Di lingkungan sekitar rumah, ada
banyak kucing liar. Kucing-kucing ini emang biasa keluar-masuk halaman rumah
orang, termasuk numpang tiduran atau main sebentar. Para warga pun
nggak masalah. Kadang mereka malah dikasih makan atau diajak main. Masalahnya
baru kalau pada ribut berantem atau BAB/BAK sembarangan. Kalau itu, barulah
hewan-hewan berbulu ini dibubarkan supaya nggak mengganggu ketenteraman publik.
Dari sekian banyak kucing yang
seliweran dan main ke tempat tinggal saya, ada satu yang rutin ‘bertamu’. Sebut
aja namanya si Putih. Selain paling sering bertamu, dia juga yang paling sering
ngendon di depan rumah. Kalau yang lain leyeh-leyeh beberapa jam aja, dia bisa
ngendon sejak pagi sampai sore, kadang sampai malam. Dan, di antara yang
lainnya, si Putih ini yang paling manja. Baruuu aja kami buka pintu, dia udah
ngeong-ngeong. Minta dipuk-puk lah, minta dikasih makan lah, terus gelendotan
di sekitar kaki lah.
Sebenarnya mau bermanja-manja juga
nggak apa-apa. Toh, semua kucing kami perlakukan sama dan setara (ceilah!):
sama-sama dielus-elus, sama-sama diajak main, saat kasih jajan dan adanya
sedikit ya semua dikasih sedikit/ada banyak ya semua dikasih banyak, kalo reseh
ya semuanya kena marah.
Masalah muncul kira-kira dua minggu
belakangan.
Saat itu, ada beberapa anak kucing/kitten
yang muncul di kampung. Nggak kecil-kecil banget, sih, udah agak gede dan
kelihatannya udah bisa eksplor sekitar/cari makan sendiri. Entahlah ini ada
induk yang baru nyapih anaknya atau (seperti desas-desus tetangga) ada orang
yang buang kucing.
Nah, salah satu kitten ini
ada yang main ke rumah. Awalnya kayaknya nyasar karena masih takut-takut; timid
sekali. Setelah diajak main, dia mulai berani dekat-dekat. Ini anak lucu
banget! Mari kita sebut si Belang. Si Belang memang nggak terlalu gembul kayak
anak kucing di video-video viral, tapi raut mukanya… polos.
Adik imut ini anteng dan penurut.
Maksudnya nggak reseh dan clingy gitu. Mana ada satu kejadian yang bikin
terharu: ketika dia main di jalan depan, kemudian saya yang nggak sengaja
ngelihat keluar ngelihat dia, lalu saya panggil, kemudian dia yang sebelumnya
nampak jalan sambil plonga-plongo ngelihatin sekitar langsung lari-lari kecil
menghampiri saya sambil ngeong pelan lalu merem-melek saat saya puk-puk. Duh, melting
saya…. Ini anak imut sekali! Mana suaranya kalau ngeong tuh pelaaan
banget. Siapa yang nggak gemes, coba! Tampak plonga-plongo belum tahu kejamnya
dunia dan tanpa dosa.
Sedihnya, dia akan segera tahu
kejamnya dunia. Hiks.
Dan ‘kekejaman’ itu berasal dari si
Putih.
Awalnya saya kira semua fine aja.
Dengar-dengar kucing itu hewan teritorial alias punya daerah kekuasaan
sendiri-sendiri. Tapi ngelihat kucing-kucing yang selama ini mampir rumah dan
oke-oke wae, saya kira hubungan mereka pun baik-baik aja. Toh biasanya nampak
si Putih dan 1-2 kucing lain goleran bareng di teras dalam jarak dekat. Dan
nggak berantem. Jadi saya pikir si Putih cukup welcome.
Nope.
Kali kedua si Belang bertandang, si
Putih emang tampak penasaran. Mereka saling mengendus (kenalan kali, ya?). Lalu
si Belang lari menjauh. Pikir saya, ‘Oh mungkin karena anak baru, masih
takut-takut’. Pertemuan selanjutnya agak dramatis. Setelah si Putih
mengendus si Belang, dia nabok si kecil! Ya ampun. Kami refleks berseru,
“Heh, nggak boleh!” Namun si Belang udah keburu lari. Waktu itu kami masih
berprasangka baik: kali aja si Putih cuma gemes. Nah, kali ketigalah yang bikin
patah hati dan pengin ngamuk.
Saat itu kurang lebih semingguan
sejak kemunculan si Belang. Sore itu, saya lagi duduk di depan rumah. Seperti
biasa, si Putih sudah nyamperin dari tadi dan kini sedang tiduran santai
setelah dikasih jajan. Nah, waktu saya berbalik, eh ada si Belang muncul! Dia
ngeong pelan.
Saya berjongkok, mengelusnya
sebentar. “Sebentar ya, kuambilin makan,” ujar saya sambil berbalik mau masuk rumah.
Eh lho, kok si Putih yang tadinya
dua meteran dari kami, kini sudah di sebelah kaki saya.
Perasaan saya mulai nggak enak.
Si Putih mendekati si Belang,
berusaha mengendus. Si adik kecil mundur beberapa langkah, tampak ragu.
“Adik nggak apa-apa, sini aja,” kata
saya pada si Belang sambil menghalangi si Putih.
Si Putih mendekat lagi, yang
langsung saya dorong menjauh dengan kaki (takut kecakar euy kalau pakai
tangan/langsung gendong). Entah imajinasi atau bukan, rasanya dengar suara
mendesis pelan. Hissing? Saya yang tadi berdiri di samping si Putih kini
berpindah ke depannya, supaya ini kucing gede nggak nabok si adik kecil kayak
kemarin. Nggak lupa tetap ngedorong si Putih menjauh. Saya juga minta bantuan
ibu buat menarik perhatian si Belang supaya dia menjauh sebentar.
Kejadian selanjutnya berlangsung
dalam hitungan detik. Wussh! Si Putih tiba-tiba melompati kaki saya dan
mendarat di tempat si Belang tadi duduk. Sepersekian detik sebelumnya, si
Belang mundur menjauh. Kaki kecilnya cukup lincah menghindari serangan rupanya.
Pada titik ini, si Putih udah nggak hissing lagi tapi udah ngeong-ngeong
marah, macam orang ngomel.
“Heh, nggak boleh!!! Itu masih anak kecil!”
seru saya tertahan.
Si Putih malah mengejar. Kali ini si
Belang sudah lari dan sembunyi di kolong. Tetap sambil ngomel, si Putih
merangsek ke kolong, mengikuti terus si adik kecil yang sudah merelakan tidak
makan malam hari itu.
Saya nggak ngelihat gimana
pertengkaran mereka di dalam kolong. Cuma sebentar saya dengar si Putih
marah-marah kenceng banget dan terus mengejar si Belang. Seakan nggak rela.
Mungkin dia ngomel, “Ini daerahku! Tempatku makan dan tiduran. Kamu anak baru
nggak usah ke sini, cari tempat lain!”
Waktu saya nunduk lihat kolong,
sekilas saya lihat si Belang merapatkan badan. Gesturnya seperti meringkuk di
pojokan dengan berkata, “Aku cuma pengin main dan jajan, Kak. Aku nggak akan
ngerebut apa-apa….”
Sepersekian detik kemudian, si Putih
lari macam ngejar prajurit musuh. Badan putihnya cepat melintasi kolong, keluar
pagar, menuju jalanan. Sekelebat saya lihat warna abu-abu kecil juga
tunggang-langgang ke jalanan depan rumah karena dikejar. Si Putih teriak-teriak
kencang. Dia kejar si Belang sampai ke 2-3 rumah sebelah dan masih ngeong
kenceng banget sampai tetangga yang lagi nongkrong juga kaget. Sesaat terdengar
suara grubak-grubuk. Mungkin itu suara si Belang grubak-grubuk cari
persembunyian supaya nggak terjangkau.
Suara cempreng si Putih baru
berhenti setelah beberapa detik. Kemudian, semua tenang. Seakan nggak terjadi
apa-apa. Tinggal saya, keluarga, dan para tetangga yang masih tercengang akan
kejadian barusan. Belum mampu mencerna.
“Lapo iku mau? Tukaran?” Terdengar suara tetangga yang depan
rumahnya dilewati saat ‘peristiwa pengejaran’. Ya gimana, peristiwa pengusiran
di atas terjadi hanya dalam hitungan detik!
Eh, ketika saya masih berdiri
terpaku dan mau buka pagar buat nyari si Belang, si Putih dengan santainya
melenggang kembali rumah kami. Dia berusaha mendekat.
“Nggak mau! Kamu jahat! Nggak usah
dekat-dekat!” kata saya yang udah sadar dari syok. Perlahan saya jauhi pagar,
urung mencari si Belang karena diadang si Putih. “Kamu jahat sama anak kecil!”
Mengingat kucing yang teritorial,
kami paham mungkin si Putih merasa keberadaan si Belang mengancam dirinya.
Tapi, kenapa sama si Belang aja, sama kucing lain enggak? Ada kucing lain di
depan rumah pun dia santuy aja. Apa karena Belang anak baru? Atau karena
Belang anak kecil, jadi mudah diintimidasi?
Yah, apa pun itu, jelasnya si Putih
mungkin cemburu. Atau iri. Takut jatah perhatian dan jajannya berkurang.
Ya ampun, kenapa dah. Sama anak
kecil, juga. Masa nggak ada kasihannya? Dia, kan, juga kucing jalanan yang
susah cari makan. Masa nggak ada empatinya pada sesama (ke anak kecil, lagi!)
yang juga cari rezeki? Toh, meski ada si Belang, si Putih tetap diberi makan
dengan porsi seperti biasanya. Malah porsi makan si Belang jauh lebih sedikit (mungkin
karena masih bocil, porsi makannya juga kecil).
Mematikan Lilin
Sejak kejadian itu, saya dan orang
rumah jadi jaga jarak dengan si Putih. Jarang elus-elus, jarang kasih jajan,
jarang ajak main. Ya masih, tapi nggak sesering dulu; nggak seramah dulu. Selain
karena sebal dia ngusir Belang, kami juga ngebiasaain si Putih supaya nggak
terlalu tergantung atau merasa “the only one”. Supaya nggak merasa, “Pokoknya
di sini yang boleh diperlakukan baik cuma aku! Yang lain minggir!”
Mana rasanya si Putih jadi lebih clingy.
Ngeongnya lebih kenceng, ndusel-nya jadi lebih ndusel. Kalau kata
ibu, “Gara-gara kejadian kemarin, dia jadi minta diperhatikan, pengin
diyakinkan kalau dia masih disayang.”
Meski ada si Belang juga kemarin dia
tetap disayang. Coba nggak gaplokin Belang, mungkin sekarang akan tetap
disayang.
Drama perkucingan itu keingat sampai
hari ini. Masih nggak tega aja kalau keingat si kecil yang harus berjuang
sendiri, terus ditabok dan dikejar kayak kriminal sampai harus lari
tunggang-langgang. Padahal yang ‘kriminal’ kan kucing dewasa yang ‘ngehajar’
kucing kecil, kan, ya? Tahu, sih, dunia hewan memang pakai hukum rimba, tapi
tetap aja nggak tega. Apalagi sama anak kecil kayak gitu.
Saya jadi teringat sebuah kutipan:
Nggak perlu mematikan lilin
orang lain untuk membuat lilin kita menyala lebih terang.
Nggak perlu mematikan kebahagiaan
orang lain untuk membuat kita jadi lebih bahagia. Pun soal rezeki. Fine,
lilin itu akan tampak seolah-olah jadi lebih terang karena nggak ada lilin
lain. Namun, kalau dihitung intensitas cahayanya, sebenarnya nggak ada perubahan.
Itu kan kebahagiaan, gimana kalau
rezeki? Konsepnya
mirip. Okelah kalau harta dan semacamnya mungkin akan jadi lebih banyak. Tapi,
kan, ini ngomongin rezeki yang artinya nggak hanya harta, tapi juga kesehatan,
berkah, ketenangan, dsb.
Kalau dari kejadian si Putih vs
Belang ini, berasa si Putih matiin ‘lilinnya’ sendiri. Dengan ngusir si Belang,
mungkin dia merasa ancamannya nggak ada. ‘Cahaya lilinnya’ seakan lebih terang
karena nggak ada ‘lilin’ lain; milik si Belang. Namun efeknya adalah
perhatian dan porsi jajan dia justru berkurang karena kami—salah satu pemberi
jajan dan teman mainnya—telanjur kesal.
Mungkin, sama aja dengan ‘lilin’
kebahagiaan manusia. Memadamkan kebahagiaan orang lain nggak akan menambah
kebahagiaan diri sendiri. (Plus, berbuat nggak baik akan selalu punya
konsekuensi, sooner or later). Kebahagiaan/rezeki yang ‘mati’ tadi nggak
otomatis berubah haluan menjadi milik kita, tapi bisa aja malah jadi milik
orang lain lagi, kan?
Tentu aja kutipan di atas nggak
berlaku dalam beberapa kasus; (pasti) ada beberapa pengecualian. Namun, poinnya
adalah keegoisan dan rasa iri berlebihan yang sampai ngerusak atau ganggu hidup
orang lain akan ‘balik’ ngerusak diri sendiri. Ya kayak cerita si Putih tadi.
Sejak saat itu, si Belang nggak
pernah kelihatan. Sesaat setelah kejadian, sempat lihat dia digendong anak kecil
yang tinggal di blok tetangga. Entah kemudian dia dipiara anak itu atau diajak
main ke bloknya sehingga nggak pernah lewat depan rumah kami lagi.
Duh, Belang, semoga nasibmu lebih
baik sekarang. Sampai kita ketemu lagi, ya :’)
=====
Anyway jadi ingat salah satu
adegan di sebuah komik. Ada pasangan, sebut aja A dan B. Namun ada sosok C👧 yang
suka B👨. Udahlah si C ngefitnah A dan sebagainya sehingga reputasi A jelek
banget dan hubungannya dengan B jadi renggang.
👧: “A jelek dan jahat banget, kan.
Udahlah kamu nggak usah sama dia.”
👨: (menatap tajam) “Meski udah nggak
sama A, kamu pikir aku jadi mau sama kamu?”