

Hal di atas masih saya lakukan sampai saya ‘tiba’ di titik kedua:

Kenapa ya, sekarang rasanya males motret? Kayak ada beban gitu. Beda sama dulu.

 

Oh la la~ Kamu yang sekarang sudah berubah, tidak seperti kamu yang dulu!

Kedengaran familiar? Iya, ini salah satu trope di cerita atau film romance, hahaha.

 

Sampai pada satu titik (lagi), saya menyadari bahwa kalau mau terjun ke ranah (lebih) profesional, ya memang kudu lebih effort. Meski itu berawal dari ‘sekadar’ hobi. Butuh kesabaran untuk upgrade skill, lebih disiplin, lebih rajin, dsb. Ini mirip sama kejadian ketika banyak penghobi nulis kemudian ngerasa stuck atau terbebani ketika memutuskan mau serius nulis naskah. Memang lebih berat daripada kalau menulis bebas semaunya.

 

Pada akhirnya, saya memutuskan nggak jadi jual foto. Biarlah hobi satu ini jadi pereda stres daripada nambahin stres. Upgrade skill tetap, tapi nggak se-ngoyo dulu. Biarlah fotografi ini jadi hobi aja.  Biarlah saya ambil minat lain yang kiranya saya bisa compromise ketika masuk ranah kerjaan.

 

Dan that’s okay. Punya hobi sebagai hobi aja juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan itu.

 

Jadi, apa bisa dibilang saya mencintai fotografi?

Menurut saya, enggak. Cuma suka aja. Kalau beneran cinta, saya akan tahan itu semua kesulitan (atau tantangan) demi foto yang jauh lebih baik. Kan, memang butuh usaha, suka aja nggak cukup.

 

Jadi keingat sebuah kutipan (lagi!) yang diucapkan tokoh Rangga di film “99 Cahaya di Langit Eropa”:


Cinta itu tanggung jawab.

 

To put it to further context (sehingga paragraf ini jadi agak out-of-context, lol), kalimat tadi diucapkan Rangga saat Stefan nanya kenapa dalam Islam seorang lelaki boleh beristri 4. Rangga jawab, boleh tapi harus adil dan itu susah, makanya tetap disarankan satu aja, 4 itu kalau mampu. Stefan jawab, kalau cinta, dia yakin bisa mencintai semua sama besarnya. Rangga respons: enggak, beda, cinta itu tanggung jawab. Lalu dilanjut,

R: “Cinta itu tanggung jawab. Ibarat kuliah, kamu harus nyelesaiin semuanya.”

S: “Satu (kuliah) aja pusing.”

R: “Nah, you got the point. Satu aja pusing.”

 

Jika memang cinta sesuatu/seseorang, saat ada hambatan akan diatasi dan bukan ditinggal. Saat ada ketidakcocokan, akan dicari titik temunya, bukan menitikberatkan ke siapa masalahnya. It’s both of you vs the problem, not you vs him/her/it. Akan selalu diusahakan (within reasons tapi, selama nggak malah jadi toksik atau obsesif).

 

Jadi… apakah saya suka hujan atau cinta hujan?

Bahkan setelah refleksi berhalaman-halaman ini, saya masih diam berpikir. Iya atau nggak? Entahlah, seperti perasaan, rasanya masih nggrambyang. Kalau ini adegan di film atau novel, mungkin akan muncul ‘jawaban’ klise,

“Beri aku waktu untuk berpikir.” 😂

 

Untungnya, hujan nggak butuh jawaban. Untungnya dia bukan orang juga, kan, jadi nggak perlu dikasih kepastian. Dan lagi, emangnya dia pernah nanya? ðŸ˜‚ (PD bener, padahal nanya sendiri, jawab sendiri, hahaha)

 

And, although kind of abstract, this way of thinking helps me to sort out things more clearly.

Reading Time:

Jumat, 06 Desember 2024

Resep Cokelat Panas
Desember 06, 20240 Comments


Sebenarnya ini bukan rencana post pekan ini. Namun karena tulisan yang satu itu perlu diedit karena acakadul sekali dan pikiran ini juga sedang acakadul karena gejala flu, ya sudah mari nulis post tentang sesuatu yang berhasil bikin badan jadi agak mendingan.


Kali ini saya akan nulis soal... resep.

Resep minuman cokelat hangat tepatnya, alias hot chocolate. 


Long story short, habis lihat video tentang tingkatan-tingkatan hot chocolate beserta resepnya. Duh, dingin-dingin gini, mana hujan dan kerongkongan (bukan tenggorokan!) serak, paling enak minum yang hangat-hangat lah, ya!


Ini dia resepnya:

- susu cair (tawar)

- kayu manis

- cengkeh

- bubuk coklat (dark chocolate)

- gula + garam 


Semua bahan dicampur, panaskan pakai api kecil selama 10 menitan atau secukupnya sambil diaduk terus. Dah, terus diminum!


Resep ini nggak persis sama dengan video. Di rekaman itu, kalau nggak salah, rempahnya pakai kayu manis (cinnamon), kapulaga (cardamom), plus kembang lawang (star anise). Namun karena saya nggak punya, jadilah rempah apa aja yang ada di kotak (kebetulan milihin rempah di set wedang uwuh) saya ambil. Jadinya pakai kayu manis plus cengkeh. Bubuk cokelat yang dipakai bukan susu cokelat, tapi bubuk dari biji. Kalau pakai susu cokelat, nanti kemanisan dan beda gitu rasanya. 


Rasanya minumannya gimana? Lebih enak!

Ya karena ada aroma dan rasa rempahnya. Rupanya ini rahasia cokelat panas yang nikmat. Soalnya beberapa kali saya bikin dari susu + bubuk cokelat aja, rasanya masih kurang mantap. Oh ya, yang bikin rasanya lebih enak juga karena dikasih garam sedikit. Jadi nggak dominan manis yang eneg gitu.


Jadi pengin minum lagi.... Bikin, ah. 


==========


 Update! 

  • Kemarin akhirnya nyoba ditambah kapulaga. Rasanya... hm... gimana, ya. Kalau di lidah saya berasa kurang mantap dibanding kayu manis+cengkeh aja. Waktu minta orang lain nyobain, komentarnya:
    "Berasa bukan cokelat, tapi kayak teh rempah."
    Hari ini saya minum teh arab di tempat makan Timur Tengah, eh, kok rasanya memang mirip. Beda dikit. 
    Jadi kesimpulannya: kalau kebanyakan rempah, rasanya lebih mirip teh.
    Kesimpulan kedua: mending cuma pakai kayu manis + cengkeh aja.
  • Baru nyadar kalau kapulaga ada bermacam-macam jenis. Di Indonesia, kapulaga yang paling gampang ditemui di pasar adalah jenis kapulaga jawa. Bentuknya lebih bulat. Di sisi lain, kapulaga di video yang saya tonton warnanya kehijauan dan bentuknya oval, di sini beberapa orang nyebut kapulaga arab/kapulaga india. Yang sering muncul di video-video dari Barat alias yang biasa mereka sebut cardamom, ya yang kedua ini.



Photo by M. Bazzocco on Unsplash 

Reading Time:

Rabu, 27 Desember 2023

Alam sebagai Kulkas
Desember 27, 20231 Comments



Malam itu saya ingin makan mi instan dengan daun bawang. Sayang, ternyata stok daun bawang saya lagi habis. Sebelum memutuskan makan mi tanpa garnish (halah!), Ibu menyuruh saya memetik daun kucai di pot.

 

“Lho kan kucainya cuma sedikit.” Saya mengingat-ingat.

“Nggak kok, rumpunnya udah nambah,” kata Ibu.

 

Singkat cerita, rumpun yang masih sedikit itu akhirnya saya potong beberapa. Pucuknya saja, hanya beberapa helai. Tak sebanyak biasanya. Saya membatin diri sendiri, ‘Kalau pas banyak aja, ambilnya nggak kira-kira. Ternyata kalau sedikit gini, tetap bisa juga ambil secukupnya’.

 

Ambil sedikit karena keadaan terpaksa. Atau karena merasa milik sendiri. Kalau lagi banyak, metik seenaknya.

 

Mudahnya, secara  maksimal adalah ngambil seenaknya sendiri, sebanyak-banyaknya, tanpa peduli kelangsungan hidup. Eksploitatif.

 

Sebaliknya, saat merasa itu milik sendiri, merasa bertanggung jawab dengan habis-enggaknya atau hidup-enggaknya itu tanaman, jadi lebih mindful ngambilnya. Nggak eksploitatif. Secukupnya.

 

Saya teringat sebuah bagian di buku “Sokola Rimba”-nya Butet Manurung. Butet seorang pengajar, guru bagi anak-anak Orang Rimba—sebuah suku di pedalaman Sumatra yang tinggal jauh di dalam hutan. Suatu hari dia bercerita tentang konsep kulkas pada muridnya. Bercerita tentang benda elektronik pada orang yang asing dengan konsep listrik menjadi kesulitan sendiri. Akhirnya Butet berkata bahwa kulkas itu seperti “tempat menyimpan”. Makanan yang didapat hari ini disimpan, lalu diambil esok bila mau dimakan.

 

Respons muridnya menakjubkan. Kalau nggak salah ingat, kurang lebih begini,

“Kami juga punya kulkas. Alam itu kulkas kami. Hari ini kami ambil secukupnya. Besok kalau butuh, kami ambil lagi.”

 

Sekilas seperti ucapan sederhana, but that’s deep.

 

Mereka “memperlakukan” alam sebagai kulkas. Ambil secukupnya. Kalau butuh, baru ambil lagi. Bukan ambil sebanyak-banyaknya hari ini, besok nggak tahu gimana caranya harus dapat lagi. Dengan ambil secukupnya, itu langkah yang menurut saya amat bijak. Nggak eksploitatif. Selain sebagai bentuk menghormati alam, juga sebagai bentuk pelestarian.

 

Kuncinya adalah keseimbangan.

Eksploitasi atau mengambil yang berlebihan, merusak keseimbangan. Itulah sebabnya banyak lahan, hutan, alam, yang rusak: karena dieksploitasi. Diambil besar-besaran tanpa peduli efeknya ke lingkungan dan manusia sekitarnya.

 

Memang, segala yang berlebihan itu tidak baik.

Dan rasa-rasanya ini berlaku untuk semua hal.

 

Dalam survival botani, salah satu aturan adalah para forager harus mengambil secukupnya saja. Contohnya, kalau kita di hutan kemudian nemu beri liar, kita nggak boleh metikin sampai buahnya habis. Kita harus sisakan. Ini juga berlaku kalau mau forage/merambah bunga, daun, dsb. Kenapa?

-          Supaya tumbuhannya bisa terus berkembang biak. Kalau buahnya diambil semua, artinya bijinya ikut dimakan. Artinya dia nggak bisa tumbuh tumbuhan baru.

Kalau tumbuhannya nggak berkembang biak dengan biji, gimana? Tetap nggak boleh, karena…

-          … buah itu jadi makanan hewan liar. Kalau buahnya kita makan semua, gimana dengan hewan yang setiap hari makannya memang itu? Nggak bisa makan, dong? Bisa sih cari di tempat lain, tapi sulit. Ini hutan yang nyari satu jenis/populasi tumbuhan butuh usaha lebih, bukan aisle supermarket atau pasar yang bisa langsung kelihatan produknya.

 

Konsep keseimbangan, nggak mengambil terlalu banyak, juga berlaku untuk makanan. Saya termasuk ‘penganut’ paham the dose makes the poison. Alias nggak ada makanan yang betul-betul terlarang atau betul-betul jelek untuk tubuh (lain hal dengan haram-halal, ya). Makin gede, orang-orang di sekitar makin banyak yang anti sama sekali dengan makanan siap saji, perisa makanan (contoh: MSG), gula, dsb.

 

Saya masih mengonsumsi mereka, sesekali. Boleh makan makanan siap saji, boleh pakai micin, tetap konsumsi gula, dsb. Asal nggak kebanyakan. Kalau kebanyakan, jelas bakal jadi penyakit. Kalau kekurangan gimana? Sama aja. Saya pernah pusing mumet muter-muter karena ternyata kurang gula. Dalam hal konsumsi makanan, kebutuhan tiap orang berbeda karena metabolisme tubuhnya berbeda. Jadi menurut saya nggak bisa dipukul rata: makan harus ini aja, itu nggak boleh. Apa yang jadi pantangan bagi A, bisa jadi harus dikonsumsi oleh B. Demikian pula sebaiknya.

 

Mungkin kita akan berbeda pendapat. And that’s okay. You do you, I’ll do mine.

 

Contohnya, orang tua yang punya asam urat, harus membatasi makan protein. Tapi kalau orang tua lain yang mengidap kwashiorkor (kekurangan protein) ya masa nggak boleh makan daging juga. (*cmiiw)

 

Di lingkungan sehari-hari, plastik bisa jadi contoh nyata. Plastik toh awalnya diciptakan salah satunya untuk ngurangi penebangan pohon untuk pembuatan kantung. Niat yang baik, bukan? Tapi gimana sekarang? Ketika plastik udah digunakan berlebihan, timbul ketidakseimbangan dan masalah baru: sampahnya. Makanya sekarang banyak diminta pakai tas kain.

 

Just my hunch, tapi kalau pemakaian tas kain ini juga berlebihan, bukan nggak mungkin di masa depan akan timbul masalah lain. Misal, sampah. Perlu diingat bahwa tas kain sekarang nggak murni terbuat dari serat kapas yang relatif mudah terurai. Ada tas kain yang terbuat dari serat sintetis yang di dalamnya terkandung plastik. Dan, mengurai suatu benda yang terbuat dari bahan campuran itu lebih banyak tantangannya daripada mengurai suatu benda yang terbuat dari satu bahan aja.

 

“Ya sudah balik ke tas belanja dari bambu kayak mbah-mbah dulu!”

Bisa banget. Namun kalau berlebihan, bisa timbul kerusakan akibat penebangan bambu yang berlebihan. Atau kerusakan lahan karena terlalu intensif tanam bambu dalam waktu lama, misalnya.

 

Balik lagi ke konsep keseimbangan.

Dan, melihat Orang Rimba yang begitu sederhana tapi lebih paham (dan sudah praktik) konsep keseimbangan seperti kulkas tadi, sepertinya kita harus belajar pada mereka.

Reading Time:

Jumat, 17 November 2023

Kita yang Sedang Mengulang (dan Menjadi) Sejarah
November 17, 20230 Comments

 

[Trigger warning: death, pandemic, war]

 

Sebuah akun foto-foto masa lalu, diprotes oleh sebagian followers-nya karena akhir-akhir ini menayangkan foto-foto dan berita masa kini. Protesnya kurang lebih, “Ini kan akun sejarah, stick aja ngepos foto-foto dan cerita jadul. Ngapain ngepos foto dan berita sekarang?”

 

Pemilik akun menjawab. Beberapa followers lain turut jawab pula. Respons mereka kurang lebih,

“Ya karena foto dan berita yang dipos sekarang itu akan jadi sejarah di masa depan. Sekarang aja udah jadi sejarah. It is history in the making.”

On point.

 

Bahkan kejadian beberapa saat lalu aja, sudah bisa jadi sejarah. Toh definisi ‘sejarah’ sendiri salah satunya adalah ‘kejadian yang benar-benar terjadi di masa lalu’. Berita tadi pagi aja udah masuk kategori sejarah. Apalagi berita pekan lalu, bulan lalu. Ya meski secara sense kurang dianggap sejarah oleh umum karena pandangan khalayak tentang sejarah adalah sesuatu yang udah lamaaa… banget, bertahun-tahun atau berpuluh tahun lalu.

 

Yang 'menakjubkan', kita dan banyak orang kadang nggak sadar sedang menjadi sejarah. Atau, mengulangi sejarah.

 

Ada yang bilang, sejarah dunia sebetulnya sejak dulu sama aja. Konflik dan intriknya ya itu-itu aja. Cuma beda orang dan beda detailnya.

 

Saat baca atau lihat kisah sejarah, sempat terlintas di benak, “Hidup mereka zaman itu gimana, ya? Kok bisa jadi seperti itu ya, kan sebenarnya simpel banget tapi kok jadi masalah gede?” dst dst. Beberapa tahun ke belakang, benang merah sebagai jawaban mulai bisa ditarik.

 

Jawabannya: hidupnya ya begitu.

Betul, banyak kejadian besar yang berlangsung. Namun mayoritas yang dilakukan orang memang satu: tetap hidup. Sesederhana keep on living.

 

Ingat pandemi Covid-19 kemarin? Tentu, banyak berita dan kejadian penting yang wow dan besar sekali. Mulai dari jumlah korban yang amat tinggi, akselerasi teknologi dan IPTEK demi mendapat obat dan mendukung work from home, kegiatan yang segalanya berubah online, jalanan yang sepi tanpa apa pun, kesehatan mental yang mulai meningkat concern-nya di antara orang-orang, dsb. Never in my life I’d imagine that a vaccine would be invented during my life. Kalau dikilas balik, seperti film sci-fi. Berkejar dengan waktu dan sumber daya. Namun bila di film sci-fi rasanya seru, yang ini rasanya tentu aja nggak ingin diulang lagi. Adrenaline rush karena asyik nonton film dan karena emang kepepet itu rasanya beda; dan yang kedua rasanya jauh lebih nggak enak.

 

Those are major global events. Perubahan dan kejadian global yang semua orang di dunia, tahu dan mengalami. Masuk sejarah? Oh tentu. Kejadian bombastisnya akan terekam. Lalu apa yang kita, orang-orang biasa, lakukan waktu itu? Kita bertahan hidup. We ‘just’ keep on living, trying to live. Nggak peduli apakah ini akan jadi kejadian sejarah, nggak peduli apa ini akan tercatat sejarah, yang penting (berjuang untuk tetap) hidup.

 

Sama halnya dengan sejarah yang “kok bisa kejadian ya?”. Ya… bisa.

Saat belajar sejarah Perang Dunia di bangku sekolah, atau pembantaian, atau pembunuhan, atau penjajahan, apalagi yang melibatkan hak hidup orang banyak banget, sempat terpikir, “Kok bisa, ya? Bunuhin orang segitu banyak, lho. Kok tega, ya? Kok nggak ada yang menyetop,” dan kok-kok yang lainnya. Akhir-akhir ini, jawaban itu mulai terlihat benang merahnya. Sesimpel: ya, bisa; ya, ada yang percaya itu untuk kebaikan; ya, nggak ada yang tegas menyetop karena politik.

 

Sama seperti mati dan tersiksanya banyak orang saat perang zaman duluuu, sekarang juga sama. Hanya saja pelaku dan lakonnya beda-beda. Sangat disayangkan. Teknologi udah maju, zaman udah berubah, sifat manusianya tetap sama.

 

Apa kata orang bijak? Those who don’t learn history are doomed to repeat it. Orang-orang yang tidak mempelajari sejarah akan mengulangi kejadian-kejadian buruk itu. Tapi, rasa-rasanya, orang-orang ini banyak yang belajar sejarah, bahkan mungkin sampai amat mendalam dan langsung dari sumbernya, tapi sejarah itu tetap berulang.

Reading Time:

Jumat, 03 November 2023

Panas dan Air
November 03, 20230 Comments


Mungkin karena belakangan ini cuaca panas nggak berhenti-berhenti meskipun harusnya udah masuk musim penghujan, saya jadi sering ngeluh soal panas-panasan ini. Seumur hidup kayaknya baru kali ini November belum hujan. Dan kayaknya baru kali ini ngerasain sumuk yang sepanas ini. Suhu lebih dari tiga puluh derajat setiap hari, lebih dari sebulan. 


Beberapa kali chatting dengan teman yang tinggal di lain daerah, kotanya juga belum hujan. Air PDAM sudah lama nggak ngalir.


Di tengah obrolan, dia melontarkan celetukan, "Semoga aja segera hujan, ya. Ini udah masuk musim tanam." Maksudnya adalah musim tanam padi. 


Saya mengiyakan. Saya kurang tahu soal musim tanam, hanya aja kalau dilogika, musim tanam padi emang di musim hujan karena petani butuh banyak air buat menggenangi sawah. Saya cuma iya-iya aja karena antara nggak paham dan ngerasa kalau hal itu nggak ngefek ke saya karena saya nggak nanam padi. Sampai dia mengatakan kalimat selanjutnya.


"Katanya cadangan beras kita cuma cukup buat beberapa bulan ke depan. Kalau nggak tanam sekarang, musim depan makannya gimana," teman saya melanjutkan.


Baru ketika itulah saya merasa, 'Oh iya, ya.'

Hal yang tadinya saya kira nggak ngefek, ternyata secara nggak langsung berefek juga ke saya.

Kadang manusia emang gitu. Baru ngerasa kalau hidupnya berpotensi terganggu. Saya salah satunya.


Tentang kebenaran cadangan makanan ini pun saya kurang tahu valid/enggak. Poinnya adalah: ternyata kemarau berkelanjutan ini nggak cuma soal sumuk setiap hari atau kulit terpanggang matahari. Ada hal-hal besar lain yang ikut terpengaruh. Ketersediaan air salah satunya.


Bahkan dalam kondisi 'baik-baik aja', ketersediaan air di negara kita masih meresahkan. Nggak semua pemukiman punya akses yang mudah ke air bersih. Ini hanya ngomongin air bersih non-konsumsi. Kalau air bersih untuk konsumsi, bahkan di kota-kota metropolitan aja belum tersedia. Perusahaan pemerintah yang seyogyanya menyediakan air minum baru mampu mengolah air menjadi air bersih saja sehingga banyak orang beralih mengonsumsi air galon. 


Dengan cuaca yang makin panas dan nggak beraturan, akibat dari pemanasan global, ketersediaan air jadi suatu masalah karena air bersih makin sulit didapatkan. Di desa, mata airnya bisa aja kering. Di kota, dengan sungai yang kebersihannya nggak bisa diharapkan, air bersih untuk minum didatangkan dari desa-desa. Kalau sumbernya aja nggak ngalir atau debitnya sedikit, terus gimana? Masyarakat desa jadi bersaing dengan perusahaan penyedia air, sedangkan masyarakat kota bisa aja kekurangan suplai air.


Ini baru ngomongin air minum dan air konsumsi rumah tangga. Belum lagi dalam skala yang lebih besar, misalnya tadi: air untuk pengairan tumbuhan pangan. Tanpa air, bisa jadi hasil panen jelek atau gagal panen. Kalau udah kayak gitu, manusia sendiri yang susah dapat makan.


Selain pertanian, bidang industri juga kena efek. Mesin industri kan pasti butuh air. Pun kalau seandainya mesinnya nggak pakai air, perusahaan tetap butuh air entah untuk sanitasi atau untuk kebutuhan karyawan. Kalau industri tersendat, produknya juga tersendat. Akhirnya sampai ke konsumen juga tersendat dan terbatas. 


Itu baru dari segi kebutuhan manusia. Belum lagi soal keseimbangan alam. Satu-dua bulan lalu, saya lihat berita bahwa terjadi badai pasir di salah satu pegunungan tinggi di Jawa Timur. Di gunung! Badai pasir? Ternyata memang iya. Mungkin karena hawa panas tabrakan dengan hawa dingin, kemudian tanahnya kering banget, makanya debunya beterbangan. Sebulan sebelum kejadian, waktu saya lewat daerah itu, tanahnya memang kering. Jalan dipenuhi debu kuning. Masker yang menutupi muka saya sampai bersaput kuning karena pasir. Kalau tanahnya nggak kering, mungkin nggak terjadi badai pasir tapi angin ribut 'saja'. Meski angin ribut ini mungkin juga nggak akan terjadi kalau cuaca nggak seekstrem ini.


Dengar-dengar, kita udah bukan di zaman global warming lagi, tapi udah hampir masuk di global boiling. Saya nggak kebayang aja kalau cuacanya lebih panas atau lebih ekstrem dari ini. Lha wong kemarin-kemarin aja di negara empat musim udah sering heatwave dan badai salju. Kalau masuk global boiling apa nggak lebih ekstrem?


Alamnya, saya rasa, pasti akan bisa beradaptasi apa pun kondisi yang terjadi. Sebab alam akan selalu bergeser ke kondisi seimbang secara otomatis (meski tentu pergeseran ini akan mengorbankan makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa bertahan, tapi hasil akhirnya adalah alam selalu 'seimbang', seperti yang sudah-sudah). Hewan dan tumbuhan akan mengikuti pergeseran ini. Tinggal kita, manusia, yang bisa bertahan atau enggak. 


Yah... apa pun itu, pemanasan global yang dulu 'cuma' kita pelajari teorinya di sekolah, kini semakin terasa dampaknya. Dan semoga ke depannya bisa berkurang atau, paling nggak, melambat signifikan. Kebutuhan dasar aja sekarang makin sulit terkejar. Tanah tempat tinggal, harganya sudah nggak masuk akal. Air bersih, aksesnya belum semua dapat kemudahan. Pangan, bisa jadi rebutan. Apalagi kalau perubahan iklim jadi makin-makin, nggak tahu seberapa banyak lagi yang harus ketat kita perjuangkan?



==========

Disclaimer: Photo by Leo Rivas on Unsplash


Reading Time: