Tentang Selingkung - Hijaubiru

Rabu, 29 Desember 2021

Tentang Selingkung




Selingkung, yak. Bukan selingkuh. Jadi memang nggak salah ketik. 


Apa itu selingkung? Ada yang bilang gaya bahasa (dalam lingkungan tertentu), ada yang bilang gaya penulisan, dsb. Intinya sama: gaya penulisan/bahasa yang disepakati di lingkungan tertentu. Saya sendiri nggak tahu arti bakunya apa. Dengar istilah ini pun baru sekitar dua tahun belakangan. Emang kadang suka kudet soal ginian, haha.


Supaya lebih gampang, ini contohnya:

👉     Mana yang benar: Ramadan atau Ramadhan?

Kalau nurut KBBI, yang benar ‘Ramadan’. Namun, ada juga media besar dan terpercaya yang menulis ‘Ramadhan’ karena faktor pembaca yang mayoritas lebih suka bentuk mirip asli daripada transliterasi.

👉     Mana tanda elipsis (…) yang benar: “Tapi … itu salah!” atau “Tapi… itu salah!”

Kalau ngikutin PUEBI, maka yang benar adalah yang pertama. Namun, kenapa di banyak novel-novel bahkan penerbit mayor/besar, justru lebih banyak penulisan tipe kedua? Tempo juga pakai yang pertama (diceritakan oleh Ivan Lanin, maafkeun saya belum cek langsung).


Belakangan, saya baru tahu kalau selingkung ini bukan cuma soal ejaan dan tanda baca, tapi juga diksi. Seorang teman jurnalis pernah berkata bahwa salah satu surat kabar (cetak) nasional ada yang suka pakai kata-kata yang tidak baku supaya lebih luwes. Satu hal yang saya ingat adalah kata 'gerumbulan'/'gerumbul'. Waktu saya pakai kata ini di naskah feature, teman tsb bertanya, "Coba ini cek lagi, deh. Apa ada kata ini di KBBI?" Padahal, seingat saya, saya justru 'mengambil' kata ini dari koran tersebut. (Dan, di KBBI emang kata tsb nggak ada.)


Apakah salah? Bisa iya, bisa enggak. 

(Nah, ini lagi. Kalau nurut KBBI, ejaan yang benar itu 'enggak'. Tapi, banyak juga media besar/penerbit mayor yang pakai 'nggak'.)

Tergantung tempat/lingkungannya. Misal, kalau berdasarkan contoh di atas, ada wartawan Tempo yang nulis 'Ramadan' di sana, ya nggak salah. Kalau dia ganti tempat kerja di Republika dan tetap nulis kayak gitu, ya jadi salah karena mereka pakai 'dh'. 


Jadi, kayaknya, orang-orang yang udah paham soal selingkung cenderung nggak ambil pusing soal ini. Udah pada maklum kalau tiap tempat punya style nulis sendiri. Asal nggak kebablasan jauh dari pakem atau PUEBI. Perhatikan bahwa kata 'cenderung' saya garis bawahi karena inilah masalahnya.


Cenderung berarti sebagian besar. Artinya, toh ada juga orang yang memahami soal selingkung tapi tetap mempermasalahkan. Biasanya, soal diksi. Biasanya, perbedaan pendapat kayak gini ada di forum/grup/komunitas menulis. Jeleknya, biasanya, ini bakal dibahas dan dibedah habis-habisan di forum karena orang yang selingkungnya beda itu 'berbeda aliran/grup'.


I mean, ya udah sih. Lo udah tahu kalau ada selingkung. Hormatin aja kenapa. 


"Oh, tidak bisa, Ferguso. Cara dia salah dan dia bikin teman-temannya juga salah karena pakai cara dia."


Um, well, it depends. For some extent, yes, but...


Betul, ada selingkung yang salah banget karena nabrak aturan pol-polan. Tapi, ada juga yang cuma soal 'beda mazhab' a.k.a beda perspektif aja.

Langsung contoh aja biar nggak nggrambyang. 


Misal di komunitas F dibilang kalau terlalu banyak menggunakan -ku dan -nya itu nggak baik karena ada banyak pengulangan yang tidak perlu. Juga penggunaan -mu, itu, ini, dsb. Niatnya bagus: biar nggak boros kata dan memperjelas yang sudah jelas. Tapi, komunitas L nggak setuju karena bisa bikin kalimat jadi nggak lengkap secara struktur. Akibatnya, maknanya pun jadi nggak/kurang jelas. 


Alasan keduanya benar sehingga menurut saya, perselisihan ini masing-masing punya sisi positif dan negatif. Supaya gampang, kita pakai contoh aja, ya.


Contoh 1:

Aku mempercepat langkahku menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepalaku. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragamku agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.

Perhatikan, ada berapa -ku di sana?


Atau contoh 2 ini:

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-bajunya ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatunya. Ia benci sebenci-bencinya pada ayahnya yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliahnya.


Banyak banget, kan, partikel -ku dan -nya di sana. Beberapa bisa dihapus aja. Misal di contoh 1, 'langkahku' jadi 'langkah' karena di depan udah ada 'aku', jadi jelas dong itu langkah siapa. 'kepalaku' jadi 'kepala' karena ya kepala siapa lagi coba? Kecuali di paragraf sebelumnya diceritakan kalau dia jalan bareng temannya. Terus, 'seragamku' jadi 'seragam' aja karena ya seragam siapa lagi kalau bukan si aku? Masa mau ngebasin seragam gurunya?


Di contoh 2, partikel -nya kebanyakan. Sama, bisa dihilangkan aja. Di kalimat kedua, 'baju-bajunya' bisa jadi 'baju-baju' aja, 'sepatu-sepatu' juga. Kenapa? Karena di kalimat pertama udah jelas dia ngemasin barangnya, jadi kalau baju dan sepatu juga jelas punya Diana, dong? Kata 'benci sebenci-bencinya' mungkin bisa diganti 'sangat benci' dan semacamnya. 'Ayahnya' juga bisa dipotong jadi 'ayah' aja karena kalau ayah orang lain pasti dia nyebut nama toh (meski ini debatable, sih. Jadi 'ayahnya' juga gapapa). Kata 'kuliahnya' bisa dipotong jadi 'kuliah' aja karena kuliah siapa lagi yang bikin dia diusir kalau bukan dia sendiri?


Jadinya gini:

Aku mempercepat langkah menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepala. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragam agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.


Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia benci sangat benci pada ayah(nya) yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliah.


Tetap bisa dipahami, kan?

Begitulah. Di pelajaran Bahasa Indonesia zaman sekolah, toh kita juga diajari untuk berbahasa/menulis efektif. 


Jadi, maksudnya bagus, kan? Biar nggak mubazir kata. 

Iya, dalam taraf tertentu. Masalah baru timbul saat ada penulis yang menghilangkan banyak sekali partikel -ku dan -nya, bahkan menghilangkan subjek, sehingga nggak jelas ini adegan siapa/tokoh mana yang melakukan. Ya terang aja, karena struktur kalimatnya jadi nggak lengkap. Soal inilah yang nggak disetujui oleh grup L. Dan, saya sepakat dalam kasus ini.


Kita pakai contoh paragraf Diana, ya:

Contoh 3

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia sangat benci pada ayahnya yang mengusir hanya karena ia melalaikan kuliah.


Dengan asumsi bahwa dia sudah kebanyakan pakai -nya, penulis pun menghapus partikel ini. Apalagi di kalimat terakhir itu sudah ada satu -nya ('ayahnya'). Namun, apa ini bisa dibenarkan?


Menurut saya, enggak. Sebab jadi nggak jelas siapa yang diusir ayah meski pembaca bisa meraba-raba itu siapa. Tapi berasa nggak lengkap aja kalimatnya karena 'mengusir' biasa disertai objek. Mana ada, kan, kalimat kayak: ia mengusir. Titik. Wes. Beda kasus kalau: ia menyelam, ia makan, ia minum. Nggak pakai objek pun nggak perlu diperjelas. 


Kesalahan lain adalah menghilangkan subjek seperti aku, dia, dsb agar nggak ada pengulangan. Misal, contoh 4:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Aku tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, aku ingin berkas-berkas itu hancur sekalian.
 


Kalau partikel/subjeknya asal dihilangkan, jadi begini:

Contoh 5

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, ingin berkas-berkas itu hancur sekalian. 


Kalimatnya jadi agak aneh, kan? Oke lah, kalimat 1 dan 2 masih bisa nyambung. Namun, kalimat kedua ini nggak punya subjek (siapa yang nggak peduli? Aku? Atau dia? Atau mereka?). Kalau emang 'aku' mau dihilangkan, mungkin jadikan satu kalimat aja *cmiiw.

Jadi:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni, tak peduli soal ... dst

Kalimat terakhir juga jadi masalah. Siapa yang ingin berkas itu hancur sekalian? Aku? Dia? Mereka? Mungkin akan lebih pas kalau kalimatnya diganti aja daripada ngehapus subjek atau bagian yang signifikan. 


Inilah yang nggak disetujui oleh komunitas L. "Kenapa sih pakai ada 'mubazir -ku,  -nya, ini, itu'? Toh penulis-penulis besar nggak pakai cara ini juga karyanya tetep bagus". Di sisi lain, para anggota komunitas F pun keukeuh dengan alasan nggak mau mubazir kata dan "Biar nggak ngebosenin. Biar nggak berasa baca laporan atau textbook yang baku banget."

(NB: di dua komunitas ini sama-sama ada penulis besar dan sastrawan yang sering jadi 'panutan')


Kalau menurut kamu, mana yang benar?


Sebab menurut saya, ini kondisional.


Komunitas L betul: tanpa menghilangkan 'serangan' ini, banyak karya yang tetap bagus. Kalimat juga cenderung lebih utuh dan lebih jelas maknanya. Namun, bagaimana dengan penulis pemula?


Saya sering nemu tulisan yang masih mubazir kata. Biasanya, yang nulis memang pemula, baru nyemplung, atau jam terbangnya masih sedikit. Cari aja di platform-platform atau grup menulis di FB, apapun itu. Banyak! Nggak cuma soal 'serangan -ku -nya, ini, itu dsb' tapi juga kasus seperti 'naik ke atas, turun ke bawah, para murid-murid' dsb. Jangankan orang lain, lha wong saya aja dulu juga gitu, kok! 😁 (Sekarang juga masih sering kepeleset, sih, wkwkwk. Ingatkan saya kalau kelupaan, yak!)


Jadi, komunitas F juga betul. Menghilangkan 'serangan' ini bisa membantu. Dengan catatan: kalimatnya harus tetap utuh dan artinya jelas. Bukan malah kayak contoh 3 dan 5 yang bikin rancu. Kalau malah mbulet, mending pakai cara komunitas L aja, deh. Bikinlah kalimat yang artinya jelas dulu. Nanti baru modif macem-macem. 


Satu hal yang bikin saya nggak suka adalah: kok, ya, adaaa aja orang yang masih  ngebahas ini berkali-kali dan menganggap, "Cara grup lu tuh salah, cara gue yang bener!" padahal yang bersangkutan tahu soal selingkung. Kalau mau salah-salahan, gampangnya gini:

- cara F bagus buat pemula tapi jadi salah kalau kalimatnya jadi nggak jelas

- cara L bagus buat yang lebih pro dan paham seluk-beluk kalimat, tapi nggak bagus buat pemula karena berpotensi mubazir dan monoton.


So, tentu dua cara ini harus diajarkan dengan catatan tertentu. Nggak bisa ditelan bulat-bulat. Dan juga, jangan membenci bulat-bulat. Meskipun bahasa punya pakem sendiri, toh ia juga bisa luwes sekali. Namanya juga selingkung: style satu lingkungan/circle.


Dulu saya kira grup literasi berhaluan tertentu itu bisa lebih menghargai perbedaan dibandingkan grup literasi lainnya yang nilai-nilainya cenderung lebih kaku. Eh ternyata enggak juga. Sama aja. Sama-sama suka ngomongin kubu seberang. Di mana-mana orang kayak gini emang selalu ada, ya. Heran. Nggak bisa netral aja gitu? Kalian sama-sama berniat mendidik, lho. 


Oh betapa saya merindukan grup nulis yang rame tapi ramenya asik meski ada banyak 'aliran', bukan yang beda 'mazhab' udah berasa musuh begini. Ini 'cuma' soal selingkung, ya ampun. Bukan soal nilai-nilai internal yang dianut. 


Oke, perihal yang satu itu udah selesai, ya. Sekarang ada lagi ini: bikin selingkung sendiri karena menuruti selera pasar. Jadi standar 'kebenarannya' bukan lagi PUEBI atau bisa dipahami artinya, tapi disukai pembaca. Jadi, meski jelas-jelas salah, tetap dipakai karena pembacanya lebih suka.


Misalnya kalimat berikut:

"Eh...... Tapiii...... Aku nggak bisa........."

atau

Tidak,,, dia nggak mungkin setega itu padaku!!!!!!

Ada, sih, novel penerbit mayor yang pakai '?!' atau '!!!' tapi biasanya nggak sampai berderet kayak kereta gitu...


Jangan salah, banyak yang suka tulisan macam ini. Cek aja (lagi) di platform atau grup FB. Cek jumlah pembacanya dan kita mungkin bakal heran kok bisa peminatnya banyak. Biasanya, karena temanya relate sama pembaca sih. You know what lah. 


Ada juga kasus soal penulisan dialog dan narasi. Seorang acquintance (apa ya istilah yang tepat? Karena bukan teman/kolega. Kenalan, maybe?) pernah berkata, "Iya nih dialognya harus banyak. Soalnya ini kan buat platform online. Biar menarik. Kata mbak yang kemarin ngisi di webinarku tuh, gitu."


Oke, saya menghargai perbedaan pendapat. Tapi dalam hati, like, whaaaat? Saya tahu pembaca online lebih suka scanning dulu sebelum baca, tapi nggak gini juga, euy. Bosan juga kalau dialog sampai satu atau setengah halaman. Apalagi kalau dialognya nggak penting dan cuma basa-basi doang. 


Apapun 'wadah' tulisannya: online ataukah offline/cetak, grup FB ataukah W*ttp*d dan semacamnya, orang akan tetap mau baca kalau tulisan itu menarik. Terlepas dari dialognya banyak atau narasinya sedikit. 


Buktinya? Dee, Asma Nadia, dan beberapa penulis populer lainnya sudah mencoba masuk ke dunia penerbitan daring. Pembacanya? Banyak! Apa porsi dialognya dibanyakin (dan narasinya dikurangin) dibanding buku-buku cetak mereka? Enggak. Menurut saya, porsinya pas. 


Kalau kata Dee Lestari, "Dialog itu gas dan narasi itu rem". Dialog bisa mempercepat alur dan narasi berfungsi melambatkan jalan cerita. Kalau ceritanya digas terus, ya, nggak enak, dong. Orang ngebut juga butuh rem biar nggak nabrak-nabrak. Begitu pun kalau jalannya thimik-thimik, kapan nyampenya? Jadi baiknya memang: pas.


Tapi, bukan berarti yang punya gaya tulisan macam ini langsung dituding, "Lu salah!" Memang salah, tapi mungkin masih pemula? Atau belum tahu? Dibilangin lah pelan-pelan. Kalau kita ngotot, bisa aja dia juga ngotot dengan alasan beda selingkung/aliran itu tadi.


Huft.... mungkin karena inilah, komunitas nulis/literasi seakan-akan jadi terpecah-pecah berdasarkan 'aliran' dan penggemarnya. Orang yang suka karya model begitu ya masuk grup itu, bacanya itu-itu aja, karya dari penulis grup lain pokoke tidak sesuai (atau malah, jelek)! 


Selain ini, masih ada lagi (masih banyaaak sih sebenernya). Selingkung soal diksi. Tapi kayaknya post-nya kepanjangan kalau bahas ini juga, wkwkwk. Coba aja cari kata kunci 'prosa ungu'. Dia ini kayak pemilihan kata biar puitis gitu, tapi malah nggak jadi puitis. Prosa ungu ini sering banget dipakai terutama oleh penulis fiksi (dan saya sendiri kadang nggak sengaja make ini juga, LOL).


Kalau soal prosa ungu, biasanya komunitas-komunitas ini lebih kompak karena sama-sama nggak setuju. 


Kamu pernah dengar selingkung lainnya, nggak? Apa itu?


==============


Disclaimer: pic isn't mine. It's from Food Bloggers of Canada

NB i:

huruf F dan L sebagai inisial nama komunitas adalah huruf acak. Huruf depan di nama komunitasnya bukan itu 😁

NB ii:

karena tulisan ini lebih mirip curhat daripada tulisan serius maka bakal ditemukan banyak banget kesalahan tata kalimat dsb. Cara komunitas F dan L sama-sama saya campur di sini. Kesalahan yang mereka soroti juga bakal ada di sini, wkwkwk.


2 komentar:

  1. Semua perlu seimbang sesuai porsinya biar enak, termasuk penggunaan -ku dan -nya. 😁

    Tapi soal transliterasi dan penyerapan ini, perlu dibicarakan bersama sepertinya, hehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, Mbak :D Kalau soal transliterasi dll ini kita serahkan aja ke yang ahli, hehe

      Hapus