Uang, Ilmu, Iman - Hijaubiru

Kamis, 06 Juni 2013

Uang, Ilmu, Iman

Nggak ada alasan khusus mengapa saya meletakkan 'uang' di depan dua kata lainnya atau 'iman' sebagai kata yang disebut terakhir. Semua semata-mata agar berima. Serius.

Saya baru saja membuka facebook dan ada seorang teman yang sedang membahas masalah UNAS. Tertarik, saya men-scroll halaman ke bawah dan menemukan komentar berikut:


Akhir-akhir ini, nilai UNAS memang menjadi sebuah perdebatan. Mulai yang kontra karena dianggap tidak valid mengingat keterlambatan penyelenggaraan di beberapa daerah dan tingginya tingkat ketidakjujuran (baca: njoki), hingga yang pro karena jika UNAS ditiadakan, tidak ada standar untuk mengukur kompetensi anak bangsa.

Jadi, nggak heran kalau ada yang berkomentar seperti di atas. Karena sudah banyak kasus siswa yang te-o-pe be-ge-te alias pintar banget yang nilainya kalah dengan siswa yang jauuuuh dibawahnya karena satu hal: curang.

Kembali pada komentar di atas. Saya merasa sedikit tergelitik.

Antara ilmu dan akhlak seharusnya berbanding lurus. Apa jadinya sebuah negara kalau orang-orangnya berakhlak baik, tapi di satu sisi bodoh semua. Apa jadinya pula kalau orangnya pintar semua, tapi seratus persen jahat? Hancur.

Lain lagi kalau orang-orangnya baik, pintar, tapi tidak berkecukupan. Sama saja. Dewasa ini, power cenderung lebih berpihak pada mereka yang berduit. Jadi Anda menyuruh kami berduit saja agar memiliki kuasa? Ya nggak begitu juga.

Kenapa kita nggak memilih memiliki ketiganya? Ketiganya toh seperti kartu domino, memiliki efek reaksi berantai. Kalau kita beriman, otomatis perbuatan kita jadi baik, menjadi seorang individu berakhlak mulia. Nah, kalau mengaku (dan benar-benar) beriman, kita nggak akan mengabaikan perintahNya kan? Salah satunya menuntut ilmu dan selalu berusaha. Kalau sudah begitu, insyaallah kita akan jadi orang pintar. Kalau sudah jadi orang yang berotak gemilang, nggak mungkin nggak ada yang ngelirik untuk dijadikan partner kerja. Saat sudah bekerja pun, kita akan masih selalu berusaha. Kenapa? Salah satu perintahNya kan supaya selalu berusaha tadi. Dunia adalah ladang, memetiknya di akhirat, bung! Kalau kita giat bekerja, bukan nggak mungkin posisi kita akan semakin naik. Ketika sudah mencapai posisi puncak, yang sering diidentikkan dengan penghasilan besar, kita akan kembali ke mata rantai pertama: iman. Harta yang kita dapatkan akan kita keluarkan di jalanNya.

Memang, nggak gampang meraih ketiganya. Untuk menjadi seorang yang beriman tentu aja banyak godaan setan. Untuk jadi orang yang pandai tentu aja ada rasa malas belajar dan merasa sudah kenyang ilmu. Untuk jadi orang yang berharta juga nggak gampang, ketidakjujuran mengintai dimana-mana.

Tapi saat ketiganya sudah berhasil diraih, bukan nggak mungkin kita bisa mengubah sistem, mengubah dunia.

Coba lihat siapa yang menguasai dunia saat ini. Microsoft, Apple, Coca Cola, McD, Garnier, dan masih banyak lainnya. Orang kaya semua kan? Dan mereka juga nggak bodoh (mohon dicatat: bodoh nggak sama dengan DO dari sekolah selama masih ada kehausan ilmu, mengingat ada pemilik salah satu perusahaan besar yang keluar dari Harvard). Kalau mereka bodoh, gimana bisa punya perusahaan begitu besar? Dan apa jadinya? Mereka menguasai dunia kan? Coba tanya, siapa yang nggak pernah makan fast food dari Amerika itu. Atau siapa yang nggak pernah mendengar software keluaran perusahan di atas.

Mereka memiliki keduanya: harta dan ilmu. Jadi, kenapa kita nggak mau mencontoh mereka? Dengan menambah satu komponen lagi, iman? Kenapa harus ditambah? Yah, hidup kita nggak mungkin cuma di dunia aja kan. Ada after-life setelah wafat. Hitung-hitung buat bekal akhirat.

"Saya nggak percaya ada after-life!"

Sebenarnya terserah mau percaya atau nggak. Tapi saya tetap merasa tiga hal di atas masih berhubungan. Misalnya aja gini: ada seorang CEO yang jelas seorang yang pandai dan berpenghasilan besar. Namun, sebagai manusia yang dikenal nggak punya rasa puas, dia masih merasa kurang. Bukan nggak mungkin, nantinya dia korupsi. Kalau sudah begitu, lama-lama perusahaannya bisa bangkrut. Untung-untung kalau cuma perusahaan yang kena imbasnya. Kalau dia ketahuan? Masuk penjaralah si CEO terpandang itu.

Pun kalau dia orang baik dan berotak cemerlang, namun hidup di bawah garis kemiskinan. Bukan nggak mungkin akhlaknya bisa berubah, mengingat faktor ekonomi merupakan faktor terbesar kriminalitas. Bagus kalau bisa bertahan. Namun bagaimana dengan istrinya? Anaknya? 

"Ah, yang penting kan beriman."

Iya. Benar. Tapi coba ingat, dalam beriman ada perintah berdakwah kan?  Berdakwah kepada siapa saja. Dan gimana mau mendakwahi orang-orang yang berada di gedung-gedung tinggi, jika mereka tak mau mendengarkan karena hanya satu faktor: tampilan. "Siapa lu, mau ngasih tahu gue? Lu nggak tahu, gue petinggi di sini. Lha, lu siapa?" Dewasa ini, image memang cukup penting.

Pun jika ia seorang yang berakhlak dan kaya, tapi bodoh. Namun hal ini hampir nggak mungkin. Untuk menjadi orang berakhlak ataupun kaya, minimal butuh ilmu.

Mengapa kita nggak jadi Abdurrahman bin Auf saja? Seorang yang halus budi pekertinya, akhlaknya tanpa cela, tapi juga sangat mapan? Mengapa kita harus memilih satu, dua, ketiga bisa memilih tiga?

Tidak ada komentar: