Agustus 2023 - Hijaubiru

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time: