Hijaubiru

Jumat, 19 Mei 2023

Review Buku: The Journeys 2
Mei 19, 2023 2 Comments

Judul: The Journeys 2, Cerita dari Tanah Air Beta 
Penerbit: Gagasmedia 
Tahun terbit: 2012 (cetakan pertama) 
Tebal: 255 halaman 



“Kamu harusnya lahir sepuluh tahun lebih awal.” Begitu yang biasa diucapkan beberapa teman pada saya. Saya setuju saja karena selera musik saya memang lebih lawas. Namun, untuk buku ini, sepertinya review saya juga harusnya sepuluh tahun lebih awal karena ia terbit satu dekade lalu. 


The Journeys adalah buku berseri. Saya lupa ada berapa, karena yang saya tahu/pernah lihat hanya tiga. Buku pertama pernah saya baca; hasil pinjam dari seorang teman, saat masih berseragam putih abu-abu (review supersingkatnya pernah diulik di postingan ini). Hingga tahun lalu, saya nggak tahu kalau buku ini beranak-pinak. Hingga takdir mengantarkan saya (ceile…) pada sebuah pameran buku tahun lalu. 


Kalau nggak salah pula, di era sepuluh tahun lalu itu, buku-buku travel story dari orang Indonesia mulai membanjir. Sama dengan tren saat itu, The Journeys yang pertama juga bercerita tentang perjalanan penulis-penulisnya mengunjungi negara-negara dunia. Karena saat itu dan hingga kini buku perjalanan macam itu sudah banyak, awalnya saya juga nggak begitu tertarik waktu melihat The Journeys 2 di rak. No offense, semakin banyak buku seperti ini, semakin banyak juga rasanya tulisan yang ketika dibaca serasa laporan yang kaku, bukan teks non-fiksi naratif yang ‘bercerita’. 


Nemun, teks di bawahnya menarik mata saya kemudian. Tagline “Cerita dari Tanah Air Beta” itu… menarik. Buku travel story tentang perjalanan di Indonesia memang tak cuma satu-dua, tapi rasanya masih lebih sedikit (atau kurang populer?) daripada yang perjalanan luar negeri. (Ini konteksnya buku yang dikemas travel story, ya, bukan yang hanya kumpulan tulisan aja). Padahal, keindahan Indonesia sangat boleh diadu dengan mancanegara. Kalau enggak, manalah mungkin jadi salah satu tujuan wisata internasional, meski ya kadang masih kalah dengan negara-negara tetangga kita. 


Tagline tadi bikin saya berharap bahwa The Journeys 2 akan memuat kisah-kisah yang menunjukkan uniknya kelokalan kita atau tempat-tempat hidden gem yang bahkan jarang diketahui WNI sendiri. Apalagi melihat beberapa nama penulis di bawahnya: ada yang jurnalis, pembuat film dokumenter, presenter acara jalan-jalan, dan salah satu travel writer favorit. Dengan latar belakang/pengalaman yang sudah malang-melintang di dunia media, saya jadi berharap buku ini berbeda dengan antologi catatan perjalanan lainnya.


Jadi gimana, apakah sesuai ekspektasi?

Pertama-tama, ada dua belas cerita di sini. Semuanya menyebar dari sekitaran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sekitarnya, serta Papua. Sayang nggak ada cerita dari Tanah Sumatra dan Kalimantan. Namun, kisah-kisahnya cukup menarik. Mungkin karena nggak semua yang diceritakan adalah resor atau tempat yang memang jadi tempat wisata.


Ada satu-dua yang menulis tentang tempat terpencil yang hanya dikunjungi kalau ada keperluan khusus; napak tilas misalnya. Memang bukan tempat wisata. Ada pula satu tempat yang ulasannya menarik, tentang batik. Tempat ini sudah umum dikenal soal batiknya, tapi di sini penulis berhasil mengisahkan nggak cuma filosofi di balik kain dan motifnya, tapi juga cerita para pengrajinnya, dengan menarik.


Yang nggak kalah menarik adalah cara berceritanya. Ada satu tulisan yang bercerita tentang sebuah tempat secara umum. Umum di sini maksudnya lokasi yang diceritakan udah umum banget. Sebuah kota yang cukup punya nama, tempat-tempat yang biasa dikunjungi sejuta umat di sana (Lapangan Merdeka Kota Ambon, contohnya). Namun, style tulisannya yang kocak bikin ngalir dan pembaca jadi ikut nyantai ngikutin alur, meski tempat-tempatnya sekilas nggak/kurang berkesan.


Ada pula tulisan lain yang bikin rada kaget. Pasalnya, tulisan satu ini berkisah soal perjalanan penulis liburan ke salah satu daerah yang dilarang. Pemerintah daerah setempat sudah menutupnya dari wisatawan karena asalnya memang bukan tempat wisata, hanya saja tempatnya memang menarik sehingga banyak orang yang nggak tahu lalu main ke sana. Sempat ngebatin, ‘Kok, bisa dimuat? Apa nggak cross check dulu?’. Tapi suudzon itu berakhir setelah baca tahun terbit buku ini: 2012. Oh, pantes. Lha wong ini buku terbit tahun 2012! Larangan itu baru berlaku kurang lebih tiga tahunan setelahnya. Dan, oh, satu lagi subbab yang bikin kaget adalah pengalaman salah satu kontributor waktu ikutan acara nudis. 


Ngomong-ngomong soal cara bercerita, tiap tulisan di sini punya ciri khas sendiri. Efek karena penulisnya banyak. Ada yang lempeng, ada yang mirip itinerary (hari X jam X ke X, dst), ada yang (menurut saya, sih) berusaha ngelucu tapi jatuhnya agak hm…, tapi ada yang memang lucu beneran. Bagian yang saya tunggu tentu aja tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang setahu saya biasa mengulik tabir lebih dalam dari sesuatu/suatu tempat (dan emang tulisannya bagus, kayak standar majalah/koran cetak gitulah). Terbukti, sih. Tulisan mereka memang ‘dalem’, selain informatif dan menyentuh. Cerita tentang Digul dan bangkai lumba-lumba, salah dua di antaranya. 


Jadi kalau ditanya gimana isinya, ya, macam-macam. Ada yang bagus, ada yang biasa aja.


Kalau lokasinya gimana?

Nggak bisa disangkal, sebagian besar lokasi yang dituju memang cantik-cantik! Ada yang enggak, tapi memang karena bukan tempat wisata. Jadi indahnya yang alamiah gitu. Kalau soal tempat hidden gem, kayaknya nggak ada. Tempat-tempat itu udah umum diketahui di zaman ini. Kalau di tahun itu, memang ada beberapa yang belum terkenal, kecuali di kalangan orang yang suka jalan-jalan. Lokasi tsb pernah saya tahu di sekitaran tahun terbit buku ini, sayang sampai sekarang belum terwujud ke sana, hahaha. 


Tapi jangan khawatir. Meski belum ke sana, penulis berbaik hati membagikan wujud tempat yang mereka kunjungi. Yup, dengan foto. Spesialnya (dan poin yang bikin saya suka buku ini) adalah… foto-fotonya berwarna! Dan banyak! Nggak pelit, deh! Padahal, biasanya kan buku buat orang dewasa ya gitu-gitu aja: tanpa gambar, tanpa warna, hitam-putih doang. Kalau ada foto atau gambarnya pun terbatas alias sedikit banget. Itu pun dicetak grayscale yang tentu kurang menarik daripada gambar warna-warni. Padahal, orang dewasa yang suka buku+gambar berwarna juga ada, lho. Ya mungkin ini lebih ke alasan ekonomis daripada alasan kesukaan. Nggak bisa dipungkiri kalau makin banyak yang dicetak berwarna, harga jual juga bakal makin tinggi, sehingga ngaruh ke daya beli pasar. 



Karena ini buku antologi, yang artinya ada beberapa tulisan terpisah yang nggak saling berhubungan, maka buku ini cocok buat bahan bacaan orang yang baru mau nyoba kebiasaan membaca atau yang mau kembali memulai hobi/kebiasaan membaca. Sejujurnya akhir-akhir ini saya termasuk jenis kedua: berasa malas-nggak sabar-susah fokus kalau baca buku. Tapi kalau gitu terus, kapan nambah masukan otaknya? :’) Akhirnya saya coba baca buku macam ini. Karena fokusnya nggak bisa lama, maka buku macam ini nggak masalah kalau dibaca sepotong-sepotong sebab antarbab nggak berhubungan. Jadi misal hari ini baca bab 1-3, terus ternyata mutung beberapa hari (di kasus saya malah 1-2 minggu), kita bisa lanjut baca bab selanjutnya tanpa ngerasa lupa cerita sebelumnya. Sebab, biasanya, yang bikin malas lanjut baca adalah karena lupa kisah yang udah dibaca, tapi mau re-read malas, sedangkan kalau lanjut baca bisa jadi nggak nyambung karena lupa detailnya.


Untuk buku yang nggak begitu tebal kayak gini, ternyata sekarang saya butuh waktu satu bulan biar kelar baca. Namun, kalau dihitung-hitung, total hari baca lama cuma lima harian aja. Itu pun, nggak terlalu lama. Paling lama sejam lah; di sela-sela ngurus sesuatu, nunggu servis, dsb. 


Kalau niat emang bisa cepat, kok, sebenarnya. Mengabaikan distraksi (ponsel, terutama) itu yang susah, hahaha. 


Sooo, kalau diringkas, begini review-nya:


Kelebihan (+)

  • Ada cerita yang bagus. Gaya bercerita/secara tulisan juga bagus. Informatif, historis, empatis, komedik juga ada
  • Ada foto berwarna, banyak
  • Cocok buat yang lagi kena reading slump atau mau mulai membaca

Kekurangan (-)

  • Ada cerita yang lempeng aja atau kayak baca laporan  
  • Cerita lokalitas ada, tapi nggak semuanya bercerita ‘dalam’



==========


Di luar pengalaman bepergiannya, ada beberapa hal yang membekas buat saya. Salah satunya adalah kisah satu penulis yang mengajak ibunya travelling. Di situ ia bilang bahwa tempo jalan bareng orang tua (orang tua yang mengasuh kita ataupun orang yang umurnya sudah tua) itu beda. Tentu karena faktor fisik dan usia. Kalau ngajak ortu jalan bareng, sebisa mungkin kita ‘berjalan’ lebih lambat, menyesuaikan tempo mereka. Begitu juga dengan kenyamanan. Orang tua mungkin lebih suka jalan-jalan yang mengutamakan kenyamanan dibanding anak muda yang ‘geletakan di mana pun tetap bisa tidur nyenyak’. Apalagi kalau ortunya jarang travelling. Jangan sampai sesi bepergian dengan kita malah bikin mereka nggak nyaman atau kapok, kalau kita masih pengin jalan bareng lagi. 


Buat saya, pendapat itu membekas.

Saya cenderung cepat saat berjalan atau bepergian. Tipe yang ngejar tempat sebanyak mungkin dan menikmatinya sepuas mungkin. Jadi, waktu yang 'dipangkas', ya, semacam makan atau jalan (literally). Belakangan, saat jalan bareng ortu, saya merasa tempo saya diperlambat. Ucapan seperti, “Jangan jalan cepat-cepat” menjadi kian familiar seiring bertambahnya usia mereka. Bisa ditebak, waktu perjalanan pun jadi makin lama. Tapi, ya, travelling kan buat senang-senang. Kalau yang satu nggak enjoy, what for? Akhirnya saya pun kompromi: ‘berjalan’ lebih lambat, nggak jarang mengunjungi lebih sedikit tempat daripada biasanya. Di setiap tempat pun kami siasati dengan menambahkan waktu istirahat yang cukup supaya nggak terlalu capek saat ‘jalan’ lagi. 


Memang, jadinya ada lebih sedikit destinasi yang dikunjungi. Tapi memang baiknya begitu: saling kompromi. Si anak muda (saya) berkompromi dengan ‘jalan’ lebih santai, sedangkan di lain kesempatan para orang tua berkompromi dengan, misalnya, mengunjungi tempat yang lebih ke style anak muda. Oh, tentu ini berlaku kalau jalan-jalan personal, bukan group tour. Kalau yang itu, setahu saya ada beberapa organiser yang menyediakan paket sesuai usia/tempo.


Terakhir, mungkin kita perlu berjalan sesuai tempo masing-masing. Nggak cuma berjalan secara harfiah atau jalan-jalan, tapi juga ‘berjalan’ meniti jembatan rapuh bernama kehidupan. 


Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti halnya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati. Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya.

         Rahne Putri, salah satu kontributor tulisan The Journeys 2


Reading Time:

Minggu, 19 Maret 2023

Different 'Explore'
Maret 19, 20230 Comments


Beberapa minggu belakangan, Instagram explore rasanya jadi tak semenarik dulu. 'Kebetulan' explore saya isinya mayoritas foto-foto lanskap/objek dan konten sejenis. Sekilas isinya masih sama dengan, katakanlah, satu-dua tahunan yang lalu. Tapi, rasanya beda aja.


Apakah foto-fotonya nggak keren? Menarik, kok. Foto yang muncul toh bervariasi. Lokasinya bervariasi, mulai dari di dalam negeri sampai luar negeri, dari tempat yang ikonik hingga yang pelosok. Objeknya jangan ditanya: gedung, pemandangan, reruntuhan, rumah orang, you name itTone warna dari yang gelap sampai terang banget, ada. Memang, nggak semua foto yang muncul adalah yang 'jarang'. Tempat atau potret yang ikonik tentu muncul lebih sering. Namun toh 'eksekusinya' nggak sama. 


Terus, kenapa jadi bosan kalau foto-fotonya bagus dan variatif?

Mungkin, justru karena terlalu sering lihat. Jadinya serasa, "Lu lagi, lu lagi."


Lihat foto sakura, "Ah sakura lagi." Padahal yang tadi sakura merah jambu, sekarang sakura putih. Lihat potret gunung, "Ah lokasi pengambilannya dari sini lagi." Padahal yang tadi diambil pas sunrise, yang ini dipotret saat malam. Dan, sebagainya.


Ini bikin keingat salah satu bagian di buku Geography of Bliss. Di sana dibilang kalau tingkat kebahagiaan pada manusia akan kembali di level sebelumnya bila ia terekspos kebahagiaan dalam waktu yang lama. Katakanlah, tingkat kebahagiaan seseorang konstan di angka 3. Lalu tiba-tiba ia diberi sesuatu yang membahagiakan (contohnya rezeki nomplok/cinta/lifestyle idaman/simply foto kesukaan seperti kasus saya), kebahagiaannya akan naik ke angka 8 atau mungkin 10. Namun, kalau ia dipapar sumber kebahagiaan ini dalam waktu cukup lama, ia akan merasa terbiasa. Kesenangan tadi nggak jadi suatu pemantik kembang api dalam hati, sehingga kebahagiaannya akan turun ke angka yang mirip seperti semula. 


Kenapa?

Ya karena udah terbiasa. Ketika ada suatu perubahan, manusia akan selalu merespons hal itu, baik dengan respons positif ataupun negatif. Tapi kalau perubahan itu dialami tiap hari, ya bukan perubahan lagi namanya, tapi rutinitas. And there's nothing new in a routine


Mungkin itu sebabnya beberapa hal yang dulunya terlihat sangat keren atau kelihatan sangat menantang, kini tak lagi semendebarkan seperti ketika dialami pertama kali. Berita buruknya adalah ini nggak cuma terjadi pada hal semacam barang, tapi juga pada hal yang lebih abstrak macam lifestyle atau perasaan. 


Dan, ini memang subjektif sekali. Hal yang kita anggap ngebosenin, bisa jadi oleh orang lain adalah hal yang exhilarating. Ketika pelesiran ke sebuah desa di kaki Gunung Arjuno, Jawa Timur, saya pernah ngobrol dengan seorang pemuda seusia. Ia warga lokal. Kami bertemu di sebuah warung dan ngobrol karena basa-basi aja.


"Enak, ya, di sini. Hawanya adem, udaranya seger. Pemandangannya bagus, lagi," ujar saya.

"Iya. Healing-nya tinggal ke belakang rumah udah ketemu gunung-hutan," selorohnya.

"Nggak perlu jauh-jauh motoran. Enak jadi nggak gampang bosan."

"Nggak juga, sering bosan juga karena tiap hari ketemunya ini. Saya malah pengin main ke kota sampeyan. Kayaknya lebih rame, lebih seru!"

Rupanya kami berkebalikan. Saya motoran berjam-jam demi lihat desa, dia berjam-jam motoran juga demi melihat kota. Sebab rutinitas kami berbeda; bosannya beda, kebahagiannya berbeda juga. Saya yang tiap hari ketemu keramaian, cari kebahagiaan dengan main ke kaki gunung yang lebih senyap. Dia yang tiap hari ketemu gunung, cari kebahagiaan dengan main ke kota yang penuh suara. 


Ya ini mirip sih sama yang pernah diceritain di sini (Euforia Kebaruan). 


Mungkin, kalau saya tinggal lama di desa, saya juga nggak akan menganggap kaki gunung itu semenarik dan setentram ini. Mungkin saya akan sama seperti mas tadi, yaitu weekend main ke kota yang lebih 'hidup'. Mungkin, kalau saya tinggal di tempat yang jadi tujuan wisata, saya juga bakal berasa biasa aja. Seuatu yang keren buat wisatawan, mungkin akan jadi hal yang biasa aja dan nggak bikin saya tertarik. 


Ini pernah kejadian beberapa kali pada saya dan teman. Teman saya adalah warga Yogya tulen. Saat di Yogya, kami main ke Sekaten, sebuah festival peringatan maulid Nabi Muhammad. Tanya-tanyalah saya soal beberapa hal. Teman saya menjawab nggak tahu.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya gimana, gini juga atau beda?"

"Hm... nggak tahu. Aku juga baru pertama kali ke Sekaten."

Kadang peristiwa yang berkebalikan juga terjadi, yaitu saat saya ditanyai teman gimana suasana di festival X atau lokasi Y yang ada di kota saya dan saya jawab nggak tahu karena belum pernah ke situ.


Ya, karena buat kami itu adalah 'sesuatu yang sehari-hari' sehingga nggak menarik lagi. Tapi toh tetap menarik buat orang lain. Dulu, saya sempat mengernyit kalau ada turis lokal ataupun bule yang berwisata ke kota saya. Ngapain? Apa yang dilihat? Gedung doang gini. Little did I know there's something interesting. Sisi sejarah, arsitektur, bahkan kebiasaan yang buat saya 'biasa aja' jadi terlihat menarik sampai bisa dijual sebagai package wisata.


Perspektif lain ini baru beneran bikin saya ngeh saat travelling beberapa saat lalu. Tempat wisatanya terkenal banget. Branding ke luar negerinya juga joss. Saat ngobrol dengan warga setempat, saya nyeletuk, "Bagus, ya, di sini. Unik. Ada filosofi dan sebagainya." Teman bicara saya yang warga setempat menanggapi, "Ah enggak, Kak. Biasa aja sebenernya."


Lha? Padahal saya ngerasa unik banget. Dan tentu unik juga buat orang lain sampai bisa 'dijual' ke turis lokal dan wisman. Tapi, oh, ada toh yang ngerasa ini nggak unik.


Betul juga. Karena untuknya sudah menjadi hal yang rutin, bukan cuma pertunjukan, tapi sudah mendarah-daging menjadi kebiasaan. Di sisi lain, saya atau wisatawan lain justru baru kali ini menemui hal kayak gini, sehingga nge-hype. Mungkin perasaannya mirip kayak saya waktu ngelihat ada turis main ke kota saya.


Barangkali itu sebabnya ada hal-hal spesial yang sebaiknya memang jarang ditemui. Ketika ditemui, jadi lebih terasa euforianya. Liburan atau travelling pun nggak akan terasa seasyik itu kalau liburan terus; butuh waktu untuk goleran aja nggak ngapa-ngapain. Atau Ramadan dan lebaran misalnya, terasa euforianya karena cuma sekali setahun. Selain capek juga ya puasa setahun penuh atau hari raya sebulan penuh. Lah, lebaran aja kadang paginya senang-senang, siangnya udah terasa keramaiannya berkurang. Malamnya udah lempeng aja kayak hari-hari biasanya.


Mungkin emang kadang perlu keluar dari kebiasaan supaya bisa dapat 'rasa' yang lain pula. Sesekali. Serupa dengan keluar dari bubble explore di Instagram supaya bisa lihat konten-konten jenis lain. 

Reading Time:

Jumat, 24 Februari 2023

Mengumpulkan Kepingan Detail Perjalanan
Februari 24, 20230 Comments


[ Sebetulnya, ini adalah secuplik tips tentang bikin detail catatan perjalanan (catper/travel notes) dengan cepat. Versi saya. Disclaimer: beberapa cara adalah ajaran dari orang/penulis lain atau pelatihan yang kemudian diatur gimana enaknya supaya saya nyaman mencatat dan menulis dengan metode itu. Dan ini konteksnya buat tulisan perjalanan, bukan vlog dan semacamnya.]


Banyak hal terjadi selama kita melakukan perjalanan. Untuk sebagian orang, travelling ya untuk dijalani dan dinikmati, plus didokumentasi dalam foto sebagai bukti. Bagi sebagian orang lainnya, jalan-jalan bisa menjadi bahan tulisan atau memoar tersendiri. Atau, simply pencatatan itinerary untuk diingat atau dibagi ke orang lain yang mungkin ingin menempuh perjalanan yang sama. Terutama untuk pejalan tipe kedua, jalan-jalan nggak hanya dinikmati aja, tapi juga dicermati.


Tapi, kan, banyak hal terjadi selama kita jalan-jalan. Gimana caranya kita mencatat/menulis itu semua?


Memang, nggak harus semuanya.

Kesalahan saya (dan juga kesalahan umum banyak penulis catper pemula, seperti yang dibilang penulis catper kawakan, Agustinus Wibowo) adalah menuliskan semua dengan detail. Mulai dari bangun pagi, mandi, sikat gigi, sarapan, dst. Padahal maksud detail itu adalah: rinci boleh, tapi hal yang penting-penting aja. Kalau nggak penting, buat apa ditulis? Apa pembaca mau ngabisin waktu buat baca hal yang berlarat-larat kayak ... 


Pemandangan itu sangat indah. Lautan luas terhampar di hadapan mata. Warnanya biru sejauh mata memandang. Pasir putih yang halus aku rasakan di bawah kaki. Rasanya nyaman sekali. Rasanya seperti sedang di-massage sembari menikmati belaian sutra superlembut yang tak kasat mata. Air pantainya pun jernih dan segar sekali. Rasanya seperti air murni yang dibawa langsung dari surga. Apalagi pemandangan di pucuk horizon sana ... dst. 


... gitu? Karena kalau berkaca dari diri sendiri, saat nyari review atau catper orang untuk survei lokasi pun saya biasanya scanning aja kalau nemu yang begini (meski kadang juga masih kepeleset nulis hal kayak gini, wkwk).


Apa deskripsi keindahan dan lokasi itu nggak penting atau nggak perlu ditulis? Penting! Asal nggak terlalu banyak. Kalau satu pemandangan digambarkan sampai tiga paragraf dengan isi yang mirip, kan bosan juga bacanya.

(Ini mirip dengan nulis fiksi, sih. Saat editing, bagian yang bertele-tele atau nggak berhubungan dengan plot ya dibuang karena menuh-menuhin dan nggak ngefek ke cerita. Apalagi kalau di cerpen yang jumlah halamannya lebih terbatas.)


Masalah kedua yang berkaitan dengan rincian: kekurangan bahan.

Ini juga sering terjadi sama saya. Rasanya, pengalaman di lokasi itu banyak, penuh, tumpah-tumpah. Namun begitu ditulis, lha, kok "isinya" cuma 1-2 paragraf aja. Sisanya entah deskripsi perasaan atau lokasi yang panjang sekali dan semacamnya. Kalau sudah gini, mau nggak mau memang harus riset untuk nambah bahan dan perspektif. Namun, lebih mudah lagi sebetulnya kalau kita kembangkan pengalaman di lokasi plus riset. Biasanya yang seperti ini menghasilkan tulisan yang lebih ‘nyambung’; lebih relate. Mungkin karena asal bahan tulisannya real time.


Lalu muncul masalah baru: ketika kita nggak mampu mengingat detail yang terjadi di perjalanan. Maklum, daya ingat manusia memang terbatas. Untuk itulah kertas diciptakan; untuk ditulisi hal-hal yang bisa dilupakan atau tak muat ditampung otak. Jadi, solusinya adalah ditulis? Iya dan enggak, karena ada beragam metode. Ini cara yang saya pakai di trip baru-baru ini:

1. tulis di buku/notes kecil, atau

2. ketik di catatan HP

3. catat dengan rinci, atau

4. catat garis besar atau kata kuncinya aja

5. rekam suara

6. foto/video.

Mari kita bahas satu-satu.


Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah jamak dilakukan. Pertama dapat ilmu ini waktu bergabung di ekskul Pecinta Alam. Ketika diklat, kami disuruh menulis catatan tentang hal-hal penting hari itu: apa aja yang dilakukan, ngapain dan ke mana aja, ada peristiwa tertentu atau enggak, dsb. Ketika naik gunung juga sama. Kami diminta mencatat jam-jam secara rinci, jarak tempuh pos X ke pos Y, kondisi medan, dsb.


Di zaman itu memang catatan begini sangat berarti karena bisa jadi panduan untuk pendakian selanjutnya. Gampangnya, kalau ada teman/adik kelas/klub pecinta alam lain yang mau naik gunung tsb, mereka bisa survei waktu dan medan ke orang yang pernah naik duluan. Selain tanya-tanya, cara lain, ya, lihat catatan perjalanan orang yang sudah pernah naik. Kalau sekarang, kayaknya info begini udah bejibun. Apalagi di jagad internet dan medsos. 


Penulisan jam, medan, dll, ini masih saya pakai sampai sekarang. Cuma, kalau dulu nyatat di buku, sekarang saya lebih suka nyatat di ponsel. Lebih cepat aja ngetiknya daripada nulis. Karena lebih cepat itu, jadi bisa ‘mengejar’ otak yang kadang baru mikir kejadian A, eh, udah lompat ke kejadian B.


Seringkali mikir lompat-lompat ini yang bikin malas nyatat karena kayaknya banyak banget yang perlu dicatat dan diingat kembali. Saya biasanya baru nulis lengkap kalau malam. Saat kegiatan sudah selesai semua, ketika sudah makan-ganti baju-siap tidur. Padahal itu jam capek-capeknya, kan. Kadang malah nggak jadi nulis karena langsung bablas ke alam mimpi.


Oleh karena itu, saya pakai cara keempat, yaitu catat garis besarnya. Cara ini saya pakai kalau sudah capek/malas ngetik panjang. Sejujurnya, ini cara baru saya pakai semingguan lalu. Mikirnya, “Daripada nggak ditulis, mending tetap nyatat tapi pendek-pendek.” Saya ketikkan kata kunci-kata kunci yang ketika dibaca ulang (harapannya) bisa membangkitkan ingatan detail tentang perjalanan. Kalaupun lupa lagi ngebahas apa, kata-kata tsb juga bisa bantu buat browsing sehingga voila, muncullah cerita yang nyambung.


Misalnya, waktu berkunjung ke desa adat Batak. Pemandu tur menjelaskan banyak hal soal perkakas adat. Maka ditulis: tongkat raja, anak kembar, relief jiwa, pohon. Dengan baca kata-kata ini, saya jadi ingat kalau raja Batak punya tongkat berelief ukiran wajah orang-orang. Raja Batak ini punya anak kembar yang kisah hidupnya miris hingga lengket di pohon.


Namun, sejujurnya cara ini termasuk last resort. Soalnya, kadang nggak semua hal yang kita temui di lokasi bisa ditemui di internet. Jadi browsing-nya rada ribet atau, bad news, nggak nemu. Apalagi kalau kata kuncinya keliru.


Tapi, kan, udah capek seharian jalan-jalan. Masa harus nulis detail, sih?

Untuk itulah ada cara kelima: rekam suara.

Cara ini juga baru kemarin saya pakai dengan total. Sebelum itu pernah, sih, ngerekam suara, tapi durasinya nggak lama. Soalnya, saya malu dan sungkan kalau ngerekam suara tapi ada orang lain yang satu ruangan, hahaha. Pernah saya ‘rekaman’ waktu teman sekamar lagi di kamar mandi. Atau kalau seruangan, ngerekamnya pelan banget kayak bisik-bisik.


Ngerekam suara lebih enak karena kita nggak capek nulis dan mikir. Ngomongnya kayak ngobrol sama teman biasa; ngalir aja kayak lagi curhat. Hanya saja ini ngomong sendiri. Alhamdulillah kalau teman dengar dan mau benerin/nambahin info. Tapi, sisi nggak enaknya adalah kita harus dengerin rekaman itu ketika pulang, kemudian mencatat ulang. Buat orang yang nggak telaten dengar dan lebih cepat baca, ini jadi salah satu cobaan tersendiri. Berasa kerja dua kali. Namun, saat hari-H dan di lokasi, memang jadi hemat energi.


Rekaman suara adalah cara paling final dan paling mudah buat nyatat catper. Cuma, ya, hati-hati aja supaya file-nya nggak keburu dihapus karena dianggap rekaman nggak penting. Untuk mempermudah, di awal rekaman bisa diomongin tuh tanggal dan lokasinya. Misal, “Halo, hari ini 20 Februari 2023, hari pertama trip ke Bandung.” Nge-record-nya sama kayak tulisan, yaitu bisa dibikin per hari atau per malam.


Nah, kalau lagi di jalan dan nggak mungkin nyatat atau ngerekam, gimana?

Misalnya, lagi naik gunung. Ngerekam, kan, butuh waktu. Padahal waktu rest saat hiking toh terbatas buat betul-betul rehat dan tarik napas. Nyatat pun jadi out of question dan kadang jamnya jadi diingat-ingat aja. Sebetulnya bisa aja diketik cepat di ponsel. Tulis aja jam, lokasi, dan medan kalau perlu. Tapi untuk itu pun kadang juga udah malas. Pun ketika malam, bisa jadi lupa detailnya karena kecapekan.


Untuk itulah ada cara keenam: foto/video. Foto tempat, spot yang penting, atau plang penanda. Kalau mau detail medan, fotolah kondisi jalan dan sekitarnya. Kalau mau lebih ringkas, videokan aja. Nggak perlu bagus, yang penting jelas, karena tujuannya untuk pencatatan. Beda cerita kalau mau bikin footage video, memang harus lebih dipikirkan.


Dulu, cara ini saya pakai kalau naik gunung dan capek. Banget. Apalagi kondisi hujan. Males banget ngetik. Ngeluarin HP aja risiko kebasahan. Maka jalan cepatnya adalah potret! Sampai pos 3 misalnya. Potret shelter atau plang posnya. Sampai pos/camp berikutnya juga sama, gitu terus. Saat sudah pulang atau lagi nge-camp dan mau nyusun catper, baru, deh, dilihat properties fotonya: diambil jam berapa, dilihat kondisi cuaca dari gambar kayak gimana, dsb. Baru ditulis ulang. 


Nggak cuma buat naik gunung, cara ini juga lumayan berguna di liburan non-hiking. Liburan kemarin, inilah cara yang saya pakai buat ngitung durasi perjalanan dari spot ke spot. Apalagi kalau bareng rombongan, kan, harus gerak cepat. Manalah mungkin nyatet-nyatet. Jadi begitu sampai tujuan selanjutnya, langsung potret aja apa yang ada di depan mata. Meski nggak ada ‘objek bagus’ sekalipun. Kan, memang buat penanda aja. Motret 'objek beneran'-nya nanti kalau udah di dalam.


Selain mengingat detail durasi dll, cara ini juga bisa dipakai saat lihat sesuatu di tengah perjalanan. Foto-foto yang dikumpulkan bisa dilihat lagi sebagai pengingat saat kita mulai menulis. "Oh, waktu itu di lokasi X ternyata aku lihat ada kejadian Y." Cara ini bisa memperbanyak isi tulisan, sebab yang ditulis nggak cuma deskripsi pemandangan dkk tapi juga peristiwa dan rasa yang terjadi ketika sedang di lokasi.


Ini cara mengumpulkan detail tulisan. Sebenarnya metode-metode di atas juga sudah umum banget. Katakanlah lewat story Instagram/Facebook, vlog, dsb. Hanya saja kalau saya, story dsb itu cuma sekelebat sehingga detailnya masih kurang tercatat. Dan mungkin karena saya mau ‘alihkan’ bahan itu dalam bentuk tulisan kemudian. Namun kalau memang nyaman pakai video dsb dan nggak suka nulis atau mau liburan aja tanpa perlu nyatat macam-macam, ya, mangga aja karena toh hobi dan preferensi orang beda-beda. Kita nggak harus mengambil jalan yang sama. Sebab, apa yang enjoy kita nikmati emang beda-beda.


=====

Ngomong-ngomong, 

kalau diperhatikan, di sini pakai kata "travelling" (dobel L). Ejaan yang betul "travelling" atau "traveling", sih? Dua-duanya benar. Bedanya, dobel L untuk ejaan ala British English dan satu L untuk American English.

 

 

 

Photo credit: wallpaperflare.com

Reading Time:

Jumat, 03 Februari 2023

Euforia Kebaruan
Februari 03, 20230 Comments

 



Nggak terasa, ya, sudah berganti bulan lagi. Padahal rasanya baru kemarin Januari menghampiri. Baru kemarin rasanya dengar ledakan kembang api bertalu-talu di langit malam yang biru bertabut abu-abu. Eh, sekarang sudah Februari aja.

 

Bukan hal baru kalau banyak orang punya rencana baru saat tahun baru. Apapun tahun barunya: tahun baru Masehi, Hijriah, Lunar, you name it. Memulai kebiasaan anyar di awal tahun yang juga anyar memang terkesan lebih ‘bersih’ dan mudah karena beranjak dari sesuatu yang sama sekali baru, nol, kosong, putih. Sebetulnya sama aja dengan memulai kegiatan itu di awal bulan/saat berganti bulan. Sama-sama baru. Namun, feeling-nya agak beda. Mungkin karena durasi tahun itu lebih lama sehingga penantiannya pun lama, jadinya lebih spesial.

 

Yang menjadi masalah adalah: apa resolusi itu sudah ajeg dilakukan hingga akhir Januari atau mulai mrothol ketika memasuki Februari?

 

(Ini, dari kacamata saya. Dan memang ngebahas soal tahun baru Masehi.)

 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di awal tahun saya mengilas balik apa-apa saja yang dilakukan tahun lalu. Apa ada hal yang signifikan? Apa ada kenaikan value? Atau, ada hal yang menyenangkan atau tak terlupakan? Ya mirip dengan evaluasi program kerja lah, cuma karena ini diri sendiri jadi yaa nggak seserius itu; dibawa santai wae. Target tercapai alhamdulillah, nggak tercapai ya… sudah, wkwkwk.

  

Saat membuka buku agenda, saya baru ingat bahwa tahun lalu saya mencanangkan program “Satu Bulan”. Dalam satu bulan, saya akan fokus mempelajari satu bidang. Planning ini punya 'masa trial' tiga bulan saja untuk melihat efektif/enggaknya. Saya lupa persisnya, tapi yang jelas ada rencana Januari Menulis dan Februari Fotografi.

 

Apakah terlaksana?

Ya dan tidak, haha.

Januari Menulis berisi 30 hari rutin menulis dan merangkum materi-materi dari webinar/pelatihan menulis tahun sebelumnya. Pendek cerita, rencana menulis rutin hanya terpenuhi separuhnya, sedangkan proses pengumpulan rangkuman tersendat-sendat dan baru selesai di bulan Februari, LOL. Pekan pertama cuma alpa satu kali, pekan kedua bolong tiga kali, pekan ketiga nulisnya yang tiga kali, sedangkan pekan keempat cuma sekali. Memang seleksi alam itu nyata, bahkan dalam diri sendiri 🤣

 

Bagaimana dengan Februari Fotografi? Enough said, it didn’t work out, hahaha.

Ya gitu, deh, semangatnya di awal, sedangkan di akhir bulan sudah melempem hingga lama-kelamaan kemudian ditinggalkan.

 

Tampaknya hal ini nggak terjadi ke saya aja. Banyak juga orang lain merasakan hal yang sama. Dan, berulang-ulang. Setiap tahun baru.

 

Dan, rupanya, tak melulu di setiap tahun baru. Hal ini juga kejadian di program baru, organisasi baru, lingkungan baru, dan lain-lainnya yang baru-baru. Belakangan saya sadari ini nggak cuma berlaku pada barang, tapi juga pada orang: lingkungan dan status baru, misalnya.

 

Dalam beberapa seminar/kelas bertema komunikasi, keluarga, atau pernikahan, para pemateri sering menyampaikan bahwa selalu ada fase honeymoon alias fase senang-senang di awal perubahan status: menjadi pasangan baru, orang tua baru, dll. Di fase ini, semua terlihat bagus dan indah. Setelah beberapa saat, barulah muncul (semacam) fase kesadaran: “Kok, ternyata ini ada jeleknya, ya?” Lalu lanjut ke fase kebosanan.

 

Kalau dilihat-lihat, siklus seperti ini nggak terjadi hanya saat punya status baru, tapi juga saat ada barang, lingkungan, atau hal lain yang baru. Contohnya, ketika masuk organisasi baru, rasanya semangat banget merancang proker ini-itu. Saat masuk sekolah/kampus/kerjaan baru, serasa happy banget mengeksplorasi ini-itu. Saat punya barang baru, apalagi yang diidam-idamkan, itu barang disayang-sayang dieman-eman banget. Nggak boleh dijalankan atau dipegang sembarangan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semua kelekatan itu mulai longgar. Sesuatu yang dulu dianggap istimewa, lama-lama kian biasa saja. Ya karena jadi sering ketemu dan hal yang tadinya luar biasa telah menjadi ‘rutinitas’ biasa saja.

 

Hilangnya ketertarikan yang dibahas pada webinar tadi mirip dengan tulisan dalam buku Geography of Bliss. Eric Weiner—sang penulis—memperhatikan fenomena kebahagiaan di beberapa negara yang dinobatkan menjadi negara paling bahagia dan negara paling nelangsa. Dalam salah satu bab tentang sebuah negara paling bahagia, Weiner menyebut bahwa (salah satu) faktor kebahagiaan di situ bak euforia memenangkan sebuah lotre.


Weiner menyitir salah satu hasil penelitian oleh Philip Brickman tentang kebahagiaan dua kelompok: satu, para pemenang lotre dan dua, para survivor kecelakaan. Intinya adalah: saat baru menang lotre atau mengalami kecelakaan, kebahagiaan dua kelompok ini beda drastis. Jelas, yang satu bahagia banget karena dapat sesuatu yang diimpi-impikan, sedangkan satu lagi sedih karena kehilangan kesehatan. Namun, uniknya, setelah beberapa waktu, tingkat kebahagiaan dua kelompok ini jadi sangat mirip, yaitu balik ke tingkat ketika mereka belum menang lotre/kecelakaan. Bila diibaratkan dengan grafik, kelompok satu yang awalnya tingkat bahagianya tinggi banget lalu berangsur turun jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum dapat lotre. Di sisi lain, kelompok kedua yang awalnya sedih banget lalu berangsur naik jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum kecelakaan.


Hal serupa penelitian di atas Weiner temukan di sebuah negara sangat kaya yang penduduknya saja emoh naik pesawat kelas bisnis karena dianggap terlalu murah. Negeri ini dulu dikenal gersang dan nggak ada perkembangan. Kemudian, nasibnya berubah kaya dalam sekejap karena ada sumber daya alam yang baru ditemukan. Penduduknya pun jadi sangat makmur, sampai petugas hotel pun harus 'diimpor' dari negara lain, sedangkan warga lokal menjadi customer saja; bukan pekerja.


Weiner bertanya pada salah satu narasumber, apa orang di sini bahagia karena kaya sekali? Narasumber itu menjawab: ya dan tidak. Dulu, awal-awal negaranya berubah kaya, para penduduk memang senang banget. Punya ini-itu yang mahal dan nggak pernah terbayangkan. Namun, sekarang, punya sebiji Ferrari itu sudah terlalu biasa. Punya macam-macam pun rasanya biasa saja. 

 

Disclaimer, saya nggak menggeluti dunia psikologi dan mungkin interpretasi saya salah soal ini.

Dari kacamata saya, resolusi awal tahun mirip dengan kasus kelompok pemenang lotre. Kita mendapat sesuatu yang baru (resolusi baru), meninggalkan tahun belakang yang mungkin aja berisi kesedihan. Karena masih awal, masih senang-senangnya, masih semangat, jadi ya… pekan pertama-kedua ini semangat sekali. Namun, lama-lama euforia kebaruan ini menurun karena ‘barang’ yang tadinya ‘baru’ kini sudah ‘semi-baru’. Seiring terlewatinya bulan demi bulan, resolusi ‘baru’ ini pun menjadi ‘barang lawas’ yang tidak lagi bisa memicu kebahagiaan lagi. Akhirnya, resolusi ini pun rontok pelan-pelan.


Seperti ungkapan,

“Barang baru disayang-sayang, barang lama dilupakan.”

 

Akibat memang sudah siklus alamiah, maka hal ini sebenarnya lumrah. Yang jadi tanda bahaya adalah ketika menjadi muak dan ogah berurusan dengan hal itu, padahal hal tsb harus dilakukan. Misalnya, menjadi staf organisasi padahal sudah telanjur diberi tanggung jawab, bosan menjadi pasangan padahal sudah berkomitmen bersama, dsb. Atau, kalau dihubungkan dengan bahasan sebelumnya: bosan ngelakuin resolusi atau rencana hidup.

 

Maka saya setuju dengan ucapan, “Semangat membara akan mengantarkan ke gerbang, tapi butuh keteguhan agar bisa sampai garis finish dengan benar.”

 

Berkaca dari resolusi tahun lalu, omongan itu benar banget. 1-2 minggu pertama masih semangat, masih senang. Minggu-minggu selanjutnya sudah buyar akibat rasa tertekan atau sekadar ingin menuntaskan kewajiban. Nggak heran kalau istikomah emang nilainya besar.


Semua yang baru akan terasa bagai euforia. Apalagi baru dan diidam-idamkan. Something that's full of happiness and too-good-to-be-true. But then, constantly, without we're realising, it has become dull. The happiness hormone decreased because the stimulation is no longer a stimulation since it has become familiar. 

 

Gimana dengan tahun ini, apakah ada program lagi seperti Januari Menulis atau sudah kapok? Well, saya masih meraba-raba. Kiranya cuitan di atas bisa jadi gambaran bagaimana, sebab saya baru (betul-betul) membuka (kembali) buku agenda di akhir Januari, hahaha.



Reading Time:

Jumat, 13 Januari 2023

Lone Tree si Perintis
Januari 13, 20230 Comments



Pohon di atas mencuri perhatian saya. Di padang pasir Bromo yang begitu luas, ia tumbuh sendirian; tunggal. Tanpa teman. Di dekatnya hanya ada rerumputan dan alang-alang. Pohon serupa berjarak beberapa puluh (atau ratus?) meter jauhnya.


Kenapa pohon di sini sedikit banget? 

Bukannya ini area pegunungan, yang seyogyanya punya banyak pohon? Apalagi tempat ini dikelilingi hutan-hutan berpohon tinggi, ya hutan yang dilalui pengunjung sebelum turun ke Lautan Pasir. Namun, mengapa justru “cuma” rumput-rumputan yang ada, kontras dengan hutan yang dilewati?


[ Sebelum itu, disclaimer: ada banyak padang rumput hijau di beberapa sisi, contohnya di Bukit Teletubbies. Begitu juga dengan pohon. Tapi, saya bahas yang sisi ini aja: sisi yang minim pohon dan didominasi rumput/semak. ]


Sebetulnya bukan hal aneh kalau Lautan Pasir ini minim pohon dan justru didominasi rumput serta ilalang. Sebab, area ini terletak dekat dengan kawah gunung berapi, apalagi masih aktif. Gunung berapi aktif kadang memuntahkan material super panas ke area di sekitarnya. Logikanya, dengan suhu yang sangat tinggi, kecil kemungkinan ada makhluk yang bisa hidup di tanah itu.


“Tapi, kan, tanah/pasirnya sudah nggak panas?”

True, tapi, selain suhu, ada banyak hal yang bikin tanaman nggak mudah tumbuh. Jenis tanah dan ketersediaan zat hara/air, misalnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti itu belum tentu tersedia di lingkungan yang cukup ekstrem. Akibatnya, nggak sembarang tumbuhan bisa tumbuh di sana. Mayoritas tumbuhan yang bisa ditemui hanyalah rumput, ilalang, atau semak. Mereka yang bisa hidup di lingkungan ekstrem inilah yang disebut dengan tumbuhan perintis (pioneer plant).


Mereka disebut perintis karena merekalah yang pertama ada dan menghuni tempat-tempat yang terhitung ekstrem. Merekalah jenis-jenis yang tahan lingkungan keras dan survive di sana. Keberadaan tumbuhan perintis bikin tempat-tempat yang ekstrem perlahan-lahan menjadi “layak huni” bagi makhluk hidup lainnya (ataupun sesama tumbuhan yang nggak sekuat mereka).hb 


Sebenarnya, organisme perintis nggak cuma tumbuhan. Makhluk yang pertama-tama merintis tentu makhluk yang sama yang dulu membuat bumi jadi layak huni seperti sekarang; makhluk bernyawa yang ditengarai muncul paling pertama ketika bumi terbentuk: organisme bersel satu. Contohnya bakteri. Setelah ada bakteri dan sejenisnya, pelan-pelan muncul makhluk primitif bersel banyak, menyusul kemudian jenis lumut, lalu tumbuhan, lalu hewan dan manusia.


Makhluk hidup paling sederhana muncul lebih dulu, disusul makhluk hidup lebih kompleks kemudian. 


Gimana bisa organisme bikin lingkungan jadi lebih habitable buat organisme lain?

Mudahnya, dengan menghasilkan sesuatu yang “bisa dimakan” organisme lain. Alurnya begini: “gizi” di lingkungan ekstrem hanya bisa dimakan mikrobia. Setelah dimakan, gizi ini berubah jadi zat lain yang hanya bisa dimakan (misalnya) lumut. Nanti sama aja, lumut bakal menghasilkan zat yang bisa dimakan tumbuhan, dst.


Mirip rantai makanan gitulah. Kalau ingat istilah zaman sekolah, di pelajaran IPA atau Biologi, inilah contoh nyata suksesi secara ekologi. 


Zat yang dihasilkan tadi nggak cuma untuk dimakan, tapi juga bisa membuat lingkungan yang keras menjadi cukup “lunak”. Dengan lingkungan yang lebih enak, tentu makhluk hidup juga lebih suka (dan bisa) hidup di sana. 


Mirip dengan tempat-tempat ekstrem yang sekarang ada, seperti di area Bromo tadi. Bila diperhatikan, area yang mendekati puncak tampak gundul. Hanya ada pasir di sana. Kadang diseling sejumput rumput yang tampak kering. Agak ke bawah, ke tempat yang lebih “layak huni”, rumput-rumput ini mulai banyak terhampar, kadang diselingi semak-semak. Kemudian ada pohon-pohon tunggal seperti pada foto.



Pohon pada foto—jika benar tumbuh sendiri dan bukan sengaja ditanam—termasuk tumbuhan perintis. Jenisnya adalah salah satu yang bisa survive di Lautan Pasir, bersama dengan rumput dan semak lain. 


Kenapa bisa menarik perhatian, kan, cuma pohon?

Mungkin ini personal. Dari segi foto, objek tunggal di antara padang bisa lebih eye-catching. Dari segi tumbuhan, kemampuan bertahannya menarik. Kalau cuma rumput dan sejenisnya, mungkin saya akan ngerasa biasa aja. Secara struktur sel mereka lebih sederhana. Pohon punya struktur yang lebih rumit. Biasanya yang rumit-rumit gini kebutuhannya juga rumit. Jadi, ketika dia punya kebutuhan yang ribet tapi bisa hidup di lingkungan yang super sederhana, tentu dia punya keistimewaan tersendiri.


Ibarat kagum ngelihat orang yang akhirnya sukses setelah berjuang merangkak dari bawah banget tanpa punya priviledge apa-apa. 


Meski, ya, pohon tadi bukan berarti tanpa priviledge juga. Makhluk-makhluk penghuni tempat ekstrem ini biasanya justru punya mekanisme tubuh khusus yang bikin mereka bisa survive


Ketika di lokasi, saya nggak begitu memperhatikan itu pohon jenis apa. Kalau menilik dari foto dan fotonya diperbesar, kayaknya tipe daunnya mirip tumbuhan jenis Leguminosa (?)(* CMIIW). Kalau betul jenisnya itu, nggak heran, sebab banyak jenis Leguminosa yang jadi tumbuhan perintis. Contoh Leguminosa paling umum, ya, kacang-kacangan. Contoh lain kayak kembang merak, lamtoro (petai cina), atau saga.


Leguminosa kondang dengan kemampuannya mengikat nitrogen. Nitrogen yang sudah “diikat” bisa meningkatkan kesuburan tanah. Kalau tanah yang tadinya nggak subur berubah jadi subur, bakal lebih banyak tumbuhan yang bisa hidup di sana. Ini konsepnya sama dengan zat yang dihasilkan dan dimakan (bak rantai makanan) tadi.


Kalau ngelihat beberapa gunung lain, pemandangan puncaknya punya pola yang mirip. Hanya ada sedikit kehidupan di puncak. Pernah pergi ke dekat kawah gunung berapi atau hiking ke puncak gunung yang cukup tinggi? Coba perhatikan bagian puncaknya. Dari jauh, gunung-gunung itu memang kelihatan hijau banget; asri banget. Namun, ketika sampai di titik teratas, hanya rumput atau semak di seantero mata memandang. Kadang, ada 1-2 pohon. Tak banyak. 


Mungkin karena tanahnya minim nutrisi. Mungkin karena suhunya ekstrem. Mungkin karena anginnya kencang sehingga bikin pohon gampang roboh dan rebah. Dan banyak faktor “mungkin” lainnya.


[ Puncak yang punya banyak pohon tinggi, at least yang saya tahu, adalah puncak di Gunung Argopuro. Padahal, ketinggiannya sudah lebih dari 3.000 mdpl, sedangkan gunung-gunung lain yang tingginya cuma >1.500 atau 2.000-an mdpl puncaknya gundul tanpa pohon; cuma rumput. Jadi penasaran kenapa bisa beda gitu. Faktor geografisnya mungkin? ]


Bahkan, di beberapa gunung, puncaknya blas tanpa tumbuhan sama sekali. Hanya ada pasir dan kerikil plus bebatuan. Bahkan, beberapa ratus meter sebelum puncak pun sudah nggak tampak hijau-hijauan. Biasanya yang begini ditemukan di gunung yang masih aktif, contohnya Semeru.


Kenapa gitu?

Gunung yang masih aktif bakal memuntahkan material ke daerah sekitarnya. Daerah yang kena muntahan panas, berat, dan beraneka ragam ini akan terus dihantam oleh material baru. Dihantam terus-menerus kayak gitu, tumbuhan mana yang bisa hidup? Lha wong tanahnya aja hancur begitu. 


Kecuali mikrobia atau lumut. Itu pun, nggak semua jenis mikrobia bisa hidup. Cuma jenis tertentu aja yang biasanya termasuk ekstremofil alias bisa hidup di tempat-tempat ekstrem yang nggak masuk akal macam kawah panas bergejolak atau dasar laut terdalam.  


Reading Time:

Jumat, 06 Januari 2023

Memilih Lomba Cerpen
Januari 06, 2023 2 Comments


Sama seperti novel, cerpen pun punya 'aliran' sendiri-sendiri. Entah apa istilah resminya. Bukan tema, sebab tema lebih seperti topik: cinta, perjuangan, lingkungan, dsb, bukan? Bukan pula genre karena genre berarti cerpen horor, cerpen romance, cerpen misteri, dll. Atau, 'aliran' ini lebih ke gaya bahasa dan isi/hal yang dibahas. Beberapa orang menggunakan istilah 'cerpen serius' dan 'cerpen santai' atau 'cerpen berat' dan 'cerpen ringan' untuk membedakan ini. Meski tentu serius/santai dan berat/ringan ini debatable.


Jadi, saya gunakan 'aliran' aja.


Mudahnya, ada cerpen yang bahasanya lebih baku dan isi ceritanya lebih 'dalem'. Contohnya cerpen-cerpen koran. Topik dalam tulisan ini beraneka ragam, bisa tentang cinta, politik, isu sosial, atau sesimpel kejadian sehari-hari yang jamak terjadi di sekitar kita. Cerpen ini bisa serius, tapi kadang juga bisa lucu atau lucu slash nyindir. 


Di sisi lain, ada cerpen yang bahasanya teramat bebas, seperti bahasa percakapan sehari-hari. Isi cerita lebih mengulik alur dan elemen surprise dan semacamnya. Hal yang diulik biasanya baru permukaan atau kalau 'dalam' pun tidak sedalam tipe pertama. Oleh karena itu, ada beberapa yang menyebutnya cerpen santai. Umumnya topik berkisar di cerpen cinta remaja, persahabatan, cerpen anak-anak, dsb. (Not to say cerpen cinta remaja dkk tadi nggak bisa dibikin tipe pertama. Bisa. Semua tergantung penulisnya). Bila menilik pangsa pasar, mungkin ini jatuhnya ke tulisan teenlit, metropop, dan semacamnya. 


Mana yang lebih baik di antara keduanya?

Pendapat orang beda-beda. Kalau menurut saya, keduanya sama-sama bagus. Tergantung pada keahlian si penulis menuangkan cerita. Cerita aliran pertama yang membosankan, nggak sesuai fakta, atau terlalu melodramatik; ada. Namun, yang bagus dan merangkul konflik sederhana tapi mengena; juga ada. Di sisi lain, ada juga cerpen teenlit atau metropop yang asyik banget dibaca, bikin deg-degan atau ikut nangis. Tapi di sisi lain, ada juga cerpen tipe ini yang luar biasa alay.


Gimana dengan lomba cerpen?

Seiring dengan makin maraknya lomba menulis, tentu penulis akan pilih-pilih lomba mana yang ingin ia ikuti. Nggak mungkin, kan, ngikutin semua lomba? Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan alasan pemilihan.


Alasan pertama tentu kredibel atau enggak. Kredibel artinya panitia bertanggung jawab. Apalagi kalau ada biaya pendaftaran. Jangan sampai setelah bayar dan kirim naskah, kemudian sama sekali tiada kabar. Atau lebih buruk, naskahnya diambil dan di-hak milik tapi penulis tidak diberi apa-apa. 


Masih ada poin pertimbangan lainnya, tapi di sini lebih soal 'aliran' tadi. Kenapa? Sebab dengan mengetahui 'aliran' yang 'dianut' penyelenggara, penulis bisa lebih melihat kans dirinya lebih berpeluang atau tidak, terlepas siapa pun saingannya. Mudahnya: lebih baik kirim naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan tulisan kita. 


Kalau cerpen kita lebih ke arah teenlit, ya jangan dimasukin ke lomba cerpen yang 'nyastra banget'. Begitu pula kalau gaya tulisan kita ala cerpen koran, maka sebaiknya nggak diikutkan lomba cerpen remaja. Kalau dikirim, apa pasti nggak menang? Ya belum tentu. Cuma kita sedang mempertimbangkan peluang tadi. Bila tulisan kita bukan jenis tulisan yang mereka cari, tentu peluang menangnya jauh lebih kecil.


Gimana cara tahu 'alirannya' apa? Kalau lombanya sudah berlangsung bertahun-tahun, kita bisa lihat naskah-naskah yang menang tahun sebelumnya. Apalagi kalau dibukukan dan ada e-booknya. Kalau nggak ada, gimana? Lihat bahasa dan desain poster yang digunakan penyelenggara. Kalau dia pakai bahasa santai/sehari-hari, mungkin cerpen 'santai' bisa dicoba. Kalau bahasanya lebih kaku, mungkin memang nyari cerpen 'serius'.


Lomba cerpen dari kampus umumnya lebih ke tipe cerpen pertama. Apalagi kalau penyelenggaranya adalah Fakultas Bahasa dan Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Kadang, ada himpunan dan organisasi semacamnya yang bikin lomba cerpen dan meloloskan cerpen tipe kedua. Namun, dalam situasi seperti itu, cerpen tipe pertama tetap dapat peluang yang lebih besar untuk menang. Kenapa? Karena biasanya yang dicari adalah yang tipe rada serius (biasanya karena disesuaikan dengan tema kegiatan/visi organisasi). 


Lomba cerpen dari komunitas? Maka lihat jenis komunitasnya. Apakah ia jenis komunitas yang nyastra banget, atau santai banget, atau menerima semua naskah? Sebab, ada juga komunitas besar yang beragam sekali tulisan anggotanya sehingga dalam lomba-lomba yang ia adakan, ada cerpen-cerpen dengan beragam gaya yang turut lolos.


Gimana dengan penerbit? Ini juga mirip dengan komunitas; tergantung penerbitnya. Bahkan, kadang, tergantung jenis event-nya. Penerbit besar nggak berarti selalu nyari cerpen ala koran. Gramedia atau Mizan, misalnya. Kadang mereka juga cari cerpen teenlit dan sejenisnya. Lebih lagi kalau penyelenggaranya adalah platform perpanjangan tangan mereka, misalnya Gramedia dengan GWP dan Mizan dengan Rakatanya. 


Dari lomba-lomba yang pernah diselenggarakan, kadang ada penyelenggara yang transparan sekali soal penilaian. Jadi dibahas tuh cerpen ini kurangnya di mana, poin plusnya di mana. Nggak semua cerpen dibahas, memang. Kalau peserta sedikit, bisa aja dibahas. Tapi kalau pesertanya ratusan, hanya tulisan yang masuk nominasi aja. Kadang, penyelenggara bakal ngadain kelas menulis gratis dan di situ kita bisa tanya soal naskah kita.


Dalam beberapa kesempatan, saya nemu lebih banyak peserta yang menulis teenfic dan semacamnya memasukkan naskah ke lomba cerpen ala koran daripada sebaliknya. Mungkin karena belum tahu background penyelenggara tadi. 


Jadi apa cerpen aliran kedua nggak bisa lolos penjurian di lomba cerpen tipe pertama, begitu juga sebaliknya?

Menurut saya, itu tergantung eksekusi, penulisan, dan penulisnya.  Selama bisa meramu tulisan sedemikian rupa, ya, bisa aja. Kisah remaja atau dewasa muda pun bisa diulik lebih dalam dan disajikan dalam tulisan yang lebih serius. Sebaliknya, cerpen ala koran juga bisa dibawa ke ranah lebih santai. Entah dengan membahas hal-hal yang lebih terbatas atau cara lainnya.


Apa eksekusi (dan mengubah style naskah ini) mudah? Sekali lagi: tergantung penulisnya. Kalau buat saya, sih, susah, hahahah. Makanya kalau pengin ikut lomba cerpen, saya lihat-lihat 'alirannya' dulu supaya nggak mengubah banyak hal, melainkan sedari awal menulis cerita dengan style emang-gaya-gue. 


Beberapa contoh nyata, buat saya, adalah karya-karya Asma Nadia dan Dewi "Dee" Lestari yang tulisannya 'lentur'. Keduanya bisa menulis santai dengan bahasan ringan dan gaya lo-gue, tapi di lain waktu—dengan topik yang sama—mereka bisa mengubahnya menjadi fiksi yang lebih serius. Ini contoh eksekusi yang berbeda dari orang yang sama. Apa hanya dua orang ini saja? Tentu enggak. Masih ada penulis-penulis lainnya.


Jadi, sebaiknya menulis yang 'aliran' mana?

Terserah kita, penulisnya. Dan, tergantung apa yang kita kejar. Untuk beberapa hal, tentu ada kompromi yang harus dilakukan. Bila tidak mau kompromi, ya, betul-betul kembali pada apa yang kita sukai: masukkan naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan kita. Sebab, kalau kilas-balik dari pengalaman sendiri, kelihatan betul mana tulisan yang berasal dari hati dan mana yang cuma mengikuti struktur tapi minim empati (demi mengikuti 'aliran' yang dicari oleh juri). Tulisan siapa itu? Tulisan siapa lagi kalau bukan saya sendiri, wkwkwk.


Buat orang yang nggak tahu kamu, cerpen itu mungkin bagus. Tapi, saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih otentik, lebih original, dan lebih mencerminkan kamu yang sebenarnya. Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri kamu.  

          Keenan pada Kugy, Perahu Kertas by Dee




* * * * *

Photo is courtesy of Karolina Grabowska via Pexels.com

Reading Time:

Jumat, 16 Desember 2022

Jagung dan Kawan-kawannya
Desember 16, 20221 Comments


Suatu sore.

"Jajan, yuk." Seseorang mengajak saya.

"Yuk. Mau apa? Asal jangan makanan berat, ya." Saya sudah berencana makan nasi capcay malam nanti.

"Hm... jagung manis yang dibumbuin bawang putih itu. Enak.”

“Jagung, kan, makanan berat?”

“Halah, makanan berat apaan, nggak usah ngikutin pendapat ala Barat, dibohongin lu.

“Lah orang Madura justru udah makan jagung buat makanan pokok sejak dulu. Kamu ke mana aja?”

 

Siapa yang sering merasa belum makan (berat) kalau nggak makan nasi? Sebagian besar orang Indonesia mungkin setuju dengan pernyataan ini, hehe. Atau mungkin orang Asia/Asia Tenggara? Seperti kawan bicara saya di atas tadi.

 

Dewasa ini, di sini, jagung, ubi, talas, sagu, dll sering dianggap ‘bukan makanan pokok’ atau tidak cukup mengenyangkan. 'Hanya' camilan teman duduk-duduk saja. Padahal, kandungan kalori mereka juga tinggi, lho. Nggak kalah dengan nasi. Simpelnya, makanan-makanan ini juga bisa ngasih energi yang tinggi untuk tubuh agar bisa normal beraktivitas. Hanya saja mungkin budaya kita sekarang lebih menitikberatkan makan nasi.

 

Sekarang? Berarti dulu enggak, dong?

Bukannya ‘ajaran’ makan pengganti nasi itu datang dari budaya Barat yang terbiasa makan roti dan pasta?

 

Enggak, kok. Kalau ditilik ke masa lalu, banyak banget masyarakat Indonesia yang makanan pokoknya bukan nasi. Variatif banget. Kalau selama ini kita cuma tahu jagung, sagu, atau umbi, sebenarnya ini bisa dijabarin lagi. Misalnya, umbi apa? Ketela pohon, ubi cilembu, talas, mbothe, ganyong, you name it. Itu, baru varian umbi-umbian. Belum lagi kalau ada varian sagu dsb.

 

Bahkan di sebagian daerah Indonesia—sayang saya lupa persisnya di mana, Sulawesi kalau nggak salah—pisang juga jadi makanan pokok. Ada yang memakan dengan moncocolnya dengan saus tomat atau sambal. Tak heran, sebab meski termasuk buah-buahan, pisang juga punya kandungan kalori yang nggak kalah tinggi. (Ini jadi salah satu jurus andalan saya kalau nggak sempat sarapan, hehe. Jus pisang+susu, tanpa gula. Kalau ada, blender sekalian beberapa lembar sayur hijau buat tambahan serat.)

 

Leluhur kita pun kreatif mengolah berbagai sumber karbo ini. Sebut saja gaplek (dari ketela pohon) atau nasi jagung. Itu baru dari Jawa. Padahal, kita tahu seberapa luas wilayah Indonesia. Secara logika, harusnya olahan pangannya juga lebih beragam.

 

Jadi, menurut saya salah bila ada yang bilang bahwa yang ngajarin untuk makan berat selain nasi itu orang Barat. Enggak. Nenek moyang kita udah melakukan itu lebih dulu.  

 

Cuma, tren ini sayangnya sempat hilang. Setelah beberapa tahun (atau dekade?), tren ini memang kembali ke sini lewat budaya Barat berupa beragam diet dengan konsumsi kentang, roti, pasta, non-gluten food, dsb, alih-alih nasi.

 

Kenapa bisa hilang?

Mungkin, ada benarnya jika ada yang bilang bahwa budaya ‘makanan berat itu harus nasi’ ini dimulai saat Revolusi Hijau di Indonesia di era Orde Baru. Di satu sisi, program ini bagus karena menggalakkan teknologi dan berbagai alat bantu yang cukup efektif untuk ngedongkrak produksi bahan makanan dalam negeri. Namun, salah satu sisi buruknya adalah penggalakan penanaman padi di mana-mana, termasuk di daerah-daerah yang masyarakatnya awalnya tidak/jarang makan nasi. Akibatnya, warga yang dulu mengonsumsi karbo non-nasi jadi turut makan nasi; meninggalkan karbo lokalnya. Hal itu berlanjut hingga keturunannya sampai kini.

 

Belum lagi ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa beberapa pangan lokal itu identik dengan kemiskinan. Karena nggak mampu beli beras, maka yang dimakan adalah ubi dsb. Mungkin itu benar. Tapi, ya… karena demand beras sudah sangat tinggi, imbas Revolusi Hijau tadi, maka harga juga jadi tinggi. Padahal, secara gizi, sumber karbo alternatif tadi nggak kalah dengan beras.

 

Akibat kejadian ini, saya jadi paham mengapa beberapa tahun lalu Kementerian Pertanian mengampanyekan “Diversifikasi Pangan”. Ya, supaya sumber-sumber pangan lokal ini dikonsumsi lagi. Ya, gimana, ya, sebab kebutuhan beras Indonesia kini sudah "nggak bisa" dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kalau bukan jumlahnya yang nggak cukup, ya harganya yang nggak cocok (sehingga akan sulit laku di pasaran).

 

Gimana dengan rasanya? Mungkin orang-orang menolak makan non-nasi karena alasan itu?

Mungkin ini soal biasa-nggak biasa, kali, ya. Saya aja misalnya, memang nggak biasa makan lauk dengan selain nasi. Namun, di daerah lain, makan lauk/sayur dengan ubi dsb itu biasa. Beberapa bulan lalu saat saya makan nasi jagung plus sayur. Eh, ternyata bisa-bisa aja; enak meski sensasinya berbeda. Dan meski bukan baru kemarin coba membiasakan diri konsumsi karbo non-nasi, saya toh masih pilih-pilih lauk yang sekiranya cocok dengan kentang dkk. Sebaliknya, ada juga lauk yang saya rasa justru nggak nikmat dimakan bersama nasi.

 

Balik lagi ke tadi: biasa-nggak biasa dan selera-bukan selera. Namun, rasa-rasanya yang kedua sangat tergantung pada yang pertama. 

Reading Time: