Euforia Kebaruan - Hijaubiru

Jumat, 03 Februari 2023

Euforia Kebaruan

 



Nggak terasa, ya, sudah berganti bulan lagi. Padahal rasanya baru kemarin Januari menghampiri. Baru kemarin rasanya dengar ledakan kembang api bertalu-talu di langit malam yang biru bertabut abu-abu. Eh, sekarang sudah Februari aja.

 

Bukan hal baru kalau banyak orang punya rencana baru saat tahun baru. Apapun tahun barunya: tahun baru Masehi, Hijriah, Lunar, you name it. Memulai kebiasaan anyar di awal tahun yang juga anyar memang terkesan lebih ‘bersih’ dan mudah karena beranjak dari sesuatu yang sama sekali baru, nol, kosong, putih. Sebetulnya sama aja dengan memulai kegiatan itu di awal bulan/saat berganti bulan. Sama-sama baru. Namun, feeling-nya agak beda. Mungkin karena durasi tahun itu lebih lama sehingga penantiannya pun lama, jadinya lebih spesial.

 

Yang menjadi masalah adalah: apa resolusi itu sudah ajeg dilakukan hingga akhir Januari atau mulai mrothol ketika memasuki Februari?

 

(Ini, dari kacamata saya. Dan memang ngebahas soal tahun baru Masehi.)

 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di awal tahun saya mengilas balik apa-apa saja yang dilakukan tahun lalu. Apa ada hal yang signifikan? Apa ada kenaikan value? Atau, ada hal yang menyenangkan atau tak terlupakan? Ya mirip dengan evaluasi program kerja lah, cuma karena ini diri sendiri jadi yaa nggak seserius itu; dibawa santai wae. Target tercapai alhamdulillah, nggak tercapai ya… sudah, wkwkwk.

  

Saat membuka buku agenda, saya baru ingat bahwa tahun lalu saya mencanangkan program “Satu Bulan”. Dalam satu bulan, saya akan fokus mempelajari satu bidang. Planning ini punya 'masa trial' tiga bulan saja untuk melihat efektif/enggaknya. Saya lupa persisnya, tapi yang jelas ada rencana Januari Menulis dan Februari Fotografi.

 

Apakah terlaksana?

Ya dan tidak, haha.

Januari Menulis berisi 30 hari rutin menulis dan merangkum materi-materi dari webinar/pelatihan menulis tahun sebelumnya. Pendek cerita, rencana menulis rutin hanya terpenuhi separuhnya, sedangkan proses pengumpulan rangkuman tersendat-sendat dan baru selesai di bulan Februari, LOL. Pekan pertama cuma alpa satu kali, pekan kedua bolong tiga kali, pekan ketiga nulisnya yang tiga kali, sedangkan pekan keempat cuma sekali. Memang seleksi alam itu nyata, bahkan dalam diri sendiri 🤣

 

Bagaimana dengan Februari Fotografi? Enough said, it didn’t work out, hahaha.

Ya gitu, deh, semangatnya di awal, sedangkan di akhir bulan sudah melempem hingga lama-kelamaan kemudian ditinggalkan.

 

Tampaknya hal ini nggak terjadi ke saya aja. Banyak juga orang lain merasakan hal yang sama. Dan, berulang-ulang. Setiap tahun baru.

 

Dan, rupanya, tak melulu di setiap tahun baru. Hal ini juga kejadian di program baru, organisasi baru, lingkungan baru, dan lain-lainnya yang baru-baru. Belakangan saya sadari ini nggak cuma berlaku pada barang, tapi juga pada orang: lingkungan dan status baru, misalnya.

 

Dalam beberapa seminar/kelas bertema komunikasi, keluarga, atau pernikahan, para pemateri sering menyampaikan bahwa selalu ada fase honeymoon alias fase senang-senang di awal perubahan status: menjadi pasangan baru, orang tua baru, dll. Di fase ini, semua terlihat bagus dan indah. Setelah beberapa saat, barulah muncul (semacam) fase kesadaran: “Kok, ternyata ini ada jeleknya, ya?” Lalu lanjut ke fase kebosanan.

 

Kalau dilihat-lihat, siklus seperti ini nggak terjadi hanya saat punya status baru, tapi juga saat ada barang, lingkungan, atau hal lain yang baru. Contohnya, ketika masuk organisasi baru, rasanya semangat banget merancang proker ini-itu. Saat masuk sekolah/kampus/kerjaan baru, serasa happy banget mengeksplorasi ini-itu. Saat punya barang baru, apalagi yang diidam-idamkan, itu barang disayang-sayang dieman-eman banget. Nggak boleh dijalankan atau dipegang sembarangan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semua kelekatan itu mulai longgar. Sesuatu yang dulu dianggap istimewa, lama-lama kian biasa saja. Ya karena jadi sering ketemu dan hal yang tadinya luar biasa telah menjadi ‘rutinitas’ biasa saja.

 

Hilangnya ketertarikan yang dibahas pada webinar tadi mirip dengan tulisan dalam buku Geography of Bliss. Eric Weiner—sang penulis—memperhatikan fenomena kebahagiaan di beberapa negara yang dinobatkan menjadi negara paling bahagia dan negara paling nelangsa. Dalam salah satu bab tentang sebuah negara paling bahagia, Weiner menyebut bahwa (salah satu) faktor kebahagiaan di situ bak euforia memenangkan sebuah lotre.


Weiner menyitir salah satu hasil penelitian oleh Philip Brickman tentang kebahagiaan dua kelompok: satu, para pemenang lotre dan dua, para survivor kecelakaan. Intinya adalah: saat baru menang lotre atau mengalami kecelakaan, kebahagiaan dua kelompok ini beda drastis. Jelas, yang satu bahagia banget karena dapat sesuatu yang diimpi-impikan, sedangkan satu lagi sedih karena kehilangan kesehatan. Namun, uniknya, setelah beberapa waktu, tingkat kebahagiaan dua kelompok ini jadi sangat mirip, yaitu balik ke tingkat ketika mereka belum menang lotre/kecelakaan. Bila diibaratkan dengan grafik, kelompok satu yang awalnya tingkat bahagianya tinggi banget lalu berangsur turun jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum dapat lotre. Di sisi lain, kelompok kedua yang awalnya sedih banget lalu berangsur naik jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum kecelakaan.


Hal serupa penelitian di atas Weiner temukan di sebuah negara sangat kaya yang penduduknya saja emoh naik pesawat kelas bisnis karena dianggap terlalu murah. Negeri ini dulu dikenal gersang dan nggak ada perkembangan. Kemudian, nasibnya berubah kaya dalam sekejap karena ada sumber daya alam yang baru ditemukan. Penduduknya pun jadi sangat makmur, sampai petugas hotel pun harus 'diimpor' dari negara lain, sedangkan warga lokal menjadi customer saja; bukan pekerja.


Weiner bertanya pada salah satu narasumber, apa orang di sini bahagia karena kaya sekali? Narasumber itu menjawab: ya dan tidak. Dulu, awal-awal negaranya berubah kaya, para penduduk memang senang banget. Punya ini-itu yang mahal dan nggak pernah terbayangkan. Namun, sekarang, punya sebiji Ferrari itu sudah terlalu biasa. Punya macam-macam pun rasanya biasa saja. 

 

Disclaimer, saya nggak menggeluti dunia psikologi dan mungkin interpretasi saya salah soal ini.

Dari kacamata saya, resolusi awal tahun mirip dengan kasus kelompok pemenang lotre. Kita mendapat sesuatu yang baru (resolusi baru), meninggalkan tahun belakang yang mungkin aja berisi kesedihan. Karena masih awal, masih senang-senangnya, masih semangat, jadi ya… pekan pertama-kedua ini semangat sekali. Namun, lama-lama euforia kebaruan ini menurun karena ‘barang’ yang tadinya ‘baru’ kini sudah ‘semi-baru’. Seiring terlewatinya bulan demi bulan, resolusi ‘baru’ ini pun menjadi ‘barang lawas’ yang tidak lagi bisa memicu kebahagiaan lagi. Akhirnya, resolusi ini pun rontok pelan-pelan.


Seperti ungkapan,

“Barang baru disayang-sayang, barang lama dilupakan.”

 

Akibat memang sudah siklus alamiah, maka hal ini sebenarnya lumrah. Yang jadi tanda bahaya adalah ketika menjadi muak dan ogah berurusan dengan hal itu, padahal hal tsb harus dilakukan. Misalnya, menjadi staf organisasi padahal sudah telanjur diberi tanggung jawab, bosan menjadi pasangan padahal sudah berkomitmen bersama, dsb. Atau, kalau dihubungkan dengan bahasan sebelumnya: bosan ngelakuin resolusi atau rencana hidup.

 

Maka saya setuju dengan ucapan, “Semangat membara akan mengantarkan ke gerbang, tapi butuh keteguhan agar bisa sampai garis finish dengan benar.”

 

Berkaca dari resolusi tahun lalu, omongan itu benar banget. 1-2 minggu pertama masih semangat, masih senang. Minggu-minggu selanjutnya sudah buyar akibat rasa tertekan atau sekadar ingin menuntaskan kewajiban. Nggak heran kalau istikomah emang nilainya besar.


Semua yang baru akan terasa bagai euforia. Apalagi baru dan diidam-idamkan. Something that's full of happiness and too-good-to-be-true. But then, constantly, without we're realising, it has become dull. The happiness hormone decreased because the stimulation is no longer a stimulation since it has become familiar. 

 

Gimana dengan tahun ini, apakah ada program lagi seperti Januari Menulis atau sudah kapok? Well, saya masih meraba-raba. Kiranya cuitan di atas bisa jadi gambaran bagaimana, sebab saya baru (betul-betul) membuka (kembali) buku agenda di akhir Januari, hahaha.



Tidak ada komentar: