Februari 2022 - Hijaubiru

Jumat, 25 Februari 2022

Pesan dalam Tulisan
Februari 25, 2022 2 Comments


Apa, sih, pesan dalam tulisan itu?

Apa pesan adalah sesuatu yang jelas-jelas dituliskan penulis di naskah? Misalnya, ajakan 'jangan mencuri, jangan berbuat jahat, jangan merebut milik orang' dsb. Atau, pesan dalam tulisan adalah sesuatu yang bisa dipahami pembaca secara tersirat tanpa si penulis menuliskannya dengan gamblang?


Menurut saya, keduanya benar. Namun, poin pertama lebih cocok digunakan untuk buku anak-anak sehingga memang harus gamblang. Di sisi lain, poin kedua lebih sesuai untuk buku-buku/tulisan remaja dan dewasa karena mereka punya tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada anak-anak. 


Ini konteksnya tulisan fiksi, ya. Sebab pada nonfiksi, sebagian besar memang tersurat.


Namun, pada praktiknya, pesan model pertama (yang gamblang itu) masih sering ditemukan di buku untuk dewasa/remaja. Pesan-pesan seperti ini seakan menyuapi pembaca sehingga kita serasa sedang diceramahi dan didikte bagaimana harus bersikap. Meski pesannya baik, tapi gimana ya.... Kan, ini fiksi yang 'tugasnya' bercerita; bukan teks peraturan atau ceramah tokoh agama.


Biasanya, model-model tulisan seperti ini sebagian besar adalah hasil karya para pemula, baik itu yang baru 'nyemplung' dalam dunia kepenulisan ataupun orang yang bukan pendatang baru tapi masih belajar merangkai cerita. Namanya juga proses jadi sebetulnya normal-normal aja. Namun, akibat belum halus dalam bercerita, maka biasanya ada dua kemungkinan, antara (1) pesannya nggak sampai, atau (2) pesan tsb jadi cenderung kayak menceramahi. Kemungkinan kedua lebih sering ditemui. (Saya juga masih sering kayak gini, haha. Apalagi kalo udah buntu terus bingung ini enaknya 'dibungkus' kayak gimana, LOL).


Namun, ternyata bukan cuma penulis-penulis aja yang 'terjebak' di pesan tersurat, pembaca juga kayaknya masih banyak yang sulit mengambil pesan dan lebih suka ngambil 'permukaannya' aja. 


Soal pembaca yang nggak bisa memahami lebih dalam ini sebenernya saya agak kaget juga, sih. Kalau tulisan sastra, maklum, karena emang dibungkus metafora berlapis-lapis. Tapi kalau tulisan populer, hm... kan itu sudah lebih mudah dipahami, yak. Dan, saya pikir, jenis tulisan/genre/aliran/dll penulis sudah akan menyaring siapa yang akan jadi pembaca sehingga mereka sudah paham gaya tulisannya memang seperti itu dan mampu mengambil pesan yang tersirat di situ.


Gampangnya, 'pasar'/sasaran pembacanya udah terseleksi lewat genre dll-nya gitu, lho. Jadi harusnya mereka memang orang yang relate dan 'nyambung' dengan si penulis ini.


Jadi saya cukup terhentak waktu nemu ini di kolom Facebook.



Saya nggak tahu apa orang yang request ini udah baca semua tulisan Asma Nadia atau belum. Soalnya, kalau ngikutin, judul-judul seperti Emak Ingin Naik Haji, Cinta di Ujung Sajadah, itu bukan ngomongin soal cinta cowok-cewek, euy. Misalnya di Emak Ingin Naik Haji. Duh, itu, kalau disorot dari segi kekuasaan Allah seperti kata sender, pas banget karena isinya bener-bener nunjukin kuasa Allah. [SPOILER ALERT!] Dari Emak yang cuma jadi ART tua di rumah juragan, yang jelas gajinya cuma cukup buat hidup sederhana, sampai bisa haji karena tiba-tiba juragannya mau syukuran dengan berangkatin orang lain haji. Padahal, juragan itu sebelumnya kalau syukuran ya syukuran biasa aja; makan-makan ramai-ramai. [SPOILER END]


Poin saya adalah di ucapan Asma Nadia soal perspektif yang banyak itu. Ambil contoh topik cinta. Perspektifnya memang bisa jadi kisah kasih pria-wanita, tapi bisa juga antara ortu-anak, Tuhan-hamba, atau riilnya cinta Emak terhadap Allah lewat keinginan naik haji tadi. Buku/novel mbak Asma yang bertema pernikahan pun ada pesan terselubungnya; nggak cuma nunjukin indahnya romantisme kehidupan setelah married.


Sayangnya, hal-hal seperti inilah yang masih luput dari kacamata beberapa pembaca. Entah belum bisa atau nggak mau, mereka nggak menyelami isi cerita lebih dalam sehingga pesan tulisan justru kelewat gitu aja. Biasanya, karena yang menjadi fokus ketika membaca hanya alurnya. Apa sih ini konfliknya? Gimana sih ending-nya? Gimana nasibnya si A, B, C? Akhirnya, yang dipahami, ya, cuma garis besarnya. Padahal (menurut saya sih), penulis macam Asma Nadia, Andrea Hirata, dsb itu meski pesannya kadang agak berat, tapi penyampaiannya udah halus dan 'merakyat' sekali sampai remaja aja bisa paham. 


Lagipula, banyak, kok, penulis kondang dan andal di Indonesia yang sudah menuangkan berbagai kisah yang nggak cuma cinta-cintaan. Mungkin pembaca aja yang kudu cari-cari lebih banyak daripada disajikan begitu saja. 


Lalu, poin kedua.

Bila memperhatikan kolom sebelah kanan, apa yang terlintas?

Kalau saya, yang terpikir adalah ensiklopedia, bukan novel. Mungkin cerpen, tapi cerpen anak. Sebab, pesan-pesannya terlalu gamblang dan konfliknya terlalu sederhana dan pendek. Entah kalau ada yang bikin seperti cerpen koran yang dibungkus metafora bermacam-macam, mungkin bisa (?) Entah. Tapi yang jelas, sulit rasanya buat saya untuk membayangkan hal seperti ini diangkat menjadi topik utama di novel untuk dewasa/remaja.


Mungkin, memang pembaca yang harus mau menggali pesan lebih dalam daripada hanya membaca pesan dan alur permukaan aja. Sebab, salah satu kelemahan fiksi Indonesia dibandingkan luar negeri memang perkembangan karakter dan 'isi' yang kurang karena terlalu fokus pada alur dan penyelesaian konflik. 


Nggak semua tulisan, tentu. Tulisan yang matang biasanya sudah melewati hal ini. Tapi untuk fiksi pop, masih banyak yang begini. Bahkan, tulisan yang sudah dicetak menjadi buku pun bukan jaminan kalau ia sudah 'lepas' dari style seperti ini.


Pada akhirnya ya tergantung pembaca. Nggak bisa menggantungkan quality control pada penulis aja. Sebab, nggak cuma penulis, pembaca juga harus cerdas untuk menentukan tulisan yang masuk ke otaknya.

Reading Time:

Jumat, 18 Februari 2022

Cincin Api
Februari 18, 2022 2 Comments

Beberapa hari yang lalu, saya nonton sebuah film pendek tentang Gunung Tambora. Kebetulan 'nemu'  film ini dari promosi akun media sosial Taman Nasional. Video pendek ini mengulik soal sejarah meletusnya Gunung Tambora pada 1815.


Nama Tambora mungkin kurang familiar dibandingkan gunung-gunung yang sudah dikenal wisatawan mancanegara seperti Rinjani atau Bromo, tapi gunung ini adalah salah satu objek yang tak kalah penting karena pernah mengubah iklim dunia di abad 19. Ya ketika dia meletus itu.


Letusan itu memancung seperempat puncaknya. Skalanya? Lebih besar daripada bom atom yang dijatuhkan AS di Jepang saat PD II (letusan Tambora berskala 7 VEI. Perbandingan: letusan Krakatau abad 19 berskala 6 VEI, 10.000 kali lebih besar dari bom atom Hiroshima)sumber. Masyarakat yang tinggal di kakinya sebagian besar tewas terlibas erupsi. Abu solfatara yang meruap dari kepundannya menyelubungi atmosfer bumi hingga setahun. Suhu bumi turun drastis karena cahaya matahari terhalang abu.


Tahun itu dikenal sebagai The Year Without Summer. Tak cuma Indonesia atau Asia, Eropa dan negara empat musim lainnya pun terkena suhu sangat rendah. Tanaman pertanian gagal panen, kelaparan dan penyakit merebak di mana-mana. Banjir, longsor, badai, sudah seperti berita cuaca rutin. Pernah dengar novel atau monster Frankenstein? Novel sci-fi pertama itu lahir karena sang penulis, Mary Shelley, terkurung di tempat tinggalnya di Swiss karena cuaca yang sangat dingin.


Setidaknya itu yang dituturkan dalam film pendek produksi Baraka Bumi itu.


Lahir, hidup, dan besar di negara yang dilintasi Cincin Api Pasifik memang bikin kita sangat familiar dengan gunung berapi. Di mana di Indonesia yang nggak ada gunung berapinya, kecuali Kalimantan? Berita gempa dan erupsi sudah seperti makanan sehari-hari meski kita kadang masih terkaget-kaget kalau itu terjadi betulan. Apalagi, kalau mengalami sendiri.


Kita memang familiar, tapi apa sudah siap menghadapinya?

Ibarat hubungan. Dengan bencana, apa kita sudah betulan jadi 'teman' atau cuma sekadar 'kenal'?


Sayangnya, pendidikan/sosialisasi mitigasi bencana di Indonesia belum begitu meluas. Okelah buat daerah-daerah yang sudah jadi langganan bencana, misalnya Yogya dan sekitarnya yang sering kena gempa atau erupsi, atau kaki Gunung Sinabung, atau daerah-daerah pantai di Sulawesi. Gimana dengan daerah lainnya?


Di daerah yang tak pernah mengalami bencana itu, biasanya, pengetahuan masyarakat soal penyelamatan diri saat bencana juga masih kurang. Misal? Coba tanyakan aja ke orang terdekat: kalau gempa, harus ngapain? Kalau lagi ada di gedung tinggi, harus ngapain? 


Sebelum tinggal di Jogja, yang sering banget diguncang gempa (meski alhamdulillah ya nggak gede-gede amat, meski kadang ya gede juga...), pengetahuan saya nol soal ini. Setelah tinggal di sana pun, rasa-rasanya pengetahuan saya masih minim. Paling cuma tahu kalau ada gempa, segera pergi ke tempat lapang. Baru ketika kenal teman-teman volunteer dan ikut beberapa acara teman-teman penggiat olahraga outdoor, saya baru tahu kalau penanganannya beda-beda.


Kalau nggak mungkin keluar gedung, cari meja dll yang kuat dan berlindung di bawahnya. Kalau ada di basement atau gedung tinggi dan nggak memungkinkan keluar dengan cepat, cari sudut ruangan yang berbentuk siku, terutama di dekat lift, dan meringkuk di sana. Struktur siku itu biasanya lebih kuat dibanding dinding biasa dan bisa sudutnya bakal menghalau reruntuhan yang jatuh karena mereka bakal nyangsang di segitiga itu. Jadi, logikanya, manusia akan lebih terlindungi.


Dan, jangan, jangan pernah turun pakai lift. 

Saya masih ingat kejadian 2019 kalau nggak salah. Lagi santai garap tugas di lantai 4/5 perpustakaan, kemudian terasa gempa. Dua detik, lalu berhenti. Seisi ruangan jadi agak sepi, tapi segera normal kembali. Cek BMKG dsb, aman. Kami semua melanjutkan kerja. Tapi, sekitar 10 menit kemudian, gempa kembali terasa. Kali ini sedikit lebih lama daripada tadi. Beuh seperti dikomando, semua orang langsung kompak tutup laptop dan lempar segala barang ke dalam tas; bergegas keluar dan turun.


Kebetulan tangga di perpus ini bentuknya melingkar mengelilingi gedung. Jadi, kalau mau turun ya lama. Tapi, di sudut dekat mushalla ada tangga darurat. Tahu, nggak, berapa orang yang turun pakai tangga darurat? Cuma sekitar 5 orang! Dan, ada yang malah masuk lift turun. Duh!


FYI, turun pakai tangga darurat lebih cepat daripada pakai lift. Dan lebih aman. Kalau pas di gedung tinggi dan kabel lift-nya kenapa-kenapa, gimana hayo?


Ngomong-ngomong soal gempa, saya jadi ingat cerita bahwa masing-masing anggota keluarga di Jepang pasti punya tas emergency yang bisa disamber kapanpun saat terjadi bencana. Isinya mirip dengan survival kit kalau naik gunung: air, makanan yg siap makan (coklat, energy bar, dll), senter, selimut/jaket, jas hujan, peluit, obat, salinan dokumen penting, dsb. Intinya adalah barang penting dan barang yang diharapkan bisa buat bertahan hidup hingga beberapa hari sampai tim penyelamat tiba (kalo udah kayak gini berasa bersyukur ilmu yang diajarkan di pecinta alam dulu bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Ya gimana, kalau di alam, kondisinya emang serba terbatas jadi kudu efisien). Oh ya, dan radio.

Emergency radio. Courtesy of Sony.
Bagian yang bisa diputar untuk charging diberi tanda 'power generator'


Ini baru saya ketahui beberapa pekan lalu waktu kebetulan nonton siaran salah satu komunitas Indonesia di Jepang. Radio ini bisa jadi alat komunikasi dan memantau update berita seperti peringatan bencana susulan, evakuasi, info titik kumpul/pembagian sembako, dsb (jadi bukan buat ngedengerin stasiun radio hiburan doang). Radio darurat ini pakai baterai, tenaga surya, dan ada semacam putaran juga yang bisa dipakai untuk men-charge baterai. Kenapa ada putaran/engkolnya? Just in case terjebak di reruntuhan yang sinar matahari nggak bisa masuk, terus baterainya habis, maka pemilik tetap bisa menggunakan radio ini dengan energi kinetik putarannya. 


Kenapa kok radio? Kan ada ponsel? 

Just in case baterai ponsel habis atau nggak ada sinyal/koneksi internet atau kondisi mati listrik, radio adalah pilihan yang feasible. Lah wong mati lampu biasa aja, sinyal internet langsung hilang dan sinyal biasa mendrip-mendrip! Radio, meski hanya suara, tapi bisa menjangkau lebih jauh dan lebih mudah.


Balik ke soal tas darurat. Apa sistem tas darurat ini sudah diadaptasi di negara kita? Sosialisasinya sudah ada, ada poster-poster BNPB dkk di beberapa tempat online/offline, tapi rasa-rasanya masih terbatas dan di masyarakat belum terlalu diterapkan. Apalagi kalau daerahnya minim bencana. 


Saya teringat cerita seorang teman yang sudah malang-melintang di dunia kerelawanan bencana. Dia bilang, sayangnya, masyarakat kita bakal percaya kalau sudah mengalami sendiri. Dalam sebuah peristiwa bencana beberapa tahun lalu, tim sudah menyarankan agar warga mengungsi karena dikhawatirkan akan ada aliran lahar dingin mencapai desa. Warga keukeuh tidak mau karena erupsi-erupsi sebelumnya, daerah mereka tak pernah terkena.


Memang, normalnya, daerah itu tak akan terkena. Namun, dalam kasus luar biasa, bisa saja daerah itu kena getahnya. Dan, benar, lahar dingin membanjiri desa. Sekian jiwa meninggal. Sejak kejadian itu, warga desa tsb sudah mengungsi duluan bila ada tanda bahaya, sebelum tim pemantau meminta mereka evakuasi.


Mungkin mitigasi bencana emang benar-benar perlu ditanamkan sejak kecil, nggak cukup diajarkan secara teori aja. Mungkin perlu simulasi sekalian?


Oh ya, saya juga pernah dengerin celetukan begini, "Jangan terlalu menggantungkan sama teknik, ilmu pengetahuan, dsb. Kita bisa selamat dari bencana itu karena kehendak Allah/Tuhan, bukan karena kita tahu teknik dsb."

(Celetukan ini juga sering terdengar kalau ada yg ngomongin tentang pencegahan penyakit, pentingnya menuntut ilmu, financial planning, dsb.)


Duh, ya iyalah. Semua pasti karena kehendak-Nya.

Tapi bukan berarti lalu pasrah aja. Kita, kan, dikasih akal. Teknik dsb itu adalah langkah antisipasi, bukan jaminan 100%. Seenggaknya kalau sudah siap dan tahu sikon, bisa lebih menekan kerugian akibat bencana, termasuk korban jiwa. Misalnya Jepang yang juga sama-sama dilewati Ring of Fire. Kalau ada tsunami/gempa di sana, ya tetap ada yang meninggal, tapi nggak banyak. Gedung yang rusak pun ada, tapi yang bertahan juga nggak kalah banyak karena dirancang tahan gempa. Namun, hasil akhirnya, selamat atau enggak, ya, tergantung kehendak-Nya.


Please jangan pakai 'kehendak Tuhan' sebagai alibi karena malas berusaha...

Reading Time:

Jumat, 11 Februari 2022

Ketika Menulis Malah Nggak Bikin Happy
Februari 11, 2022 4 Comments


"Menulis itu, kan, harusnya dinikmati," ujar seseorang. "Bukan malah kayak ada tekanan dan dikejar-kejar."


Saya setuju itu. Apalagi, awalnya, saya menulis memang karena pengin numpahin imajinasi; pengin mengeluarkan yang nggak tertahankan di hati dan pikiran.


Saya juga ngerasa, kok, beda banget rasanya menulis dulu dan sekarang. Dulu, akhir SD hingga SMP, nulis rasanya lancar jayaaa. Nggak ada yang namanya writer's block, hilang mood, atau kehilangan kata-kata. Sehari 1.000 kata mah hayuk aja. Bahkan bisa lebih. Tapi sekarang? Hm...


Milih kalimat pembuka aja bisa 15 menit sendiri. Bulan kemarin bikin program 1 hari 1 tulisan berdasarkan prompt juga ternyata makan waktu paling nggak 30-45 menit buat bikin cerita superpendek sepanjang 2 halaman. Kalau nulis artikel apalagi, beuuh bisa macet berhari-hari. Nulis catatan perjalanan yang dulu sehari-dua hari bisa selesai (nulis doang, nggak termasuk ngumpulin data dll), sekarang bisa seminggu cuma baca-baca referensi aja. 


Daaaan, saya juga ngerasa, kok kayaknya lebih sering macetnya, ya? Kok lebih sering bingungnya ya? Kok lebih banyak porsi bingungnya daripada porsi hepi-hepi dan hati berasa plong kayak dulu? Kenapa saya nggak ngerasa sepuas dan sesenang dulu kalau nulis? Apa ini sisi gelap dan negatif dari menulis? (halah bahasane!)


Umm, no

Semakin dewasa, semakin banyak tulisan yang saya, atau kamu, baca. Artinya semakin banyak juga gaya tulisan yang saya lahap. Ada beberapa teori dan tips menulis juga yang coba saya praktikkan karena menurut saya bagus. 


"Lha ya ini! Karena pake teori dan tips! Makanya jadi lambat, makanya malah writer's block! Nulis ya nulis aja lah! Suka-suka!"


Memang iya. Kalau terlalu terpaku dan nggak tepat penggunaannya. Namun, ketika digunakan dengan pas, itu justru tools untuk memperbaiki tulisan. Okelah jujur emang ada rasa nggak nyaman ketika ada aturan yang harus diikuti. Misalnya, pemilihan diksi yang pas dan menggugah imajinasi dsb. Tapi, memang itu biar tulisannya bagus. Kalau nggak pakai itu, mungkin saya akan ngerasa los-plong kalau nulis, tapi tulisannya nggak akan enak dibaca. Nggak akan mengalir, nggak akan menang lomba, dan nggak cantik dipajang buat portofolio. 


Makanya ada penulis kondang yang sampai bilang, "Menulis itu sulit, tapi editing itu lebih sulit dan bikin males."


Kalau nulis asal ngeluarin kata emang 'gampang'. Yang susah kan emang bikin gimana biar tulisan itu berisi, enak dibaca, ngalir, dsb. 


Tekanan itu emang kerasa. Nyata. Makanya, saya berusaha mempraktikkan saran dari seseorang yang udah lama malang-melintang di dunia ini: tulis aja dulu, sebebas-bebasnya. Jangan pikirkan kalimat pertama, diksi, puitisasi, nilai yang mau dibagi, dsb. Tulis seperti kamu bicara. Tulis seperti kamu lagi nyeritain ke orang lewat lisan. Kalau semua sudah selesai, baru edit. Tata, ganti, bongkar, isi yang bolong, hapus bila perlu. Barulah di tahap ini kamu mikir kalimat pertama, adegan peralihan, dsb.


Beberapa kali tips ini saya pakai dan, ya... it works.


Dulu, saya pikir editing itu cuma cek PUEBI dan mindah kalimat/paragraf. Ternyata... milih diksi, bikin kalimat utama, ngatur 'ritme', itu juga termasuk editing. Oalaaah, pantes saya nulisnya jadi lama. Kirain, saya bukan penganut 'menulis sambil mengedit'. Eh ternyata malah pengikut sejak lama, wkwkwk.


Dan, gimana ya, kalau memang mau profesional atau semiprofesional, teori tips dll itu memang diperlukan demi kualitas tulisan. Jadi ya memang pasti ada tekanan. Tapi bukan berarti nggak bisa nulis hepi juga. Kalau sudah biasa, bisa jadi hepi, kok, karena udah melekat ke gaya menulis (yang ini testimoni penulis kondang, sih. Saya sendiri belum ngerasain, hehe). Atau kalau belum bisa, mungkin 2-langkah tadi bisa dicoba: tulis bebas, baru tata.


Sebab, menulis dan rasa lega selepas tulisan jadi 'ada' itu seperti dua sisi bulan: ada sisi gelap dan ada sisi terang, ada sensasi dikejar-kejar tapi juga ada sisi senangnya. Keduanya nggak bisa dipisahkan. Dan, dua-duanya sama-sama dibutuhkan demi si tulisan. 

Reading Time:

Jumat, 04 Februari 2022

人生
Februari 04, 20220 Comments





Matematika yang kita pelajari di bangku sekolah amat berbeda dengan matematika kehidupan. Di sini, 1 ditambah 1 belum tentu jadi 2. Bisa jadi 3, 0, bahkan bernilai minus. Kita berusaha belum tentu kita akan sukses. Bisa jadi malah stagnan atau gagal. Di sisi lain, nggak berusaha belum tentu akan gagal. Bisa jadi yang bersangkutan malah hidup enak.

Enggak, di sini nggak akan ngomongin privilege

Back to topic, pernah baca perjalanan hidup orang yang kayak gini? 

Ada yang gagal-gagal-sukses, sukses-sukses-gagal, gagal-gagal-gagal, sukses-sukses-sukses. Ada juga yang biasa-biasa aja. 1+1 yang sederhana ada yang berakhir kisah manis, sedangkan 10+10 yang nampak lebih banyak ternyata zonk di belakangnya. Ada bisnis dan nasib orang yang udah digadang-gadang, "Wah bakal gede nih, sukses nih" tapi sekarang "Lho kok jadi gini?"

Well, that's life.

Kita berbuat baik belum tentu dibaikin balik. Bisa jadi malah dimanfaatin atau ditipu. Atau malah yang dibaikin nggak ngeh kalau kita lagi berbuat baik sama dia dan malah salah paham, dikira kita berniat buruk. Ada yang kayak gini? Ada. Karena beda perspektif. Di sisi lain, ada orang yang rusak atau jahatnya minta ampun tapi justru diterima karena alasan ini dan itu. 

Orang yang udah banyak berusaha atau berkorban bisa aja terjungkal di akhir dengan alasan 'sesimpel' dia kena 'sikut'.

Nggak fair ya? Yah, that's life.

Hidupmu nggak seindah hidup orang lain? Nggak apa-apa.
Hidupmu nggak selancar cerita sukses orang lain? Nggak apa-apa.
Hidupmu penuh onak, duri, dan air mata? Nggak apa-apa.
Kamu ngerasa sudah berusaha sampai nangis darah tapi ending-nya membagongkan? Nggak apa-apa.
Kamu masih mau hidup, bahkan berusaha, sampai titik ini pun udah bagus banget.
Mungkin sedikit, atau bahkan nggak ada, orang yang akan menyorakimu saat kamu berusaha masih mau hidup. Tapi ketahuilah kalau itu udah bagus.

Kamu masih mau bernapas sampai detik ini? Itu udah bagus.  

Hidup nggak akan pernah adil. Yang adil, ya, di akhirat nanti. Saat semua baik-buruk ditimbang, ketika semua maksud dan niat tampak terang tanpa sembunyi di balik alibi. 

Life isn't fair. It won't be. Do you know what's fair? The afterlife.

Ada satu kalimat yang nggak sengaja saya temukan di sebuah utas Twitter. Saya nggak tahu ini konsepnya salah atau benar secara agama, tapi saya pribadi meyakini ini benar karena rasanya konsep ini lebih adil. Kira-kira kayak gini:

Balasan itu adanya di akhirat. Kalau di dunia, namanya ujian. Soalnya kita gatau kan, kita dikasih sesuatu itu imbalan buat amal baik kita atau justru buat ngetes kita bakal tetep lurus atau enggak.

Terus, gimana, dong?
Itu bahasan untuk lain waktu :)

Buat kamu yang ngerasa udah lama berusaha ngerajut cerita indah, tapi sekarang hidupmu nggak kunjung berbuah manis
Buat kamu yang putting on a brave face meski hati/fisik/harga diri rasanya udah hancur-lebur diinjak-injak jadi kepingan dan remah-remah 
Buat kamu yang dianggap lemah padahal kamu masih berjuang buat sekadar bertunas

I don't know what to say, actually...
Just... listen to yourself
You're still standing til this point, 
You still want to stand up to this very moment,
For now, that's enough

Yes, life isn't fair to you. Acknowledge it first and don't deny that life is always fair. Your life story doesn't have to resemble others. It doesn't have to resemble 'the model stories'. 

Seperti yang ditulis di atas, kamu masih mau hidup dan nggak memutus napas sampai detik ini itu sudah bagus. 

Just... keep living. Just keep swimming. 


Reading Time: