Alam sebagai Kulkas - Hijaubiru

Rabu, 27 Desember 2023

Alam sebagai Kulkas



Malam itu saya ingin makan mi instan dengan daun bawang. Sayang, ternyata stok daun bawang saya lagi habis. Sebelum memutuskan makan mi tanpa garnish (halah!), Ibu menyuruh saya memetik daun kucai di pot.

 

“Lho kan kucainya cuma sedikit.” Saya mengingat-ingat.

“Nggak kok, rumpunnya udah nambah,” kata Ibu.

 

Singkat cerita, rumpun yang masih sedikit itu akhirnya saya potong beberapa. Pucuknya saja, hanya beberapa helai. Tak sebanyak biasanya. Saya membatin diri sendiri, ‘Kalau pas banyak aja, ambilnya nggak kira-kira. Ternyata kalau sedikit gini, tetap bisa juga ambil secukupnya’.

 

Ambil sedikit karena keadaan terpaksa. Atau karena merasa milik sendiri. Kalau lagi banyak, metik seenaknya.

 

Mudahnya, secara  maksimal adalah ngambil seenaknya sendiri, sebanyak-banyaknya, tanpa peduli kelangsungan hidup. Eksploitatif.

 

Sebaliknya, saat merasa itu milik sendiri, merasa bertanggung jawab dengan habis-enggaknya atau hidup-enggaknya itu tanaman, jadi lebih mindful ngambilnya. Nggak eksploitatif. Secukupnya.

 

Saya teringat sebuah bagian di buku “Sokola Rimba”-nya Butet Manurung. Butet seorang pengajar, guru bagi anak-anak Orang Rimba—sebuah suku di pedalaman Sumatra yang tinggal jauh di dalam hutan. Suatu hari dia bercerita tentang konsep kulkas pada muridnya. Bercerita tentang benda elektronik pada orang yang asing dengan konsep listrik menjadi kesulitan sendiri. Akhirnya Butet berkata bahwa kulkas itu seperti “tempat menyimpan”. Makanan yang didapat hari ini disimpan, lalu diambil esok bila mau dimakan.

 

Respons muridnya menakjubkan. Kalau nggak salah ingat, kurang lebih begini,

“Kami juga punya kulkas. Alam itu kulkas kami. Hari ini kami ambil secukupnya. Besok kalau butuh, kami ambil lagi.”

 

Sekilas seperti ucapan sederhana, but that’s deep.

 

Mereka “memperlakukan” alam sebagai kulkas. Ambil secukupnya. Kalau butuh, baru ambil lagi. Bukan ambil sebanyak-banyaknya hari ini, besok nggak tahu gimana caranya harus dapat lagi. Dengan ambil secukupnya, itu langkah yang menurut saya amat bijak. Nggak eksploitatif. Selain sebagai bentuk menghormati alam, juga sebagai bentuk pelestarian.

 

Kuncinya adalah keseimbangan.

Eksploitasi atau mengambil yang berlebihan, merusak keseimbangan. Itulah sebabnya banyak lahan, hutan, alam, yang rusak: karena dieksploitasi. Diambil besar-besaran tanpa peduli efeknya ke lingkungan dan manusia sekitarnya.

 

Memang, segala yang berlebihan itu tidak baik.

Dan rasa-rasanya ini berlaku untuk semua hal.

 

Dalam survival botani, salah satu aturan adalah para forager harus mengambil secukupnya saja. Contohnya, kalau kita di hutan kemudian nemu beri liar, kita nggak boleh metikin sampai buahnya habis. Kita harus sisakan. Ini juga berlaku kalau mau forage/merambah bunga, daun, dsb. Kenapa?

-          Supaya tumbuhannya bisa terus berkembang biak. Kalau buahnya diambil semua, artinya bijinya ikut dimakan. Artinya dia nggak bisa tumbuh tumbuhan baru.

Kalau tumbuhannya nggak berkembang biak dengan biji, gimana? Tetap nggak boleh, karena…

-          … buah itu jadi makanan hewan liar. Kalau buahnya kita makan semua, gimana dengan hewan yang setiap hari makannya memang itu? Nggak bisa makan, dong? Bisa sih cari di tempat lain, tapi sulit. Ini hutan yang nyari satu jenis/populasi tumbuhan butuh usaha lebih, bukan aisle supermarket atau pasar yang bisa langsung kelihatan produknya.

 

Konsep keseimbangan, nggak mengambil terlalu banyak, juga berlaku untuk makanan. Saya termasuk ‘penganut’ paham the dose makes the poison. Alias nggak ada makanan yang betul-betul terlarang atau betul-betul jelek untuk tubuh (lain hal dengan haram-halal, ya). Makin gede, orang-orang di sekitar makin banyak yang anti sama sekali dengan makanan siap saji, perisa makanan (contoh: MSG), gula, dsb.

 

Saya masih mengonsumsi mereka, sesekali. Boleh makan makanan siap saji, boleh pakai micin, tetap konsumsi gula, dsb. Asal nggak kebanyakan. Kalau kebanyakan, jelas bakal jadi penyakit. Kalau kekurangan gimana? Sama aja. Saya pernah pusing mumet muter-muter karena ternyata kurang gula. Dalam hal konsumsi makanan, kebutuhan tiap orang berbeda karena metabolisme tubuhnya berbeda. Jadi menurut saya nggak bisa dipukul rata: makan harus ini aja, itu nggak boleh. Apa yang jadi pantangan bagi A, bisa jadi harus dikonsumsi oleh B. Demikian pula sebaiknya.

 

Mungkin kita akan berbeda pendapat. And that’s okay. You do you, I’ll do mine.

 

Contohnya, orang tua yang punya asam urat, harus membatasi makan protein. Tapi kalau orang tua lain yang mengidap kwashiorkor (kekurangan protein) ya masa nggak boleh makan daging juga. (*cmiiw)

 

Di lingkungan sehari-hari, plastik bisa jadi contoh nyata. Plastik toh awalnya diciptakan salah satunya untuk ngurangi penebangan pohon untuk pembuatan kantung. Niat yang baik, bukan? Tapi gimana sekarang? Ketika plastik udah digunakan berlebihan, timbul ketidakseimbangan dan masalah baru: sampahnya. Makanya sekarang banyak diminta pakai tas kain.

 

Just my hunch, tapi kalau pemakaian tas kain ini juga berlebihan, bukan nggak mungkin di masa depan akan timbul masalah lain. Misal, sampah. Perlu diingat bahwa tas kain sekarang nggak murni terbuat dari serat kapas yang relatif mudah terurai. Ada tas kain yang terbuat dari serat sintetis yang di dalamnya terkandung plastik. Dan, mengurai suatu benda yang terbuat dari bahan campuran itu lebih banyak tantangannya daripada mengurai suatu benda yang terbuat dari satu bahan aja.

 

“Ya sudah balik ke tas belanja dari bambu kayak mbah-mbah dulu!”

Bisa banget. Namun kalau berlebihan, bisa timbul kerusakan akibat penebangan bambu yang berlebihan. Atau kerusakan lahan karena terlalu intensif tanam bambu dalam waktu lama, misalnya.

 

Balik lagi ke konsep keseimbangan.

Dan, melihat Orang Rimba yang begitu sederhana tapi lebih paham (dan sudah praktik) konsep keseimbangan seperti kulkas tadi, sepertinya kita harus belajar pada mereka.

Tidak ada komentar: