Hijaubiru

Minggu, 15 Desember 2013

Yearning
Desember 15, 2013 2 Comments
I

Miss

You,

Guys



Laser of Lasso
Smalapala of Smala

Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta - Gie

-----------------------------------------------------

Bhuhuhuhu, ceritanya habis buka film lawas: Gie. Dan seperti biasa, film ini sukses menyeret saya ke dalam suasana melankolis dan menenggelamkan ke memori-memori bareng sobat-sobat munggah gunung. Kalau sudah gitu, semua ingatan terbongkar sudah dan wajah-wajah teman 'serumah' selama tiga tahun pun ikut muncul ke permukaan.

Kalau udah gini, cuma bisa melan dan menikmati foto-foto yang kerasa lebih idup :')

Yes, you were right. Absolutely right. Those are the moments we're gonna miss. Well, I am, right now.

Both pictures were taken by friends.
Reading Time:
Edelweis Bukan Untukku
Desember 15, 20131 Comments
Bukan pula untukmu
Bukan untuk kita

Dia ada untuk dinikmati
Untuk dipandangi
Bukan untuk dicuri pulang

Edelweis yang dilindungi
Jangan kau bawa pergi


----------------------------------------------------------

Jadi, kalau di novel-novel, ada cowok yang katanya romantis sampe bela-belain bawain edelweis buat ceweknya, sebenernya dia nggak ngerti arti cinta. Jangan ditiru ya ;)
Reading Time:

Sabtu, 14 Desember 2013

Nikmati Momennya
Desember 14, 20130 Comments
Pernah ada suatu saat, ketika saya lagi baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, saya tercenung oleh kalimat ini:

"Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami." - kata Rinpoche pada Weiner, halaman 138.

Kami berhenti di kota terdekat, Wangdue. Yang mengejutkan, wisma tamunya bagus sekali. Saya duduk di teras, melihat ke bawah ke arah sungai yang airnya mengalir deras. Itu adalah pemandangan yang indah, dan secara naluriah saya meraih buku catatan dan kamera. Namun, saya berhenti. Kata-kata sang Rinpoche bergema di kepala saya. Alamilah. Anda perlu mengalami. Dia benar. Merekam kehidupan adalah pengganti yang buruk dari menjalaninya. Oleh karena itu, selama 20 menit berikutnya saya duduk di atas teras, mendengar deru sungai dan tidak melakukan apa pun. Benar-benar tidak melakukan apa pun. Tanpa buku catatan, kamera, atau perekam. Hanya saya dan kehidupan. - halaman 143.

Diri saya pun berkaca. Alhamdulillah, sudah berkali-kali saya memandangi lukisan menakjubkan milik alam. Gunung, bukit, laut, pantai, kilauan lampu kota. Apa yang sudah saya lakukan? Memotretnya. Ya, saya gila motret. Saya ingin keindahan itu tergambar jelas dalam foto dan bisa membuat saya seakan berada di sana ketika hanya melihatnya lewat layar gadget. Tapi ketika membaca kalimat di atas, saya pun bertanya, apa saya benar-benar menikmati momen tersebut?

Apa saya benar-benar menikmati momen tersebut, menghayati dengan khusyuk, menyimpannya di dalam hati dan memori, ataukah saya hanya memandanginya sekilas, takjub sementara, kemudian melupakan esensinya sembari asyik mengabadikan sana-sini lewat kamera? Dan saat kembali di rumah, saya hanya senang melihat fotonya, otak memutar ingatan ketika di sana namun hati berkata tidak ada memori?

Terus terang, saya lebih sering condong pada pilihan kedua. Ngelihat, senang, takjub, bilang, "Wooow, kereeeen!", dan . . . klik! Yang terjadi selanjutnya adalah bermesraan dengan kamera, bukan dengan yang ada di sekitar.

Kalau begitu, berarti pemandangan itu dekat di mata jauh di hati? Bisa dibilang begitu. 

Oleh karena itu, ketika kemarin saya berkesempatan ke beberapa pantai di Gunung Kidul, Yogya, dan sebuah kebun teh di kabupaten Batang, Jateng, saya pun membagi waktu menjadi dua sesi. Sesi pertama: datang, foto-foto. Sesi kedua: simpan kamera di saku, diam, nikmati sekeliling. Keduanya dalam satu waktu. Dengan demikian, foto dapet, memori hati pun dapet.

Susah, memang, mengingat kebiasaan yang selalu menggenggam kamera dan selalu tergoda jepret-jepret. Tapi dengan sedikit memaksakan diri, lumayan juga. Setelah merasa puas mengabadikan pemandangan lewat lensa, kamera saya simpan di saku lalu diam. Memandang. Menikmati. Meresapi.

Karena memori yang sesungguhnya tidak butuh tercetak di atas foto, tapi di dalam hati.

Pejuang kemerdekaan masa lalu tidak pernah memiliki fotonya yang sedang menenteng bedhil, berjuang heroik melawan penjajah. Tapi tanyakan pada mereka kisahnya, mereka akan lancar bertutur.

Memori di dalam hati.




Kebun teh di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah
Reading Time:
99 Cahaya di Langit Eropa
Desember 14, 20130 Comments
Picture was taken from  http://1.bp.blogspot.com/-i7OAlrLrUS0/T3LZWAur5lI/
AAAAAAAACD4/zqsqzPCXB6M/s1600/cover-99for-web1.jpg

Yang di atas ini cover novelnya. Akhirnya novel ini difilmkan juga. Baru 5 Desember 2013 kemarin premiere kalau nggak salah. Nah, karena di postingan ini udah ada sekilas info tentang novelnya (meski sekilaaaas banget, tapi coba baca bukunya deh, top abis kok!), maka di postingan ini saya akan bahas filmnya.

Terus, terus, gimana filmnya?

Kalau saya cuma bilang 'keren banget', pasti nggak puas.

Picture was taken from: http://indosinema.com/wp-content/uploads/
2013/11/poster-99-cahaya-di-langit-eropa-e1383578690652.jpg

Film dibuka dengan kisah penaklukan Austria oleh Turki (persis dengan novelnya yang dibuka dengan hal yang sama). Kisah penaklukan ini diceritakan oleh seorang guru sekolah Ayse.

Kisah beralih menuju Hanum yang ikut suaminya, Rangga, kuliah di Austria. Bulan-bulan pertama emang asyik, dia bisa jalan-jalan ngelihat berbagai khazanah budaya yang disuguhkan Eropa. Tapi setelah beberapa waktu berlalu, Hanum bosan. Semua yang dilihatnya sudah terasa hambar. Eropa tidak semenyihir sebelumnya.

Hanum memutuskan ikut les bahasa Jerman. Di sinilah dia berkenalan dengan Fatma Pasha, seorang muslimah keturunan Turki yang tempo hari dilihatnya ditolak bekerja karena tidak lancar berbahasa Jerman. Waktu berjalan, Hanum pun bersahabat dengan Fatma dan menjadi dekat dengan Ayse, anak Fatma. Melihat Fatma dan Ayse yang enjoy mengenakan jilbab di negara non-muslim, Hanum pun penasaran. Bersama Fatma, ia diajak menggali Islam di Eropa.

Kisahnya macam-macam. Mulai dari pandangan orang Eropa terhadap muslim, sejarah Islam yang terjejak di Austria lewat perbukitan dan bangunannya, hingga kendala-kendala yang jamak dirasakan para muslim di Eropa. Namun intinya satu: menjadi agen Islam yang baik, meski dalam kondisi sulit sekalipun.

Jika jejak Islam pada sejarah Eropa digambarkan lewat adegan-adegan jalan-jalan Hanum dan Fatma, maka permasalahan muslim ditampilkan lewat adegan Rangga dan teman-temannya: Khan, Stefan, dan Marja. Khan seorang Islam India yang kukuh tapi terlalu kaku, Stefan adalah seorang kritis yang sering bertanya tentang Islam pada Rangga tetapi 'rame' orangnya, serta Marja yang perhatian tetapi 'ya lihat sendirilah'.

"Kok kayaknya Tuhan kamu suka banget bikin orang menderita," ucap Stefan saat Rangga menolak ajakannya makan karena sedang puasa.

"Nah, kalau asuransi, aku tahu di mana kantornya. Tuhan kamu, kantornya di mana?" ungkap Stefan heran mengapa Rangga begitu teguh memegang kepercayaan untuk sesuatu yang tak bisa dilihat.

"Maaf kawan, untuk agama, saya tidak ada toleransi. Untuk masalah ini, kamu sendirian," tanggap Khan saat Rangga mengajaknya mengajukan dispensasi ke profesor penguji karena jadwal ujian bertepatan dengan jadwal shalat Jumat.

"Mr. Almahendra, saya pernah mendengar kalimat 'bismillahirrahmanirrahim' yang artinya 'dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, what's the big deal?" cetus sang profesor saat Rangga mengutarakan maksudnya.

Adegan-adegan yang ada dalam novel seperti Fatma, Hanum, dan Ayse yang masuk ke gereja untuk menghangatkan diri atau percakapan pengunjung restoran tentang sejarah croissant yang melambangkan kekalahan Turki di Wina, ada dalam film ini. Namun, konflik terbesar yang ada di sini adalah saat Rangga bingung apa ia harus shalat Jumat ataukah mengikuti ujian. Kerasa banget konflik batinnya.

Suatu saat, Rangga ada kegiatan (mungkin semacam seminar) di Paris. Fatma menyarankan Hanum mengontak temannya, seorang sejarawan dan mualaf Prancis bernama Marion. Petualangan mencari jejak Islam di Prancis pun dimulai. Saat Rangga seminar, Hanum ditemani Marion berkeliling Paris.

Sebelum pulang dari Paris, Marion menitip sesuatu untuk Fatma lewat Hanum. Namun begitu kembali ke Austria, Hanum tidak menemukan Fatma. Fatma absen les bahasa Jerman, rumahnya kosong, dikontak lewat internet pun tidak bisa. Hanum teringat paket Marion untuk Fatma. Penasaran, ia dan Rangga membukanya.

"Fatma kanker?" tanya Rangga sambil menunjukkan kotak berisi obat herbal.

Hanum pun buru-buru membaca surat Marion untuk Fatma. Terbata-bata ia mengeja saat tahu bahwa paket obat herbal itu untuk Ayse. Ayse yang masih seusia SD, Ayse yang periang, Ayse yang menanyakan kenapa tante Hanum nggak pake jilbab, Ayse yang kukuh mengenakan jilbab meski sang guru memintanya mencopot saja agar tidak di-bully, Ayse yang ternyata mengidap kanker!

----------------------------------------------------------------

Keren, pake banget. Kemegahan Eropa, mulai dari kecantikan alam hingga keklasikan budayanya, tergambar di sini. Dengan nafas Islam tentunya. Permasalahan-permasalahan yang disajikan memicu pertanyaan: permasalahan klasik muslim di Eropa. Beberapa dijelaskan dengan gamblang, beberapa lagi (menurut saya) tidak dijelaskan. Seperti pada pertanyaan Stefan jika Allah tidak ada atau saat sang profesor bingung karena Rangga enggan mangkir shalat Jumat. Tapi kalau dijelaskan, mungkin durasi filmnya bakalan nggak cukup, hehehe. Tapi di film, ada kok adegan yang menayangkan Hanum dan Rangga konsultasi ke imam masjid, meski percakapannya nggak disuarakan.

Film disajikan dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Percakapan yang banyak (apalagi dengan pemain Indonesia) dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Seperti percakapan Hanum dengan Fatma-Ayse, Rangga dengan Stefan-Khan-Marja. 

Adegannya terkesan alami, nggak dibuat-buat atau didramatisasi (mungkin karena emang kisah nyata ya). Seperti saat Hanum marah karena merasa agamanya diejek, kebimbangan Rangga, ataupun hubungan Hanum-Rangga yang normal. Tahu kan, biasanya di film-film kan suami-istri mesra banget. Lah, di sini, normal banget: ya ketawa, ya ngambek, ya mesra juga tentunya. Dan makanannya! Dalam film-film yang setting-nya di Barat, seringkali makanannya adalah makanan Barat pula. Di sini, pasangan Hanum-Rangga kelihatan Indonesia banget. Makan pake tangan, lauknya krupuk dan ikan asin. Mahasiswa di perantauan banget lah, yang justru bikin alami karena mana ada sih mahasiswa perantauan yang tiap hari makan fine-dining (kecuali emang kaya).

Film ini mirip, kalo nggak bisa dibilang persis, dengan yang ada di novel. Namun, di beberapa bagian memang ada yang dimodifikasi. Seperti adegan-adegan Rangga dan terutama ending yang mellow banget, yang nggak saya rasakan saat baca novelnya. Kalau baca novelnya, kita dapet substansinya, maka kalau lihat filmnya, saya dapet substansi plus feel-nya.

----------------------------------------------------------------

Pemeran:
Acha Septriasa sebagai Hanum Rais
Abimana Aryasatya sebagai Rangga Almahendra
Raline Shah sebagai Fatma Pasha
Geccha Tavvara sebagai Ayse
Dewi Sandra sebagai Marion
Nino Fernandez sebagai Stefan
Alex Abbad sebagai Khan
Marissa Nasution sebagai Marja
Dian Pelangi sebagai Latife (teman Fatma)
Hanum Rais sebagai Ezra (teman Fatma)

Sutradara:
Guntur Soeharjanto

Soundtrack:
Cahaya di Langit Itu - Fatin Shidqia Lubis

FYI, film berlanjut ke Part 2. Belum tahu kapan rilisnya.
Reading Time:

Jumat, 15 November 2013

Karpet
November 15, 20130 Comments
Kata siapa kenyamanan itu mahal? Harus duduk di sofa ruangan suite hotel bintang lima, belanja borong sana-sini dengan kartu kredit yang tinggal gesek (dan dibayarin), atau rileks bernapas di kelas yoga yang bayarnya selangit. Siapa bilang?

Kenyamanan itu murah. Sungguh.

Ketika kaki terbenam di karpet murah yang dibeli dari toko ujung jalan, merasakan kain sintetiknya membelai jemari kaki, menghangatkannya dari dingin marmer yang didukung cuaca dingin. Belaian bulu-bulu yang melenakan, merilekskan syaraf-syaraf kaki dan menjalar ke seluruh tubuh. Menghangatkan, membuat semua bulu yang tadi berdiri, duduk kembali. Hangat, nyaman, damai.

Kenyamanan itu murah. Sungguh.

Semurah kehangatan yang diberikan selembar karpet yang dibeli di ujung jalan.
Reading Time:

Rabu, 10 Juli 2013

Anak Gunung Jatuh Cinta
Juli 10, 20130 Comments


Judul: Anak Gunung Jatuh Cinta
Penulis: Fransisca Desiana
Penerbit: Puspa Swara
Tahun terbit: 2007 (cetakan I)
Ukuran: 19 cm
Halaman: 112


Icha sama sekali nggak menyangka bisa bertemu orang seperti Kharlly. Kharlly yang akhirnya menjadi sahabatnya, menjadi kakak baginya, menjadi orang yang menyemangati saat sama-sama sedang diklat Pecinta Alam, pun menjadi orang yang pertama turun ke jurang saat Icha jatuh saat pendakian.

Kharlly pula yang membuat Icha mengenal Wildan, yang akhirnya menjadi kekasihnya. Meski Kharlly pula yang meminta Icha menjauhi Wildan karena merasa Icha berubah.

Tapi Icha memilih tak menggubris peringatan Kharlly. Icha hanya bisa terenyak ketika melihat dengan mata kepala sendiri Wildan memang sedang bersama wanita lain.

Icha makin terpukul saat sekembalinya dari rumah sakit, Kharlly yang selama ini menemaninya ternyata sudah meninggalkan kota itu, pindah dan memilih menghilang dari pandangan Icha. Kharlly menitipkan sebuah paket untuk Icha, berisi buku harian yang menguak masa lalu Kharlly yang kelam, yang membuatnya ingin selalu melindungi Icha, membuatnya terpaksa menasihati Icha agar menjauhi Wildan karena masa lalu mereka.

Tapi terlambat. Kharlly sudah terlanjut pergi, menghilang tanpa jejak. Meningggalkan pesan agar Icha tak mencarinya, karena suatu hari nanti ia sendiri yang akan datang menemui Icha

------------------------------------------------------------------


Novel teenlit ini sama seperti novel-novel teenlit lainnya, yang mengutamakan cerita remaja dan cinta. Hanya bedanya, latar belakang para tokohnya adalah pendaki. Namun untuk jalan cerita keseluruhan, hampir sama dengan novel bergenre sama. Setting sekolah masih ada, banyak. Setting gunung diselipkan sedikit-sedikit, namun tak menceritakan gunungnya, lebih fokus pada tokohnya.

Hal tentang gunung yang bisa ditemui di sini adalah adanya istilah-istilah yang akrab di telinga pendaki seperti bivak, survival, navigasi darat, dll. Di halaman terakhir, diselipkan definisi istilah-istilah tersebut untuk memudahkan para pembaca yang bukan anak PA.




Reading Time:

Selasa, 09 Juli 2013

Teman Seperjalanan
Juli 09, 20130 Comments
Akibat cuaca panas yang (akhirnya) melingkupi Surabaya, jadi keinget zaman-zaman naik gunung. Dan nama yang satu itu emang nggak pernah lekang dari ingatan, bikin saya pengen balik dan balik lagi lantaran tersihir pesonanya. Semeru.

Dan nemu tulisan ini, yang pernah saya tulis setengah tahunan yang lalu, yang akhirnya bikin saya juga sukses bertanya-tanya, gimana nasib orang-orang ini sekarang ya?

----------------------------------------------------------------------------

Minggu, 4 November 2012

Aku berandai-andai, di mana mereka sekarang?

Sudah satu setengah tahun. Sudah satu setengah tahun semenjak kami terakhir bertemu, terakhir bertatap muka tak sengaja dalam sebuah perjalanan.

Tapi, bukankah setiap perjalanan selalu menggoreskan kesan, memiliki kisah?

Langit malam itu biru gelap, penuh gemerlap bintang. Aku memperhatikan, ada purnama muncul malu-malu dari balik pohon pinus. Aku dan teman-teman membangun tenda di luar, di bawah pinus. Sedangkan kalian kedengarannya asyik membuka sleeping bag di dalam pondok pendaki.

Paginya, kami memasak. Kami melihat salah satu di antara kalian asyik berjalan-jalan, menikmati angin segar pegunungan.
“Dari mana, Mas?” tanya seorang kawan.
“Jember. Masnya?” dia balik bertanya.
“Surabaya. Naik hari ini Mas?”
“Iya. Masnya juga?”
Kawanku mengangguk.
“Kalau gitu kita bisa bareng nanti,” tawarnya.

Pada akhirnya, kita memang berangkat bersama. Diiringi rintik hujan dan pilas kabut yang tadi pagi menghambat perjalanan kami, membuat kami menunda pendakian.

Ladang sawi, ladang kubis, ladang bawang daun. Aku teringat film Petualangan Sherina. Dalam perjalanan hari ini, kita tak bertemu.

Saat kami sampai di danau itu, kalian sudah mendirikan tenda. Sedangkan kami masih duduk-duduk di rerumputan kering, melihat penduduk lokal memancing.

Esoknya, kita berangkat bersama. Menaiki Tanjakan Cinta, melintasi padang ilalang kuning bernama Oro-Oro Ombo, membelah hutan Cemoro Kandang.

Di tengah perjalanan, kita rehat sejenak. Dua rombongan yang tak saling mengenal, kami dan kalian,  asyik bertukar bekal. Pun saat kita istirahat sejenak di Kalimati, mengistirahatkan badan agar bisa mengejar puncak nanti malam, kalian memberi kami sebuah makanan unik.

Roti panggang nesting dengan topping havermut cokelat.

Malamnya, bersama dengan puluhan orang dari rombongan lain, kita mengejar puncak. Beriringan membelah padang Kalimati dalam malam hitam pekat dan angin pegunungan yang bertiup keras. Tinggal ditambah lolongan serigala, lengkaplah malam ini, batinku saat itu.

Kita sempat istirahat agak lama di Arcopodo karena salah seorang dari kalian ingin buang air. Aku memanfaatkan momen itu untuk telentang menghadap langit. Memandang bintang-bintang dari sini tentulah berbeda dengan memandang bintang-bintang dari Surabaya. Pun sangat berbeda dengan melihatnya dari Ranu Pani, dari Ranu Kumbolo, atau dari Bromo.

Salah seorang dari kalian menegurku, mengira aku tertidur, “Jangan tidur lho ya, Mbak. Nanti nggak tahu kalau ditinggal”. Kita semua tertawa.

Perjalanan menuju puncak. Aku tak memerhatikan keberadaan kalian di sana. Yang lebih kuperhatikan adalah dua rekanku, dan lebih-lebih, aku sendiri. Perjalanan yang paling berat ada di sini.

Di puncak, kita berfoto bersama. Namun entah, mungkin karena si pemotret kurang keras menekan tombol, foto itu tak tercetak di memory card.

Pukul 14.00 kita kembali ke Ranu Kumbolo. Aku lupa, apakah kalian yang berangkat lebih dulu atau kami yang berangkat lebih dulu? Atau apakah kita berangkat bersama, lalu kami mendahului kalian di Cemoro Kandang? Aku sungguh lupa. Yang kuingat hanyalah kami bertemu dengan seorang ibu energik, seorang bapak, dan seorang anak kuliahan berambut kribo.

Malam itu juga kami sampai di Ranu Pani. Seingatku, kalian baru datang saat kami sudah menyusup ke balik sleeping bag. Tapi itu tak lebih hanya dugaan karena, sekali lagi, aku lupa.

Esok siang. Kami menunggu jeep yang akan membawa kami ke Tumpang. Saat itulah aku terakhir melihat kalian.

“Rombongan dari Jember pulang sekarang,” ucap seorang kawan.

Aku menoleh ke arah jalanan. Rombongan kalian sudah menaiki sepeda motor. Carrier sudah kalian tumpukan di jok.

Dan kalian melaju, meninggalkan basecamp Ranu Pani. Motor kalian menderu melintasi jalan naik-turun yang berkelok. Mataku terus mengikuti sampai sosok kalian hilang tertutup bukit, setelah melintasi gapura. Ah, aku baru ingat, kalian mengambil jalan yang berbeda.

Itulah kenangan terakhir yang aku ingat tentang kalian, teman seperjalanan. Bertemu tak sengaja di sebuah pendakian dan hilang begitu saja setelah petualangan usai. Tapi tetap saja, menggores kesan yang mendalam.



Andai tanya ini bisa terjawab: “Di mana kalian sekarang?”


Semeru, 17-21 Juni 2011
Tim Gunung Smalapala (satu orang paling kanan, dua orang paling kiri)
beserta teman-teman seperjalanan


This picture was taken from a friend's social account. Unfortunately, I forget which of them
Reading Time:

Kamis, 06 Juni 2013

Copyright
Juni 06, 20130 Comments
Pasti mangkel banget ya, kalau ada orang lain yang majang karya kita tapi nggak bilang kalau kita yang bikin.  Mungkin itu alasan kenapa ada copyright atau hak cipta segala. 

Well....

Blog adalah suatu tempat di mana kita bisa curhat, cerita macam-macam. Wajar aja, kita yang ngatur kontennya. Biasanya, supaya yang mampir ke blog nggak bosan akan lautan kata, beberapa gambar akan ditampilkan si blogger. Gambar inilah yang sengaja saya jadikan masalah.

Saya sering menampilkan gambar di blog ini.

Ringkasnya gini aja:
mulai 14 Juli 2012, yaitu sejak postingan yang berjudul Speechless, setiap gambar yang nggak mencantumkan sumber berarti nggak saya copy-paste dari web lain. Dengan kata lain, jika nggak ada tulisan 'gambar diambil dari...' atau 'picture was taken from...' dan hal-hal semacam itu (baik di badan gambar maupun nggak), berarti itu jepretan saya atau dari dokumen pribadi saya.

Untuk postingan perjalanan, mayoritas adalah jepretan sendiri (atau jepretan teman), kecuali foto Daendels dan potret nasi gandul dalam posting Markas Keluarga: Rembang! 

Mohon maaf buat foto-foto orang lain yang pernah saya copas dan nggak saya cantumkan sumbernya sebelum 14 Juli 2012. Karena itu artinya, pembaca bisa saja berpikir itu adalah foto asli jepretan saya.

Oh ya, kalau mau ngelihat foto dalam ukuran lebih besar, klik aja fotonya.
Reading Time:
Uang, Ilmu, Iman
Juni 06, 20130 Comments
Nggak ada alasan khusus mengapa saya meletakkan 'uang' di depan dua kata lainnya atau 'iman' sebagai kata yang disebut terakhir. Semua semata-mata agar berima. Serius.

Saya baru saja membuka facebook dan ada seorang teman yang sedang membahas masalah UNAS. Tertarik, saya men-scroll halaman ke bawah dan menemukan komentar berikut:


Akhir-akhir ini, nilai UNAS memang menjadi sebuah perdebatan. Mulai yang kontra karena dianggap tidak valid mengingat keterlambatan penyelenggaraan di beberapa daerah dan tingginya tingkat ketidakjujuran (baca: njoki), hingga yang pro karena jika UNAS ditiadakan, tidak ada standar untuk mengukur kompetensi anak bangsa.

Jadi, nggak heran kalau ada yang berkomentar seperti di atas. Karena sudah banyak kasus siswa yang te-o-pe be-ge-te alias pintar banget yang nilainya kalah dengan siswa yang jauuuuh dibawahnya karena satu hal: curang.

Kembali pada komentar di atas. Saya merasa sedikit tergelitik.

Antara ilmu dan akhlak seharusnya berbanding lurus. Apa jadinya sebuah negara kalau orang-orangnya berakhlak baik, tapi di satu sisi bodoh semua. Apa jadinya pula kalau orangnya pintar semua, tapi seratus persen jahat? Hancur.

Lain lagi kalau orang-orangnya baik, pintar, tapi tidak berkecukupan. Sama saja. Dewasa ini, power cenderung lebih berpihak pada mereka yang berduit. Jadi Anda menyuruh kami berduit saja agar memiliki kuasa? Ya nggak begitu juga.

Kenapa kita nggak memilih memiliki ketiganya? Ketiganya toh seperti kartu domino, memiliki efek reaksi berantai. Kalau kita beriman, otomatis perbuatan kita jadi baik, menjadi seorang individu berakhlak mulia. Nah, kalau mengaku (dan benar-benar) beriman, kita nggak akan mengabaikan perintahNya kan? Salah satunya menuntut ilmu dan selalu berusaha. Kalau sudah begitu, insyaallah kita akan jadi orang pintar. Kalau sudah jadi orang yang berotak gemilang, nggak mungkin nggak ada yang ngelirik untuk dijadikan partner kerja. Saat sudah bekerja pun, kita akan masih selalu berusaha. Kenapa? Salah satu perintahNya kan supaya selalu berusaha tadi. Dunia adalah ladang, memetiknya di akhirat, bung! Kalau kita giat bekerja, bukan nggak mungkin posisi kita akan semakin naik. Ketika sudah mencapai posisi puncak, yang sering diidentikkan dengan penghasilan besar, kita akan kembali ke mata rantai pertama: iman. Harta yang kita dapatkan akan kita keluarkan di jalanNya.

Memang, nggak gampang meraih ketiganya. Untuk menjadi seorang yang beriman tentu aja banyak godaan setan. Untuk jadi orang yang pandai tentu aja ada rasa malas belajar dan merasa sudah kenyang ilmu. Untuk jadi orang yang berharta juga nggak gampang, ketidakjujuran mengintai dimana-mana.

Tapi saat ketiganya sudah berhasil diraih, bukan nggak mungkin kita bisa mengubah sistem, mengubah dunia.

Coba lihat siapa yang menguasai dunia saat ini. Microsoft, Apple, Coca Cola, McD, Garnier, dan masih banyak lainnya. Orang kaya semua kan? Dan mereka juga nggak bodoh (mohon dicatat: bodoh nggak sama dengan DO dari sekolah selama masih ada kehausan ilmu, mengingat ada pemilik salah satu perusahaan besar yang keluar dari Harvard). Kalau mereka bodoh, gimana bisa punya perusahaan begitu besar? Dan apa jadinya? Mereka menguasai dunia kan? Coba tanya, siapa yang nggak pernah makan fast food dari Amerika itu. Atau siapa yang nggak pernah mendengar software keluaran perusahan di atas.

Mereka memiliki keduanya: harta dan ilmu. Jadi, kenapa kita nggak mau mencontoh mereka? Dengan menambah satu komponen lagi, iman? Kenapa harus ditambah? Yah, hidup kita nggak mungkin cuma di dunia aja kan. Ada after-life setelah wafat. Hitung-hitung buat bekal akhirat.

"Saya nggak percaya ada after-life!"

Sebenarnya terserah mau percaya atau nggak. Tapi saya tetap merasa tiga hal di atas masih berhubungan. Misalnya aja gini: ada seorang CEO yang jelas seorang yang pandai dan berpenghasilan besar. Namun, sebagai manusia yang dikenal nggak punya rasa puas, dia masih merasa kurang. Bukan nggak mungkin, nantinya dia korupsi. Kalau sudah begitu, lama-lama perusahaannya bisa bangkrut. Untung-untung kalau cuma perusahaan yang kena imbasnya. Kalau dia ketahuan? Masuk penjaralah si CEO terpandang itu.

Pun kalau dia orang baik dan berotak cemerlang, namun hidup di bawah garis kemiskinan. Bukan nggak mungkin akhlaknya bisa berubah, mengingat faktor ekonomi merupakan faktor terbesar kriminalitas. Bagus kalau bisa bertahan. Namun bagaimana dengan istrinya? Anaknya? 

"Ah, yang penting kan beriman."

Iya. Benar. Tapi coba ingat, dalam beriman ada perintah berdakwah kan?  Berdakwah kepada siapa saja. Dan gimana mau mendakwahi orang-orang yang berada di gedung-gedung tinggi, jika mereka tak mau mendengarkan karena hanya satu faktor: tampilan. "Siapa lu, mau ngasih tahu gue? Lu nggak tahu, gue petinggi di sini. Lha, lu siapa?" Dewasa ini, image memang cukup penting.

Pun jika ia seorang yang berakhlak dan kaya, tapi bodoh. Namun hal ini hampir nggak mungkin. Untuk menjadi orang berakhlak ataupun kaya, minimal butuh ilmu.

Mengapa kita nggak jadi Abdurrahman bin Auf saja? Seorang yang halus budi pekertinya, akhlaknya tanpa cela, tapi juga sangat mapan? Mengapa kita harus memilih satu, dua, ketiga bisa memilih tiga?
Reading Time:
Travel In Love
Juni 06, 2013 2 Comments

Judul: Travel In Love
Penulis: Diego Christian
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: 2013
Tebal: 324 halaman
Ukuran: 13 x 19 cm

Gara-gara bersahabat dengan Jatayu, salah satu anak Mapala itu, Paras jadi mengenal perjalanan. Sekarang, perjalanan seakan sudah menjadi salah satu hobinya. Keliling Indonesia, menikmati tempat-tempat indah Zamrud Khatulistiwa, mulai yang paling tersohor sampai yang nyempil nggak ada di peta.

Tapi gara-gara perjalanan pula, Paras bertemu Kanta. Kanta, saudara kembar Kelana, yang dingin dan nggak bisa ditebak. Hingga perjalanan usai, hubungan mereka di kampus masih tetap baik-baik saja. Kanta memperlakukan Paras dengan baik, tapi tak pernah menyatakan perasaannya. Hal inilah yang membuat Paras bingung.

Paras memutuskan melupakan Kanta, melupakan hubungan tanpa status mereka. Dan salah satu cara melupakannya adalah dengan jalan-jalan, menemukan hal baru, memulai hidup baru tanpa Kanta. Ditemani Jatayu, yang juga ingin melupakan Kelana yang meninggal saat mendaki Semeru, Paras backpacking dari Jakarta sampai Lombok.

Tapi perjalanan tak semulus yang diharapkan. Di Karimunjawa, mereka malah bertemu Kanta. Di Karimunjawa, mereka bertemu Sean, pemuda asal Swiss yang penuh perhatian pada Paras. Sejak di Karimunjawa pula, Paras merasa wajah tersenyum Jatayu hanyalah topeng untuk menutupi hatinya yang lara. Semua memang terlihat baik-baik saja. Sampai ketika di Jogja, Jatayu menghilang semalaman. Di Solo, semua rencana Paras makin terlihat berantakan. Kanta dan Sean bergabung dengan mereka di guesthouse yang sama, keduanya makin memporakporandakan perasaan Paras.

Tapi semua itu belum seberapa ketimbang kejutan yang dilihat Paras di Bali, yang kembali memorakporandakan hatinya, bertanya-tanya apakah Kanta memang lebih baik daripada  Sean dan apakah persahabatannya dengan Jatayu bisa dilanjutkan.

Tapi semua cerita pasti memiliki akhir. Dan ‘sebuah akhir itu’ sudah menanti Paras di Lombok, menjawab semua pertanyaannya.

----------------------------------

Buku yang ditulis Diego Christian ini memang tidak ber-setting di satu tempat aja. Ada cerita-cerita dalam perjalanan backpacking dari Jakarta ke Lombok. Berita baik untuk penghobi baca yang juga doyan travelling adalah novel ini dilengkapi deskripsi destinasi-destinasi dan beberapa info tentang guesthouse di sebuah kota yang diselipkan dalam cerita. Plus, hal-hal yang memudahkan kita sebagai traveller juga ada.

Menurut saya, ide novel ini keren: menggabungkan perjalanan dan cerita (mana ada sedikit ‘manual’ travelling, lagi! :D). Hanya pengolahan kalimatnya yang kurang menyentuh, mungkin terlalu deskripsi. Saya sebagai pembaca nggak bisa merasakan patah hatinya Paras atau galaunya si tokoh utama ketika menghadapi konflik. Turn of event alias konfliknya pun rasanya nggak begitu greget sehingga saya nggak merasakan adanya masalah. Endingnya memang unpredictable, tapi masih membingungkan karena di bab-bab sebelumnya ‘tanda-tanda’ yang bisa mendukung ending kurang dieksplor (meski saat diperhatikan, “Oooh, ternyata karena ini toh!).

Tapi lepas dari minusnya, buku ini masih punya nilai plus. Antara lain, memberitahu bahwa wilayah Indonesia ini sangat layak dieksplor dan menjadi tempat backpacker-an, nggak cuma luar negeri aja :)

Buat yang mentingin kondisi fisik buku, jangan khawatir! Soalnya, sampul buku ini tebal dan kaku. Kertasnya bagus, lagi! Tebal dengan corak hitam-putih di setiap halaman, nggak di judul doang. Plus, dilengkapi pembatas buku yang tebal.

Reading Time: