Hijaubiru: Buku
Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2024

Audiobook
Maret 31, 20240 Comments

 



Dari beberapa bentuk buku, audiobook adalah salah satu yang paling jarang saya nikmati—kalau nggak bisa disebut nggak pernah. Saya lebih suka baca teks langsung karena ngerasa lebih gampang ‘masuk’ ke kepala. Kalau mendengarkan aja, rasanya masih ngawang. Dan, ngedengerin audiobook memakan waktu lebih lama dibandingkan kalau saya baca buku fisik. Karena itulah saya nggak pernah ngedengerin audiobook.

 

Seenggaknya, sampai beberapa saat lalu.

 

Semua bermula dari algoritma Youtube yang merekomendasikan potongan bacaan sebuah buku. Ketika saya klik, wah, kok suara yang bacain enak didengar *eh-lho. Memang nggak semua potongannya saya dengarkan saksama sehingga ceritanya baru saya pahami sepotong, tapi nada bacaannya mirip ASMR yang menenangkan dan bisa jadi white noise untuk teman saat laptop-an.

 

Sayangnya durasi buku itu cuma sebentar. Lalu meluncurlah gadget ini ke salah satu website penyedia audiobook yang saya tahu. Tentu, semua buku di sana berbayar. Namun, penyedia berbaik hati menyediakan preview masing-masing buku kurang-lebih lima menit. Baiklah, mari kita coba.

 

Hm... yang ini kok asyik.

 

Audiobook yang saya tahu adalah suara orang membaca teks. Nadanya memang nggak datar-datar saja karena narator perlu menyesuaikan emosi yang ada di buku, apalagi di buku fiksi. Saya kira, pembacanya hanya satu orang (karena kalau banyak atau disesuaikan jumlah tokoh, bukannya mirip sandiwara radio?). Dan itulah yang bikin kesannya seperti ngebosenin di benak saya.

 

Namun, yang ini beda. Saya baru tahu juga kalau ternyata format audiobook tuh beda-beda.

Dalam buku yang kebetulan saya dengerin, naratornya ada beberapa orang. Tiap ganti tokoh, naratornya berganti orang pula. Jadi nggak bikin bingung siapa yang lagi bicara. Asyiknya lagi, ini buku ada sound effect-nya. Saat lagi badai, ya kedengaran ada desau angin. Saat narator berkata bahwa perapiannya mulai dinyalakan, maka kedengaran suara gemeretak kayu yang sedang terbakar. Efek-efek suara itu bikin suasana jadi ‘hidup’ dan saya yang ngedengarin jadi ikut larut dan ngebayangin berada di dalam cerita.

 

Rasanya seperti didongengi.

Tenang, ngalir.

Preview itu saya putar berkali-kali, hahaha.

 

Memang nggak semua audiobook ada efek suara dan naratornya berganti tiap ganti tokoh. Saat ngebuka buku lain, naratornya seringkali cuma satu; dari awal sampai selesai. Dan nggak ada sound effect-nya. Namun, ini lumayan. Ya itu tadi, buat white noise kalau lagi laptop-an atau teman bergadang malam-malam. Namun karena saya dengerinnya disambi, jadi isinya memang nggak sepenuhnya masuk kepala karena nggak intens mendengarkan. But it’s okay, karena niatnya memang untuk jadi ‘teman’.

 

Pada akhirnya, saya tetap nggak bisa ‘membaca buku’ dengan ngedengerin audiobook, haha. Namun saya jadi dapat alternatif white noise baru yang lebih informatif. Pun bisa jadi alternatif kalau lagi males dengarin musik.

 

Audibook ada yang tersedia gratis. Selain preview di beberapa website penyedia, ada juga yang tersedia full version di Youtube. Pilihan bukunya memang nggak banyak dan suaranya/efeknya sepertinya nggak sevariatif yang berbayar (tentunya). Namun buat yang baru coba, bisa dijajal dulu.

 

Untuk yang lagi belajar bahasa asing, audiobook ini lumayan bisa bantu kemampuan mendengar (listening). Asal sudah punya basic berbahasa dan kosakata yang cukup (karena kalau enggak atau baru awal, bisa jadi malah bingung). Belakangan saya makai audiobook untuk pembiasaan dengarin omongan orang native speaker (karena logat native sama logat kita kan beda yak, dan itu bisa jadi kita bingung dia ngomong apa karena pengucapannya beda). Kalau buat belajar intensif, tentu kurang efektif karena saya dengarinnya cuma sekilas. Intinya semacam kalau ada orang ngobrol di dekat kita, dan kita nggak ngedengarin pembicaraan mereka dengan sengaja, tapi sedikit-banyak kita tahu mereka ngomongin apa, garis besarnya.

 

Buat yang suka baca novel, latihan listening-sambil-lalu pakai audiobook juga seenggaknya bisa tahu garis besar ceritanya tuh apa. Ada satu novel dan film yang saya pengin tahu isinya, tapi tebal dan lama, jadi saya dengerin audiobook-nya sambil lalu sehingga jadi tahu ini ngomongin apa (lebih cepat kalau baca review orang sih, tapi oh well, kan buat white noise juga😄)


Audiobook icon by Awicon via Freepik

Reading Time:

Jumat, 08 Maret 2024

When Book Meets Travel
Maret 08, 20240 Comments


 

Siapa yang suka baca buku saat lagi travelling? Bukan saya, haha. Saya lebih suka jalan-jalan, ngobrol, atau bengong ngelihatin sekitar saat travelling. Pun saat nggak ngapa-ngapain seperti waktu di dalam kendaraan. Membaca yang saya lakukan saat travelling biasanya hanya baca artikel daring tentang tempat yang akan/sudah dikunjungi. Membaca buku tentang suatu lokasi, yang biasa jadi penambah info sebelum mengunjungi destinasi, biasanya udah dilakuin sebelum berangkat.

 

Mungkin karena kalau baca buku, saya sering terlalu larut di dalamnya. Jadi kalau ngebaca pas travelling, ntar jangan-jangan malah lebih fokus ke bukunya daripada jalan-jalannya, haha *ngeles

 

Namun, ngelihat postingan para pejalan lain yang sering upload cerita dan foto buku yang mereka baca waktu di perjalanan, jadi pengin ngerasain juga, haha. Mungkin akan beda sensasinya, ada kesan khusus, saat membaca sesuatu di tempat hal itu terjadi atau diceritakan.

 

Jadilah ‘membaca buku tentang suatu tempat ketika berada di tempat tsb’ masuk ke bucket list saya. Meski nggak diseriusi kapan dikerjainnya.

 

Tanpa sengaja, 2023 lalu, alhamdulillah poin bucket list tersebut kesampaian.

 

Tanpa direncanakan, pertengahan 2023 lalu saya main ke area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), tepatnya ke Nongkojajar dan Wonokitri. Karena capek motoran lama, saya dan para partner touring (cuma bertiga sih, haha) memutuskan istirahat lama di kebun edelweis, Wonokitri (catatan perjalanannya bakal ditulis, insyaallah—kalau kelar, entah kapan). Saat mereka ngobrol, saya bengong duduk di gazebo bambu sambil nyeruput matcha latte yang sudah dingin.

 

“Udah, belum? Jalan lagi, yuk. Keburu malam sampai bawah,” ajak saya.

 

“Nanti dululah. Santai. Ini rokoknya belum habis,” kata salah satu partner—yang adalah ayah saya—, mengisap batang rokok yang entah sudah keberapa.

 

“Okay….” Saya kembali ke gazebo, menjauh dari kepulan asap.

 

Saya diam. Bingung mau ngapain. Makanan bahkan camilan sudah habis. Pengin jalan lihat-lihat sekeliling, tadi sudah. Foto-foto, sudah. Sekarang tinggal capeknya. Tidur? Mana mungkin…. Akhirnya iseng saya buka galeri ponsel dengan niat ngehapusin foto yang makin numpuk padahal nggak pernah dilihatin. Eh lho, kok ada foto buku?

 

Ternyata saya masih menyimpan foto beberapa halaman dari buku perjalanan Wormser, seorang pendaki gunung-gunung di Jawa awal tahun 1900-an (sekilas bukunya ada di postingan ini). Untungnya juga, tulisannya tentang area Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru belum saya hapus. Jadilah bab itu saya baca.

 

Di tengah kabut yang mulai menutupi perbukitan di seberang dan hawa yang makin menggigit, catatan perjalanan seabad lalu itu menemani saya menghabiskan sisa siang.

 

Tempat yang sama.

Jalur perjalanan (yang di beberapa bagian sepertinya) sama.

Orang yang berbeda.

Perjalanan yang berbeda.

 

It felt… serene. Blissful, content, fulfilling, beautiful.

 

Oh, jadi gini rasanya.

Mirip dengan sensasi saat masuk ke wilayah atau gedung bersejarah, yang sejarahnya pernah kita baca atau pelajari di bangku sekolah. Rasanya seperti ‘ikut melihat’ kejadian di masa itu, membayangkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Bertumpukan antara mana yang imaji dan mana yang nyata. Seperti diorama.

 

Meski buku (dan bagian itu) udah pernah saya baca sebelumnya, sensasinyanya tetap… beda. Mungkin karena barusan ngelewati area yang diceritakan di buku, maka rasanya lebih fresh. Kayak muncul percikan-percikan rasa senang saat nemuin beberapa hal yang sama, jalan yang sama, atau daerah yang barusan dilewati, disebutkan di buku. Semacam, “Aha!” moment.

 

It was melancholic-kinda nostalgic. Or maybe it was just the melancholic in me.

 

Selesai membaca bagian tentang TNBTS, saya terdiam. Kehabisan bacaan dan kegiatan. Hal selanjutnya yang saya lakukan, tak disangka, juga adalah salah satu poin yang juga ada di bucket list: mendengarkan musik favorit di tengah gunung yang dipeluk kabut.

 

Alunan piano dan biola mengalir harmonis dari earbud, selaras dengan bisikan angin yang membuat semak edelweis dan pucuk-pucuk pinus menari lembut. Aroma cemara segar tercium samar di ujung hidung. Satu, dua, tiga baris kalimat diketik di notes HP. Kata-kata itu beranak-pinak menjadi paragraf panjang sepuluh, dua puluh menit kemudian; menyumbang bagian untuk cerita yang tak kunjung selesai meski ditulis bertahun-tahun sebelumnya.

 

Area TNBTS memang salah satu tempat istimewa bagi saya. Salah satu pegunungan tercantik yang pernah saya lihat, daki, dan kunjungi. Sejarah, budaya, dan proses terbentuknya pun luar biasa. Dan, mungkin karena ini gunung ‘jauh’ yang pertama saya kunjungi ketika masih kecil, juga pendakian di atas 3.000 mdpl pertama saya, sehingga meninggalkan kesan mendalam yang kala itu menginspirasi beberapa potong cerita (yang sampai sekarang nggak tamat-tamat juga, haha).

 

Tiap bagian wilayah ini selalu berhasil membangkitkan memori; memunculkan imajinasi.

Or maybe it was the poet in me.

 

*                      *                      *

 

Kayaknya udah telat untuk 2023 recap karena udah Maret, tapi mumpung ngomongin bucket list, sekalian ajalah, haha. Beberapa hal paling memorable yang alhamdulillah tercapai tahun lalu—yang kebetulan terjadi di satu tempat—adalah:

  • baca buku tentang suatu lokasi, di lokasi itu — di TNBTS
  • ngedengerin lagu favorit (yang sekaligus jadi theme song cerita yang saya tulis) di tempat yang jadi setting lokasi cerita, sambil dikelilingi gunung-hutan-kabut — di TNBTS
  • ngelihat semak arbei/berry liar di tepi hutan (surprised dan senang banget karena biasanya nemu arbei liar saat masuk banget ke dalam hutan/gunung aja) — di kaki Gunung Arjuno

 

Those are small things; seemingly insignificant and unimportant (don’t affect my course of life much, I think)

but I count them as small wins.

My little sparks of joy.

 

Dan semoga, kita bisa menemukan ‘little sparks of joy’ lainnya di tahun ini juga. Juga di tahun-tahun setelahnya.

Reading Time:

Sabtu, 23 Desember 2023

Mencari Buku Pendakian Zaman (Amat) Lawas
Desember 23, 20230 Comments


Seminggu lalu, tepat di 16 Desember, adalah 54 tahun meninggalnya Soe Hok Gie. Aktivis dan pendiri Mapala UI itu meninggal di Gunung Semeru bersama dengan temannya, Idhan Lubis. Hari itu, beberapa poster peringatan hari kematiannya bermunculan di media sosial. Poster-poster itu mengingatkan saya tentang sebuah buku yang pernah saya baca di bulan yang sama, tahun lalu.


Buku itu berjudul “Soe Hok Gie, Sekali Lagi”. Buku yang pertama terbit tahun 2009 inilah yang jadi gerbang untuk saya untuk menemukan buku pendakian zaman (amat) lawas.


“Soe Hok Gie, Sekali Lagi” adalah kumpulan esai tentang Gie dari orang-orang yang dekat dengannya. Ada pula esai dari orang-orang yang tidak pernah ia temui tetapi ikut terlibat dalam pembuatan film “Gie”, antara lain aktor Nicholas Saputra, sutradara Riri Riza, dan produser Mira Lesmana. Dalam buku 500-an halaman itu, ada satu bagian cukup panjang yang ditulis oleh Rudy Badil—yang kemudian menjadi wartawan Kompas—yang ikut dalam pendakian saat itu. Bagian inilah yang menarik perhatian saya.


Tulisan Rudy menceritakan pendakian mereka ke Semeru. Lengkap. Sejak awal persiapan berangkat sampai pengebumian Hok-Gie dan Idhan. Esainya juga menceritakan ingatan-ingatan tentang teknis dan medan pendakian saat itu. Jalur mana yang ditempuh, apa saja yang ditemui, hambatan-perselisihan-dinamika tim yang terjadi di lapangan. Seperti pendaki lain, tim pendakian mereka juga mencari data pegunungan dari catatan perjalanan pendaki-pendaki sebelumnya. Kebetulan yang dijadikan rujukan adalah buku C.W. Wormser, seorang petualang Belanda.


Nama Wormser beberapa kali disebut. Catatan perjalanannya, selain cerita soal gunung dan perjalanan itu sendiri, juga jadi sumber catatan sejarah yang terjadi di sekitar Gunung Semeru di masa lalu. Dari nukilan catper (catatan perjalanan) Wormser inilah saya jadi tahu kalau sejak dulu sudah ada tanah pertanian di Ranu Pani (desa terakhir sebelum hiking ke Semeru), bahkan peternakan sapi. Selain soal Semeru, catatan Wormser juga disebut-sebut memiliki tulisan perjalanannya ke gunung-gunung lain.



[Wormser]

Sebelum Wormser, saya pernah menemukan catatan-catatan dan nama-nama penjelajah/pendaki lain. Antara lain cerita dari Junghuhn, van Bemmelen, dsb. Namun, catper mereka isinya lebih seperti laporan. Deskriptif sekali, “poin-poin banget”, ilmiah pol (kecuali Junghuhn, yang kadang nulisnya ngalir kayak diary). Mau gimana lagi, mereka emang nulis untuk keperluan laporan eksplorasi pemerintah Hindia-Belanda, bukan untuk majalah. Jadi ya emang kaku sekali. Lebih cocok untuk referensi.


Di sisi lain, saya lebih akrab dengan catper gaya non-fiksi naratif. Pernah baca artikel majalah atau salindia di medsos? Ya kayak gitulah. 


Buku Wormser tampaknya menyajikan catper pendakian secara khusus. Maksudnya, kalau catper penjelajah lain biasanya gunungnya dibahas sedikit dan lebih banyak bahas daerahnya (karena emang laporan daerah). Karena topiknya lebih mengerucut ke pendakian itulah, saya jadi ingin baca bukunya.


Alasan lain adalah karena buku Wormser ini rupanya udah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari judulnya “Bergenweelde” menjadi “Kemewahan Gunung-Gunung.” Yesss, saya nggak perlu bolak-balik buka Google Translate untuk nerjemahin halaman satu per satu!


Sebagai catatan, kebanyakan catper penjelajah Hindia-Belanda (seenggaknya yang saya temukan online) mayoritas berbahasa Belanda. Atau kadang, Jerman. Nyari itu topik pakai keyword bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sama nihilnya; hasilnya sama-sama sedikit. Beda dengan browsing pakai kata kunci bahasa Belanda atau Jerman. Padahal saya nggak bisa bahasa Belanda atau Jerman. :(


Karena buku Wormser sudah diterjemahkan, maka rasa penasaran semakin besar, haha.


Saya meluncur ke marketplace dengan harapan ada yang jual, meski second pun nggak apa. Duh, ternyata buku terjemahan '96 ini nggak banyak. Ada, sih, yang tulisannya masih tersedia. Tapi tokonya nggak terlihat meyakinkan. Dan berita buruknya, ini buku kayaknya udah nggak diterbitkan lagi. 


Tiada harapan di pembelian, saya beralih ke peminjaman. Buku lawas begini biasanya tersedia di perpustakaan, khususnya perpus-perpus kampus. Saya menelusuri satu demi satu repository perpustakaan terdekat. Nihil. Hiks. Sebetulnya ada satu yang lokasinya cukup “terjangkau”, yaitu… Perpusat UGM. Rasanya pengin nggremeng ke diri sendiri, kenapa tahunya nggak dari dulu, waktu itu tempat masih berjarak sepelemparan batu dan sering disambangi setiap minggu. Hmm….


Untungnya, beberapa bulan kemudian, saya berkesempatan berkunjung ke Yogya. Saya udah ngerancang: mau ngehubungin adik kelas, minta tolong pinjamin itu buku dengan KTM-nya, lari ke rental buat fotokopi kilat, dan besoknya saya sudah memiliki kopian bukunya.


Namun rencana tinggal rencana. Waktu saya di Yogya ternyata amat mepet. Akhirnya saya ambil cara terakhir: nyari bukunya di perpus, baca, catat bagian yang dibutuhkan. Lagi-lagi, rencana ini pun tinggal rencana (LOL). Waktunya masih nggak cukup buat baca (astaga!). Akhirnya saya pun nggak jadi baca dan… menghabiskan satu jam lebih untuk memotret halaman satu sampai 350-an. Untuk dibaca kemudian di lain kesempatan. Alhamdulillah kamera ponsel sekarang sudah jernih, motret dokumen full satu halaman pun nggak jadi hambatan. Coba kalau ini kejadian saat kamera HP masih jadul. Itu huruf bisa ngeblur nggak kebaca semua :’)



[Awal Pencarian

Buku Pendakian Era Hindia Belanda]

Buat apa nyari catatan perjalanan/pendakian zaman dulu?

Sebenarnya saya nggak ada niatan. Waktu jadi anggota Pecinta Alam (PA), para anggota wajib survei dan cari tahu segala hal soal gunung yang akan didaki: medan, transpor, risiko, dsb. Minimal tahu jalur dan detail rutenya supaya nggak nyasar. Kalau sekarang, hal seperti ini bisa dicek di medsos atau website basecamp gunungnya. Namun, dulu medsos belum segencar sekarang. Cara buat cari tahu biasanya nanya teman/senior/organisasi PA lain yang udah pernah ke sana. Cara lain adalah baca-baca catatan perjalanan orang lain, umumnya di blog/website orang (ah jadi kangen zaman ketika blog/web dan mesin perambah masih diisi website yang organik, yang isinya beda-beda, bukan yang judul sedikit beda tapi isinya sama semua karena iklan-SEO-dsb). Cara lain adalah telepon basecamp, kalau mereka punya telepon. 


Catper orang lain ini berguna banget buat mendaki, apalagi kalau gunungnya jarang didaki. Tanda-tanda yang pernah ditemui pendaki terdahulu bisa membantu banget buat kita menandai medan dan manajemen risiko. Kita juga jadi tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi di pendakian kita, belajar dari pendakian orang lain. 


Buat saya sendiri, rasanya seperti ada semacam “aha” moment ketika menemui hal-hal yang diceritakan dalam catatan orang lain. Hal-hal sederhana, sebenarnya. Tapi cukup buat saya dan teman-teman untuk nge-hype bareng. 

“Wah, ini batu gede yang diceritain di catper!”

“Iya, ternyata gede banget seukuran kasur!”

“Kalau nemu batu ini, berarti kita udah di jalur yang benar.”

“Yesss, aku udah khawatir kita salah ambil jalan di percabangan tadi.”


Sama halnya seperti ketika membaca catatan seabad lalu, kemudian ngelihat wujudnya di depan mata.


Rasa penasaran itu kian meningkat saat mendengar cerita-cerita pendakian di tahun-tahun saat orang tua kita masih muda atau cerita dari senior tua. Dari cerita dan foto-foto mereka aja, pendakian dulu dan sekarang beda banget. Dulu lebih susah. Transpor minim dan harus lebih jauh jalan kaki, peralatan kemping nggak seringkas sekarang, dan jalurnya lebih liar. Saya jadi ngebayangin: zaman itu aja susah, gimana zaman penjelajah Hindia-Belanda? (Apalagi zaman nenek moyang di masa kerajaan-kerajaan dulu)


Membaca beberapa catatan, memang beda bangeeet. Antara lain:

  • Sekarang, kita bisa bawa mobil/truk sampai desa terakhir. Satu moda transportasi cukup. Di abad itu, mereka harus gonta-ganti kendaraan: mobil, perahu, kuda. Paling sering pakai kuda.
  • Sekarang, perbekalan bisa kita isi sekali jalan aja. Di era itu, mereka harus ngerencanain pit-stop untuk ganti kuda atau isi ulang perbekalan (pendakiannya lebih lama, berhari-hari) 
  • Di zaman kita (atau orang tua), kita bisa hiking dalam grup beberapa orang aja. Zaman itu, mereka hiking rombongan besar: ada penunjuk jalan, porter (bisa puluhan), juru masak, penerjemah, dsb.


Apa buku Wormser ini satu-satunya buku tentang pendakian?

Enggak. Sebenarnya, sebelum ‘berjodoh’ dengan buku Wormser, saya ketemu buku lain tentang pendakian gunung-gunung Indonesia karya Clement Steve, “Menyusuri Garis Bumi”. Tulisannya berlatar era 70-an. Ada juga buku “Manusia dan Gunung” tulisan Pepep D.W. dan “Zerowaste Adventure” karya Teh Siska Nirmala. Buku terakhir fokusnya bukan di catper macam medan dsb, tapi lebih ke manajemen perbekalan pendakian agar minim sampah. Selain itu apa lagi ya… mungkin ada yang tahu buku lainnya?


Reading Time:

Jumat, 19 Mei 2023

Review Buku: The Journeys 2
Mei 19, 2023 2 Comments

Judul: The Journeys 2, Cerita dari Tanah Air Beta 
Penerbit: Gagasmedia 
Tahun terbit: 2012 (cetakan pertama) 
Tebal: 255 halaman 



“Kamu harusnya lahir sepuluh tahun lebih awal.” Begitu yang biasa diucapkan beberapa teman pada saya. Saya setuju saja karena selera musik saya memang lebih lawas. Namun, untuk buku ini, sepertinya review saya juga harusnya sepuluh tahun lebih awal karena ia terbit satu dekade lalu. 


The Journeys adalah buku berseri. Saya lupa ada berapa, karena yang saya tahu/pernah lihat hanya tiga. Buku pertama pernah saya baca; hasil pinjam dari seorang teman, saat masih berseragam putih abu-abu (review supersingkatnya pernah diulik di postingan ini). Hingga tahun lalu, saya nggak tahu kalau buku ini beranak-pinak. Hingga takdir mengantarkan saya (ceile…) pada sebuah pameran buku tahun lalu. 


Kalau nggak salah pula, di era sepuluh tahun lalu itu, buku-buku travel story dari orang Indonesia mulai membanjir. Sama dengan tren saat itu, The Journeys yang pertama juga bercerita tentang perjalanan penulis-penulisnya mengunjungi negara-negara dunia. Karena saat itu dan hingga kini buku perjalanan macam itu sudah banyak, awalnya saya juga nggak begitu tertarik waktu melihat The Journeys 2 di rak. No offense, semakin banyak buku seperti ini, semakin banyak juga rasanya tulisan yang ketika dibaca serasa laporan yang kaku, bukan teks non-fiksi naratif yang ‘bercerita’. 


Nemun, teks di bawahnya menarik mata saya kemudian. Tagline “Cerita dari Tanah Air Beta” itu… menarik. Buku travel story tentang perjalanan di Indonesia memang tak cuma satu-dua, tapi rasanya masih lebih sedikit (atau kurang populer?) daripada yang perjalanan luar negeri. (Ini konteksnya buku yang dikemas travel story, ya, bukan yang hanya kumpulan tulisan aja). Padahal, keindahan Indonesia sangat boleh diadu dengan mancanegara. Kalau enggak, manalah mungkin jadi salah satu tujuan wisata internasional, meski ya kadang masih kalah dengan negara-negara tetangga kita. 


Tagline tadi bikin saya berharap bahwa The Journeys 2 akan memuat kisah-kisah yang menunjukkan uniknya kelokalan kita atau tempat-tempat hidden gem yang bahkan jarang diketahui WNI sendiri. Apalagi melihat beberapa nama penulis di bawahnya: ada yang jurnalis, pembuat film dokumenter, presenter acara jalan-jalan, dan salah satu travel writer favorit. Dengan latar belakang/pengalaman yang sudah malang-melintang di dunia media, saya jadi berharap buku ini berbeda dengan antologi catatan perjalanan lainnya.


Jadi gimana, apakah sesuai ekspektasi?

Pertama-tama, ada dua belas cerita di sini. Semuanya menyebar dari sekitaran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sekitarnya, serta Papua. Sayang nggak ada cerita dari Tanah Sumatra dan Kalimantan. Namun, kisah-kisahnya cukup menarik. Mungkin karena nggak semua yang diceritakan adalah resor atau tempat yang memang jadi tempat wisata.


Ada satu-dua yang menulis tentang tempat terpencil yang hanya dikunjungi kalau ada keperluan khusus; napak tilas misalnya. Memang bukan tempat wisata. Ada pula satu tempat yang ulasannya menarik, tentang batik. Tempat ini sudah umum dikenal soal batiknya, tapi di sini penulis berhasil mengisahkan nggak cuma filosofi di balik kain dan motifnya, tapi juga cerita para pengrajinnya, dengan menarik.


Yang nggak kalah menarik adalah cara berceritanya. Ada satu tulisan yang bercerita tentang sebuah tempat secara umum. Umum di sini maksudnya lokasi yang diceritakan udah umum banget. Sebuah kota yang cukup punya nama, tempat-tempat yang biasa dikunjungi sejuta umat di sana (Lapangan Merdeka Kota Ambon, contohnya). Namun, style tulisannya yang kocak bikin ngalir dan pembaca jadi ikut nyantai ngikutin alur, meski tempat-tempatnya sekilas nggak/kurang berkesan.


Ada pula tulisan lain yang bikin rada kaget. Pasalnya, tulisan satu ini berkisah soal perjalanan penulis liburan ke salah satu daerah yang dilarang. Pemerintah daerah setempat sudah menutupnya dari wisatawan karena asalnya memang bukan tempat wisata, hanya saja tempatnya memang menarik sehingga banyak orang yang nggak tahu lalu main ke sana. Sempat ngebatin, ‘Kok, bisa dimuat? Apa nggak cross check dulu?’. Tapi suudzon itu berakhir setelah baca tahun terbit buku ini: 2012. Oh, pantes. Lha wong ini buku terbit tahun 2012! Larangan itu baru berlaku kurang lebih tiga tahunan setelahnya. Dan, oh, satu lagi subbab yang bikin kaget adalah pengalaman salah satu kontributor waktu ikutan acara nudis. 


Ngomong-ngomong soal cara bercerita, tiap tulisan di sini punya ciri khas sendiri. Efek karena penulisnya banyak. Ada yang lempeng, ada yang mirip itinerary (hari X jam X ke X, dst), ada yang (menurut saya, sih) berusaha ngelucu tapi jatuhnya agak hm…, tapi ada yang memang lucu beneran. Bagian yang saya tunggu tentu aja tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang setahu saya biasa mengulik tabir lebih dalam dari sesuatu/suatu tempat (dan emang tulisannya bagus, kayak standar majalah/koran cetak gitulah). Terbukti, sih. Tulisan mereka memang ‘dalem’, selain informatif dan menyentuh. Cerita tentang Digul dan bangkai lumba-lumba, salah dua di antaranya. 


Jadi kalau ditanya gimana isinya, ya, macam-macam. Ada yang bagus, ada yang biasa aja.


Kalau lokasinya gimana?

Nggak bisa disangkal, sebagian besar lokasi yang dituju memang cantik-cantik! Ada yang enggak, tapi memang karena bukan tempat wisata. Jadi indahnya yang alamiah gitu. Kalau soal tempat hidden gem, kayaknya nggak ada. Tempat-tempat itu udah umum diketahui di zaman ini. Kalau di tahun itu, memang ada beberapa yang belum terkenal, kecuali di kalangan orang yang suka jalan-jalan. Lokasi tsb pernah saya tahu di sekitaran tahun terbit buku ini, sayang sampai sekarang belum terwujud ke sana, hahaha. 


Tapi jangan khawatir. Meski belum ke sana, penulis berbaik hati membagikan wujud tempat yang mereka kunjungi. Yup, dengan foto. Spesialnya (dan poin yang bikin saya suka buku ini) adalah… foto-fotonya berwarna! Dan banyak! Nggak pelit, deh! Padahal, biasanya kan buku buat orang dewasa ya gitu-gitu aja: tanpa gambar, tanpa warna, hitam-putih doang. Kalau ada foto atau gambarnya pun terbatas alias sedikit banget. Itu pun dicetak grayscale yang tentu kurang menarik daripada gambar warna-warni. Padahal, orang dewasa yang suka buku+gambar berwarna juga ada, lho. Ya mungkin ini lebih ke alasan ekonomis daripada alasan kesukaan. Nggak bisa dipungkiri kalau makin banyak yang dicetak berwarna, harga jual juga bakal makin tinggi, sehingga ngaruh ke daya beli pasar. 



Karena ini buku antologi, yang artinya ada beberapa tulisan terpisah yang nggak saling berhubungan, maka buku ini cocok buat bahan bacaan orang yang baru mau nyoba kebiasaan membaca atau yang mau kembali memulai hobi/kebiasaan membaca. Sejujurnya akhir-akhir ini saya termasuk jenis kedua: berasa malas-nggak sabar-susah fokus kalau baca buku. Tapi kalau gitu terus, kapan nambah masukan otaknya? :’) Akhirnya saya coba baca buku macam ini. Karena fokusnya nggak bisa lama, maka buku macam ini nggak masalah kalau dibaca sepotong-sepotong sebab antarbab nggak berhubungan. Jadi misal hari ini baca bab 1-3, terus ternyata mutung beberapa hari (di kasus saya malah 1-2 minggu), kita bisa lanjut baca bab selanjutnya tanpa ngerasa lupa cerita sebelumnya. Sebab, biasanya, yang bikin malas lanjut baca adalah karena lupa kisah yang udah dibaca, tapi mau re-read malas, sedangkan kalau lanjut baca bisa jadi nggak nyambung karena lupa detailnya.


Untuk buku yang nggak begitu tebal kayak gini, ternyata sekarang saya butuh waktu satu bulan biar kelar baca. Namun, kalau dihitung-hitung, total hari baca lama cuma lima harian aja. Itu pun, nggak terlalu lama. Paling lama sejam lah; di sela-sela ngurus sesuatu, nunggu servis, dsb. 


Kalau niat emang bisa cepat, kok, sebenarnya. Mengabaikan distraksi (ponsel, terutama) itu yang susah, hahaha. 


Sooo, kalau diringkas, begini review-nya:


Kelebihan (+)

  • Ada cerita yang bagus. Gaya bercerita/secara tulisan juga bagus. Informatif, historis, empatis, komedik juga ada
  • Ada foto berwarna, banyak
  • Cocok buat yang lagi kena reading slump atau mau mulai membaca

Kekurangan (-)

  • Ada cerita yang lempeng aja atau kayak baca laporan  
  • Cerita lokalitas ada, tapi nggak semuanya bercerita ‘dalam’



==========


Di luar pengalaman bepergiannya, ada beberapa hal yang membekas buat saya. Salah satunya adalah kisah satu penulis yang mengajak ibunya travelling. Di situ ia bilang bahwa tempo jalan bareng orang tua (orang tua yang mengasuh kita ataupun orang yang umurnya sudah tua) itu beda. Tentu karena faktor fisik dan usia. Kalau ngajak ortu jalan bareng, sebisa mungkin kita ‘berjalan’ lebih lambat, menyesuaikan tempo mereka. Begitu juga dengan kenyamanan. Orang tua mungkin lebih suka jalan-jalan yang mengutamakan kenyamanan dibanding anak muda yang ‘geletakan di mana pun tetap bisa tidur nyenyak’. Apalagi kalau ortunya jarang travelling. Jangan sampai sesi bepergian dengan kita malah bikin mereka nggak nyaman atau kapok, kalau kita masih pengin jalan bareng lagi. 


Buat saya, pendapat itu membekas.

Saya cenderung cepat saat berjalan atau bepergian. Tipe yang ngejar tempat sebanyak mungkin dan menikmatinya sepuas mungkin. Jadi, waktu yang 'dipangkas', ya, semacam makan atau jalan (literally). Belakangan, saat jalan bareng ortu, saya merasa tempo saya diperlambat. Ucapan seperti, “Jangan jalan cepat-cepat” menjadi kian familiar seiring bertambahnya usia mereka. Bisa ditebak, waktu perjalanan pun jadi makin lama. Tapi, ya, travelling kan buat senang-senang. Kalau yang satu nggak enjoy, what for? Akhirnya saya pun kompromi: ‘berjalan’ lebih lambat, nggak jarang mengunjungi lebih sedikit tempat daripada biasanya. Di setiap tempat pun kami siasati dengan menambahkan waktu istirahat yang cukup supaya nggak terlalu capek saat ‘jalan’ lagi. 


Memang, jadinya ada lebih sedikit destinasi yang dikunjungi. Tapi memang baiknya begitu: saling kompromi. Si anak muda (saya) berkompromi dengan ‘jalan’ lebih santai, sedangkan di lain kesempatan para orang tua berkompromi dengan, misalnya, mengunjungi tempat yang lebih ke style anak muda. Oh, tentu ini berlaku kalau jalan-jalan personal, bukan group tour. Kalau yang itu, setahu saya ada beberapa organiser yang menyediakan paket sesuai usia/tempo.


Terakhir, mungkin kita perlu berjalan sesuai tempo masing-masing. Nggak cuma berjalan secara harfiah atau jalan-jalan, tapi juga ‘berjalan’ meniti jembatan rapuh bernama kehidupan. 


Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti halnya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati. Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya.

         Rahne Putri, salah satu kontributor tulisan The Journeys 2


Reading Time:

Minggu, 26 Desember 2021

Review: The Naked Traveler 8 (The Farewell)
Desember 26, 20210 Comments


Penulis: Trinity

Penerbit: BFirst (PT Bentang Pustaka)

Tebal: 250 halaman

Ukuran: 13 x 20,5 cm 

 

 

Para penggemar jalan-jalan biasanya sudah tak asing lagi dengan serial Naked Traveler karya Trinity. Topik yang variatif serta gaya tulisan yang ceplas-ceplos memang jadi ciri khas tersendiri bagi serial bergenre catatan perjalanan ini.

 

Serial Naked Traveler punya ciri lain berupa sampul yang warni-warni dan cerah. Namun, ada yang beda dengan buku kedelapan ini. Kalau biasanya buku-buku Naked Traveler punya kaver serupa warna pelangi, kali ini warnanya hitam. Ada apa gerangan, kenapa beda banget dengan sebelumnya?

 

Ternyata … ini adalah buku terakhir serial Naked Traveler Trinity berkata di bagian pembuka bahwa buku kedelapan ini adalah buku penutup. Sebetulnya sudah kelihatan juga dari judulnya, ‘The Farewell’.

 

Apa, sih, isi bukunya?

 

Seperti buku Naked Traveler lainnya, buku ini bercerita tentang pengalaman Trinity melancong ke berbagai sudut Indonesia dan belahan dunia. Ada pengalaman menyenangkan, menyesakkan, serta tips dan trik travelling aman dan asyik.

 

Trinity menggolongkan kisah-kisahnya dalam beberapa bab berdasarkan kemiripan tema. Misalnya bab ‘Tidak Biasa’ yang berkisah tentang tempat-tempat yang tidak terlalu ramai tapi tak kalah kece dibandingkan destinasi wisata mainstream. Atau, bab ‘Opini’ yang isinya pengalaman dan perspektif Trinity soal beberapa anggapan dan stereotipe seputar pariwisata. Ada 10 bab di buku ini dan tiap bab berisi 4-6 artikel. Jadi, tiap artikel nggak terlalu panjang sehingga bisa selesai dibaca dalam sekali duduk.

 

Jangan bayangkan kalau isinya bakal berupa itinerary detail, deskripsi lokasi, atau tips & trik berupa poin-poin yang membosankan. Enggak. Penulis meramu pengalamannya lebih ke bentuk cerita. Memang ada deskripsi pemandangan dan sebagainya yang umum kita temui dalam catatan perjalanan, tapi modelnya bukan seperti brosur pariwisata yang kaku banget. Malah, Trinity mengemasnya dalam bentuk narasi yang santai. Jadi berasa baca curhatan sobat atau diri sendiri.

 

Jadi, gaya menulisnya bukan bak travel guide, tapi seperti tulisan memoar sehingga lebih mengalir dan lebih santai dibaca. Style menulis khas Trinity yang jujur, terus terang, dan ceplas-ceplos (kalau penginapan/lokasinya emang busuk ya dibilang busuk) jadi seperti angin segar. Sebab, biasanya banyak tulisan tentang travelling yang hanya mengulas hal-hal yang indah-indah saja tapi jarang yang turut menulis cerita nggak enaknya.

 

Namun, pembaca, kan, perlu tahu bahwa jalan-jalan nggak melulu enak. Bisa saja ada kendala bahasa, imigrasi, ditipu, atau ‘sesimpel’ toilet yang tipe dan tingkat kebersihannya beda-beda (di Asia Tengah mayoritas kotor, di satu kota kecil Eropa bersih tapi di kompleks stasiun-kafe cuma ada satu biji dan dikunci lagi! Dan sebagainya …). Trinity berani mengangkat topik ini, bahkan beberapa topik sensitif, dan membawakannya dengan cukup objektif.

 

Dari semua bab, yang paling saya tunggu-tunggu untuk baca (karena saya nggak bisa baca lompat-lompat, hehe) adalah bab Negara “Stan”. Artinya, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Kazakstan, dll. Kenapa? Sebab orang kita sedikit yang berminat melancong ke sini. Buku-buku catatan perjalanan dari Indonesia juga sepertinya jaraaang sekali membahas negara-negara ini saking sedikitnya orang kita yang berwisata ke sana. Rata-rata buku lebih membahas jalan-jalan di Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, atau negara lainnya yang maju atau memang tujuan turis.

 

Buku catatan perjalanan yang banyak membahas negeri-negeri pecahan Uni Soviet ini—setidaknya yang saya temukan—hanya tulisan Agustinus Wibowo. Namun, itu adalah kisah perjalanan di era sekitar tahun 2000-an lebih sedikit. Bagaimana kondisi di sana pada tahun 2015 ke atas?

 

Hal itu diceritakan di buku ini. Apalagi, Trinity dan kedua kawannya melakukan road trip bareng sepanjang beberapa negara -Stan. Yang namanya road trip biasanya lebih menantang sehingga ada lebih banyak cerita. Selain itu, road trip juga berarti bisa mengamati keadaan real di luar wahana atau spot pariwisata yang biasanya dikelola dengan lebih baik. Oh ya, selain kisah petualangan mereka, di sini juga ditulis apa saja yang harus disiapkan kalau-kalau ada yang berminat berlibur ke sana .

 

Jadi, bagaimana negara-negara -Stan ini? Supaya lebih jelas, baca aja bukunya, hehe. Sedikit bocoran: panoramanya nggak kalah cantik dengan pegunungan-pegunungan destinasi favorit turis. Nggak sesuram yang diberitakan meski ada beberapa sisi buruknya juga (tiap negara pasti punya kan). Dan, tempat-tempat tersebut jauh lebih sepi.

 

Salah satu kelebihan Naked Traveler 8 ini adalah ada gambar/fotonya. Ada banyak pula. Yesss! Di buku ini ada foto-foto pemandangan dan orang-orang selama perjalanan. Jadi pembaca bisa tahu seperti apa pegunungan, danau, atau kastil (atau toilet 😁) yang dikunjungi. Ada ilustrasi juga sehingga pembaca bisa membayangkan mimik dan ekspresi Trinity waktu diberhentikan polisi atau happy nukar uang di money changer.

 

Sebagai penggemar buku warna-warni dan bergambar, ini poin plus banget. Jarang-jarang, kan, ada buku untuk orang dewasa yang bergambar.

 

Selain petualangan yang kadang menyentuh, kadang inspiratif, dan lebih sering terasa kocak, buku kedelapan ini juga menyajikan kisah beberapa pembaca yang jadi berani jalan-jalan sendirian setelah baca Naked Traveller.

 

Apa buku kedelapan ini ada kekurangannya?


Hm … apa ya …. Saya, sih, nggak nemu. Walaupun penulis cukup blak-blakan dalam membahas beberapa stereotipe dan sisi negatif sesuatu (dan beberapa hal yang debatable), tapi pembahasannya cukup objektif meski nggak begitu dalam. Itu wajar, sebab buku ini memang bukan tipe buku travel story yang banyak refleksinya atau kudu mikir/merenung banget. Tak ada pula bagian yang menjelek-jelekkan, tapi memang kondisinya begitu sepengamatan penulis. Namun, karena ini pendapat personal, maka mungkin banget kalau saya juga bias.

 

Karena buku ini gayanya santai dan ringan, maka bisa banget jadi teman bersantai selagi ngopi atau ngeteh di akhir pekan. Tiap artikel juga nggak terlalu panjang, jadi bisa dinikmati selagi nunggu angkutan umum atau abang G-food. Bagi yang baru coba-coba atau memulai lagi kebiasaan membaca, buku ini juga recommended karena itu tadi: artikelnya pendek. Cukup lah buat melatih fokus membaca beberapa menit.

 

Akhir kata, selamat membaca dan berjalan-jalan dalam kepala!

Reading Time: