Hijaubiru

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time:

Jumat, 28 Juli 2023

Bediding: Ketika Kemarau Justru Terasa Dingin
Juli 28, 20230 Comments

 

 

Siapa yang ngerasa akhir-akhir ini cuaca dingin meski langit cerah tanpa awan? Apalagi kalau malam. Siang boleh panas terik menyengat, tapi malam hari justru dingin menggigit. Beberapa mungkin juga merasa siang terasa adem meski matahari bersinar menyengat. Di beberapa daerah pegunungan, seperti Dieng dan Bromo, justru muncul es atau embun upas.

 

Fenomena ini disebut ‘bediding’ (atau bedhidhing) oleh orang Jawa. Bediding berarti awal peralihan musim hujan ke kemarau, ketika suhu udara justru terasa dingin. Nanti, ketika sudah betul-betul masuk kemarau, suhu sudah kembali ‘normal’ alias sudah panas lagi.

 

Mengapa masuk musim kemarau justru tambah dingin?

BMKG menyebutkan bahwa ini adalah efek angin muson dan efek ketiadaan awan.

 

Saat ini, angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia sehingga melewati kita, Indonesia. Angin itu juga membawa udara dingin karena Australia sedang musim dingin sekarang. Ada yang bilang, ini juga berhubungan dengan axis alias sumbu bumi yang miring sehingga menyebabkan perbedaan musim di belahan bumi yang berbeda.

 

Sebab kedua adalah ketiadaan awan. Akibat sudah masuk musim kemarau, maka hujan dan mendung pun berkurang pesat. Tanah/bumi yang terasahangat saat siang karena disinari matahari, saat malam melepas panas yang ia terima (karena tidak ada matahari yang bikin tetap hangat). Ketika ada awan/mendung—di musim hujan—, panas yang dilepas ini akan tertahan di atmosfer bumi karena ‘tertutup’ awan sehingga suhu jadi rada mendingan. Namun, tidak ada awan/mendung saat kemarau. Panas yang dilepas bumi itu pun akhirnya betulan lepas ke luar karena tidak ada yang ‘menahan’. Akibat kehilangan panas, permukaan bumi pun jadi dingin sehingga kita—manusia yang hidup di permukaannya—ikut kedinginan.

 

Namun ini nggak berlangsung lama; hanya di awal peralihan musim aja. Kalau sudah betulan masuk kemarau, ya, panas-panasan lagi.

 

💡 Untuk yang suka main ke wilayah pegunungan, bediding jadi suatu hal yang harus diperhatikan. Memang cuacanya cerah sehingga pemandangan bakal jelas banget dan (relatif) jarang ketutup kabut atau risiko hujan, tapi dinginnya akan lebih dingin daripada suhu gunung biasanya. Karena alasan itulah tur ke Bromo yang saya ceritakan di sini mengatur keberangkatan mendekati subuh meski kami ingin lihat Milky Way dari ketinggian; karena khawatir peserta tur pada kedinginan.

 

Kala suhu rendah banget begini, di beberapa pegunungan bisa terbentuk es atau embun. Beberapa hari lalu hingga hari ini, ada berita muncul es di Bromo dan embun upas di Dieng. Fenomena ini menarik perhatian orang berduyun-duyun untuk melihat wujud es, benda yang hampir mustahil terlihat secara alami di daerah tropis yang panas. Di sisi lain, para petani pun harap-harap cemas karena embun es ini bisa merusak tanaman yang mereka budidayakan.

 

Dulu, saya heran ketika ada yang cerita soal kerusakan ini. Embun es, kan, nanti akan mencair juga. Toh nggak lama; tinggal tunggu matahari muncul dan es akan hilang. Setidaknya itu yang terjadi di Ranu Kumbolo, saat seorang teman bilang, “Ada es, lho, di rumput,” dan saya nggak menemukannya ketika keluar beberapa menit kemudian (yaa waktu matahari udah lebih naik, haha).

 

Jadi, kenapa embun es yang nanti akan kembali jadi air bisa merusak tanaman?

Apalagi tanaman yang kena, bisa jadi kering.

Lho, kan, es? Kok kering? Harusnya malah basah, dong, kan dari air?  Dulu saya bertanya-tanya kayak gini.



BAGAIMANA EMBUN ES MERUSAK TANAMAN 

Konon katanya embun upas adalah sebutan masyarakat Dieng untuk es yang muncul pada tanaman. Teman-teman saya yang nggak berasal dari Dieng tapi dari area Jateng lain juga menyebut demikian. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti “racun”. Kata ini sudah masuk KBBI dengan makna racun dari pohon tertentu. Jadi, embun upas berarti embun yang “beracun” karena bisa merusak tanaman.

 

Ladang dan perkampungan di Dataran Tinggi Dieng,
dilihat dari puncak Gunung Prau


Embun es bisa merusak tanaman karena tanaman ini nggak terbiasa dengan suhu amat rendah. Kita bicara soal air di dalam tubuh tanaman sekarang, bukan air/es di luar yang simply nempel di permukaan. Es yang menempel di tubuh tanaman adalah sebuah indikator untuk kita bahwa suhunya lagi dingin banget. Artinya, suhu di dalam tubuh tumbuhan juga dingin banget.

 

Suhu rendah bisa membuat air dalam tubuh tumbuhan turut menjadi es, seperti embun upas di luar tubuhnya. Air dalam tubuh ini menjadi kristal es. Kristal ini bisa merusak sel tubuh. Akibatnya? Banyak. Kristal es ini bisa melukai sel dari dalam karena kristalnya yang tajam atau ‘mencepit’ sel-sel dari luar dengan bentuknya yang tidak beraturan. Ia juga bisa membuat konsentrasi internal sel meningkat karena nggak ada air (sudah jadi es). Ibarat sirup tanpa air, kental sekali, bukan. Kalau nggak salah, kata buku teks Biologi SMP/SMA inilah kondisi hipertonik. Lalu karena lingkungan sel yang terlalu ‘kental’, zat lain dalam sel bisa ikut rusak karena kondisi lagi dehidrasi alias kekurangan air. Lalu, jangan lupakan bahwa metabolisme sel sangat butuh air: untuk ‘mengalirkan’ zat, untuk mereaksikan zat, dll. Tanpa air, praktis proses metabolisme ini berhenti.

 

Metabolisme yang terhenti berarti terjadi gangguan tubuh. Kalau gangguan itu sangat kecil, mungkin bisa diatasi. Namun kalau banyak, ya, alamat tamat. 


Hal yang sama terjadi pada manusia. Di gunung-gunung tinggi bersalju, ada ancaman frostbite alias kerusakan jaringan sel, utamanya dekat permukaan kulit, akibat beku. Kalau beku/dinginnya sekujur badan, ya ... wassalam.

 

Balik ke tanaman. Tanaman yang terkena embun upas juga jadi kering karena airnya tidak ada. Airnya sudah membeku semua. Kering = nggak ada air (tersedia) dalam tubuhnya.

 

Sebagai catatan, es tidak selalu berarti basah. Konsep ini juga baru saya pahami waktu ada teman yang cerita dia harus pakai lipbalm, handbody, dan segala macam buat jaga kelembapan tubuh saat ia tinggal di negara yang sedang winter.

“Kalau nggak pakai, bibir atau kulit bisa pecah-pecah,” tuturnya.

Ia bercerita bahwa winter itu kering karena kelembapan udara rendah sekali. Memang salju/es itu dari air. Namun, itu itu juga berarti tidak ada air (atau minim kelembapan) saat winter karena sudah berubah jadi salju/es.

 

Konsep dingin basah ini sebetulnya juga bisa dilihat di Indonesia. Itulah sebabnya kalau naik atau main ke gunung, apalagi berhari-hari, disarankan pakai lipbalm karena bibir bisa dehidrasi lalu pecah-pecah. (Ketahanan orang beda-beda. Ada yang nggak pakai, baik-baik aja. Sebagian yang lain—contohnya saya—bisa pecah mengelupas bibirnya).

 

Perladangan di area sekitar Bromo-Tengger-Semeru: 
ada lahan yang belum ditanami (coklat) & sudah (hijau, bawah)
(Dan ya, securam itu ladangnya. Kalau saya pasti sehari aja
keliling ladang, ini kaki udah gempor  😄)


Di perladangan seperti di Dieng atau Tosari (Bromo), embun upas ini merusak tanaman kentang sehingga panen kentang menurun. Ada yang bilang batang-daun carica Dieng juga ikut kering. Sudah ada beberapa antisipasi untuk efek embun upas, seperti ditutup paranet atau diberi mist irrigation. Di negara empat musim yang memang bersuhu dingin, frost pada tanaman bisa diantisipasi dengan dibungkus atau ditanam di greenhouse. Masih ada cara lainnya juga. Beda cara, beda efektivitas, dan tentu beda cost produksi.

 

Tapi, kenapa ada tanaman yang nggak kenapa-kenapa meski kena embun upas juga, ya?

Simpelnya: karena sifat tumbuhan beda-beda. Ada tumbuhan yang tahan dingin, ada yang tahan panas. Thus, adaptasinya pun beda-beda.

 

Namun, apa yang membuat tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di tempat yang sama (say, di Dieng/Bromo), misal kentang, cemara, semak liar, ada yang mati kena embun upas tapi yang lainnya tetap hidup?

 

Kita kembali ke …

 


BAGAIMANA CARA ADAPTASI DI SUHU DINGIN 

Ada banyak cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk di suhu dingin. Bisa termasuk jenis adaptasi perilaku, seperti manusia yang pakai jaket tebal atau selalu makan yang berlemak. Bisa juga adaptasi bentuk tubuh (morfologi) atau proses dalam tubuh (fisiologi). Karena terlalu banyak, kita rada sempitkan ke bagian fisiologi aja.

 

Sederhananya, tumbuhan bisa tahan hidup di lingkungan beku karena dia punya metabolisme tubuh yang mengatur itu. Bisa dengan:

  • produksi zat tertentu (antifreeze agent) untuk mencegah pembekuan
  • menyetorkan nutrisinya ke bagian tertentu
  • 'menghibernasikan diri' (dorman)
  • mengurangi kandungan air dengan memindahkan ke bagian lain/melapisi tubuh dengan lilin/mempersempit permukaan
  • punya ‘sensor’ yang aktif ketika mendeteksi perubahan suhu
  • produksi enzim tertentu, dan
  • cara-cara lain yang belum dipahami sepenuhnya oleh kita, manusia. 

Mekanisme tumbuhan juga bisa beda antara mereka yang memang hidup di lingkungan dingin dan tumbuhan yang lingkungannya bisa menjadi dingin.


Adaptasi tumbuhan yang hidup di wilayah tropis, seperti di sini, beda dengan adaptasi tumbuhan yang memang hidup di negara yang dingin. Pun di negara yang dingin/4 musim, adaptasinya beda lagi dengan tumbuhan yang hidup di daerah yang hampir selalu tertutup es. Bervariasi banget. Itu baru di tumbuhan. Belum di hewan. Belum lagi di manusia.

 

Kita aja, yang sesama Homo sapiens, punya ketahanan dan adaptasi yang berbeda-beda. Padahal kita masih satu spesies. Apalagi kalau pada tumbuhan/hewan yang spesies bahkan genusnya lebih variatif lagi.


Buat apa tahu soal adaptasi beginian?

Tergantung orang/keperluannya. Kalau saya karena penasaran aja. Namun untuk orang-orang yang lebih serius, hal beginian bisa diaplikasikan untuk pengawetan makanan/benih pertanian, misalnya. Bisa juga buat memahami tanaman sehingga bisa antisipasi kalau-kalau suhu rendah, jadi tanamannya nggak rusak dan tetap bisa dipanen. Untuk antisipasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, misalnya. Buat penggemar science fiction, bisa juga jadi 'pintu gerbang' menilik cryobiology alias pembekukan makhluk hidup untuk dihidupkan lagi. Kayak adegan di film-film: dibekukan terus hidup lagi berapa ratus tahun kemudian saat bumi sudah berubah atau saat di planet lain.



KEMBALI KE BEDIDING  

Kalau kata orang-orang tua, bediding berarti waktu ketika minyak klentik membeku. Katanya juga, ini musim pohon-pohon mangga mulai berbunga. Beberapa bulan lagi saat kemarau, buah segarnya sudah bisa dinikmati.

 

Mungkin dulu memang hal-hal seperti ini belum bisa dijelaskan. Apa hubungannya suhu dingin dengan buah mangga? Entah. Yang jelas, saat suhu berubah lebih menggigit, moyang kita memperhatikan bahwa pohon-pohon mangga mulai semerbak berbunga. Kini kita mungkin sudah tahu bahwa suhu itulah salah satu pemicu pembungaan mangga.

 

Dulu, kakek-nenek kita dan moyangnya membaca prakiraan cuaca dengan modal niteni alias memperhatikan kerutinan yang terjadi dari tahun ke tahun. Dari kerutinan inilah muncul prakiraan cuaca model lawas seperti pranoto mangsa pada masyarakat Jawa. Praktik niteni inilah yang menjadi salah satu patokan musim bertani.

 

Sekarang, dengan musim yang makin tak jelas batasnya akibat perubahan iklim cukup drastis, praktik memperhatikan tanda-tanda alam ini makin sulit dilakukan.



=====

Disclaimer:

Artikel ini bukan tulisan akademik, melainkan bacaan ringan saja. Beberapa poin bukan sesuatu yang pernah saya pelajari langsung/spesifik sehingga untuk penjelasan ilmiah silakan di-recheck ulang karena meski ada referensinya, bisa saja saya salah membaca/salah memahami sehingga salah menuliskan pula. Terima kasih!



=====


Source (linked italicised text):

Fajarlie, N. I. 2022. Kompas. Embun Es di Dataran Tinggi Dieng: Ancaman bagi Petani, Daya Tarik buat Wisatawan (kompas.tv) || Harmoko, I. W. 2021. BMKG.https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=mencermati-periode-terjadinya-embun-upas-dan-bediding&lang=ID || Ritongga, F. N. dan S. Chen. 2020. Physiological and Molecular Mechanism Involved in Cold Stress Tolerance in Plants - PMC (nih.gov) || Simangunsong, W.S. 2023. Kompas. Embun Upas Muncul di Gunung Bromo, Suhu Capai 5 Derajat Celsius - Kompas.com || Wikipedia EN. Frost - Wikipedia || __. Cold hardening - Wikipedia || Wikipedia ID. Bediding - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas || * Terima kasih pada para dosen Thermomikrobiologi yang mengajarkan efek freezing pada sel


Reading Time:

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya menemukan sebuah website dengan foto amat menarik. Itu adalah gambar Candi Borobudur yang dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya seperti melihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google, lewat website. Foto Borobudur terbalut kabut tadi saya temukan pada website fotografer asing yang tentu saja nggak menyebutkan rute jalan menuju ke sana. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang bapak penduduk lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini banyakan bule buat lihat matahari terbit. Ada juga yang bukan bule, yang memang suka foto-foto,” ujarnya memberi tahu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu baru browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang ditulis oleh beberapa orang di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise, artinya harus jalan malam.

 

Nggak tahu jalan, tanpa transpor umum, belum bisa naik motor. Harus jalan malam pula (yang artinya nggak bisa nanya penduduk lokal karena pasti pada tidur). Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 

(Dalam bahasa Jawa, punthuk = bukit.

Ada juga yang menyebut bukit sebagai ‘puthuk/putuk’. Yang kedua ini saya temui di Jawa Timur)

  



Namun, untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak dibutuhkan pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan dan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar.

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto paling atas tadi. Orang yang nggak tahu mungkin akan menganggap saya ambil foto ini di Borobudur, padahal diambil dari Punthuk Setumbu. Dan menurut saya pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan memberi kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, dibalut kabut putih seperti negeri di awan. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom




Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca sedang cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti pada gambar anak-anak. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan seakan dua gunung itu terletak tepat berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view menakjubkan gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami mengecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang untuk dilewatkan.

 

PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN PANGERAN DIPONEGORO


Saya nggak mengira bahwa Punthuk Setumbu yang terletak di Kota Magelang ini termasuk dalam Pegunungan Menoreh yang membentang hingga Kab. Kulonprogo. Oh, pantas aja daerahnya berbukit-bukit.

 

Bicara soal Pegunungan Menoreh di Magelang, belakangan juga baru tahu bahwa rangkai pegunungan kapur ini turut menjadi saksi Perang Jawa (1825-1830), perang dahsyat yang dikobarkan Pangeran Diponegoro dan membuat Belanda kalang-kabut. Di buku sejarah zaman sekolah memang disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang sebelum diasingkan, tapi saya nggak nyangka aja kalau hal itu terjadi di dekat-dekat sini.

 

Menurut info, Pangeran Diponegoro ditangkap di rumah Residen Kedu, di Magelang. Beliau kemudian dibuang ke Makassar, Sulawesi.

 

When history meets reality, that’s when I feel stunned by how close we are.

Dulu, saya sempat melongo saat seorang teman mengajak pergi ke rumah teman lain yang terletak di daerah Pleret (Kab. Bantul). Saya ingat betul bahwa nama itu tercetak di buku mata pelajaran sejarah. Kutipannya: “… Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu menyingkir ke Selarong, Pleret, Dekso ….”

 

Bila ingin menelusuri jejak Pangeran Diponegoro dan sejarah Perang Jawa, area Magelang-Yogya ini memang ‘harta karun’ sekali. Gimana enggak, beliau memang lahir, besar, dan tinggal di Yogya. Perjuangannya pun bertempat di area itu. Ada beberapa jejak bersejarah yang kini dikembangkan menjadi tempat wisata sehingga bisa dikunjungi. Salah satunya Gua Selarong yang terletak di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Arahnya dari Jl. Godean ke selatan. Tapi, itu cerita untuk lain kali *wink

(still incomplete, more story incoming)


 

BOROBUDUR, "TERATAI" DI TENGAH DANAU PURBA

Mengenai Borobudur sendiri, sejarahnya juga panjang. Candi ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir, bahkan berabad-abad sebelum Mataram Islam (keluarga Pangeran Diponegoro) berdiri. Borobudur dibangun oleh Mataram Hindu.

 

Banyak hal menarik tentang Borobudur, baik penemuannya, kisahnya, maupun bentuknya. Dari semua hal, yang paling menarik untuk saya adalah:

  • kenyataan bahwa candi ini dulu terkubur seutuhnya karena letusan Gunung Merapi. Konon, letusan inilah yang bikin kerajaan yang jaya di Jateng lalu pindah ke Jatim hingga muncul Majapahit dkk.
  • bahwa Borobudur ditengarai dibangun di tengah danau purba. Kabarnya, pembangunan di tengah danau itu dilakukan secara sengaja agar candi ini nampak seperti teratai di tengah-tengah kolam. Very poetic!

(still incomplete, more story incoming)

 


 

💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa




Reading Time:

Jumat, 16 Juni 2023

Bunga dan Panas
Juni 16, 2023 2 Comments

 



Sudah beberapa minggu ini cuaca terik. Jangankan hujan, mendung aja baru mampir tadi siang. Mampir doang, sebentar. Akibatnya, tumbuhan pun banyak yang mulai meranggas. Yang nasibnya lebih buruk, ya, mati. Tanaman peliharaan yang ada di pot umumnya lebih kritis karena akarnya nggak 'menjejak' tanah sehingga nggak bebas cari air. Makanya pemandangan tumbuhan hijau yang menguning kemudian kuning-kurus-kering dan mati menjadi sesuatu yang biasa (meski tetap menyedihkan) di musim ini.


Namun, nggak semua tumbuhan seperti itu. Ada juga yang malah berkembang saat suhu beranjak naik dan intensitas matahari makin menggila. Kalau tumbuhan lain mengatur tubuhnya supaya hemat air dengan meranggas (seperti jati) dsb, ada tumbuhan yang justru 'berani' untuk berkembang. Di saat tumbuhan lain cuma 'berani' menumbuhkan beberapa bagian yang krusial aja untuk sekadar bertahan hidup, justru ada tumbuhan lain yang 'dengan happy' tumbuh makin semarak dengan bunga warna-warninya.


Memangnya kenapa kalau ada yang berbunga?

Jadi gini, aktivitas berbunga adalah aktivitas ekstra. Tumbuhan berbunga dengan tujuan apa? Betul, berkembang biak. Karena bunga itu nanti akan jadi buah dan biji yang menghasilkan anakan baru. Berkembang biak, 'melahirkan' anak ini tentunya perlu energi ekstra, sama seperti manusia. Kenapa termasuk aktivitas ekstra? Karena aktivitas 'biasanya' cukup tumbuh atau bertahan hidup saja.


Jadi, kalau ada tumbuhan yang justru mau mengeluarkan energi ekstra di saat kondisi lingkungan sedang nggak bersahabat (alias, sedang panas-panasnya), dia adalah tumbuhan yang berbeda. Tentu, metabolismenya juga berbeda dengan tumbuhan kebanyakan yang justru tumbang di saat yang sama. 


Hari ini, di tepi jalan, di sebuah pot berukuran 40x40 cm, saya melihat bugenvil yang tumbuh rimbun. Bukan daunnya yang rimbun, tapi bunganya. Warna merah jambu, merah hati, dan putih berpadu di satu pot. Di balik bunga-bunga itu, barulah terlihat daun-daun hijau yang telak kalah jumlah. 


Apa cuma bugenvil yang justru berbunga saat cuaca panas? Enggak. Pernah dengar tabebuya? Bunga yang semarak sekali saat berkembang ini juga sama dengan bugenvil. Kalau nggak salah memperhatikan, saat cuaca di Surabaya sudah gerah bener, biasanya beberapa hari setelah itu bunga ini akan memenuhi sepanjang jalan raya. Contoh lain adalah jacaranda, pohon yang bunganya ungu. 


Terus, hm... apa lagi, ya?


Kenapa bunga-bunga ini justru 'bersuka-cita' saat suhu lingkungannya memanas? Penjelasan paling sederhana adalah karena iklimnya cocok; mereka memang suka cuaca panas. Penjelasan lainnya adalah metabolisme tubuhnya justru semakin optimal saat cuaca panas. Entah bagaimana caranya. Saya juga lagi cari-cari, tapi belum nemu.


Kalau sudah nemu alasannya, bakalan di-update di sini 😁 

Atau barangkali ada yang sudah tahu? 


========== 

Poin kedua ini baru terpikirkan belakangan, saat tulisan ini sebenarnya sudah selesai. 


Mengapa pohon tabebuya justru berbunga di musim kemarau, padahal di saat yang sama pohon jati sampai menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup? Atau, kenapa bugenvil yang 'cuma' semak, bukan pohon yang sturdy, juga justru bisa berkembang dibanding jati yang kuat?


Saya pernah nemu sebuah ilustrasi dengan beberapa pot tanaman di situ. Tanaman di tiap pot berbeda. Teks yang tertulis di bawahnya kira-kira:

Bila tumbuhan saja butuh kondisi yang berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang, apalagi manusia.

Aaand that hit me. 


Betul juga. Ada tumbuhan yang suka hujan, ada yang kalau kena hujan malah mati. Ada tumbuhan yang suka dipupuk X, ada yang kalau dikasih pupuk X malah mati. Bahkan tumbuhan yang satu spesies dan ditanam di halaman yang sama pun pertumbuhannya bisa berbeda karena faktor-faktor lainnya. Jadi, kenapa manusia yang juga satu spesies dan menyebar di muka bumi dengan kondisi 'lingkungan' yang berbeda-beda, sering disama-samakan?


Oke, memang ada standar tertentu yang bisa (tidak harus) digunakan untuk 'mengukur' tanaman. Misal, rendemen berapa baru boleh dipanen/dijual. Tapi, itu, kan, tanaman komoditas yang memang diperdagangkan? Manusia, kan, bukan.


Ilustrasi di atas (thanks to siapa pun pembuatnya, maaf saya lupa siapa/nemu di mana) terasa sangat uplifting. Seringkali kitamungkin tepatnya sayasuka membandingkan diri-sendiri dengan orang lain. Nggak apa-apa kalau sekali-kali dan tujuannya untuk melecut diri untuk lebih baik. Tapi kalau terlalu sering sampai ngerasa rendah diri dan tertinggal sekali, juga nggak bagus, bukan? 


==========

In frame: bunga kertas / bunga zinnia / Zinnia sp. 

Reading Time:

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time: