November 2023 - Hijaubiru

Jumat, 17 November 2023

Kita yang Sedang Mengulang (dan Menjadi) Sejarah
November 17, 20230 Comments

 

[Trigger warning: death, pandemic, war]

 

Sebuah akun foto-foto masa lalu, diprotes oleh sebagian followers-nya karena akhir-akhir ini menayangkan foto-foto dan berita masa kini. Protesnya kurang lebih, “Ini kan akun sejarah, stick aja ngepos foto-foto dan cerita jadul. Ngapain ngepos foto dan berita sekarang?”

 

Pemilik akun menjawab. Beberapa followers lain turut jawab pula. Respons mereka kurang lebih,

“Ya karena foto dan berita yang dipos sekarang itu akan jadi sejarah di masa depan. Sekarang aja udah jadi sejarah. It is history in the making.”

On point.

 

Bahkan kejadian beberapa saat lalu aja, sudah bisa jadi sejarah. Toh definisi ‘sejarah’ sendiri salah satunya adalah ‘kejadian yang benar-benar terjadi di masa lalu’. Berita tadi pagi aja udah masuk kategori sejarah. Apalagi berita pekan lalu, bulan lalu. Ya meski secara sense kurang dianggap sejarah oleh umum karena pandangan khalayak tentang sejarah adalah sesuatu yang udah lamaaa… banget, bertahun-tahun atau berpuluh tahun lalu.

 

Yang 'menakjubkan', kita dan banyak orang kadang nggak sadar sedang menjadi sejarah. Atau, mengulangi sejarah.

 

Ada yang bilang, sejarah dunia sebetulnya sejak dulu sama aja. Konflik dan intriknya ya itu-itu aja. Cuma beda orang dan beda detailnya.

 

Saat baca atau lihat kisah sejarah, sempat terlintas di benak, “Hidup mereka zaman itu gimana, ya? Kok bisa jadi seperti itu ya, kan sebenarnya simpel banget tapi kok jadi masalah gede?” dst dst. Beberapa tahun ke belakang, benang merah sebagai jawaban mulai bisa ditarik.

 

Jawabannya: hidupnya ya begitu.

Betul, banyak kejadian besar yang berlangsung. Namun mayoritas yang dilakukan orang memang satu: tetap hidup. Sesederhana keep on living.

 

Ingat pandemi Covid-19 kemarin? Tentu, banyak berita dan kejadian penting yang wow dan besar sekali. Mulai dari jumlah korban yang amat tinggi, akselerasi teknologi dan IPTEK demi mendapat obat dan mendukung work from home, kegiatan yang segalanya berubah online, jalanan yang sepi tanpa apa pun, kesehatan mental yang mulai meningkat concern-nya di antara orang-orang, dsb. Never in my life I’d imagine that a vaccine would be invented during my life. Kalau dikilas balik, seperti film sci-fi. Berkejar dengan waktu dan sumber daya. Namun bila di film sci-fi rasanya seru, yang ini rasanya tentu aja nggak ingin diulang lagi. Adrenaline rush karena asyik nonton film dan karena emang kepepet itu rasanya beda; dan yang kedua rasanya jauh lebih nggak enak.

 

Those are major global events. Perubahan dan kejadian global yang semua orang di dunia, tahu dan mengalami. Masuk sejarah? Oh tentu. Kejadian bombastisnya akan terekam. Lalu apa yang kita, orang-orang biasa, lakukan waktu itu? Kita bertahan hidup. We ‘just’ keep on living, trying to live. Nggak peduli apakah ini akan jadi kejadian sejarah, nggak peduli apa ini akan tercatat sejarah, yang penting (berjuang untuk tetap) hidup.

 

Sama halnya dengan sejarah yang “kok bisa kejadian ya?”. Ya… bisa.

Saat belajar sejarah Perang Dunia di bangku sekolah, atau pembantaian, atau pembunuhan, atau penjajahan, apalagi yang melibatkan hak hidup orang banyak banget, sempat terpikir, “Kok bisa, ya? Bunuhin orang segitu banyak, lho. Kok tega, ya? Kok nggak ada yang menyetop,” dan kok-kok yang lainnya. Akhir-akhir ini, jawaban itu mulai terlihat benang merahnya. Sesimpel: ya, bisa; ya, ada yang percaya itu untuk kebaikan; ya, nggak ada yang tegas menyetop karena politik.

 

Sama seperti mati dan tersiksanya banyak orang saat perang zaman duluuu, sekarang juga sama. Hanya saja pelaku dan lakonnya beda-beda. Sangat disayangkan. Teknologi udah maju, zaman udah berubah, sifat manusianya tetap sama.

 

Apa kata orang bijak? Those who don’t learn history are doomed to repeat it. Orang-orang yang tidak mempelajari sejarah akan mengulangi kejadian-kejadian buruk itu. Tapi, rasa-rasanya, orang-orang ini banyak yang belajar sejarah, bahkan mungkin sampai amat mendalam dan langsung dari sumbernya, tapi sejarah itu tetap berulang.

Reading Time:

Jumat, 10 November 2023

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda di Surabaya
November 10, 20230 Comments



 

Mendengar ada bekas benteng di Surabaya, telinga saya mencuat. Sekian lama tinggal di Kota Pahlawan, saya nggak pernah melihat langsung wujud benteng. Saya baru lihat yang namanya benteng justru saat berada di Yogyakarta, di Benteng Vredeburg. Padahal sebagai salah satu kota penting sejak zaman Belanda (bahkan sebelum Majapahit), harusnya Surabaya punya benteng, nggak sih?

 

Mungkin udah hancur nggak berbekas atau gimana, pikir saya waktu itu. Jadi saat baca sebuah laman berita bahwa ditemukan reruntuhan benteng bekas Belanda di pesisir utara Surabaya beberapa tahun lalu, saya tertarik. Pengin lihat, tapi (kalau nggak salah) aksesnya masih tertutup untuk umum saat itu. Sekarang, aset milik TNI itu sudah dibuka untuk umum.

 

[Disclaimer: tulisan ini memang dibuat dengan pengamatan lokasi dan merujuk referensi sejarah. Namun saya bukan ahli sejarah, sekadar penggemar, sehingga mungkin sekali kalau ada kesalahan/ketidakakuratan di tulisan ini karena saya keliru cari sumber atau salah interpretasi. Jadi soal sejarahnya silakan dicek kembali dan mohon maaf serta mohon masukan bila ada kekeliruan.]

 

Benteng Kedung Cowek (atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek) dibangun Belanda di daerah Kedung Cowek pada awal abad 20. Tujuannya tentu buat pertahanan kota dari serangan arah laut. Yup, depan benteng ini langsung laut. Tepatnya Selat Madura. Pertahanan dari siapa? Dari musuh Belanda, tentunya.

 

Saat pecah Perang Dunia II dan Jepang merangsek ke Jawa, benteng ini jadi salah satu lini pertahanan pasukan Kerajaan Belanda meladeni armada Kekaisaran Jepang. Waktu PD II selesai dan Indonesia baru aja merdeka, benteng ini juga dipakai pejuang kita untuk menghalau tentara Sekutu yang balik ke Indonesia.

 


Benteng Kedung Cowek berbeda dengan umumnya benteng. Selama ini di bayangan saya, benteng itu semacam sistem tertutup. Dinding-dinding mengelilingi dan melindungi sebuah area di tengah. Ternyata enggak. Kalau dilihat-lihat, Benteng Kedung Cowek ini bentuknya seperti garis di sepanjang bibir pantai.

 

Bentuk ini nggak lepas dari fungsinya. Dalam bahasa Belanda, tempat ini namanya kustbatterij atau coast battery. Kantung pertahanan tepi laut. Jadi bentuknya memang bukan benteng melingkar, tapi kantung-kantung pertahanan di sepanjang lini.

 

Cuaca panas saat saya ‘main’ ke lokasi. Cuaca Surabaya memang terkenal sumuk, apalagi ini di tepi pantainya. Baru jam delapan, tapi keringat sudah siap menetes dari pelipis. Untungnya, makin mendekati lokasi benteng, ada banyak pohon-pohon tinggi. Pohon yang dirambati tumbuhan berbunga merah muda ini mengungkung dinding benteng. Bunga dan daun-daun hijaunya merambat ke dinding-dinding bercat putih/kuning yang usianya sudah seabad. Sekilas seperti enchanted castle di negeri dongeng.

 

Karena ia kustbatterij, maka dinding-dinding ini dibangun terpisah-pisah. Jadi total ada beberapa bangunan yang tak terhubung dan lokasinya terpisah-pisah. Ada dinding pertahanan, gudang amunisi, gudang diesel, dan beberapa bastion. Di bastion bundar, ada jejak semacam geretan. Seorang kenalan berkata kalau itu mungkin bekas jalur untuk meriam.

 

Benteng Kedung Cowek memang bukan tempat wisata. Mungkin, belum. Atau memang nggak difungsikan untuk itu. Dan mungkin karena baru ‘ditemukan’, kondisinya pun tampak seperti sesuatu yang baru disibak. Semak dan pohon di mana-mana. Namun, beberapa ruangan jelas telah dibersihkan dan dikosongkan sehingga kita bisa masuk.


 

Gimana di dalamnya?

Cukup luas, mungkin karena kosong melompong. Jendelanya tanpa pintu, mengantarkan cahaya dari matahari yang rasanya sedang bersinar tepat di atas kepala. Namun sisanya agak gelap. Dan seperti umumnya tempat yang nggak digunakan, pengap. Nggak kebayang dulu gimana para tentara berdiam di sini, sempit-sempitan, bau mesiu terbakar, dan memantapkan hati menghadapi pasukan musuh yang dar-der-dor dari arah laut.

 

[to be continued]

Next story: benteng Kedung Cowek dan perlawanan menghadapi pasukan Sekutu setelah kemerdekaan, Kedung Cowek masa kini






Ref:
Giffari, R.A. dan K. Y. Soekardi. (2021). “Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept.” International Review of Humanities Studies 6: 428-452.
Nuffida, N. I. (2018). Fragmented continuum concept Museum of Kedung Cowek fortification. [Final project, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].






Reading Time:

Jumat, 03 November 2023

Panas dan Air
November 03, 20230 Comments


Mungkin karena belakangan ini cuaca panas nggak berhenti-berhenti meskipun harusnya udah masuk musim penghujan, saya jadi sering ngeluh soal panas-panasan ini. Seumur hidup kayaknya baru kali ini November belum hujan. Dan kayaknya baru kali ini ngerasain sumuk yang sepanas ini. Suhu lebih dari tiga puluh derajat setiap hari, lebih dari sebulan. 


Beberapa kali chatting dengan teman yang tinggal di lain daerah, kotanya juga belum hujan. Air PDAM sudah lama nggak ngalir.


Di tengah obrolan, dia melontarkan celetukan, "Semoga aja segera hujan, ya. Ini udah masuk musim tanam." Maksudnya adalah musim tanam padi. 


Saya mengiyakan. Saya kurang tahu soal musim tanam, hanya aja kalau dilogika, musim tanam padi emang di musim hujan karena petani butuh banyak air buat menggenangi sawah. Saya cuma iya-iya aja karena antara nggak paham dan ngerasa kalau hal itu nggak ngefek ke saya karena saya nggak nanam padi. Sampai dia mengatakan kalimat selanjutnya.


"Katanya cadangan beras kita cuma cukup buat beberapa bulan ke depan. Kalau nggak tanam sekarang, musim depan makannya gimana," teman saya melanjutkan.


Baru ketika itulah saya merasa, 'Oh iya, ya.'

Hal yang tadinya saya kira nggak ngefek, ternyata secara nggak langsung berefek juga ke saya.

Kadang manusia emang gitu. Baru ngerasa kalau hidupnya berpotensi terganggu. Saya salah satunya.


Tentang kebenaran cadangan makanan ini pun saya kurang tahu valid/enggak. Poinnya adalah: ternyata kemarau berkelanjutan ini nggak cuma soal sumuk setiap hari atau kulit terpanggang matahari. Ada hal-hal besar lain yang ikut terpengaruh. Ketersediaan air salah satunya.


Bahkan dalam kondisi 'baik-baik aja', ketersediaan air di negara kita masih meresahkan. Nggak semua pemukiman punya akses yang mudah ke air bersih. Ini hanya ngomongin air bersih non-konsumsi. Kalau air bersih untuk konsumsi, bahkan di kota-kota metropolitan aja belum tersedia. Perusahaan pemerintah yang seyogyanya menyediakan air minum baru mampu mengolah air menjadi air bersih saja sehingga banyak orang beralih mengonsumsi air galon. 


Dengan cuaca yang makin panas dan nggak beraturan, akibat dari pemanasan global, ketersediaan air jadi suatu masalah karena air bersih makin sulit didapatkan. Di desa, mata airnya bisa aja kering. Di kota, dengan sungai yang kebersihannya nggak bisa diharapkan, air bersih untuk minum didatangkan dari desa-desa. Kalau sumbernya aja nggak ngalir atau debitnya sedikit, terus gimana? Masyarakat desa jadi bersaing dengan perusahaan penyedia air, sedangkan masyarakat kota bisa aja kekurangan suplai air.


Ini baru ngomongin air minum dan air konsumsi rumah tangga. Belum lagi dalam skala yang lebih besar, misalnya tadi: air untuk pengairan tumbuhan pangan. Tanpa air, bisa jadi hasil panen jelek atau gagal panen. Kalau udah kayak gitu, manusia sendiri yang susah dapat makan.


Selain pertanian, bidang industri juga kena efek. Mesin industri kan pasti butuh air. Pun kalau seandainya mesinnya nggak pakai air, perusahaan tetap butuh air entah untuk sanitasi atau untuk kebutuhan karyawan. Kalau industri tersendat, produknya juga tersendat. Akhirnya sampai ke konsumen juga tersendat dan terbatas. 


Itu baru dari segi kebutuhan manusia. Belum lagi soal keseimbangan alam. Satu-dua bulan lalu, saya lihat berita bahwa terjadi badai pasir di salah satu pegunungan tinggi di Jawa Timur. Di gunung! Badai pasir? Ternyata memang iya. Mungkin karena hawa panas tabrakan dengan hawa dingin, kemudian tanahnya kering banget, makanya debunya beterbangan. Sebulan sebelum kejadian, waktu saya lewat daerah itu, tanahnya memang kering. Jalan dipenuhi debu kuning. Masker yang menutupi muka saya sampai bersaput kuning karena pasir. Kalau tanahnya nggak kering, mungkin nggak terjadi badai pasir tapi angin ribut 'saja'. Meski angin ribut ini mungkin juga nggak akan terjadi kalau cuaca nggak seekstrem ini.


Dengar-dengar, kita udah bukan di zaman global warming lagi, tapi udah hampir masuk di global boiling. Saya nggak kebayang aja kalau cuacanya lebih panas atau lebih ekstrem dari ini. Lha wong kemarin-kemarin aja di negara empat musim udah sering heatwave dan badai salju. Kalau masuk global boiling apa nggak lebih ekstrem?


Alamnya, saya rasa, pasti akan bisa beradaptasi apa pun kondisi yang terjadi. Sebab alam akan selalu bergeser ke kondisi seimbang secara otomatis (meski tentu pergeseran ini akan mengorbankan makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa bertahan, tapi hasil akhirnya adalah alam selalu 'seimbang', seperti yang sudah-sudah). Hewan dan tumbuhan akan mengikuti pergeseran ini. Tinggal kita, manusia, yang bisa bertahan atau enggak. 


Yah... apa pun itu, pemanasan global yang dulu 'cuma' kita pelajari teorinya di sekolah, kini semakin terasa dampaknya. Dan semoga ke depannya bisa berkurang atau, paling nggak, melambat signifikan. Kebutuhan dasar aja sekarang makin sulit terkejar. Tanah tempat tinggal, harganya sudah nggak masuk akal. Air bersih, aksesnya belum semua dapat kemudahan. Pangan, bisa jadi rebutan. Apalagi kalau perubahan iklim jadi makin-makin, nggak tahu seberapa banyak lagi yang harus ketat kita perjuangkan?



==========

Disclaimer: Photo by Leo Rivas on Unsplash


Reading Time: