Hari Pariwisata - Hijaubiru

Kamis, 28 September 2023

Hari Pariwisata



Kemarin, 27 September, adalah Hari Pariwisata Sedunia. World Tourism Day.

Saya nggak akan tahu bahwa ada hari pariwisata yang diperingati secara global kalau bukan dari majalah. Tahun lalu, ada satu tajuk di majalah National Geographic yang bikin saya tertarik sampai pengin beli edisi itu. Topiknya jauh dari bidang pariwisata.

 

Kala itu saya masih maju-mundur mau beli. Namun begitu tahu kalau edisi itu berbonus satu eksemplar majalah NatGeo lainnya, rasa ragu itu terhapus habis! Hehe. Eksemplar bonusan inilah yang mengangkat topik pariwisata. Lebih tepatnya, mengangkat destinasi-destinasi wisata terbaik di Indonesia bertepatan dengan Hari Pariwisata Sedunia sekaligus usaha membangkitkan sektor wisata yang sempat terpuruk akibat Covid-19.

 

Emang pada dasarnya suka jalan-jalan. Dapat majalah bonusan soal travelling, ya langsung hijaulah ini mata, hahaha. Edisi bonusan itu pun berakhir saya baca duluan daripada edisi ‘aslinya’.

 

Balik ke soal pariwisata. Sebagai orang yang gemar pelesiran, tempat-tempat cantik atau unik memang jadi salah dua faktor yang bikin saya pengin berkunjung ke sana. Atau, nggak perlu cantik atau unik, tapi punya cerita tersendiri. Kadang, nggak ada faktor apa-apa. Sekadar pengin menuntaskan rasa ingin tahu aja. Tempat yang dituju pun nggak selalu tourism spots, bisa jadi lahan pinggir jalan atau waduk dekat rumah. Intinya, yang bisa bikin refreshed dan senang.

 

Dalam beberapa perjalanan, tentu nggak hanya rasa senang yang didapat. Kadang ada juga nggak enaknya, ada missed-nya, ada kelirunya, ada berantemnya, dan pengalaman-pengalaman nggak enak lainnya. Namun, menurut saya itulah yang bikin perjalanan jadi lebih berwarna. Asal nggak sampai fatal atau membahayakan sekali bagi diri maupun orang lain.

 

Pemahaman tentang ‘warna-warni’ perjalanan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teman dan senior Pecinta Alam. Merekalah yang ngajarin (dan ngajakin) bahwa berkegiatan di alam bebas seperti naik gunung, naik tebing, dsb, nggak cuma senang-senang. Tentu ada senangnya. Namun ada juga persiapan keberangkatan yang cukup serius. Ada pula manajemen risiko dan manajemen konflik.  Selain di alam, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah juga mengajari hal itu. Gedung, jalan, atau barang yang sekilas kelihatan sederhana tanpa makna ternyata menyimpan kisah panjang yang kadang lebih panjang dari sejarah kota tempat dia berdiri.

 

Saya kira yang namanya ‘cerita di balik perjalanan’ sudah cukup dalam sampai di situ.

Saya salah.

‘Ceritanya’ ternyata jauh lebih dalam dan luas.

 

‘Cerita’ ini baru saya sadari saat menghadiri seminar oleh Jurusan Pariwisata. Sebelumnya saya mengira bahwa sektor pariwisata, setidaknya dari kacamata wisatawan, berkutat dengan hal-hal yang disebut di atas. Mungkin ditambah dengan hal-hal seperti kelestarian/kebersihan tempat wisata, pengelolaan yang baik, penentuan harga tiket, pelayanan untuk wisatawan dan penghargaan untuk pengelola dan warga lokal. Nah ternyata… hal-hal ini masih bisa dikulik lebih rinci lagi. Dan semakin dikulik, maka kelihatan makin kompleks melibatkan banyak faktor dan banyak sektor: baik dari segi sosial humaniora maupun dari segi sains dan teknologi.

 

Misalnya, hubungan pengelola dan warga lokal. Seminar di Jurusan Pariwisata tadi bikin saya melek bahwa nggak semua warga lokal diuntungkan dengan adanya tempat wisata. Bisa aja yang untung hanya pengelola, yang nggak jarang bukan warga lokal tapi warga kota yang jauh lokasinya. Warga lokal bisa jadi tidak dilibatkan atau dilibatkan sekadarnya saja, itu pun di level terendah. Nggak semua, tapi ada. Katanya, yang bagus ya yang warga lokalnya berpartisipasi aktif sekaligus dapat manfaat positif dan tempat wisatanya bisa bertahan lama dengan baik.

 

Itu baru satu. Contoh lainnya adalah fenomena banyaknya pungli yang muncul karena banyak faktor: tingkat ekonomi yang kurang makmur, peraturan yang tidak jelas, ketiadaan ketegasan pemerintah setempat, dsb. Belum lagi soal keramahan/ketidakramahan yang berakar dari budaya setempat, perilaku wisatawan baik yang positif/negatif dan memicu respons/fenomena/masalah baru, dsb.

 

Bahkan tentang wisata yang viral kemudian dipasangi tanda atau bangunan warna-warni yang mencolok aja bisa ada bahasannya sendiri. Dan bahasannya multidimensi.

 

Fenomena-fenomena ini pula yang pernah dibahas di postingan ini  dan bikin bergumam pelan, “Oh… ternyata gitu. Susah, ya.”

 

(Kalau pengin tahu tentang hal ini tapi dikemas dengan cukup ringan, mungkin bisa baca buku/blog travel writing-nya Agustinus Wibowo. Ada beberapa bagian yang ngebahas soal itu.)

 

Dari mereka-mereka inilah kemudian pandangan saya tentang pariwisata jadi bergeser. Kalau dulu mikirnya jalan-jalan asal hati senang, dapat foto bagus, dan nggak ngerusak lingkungan, kini mungkin jadi ‘rada mikir’. Dari sikap saya akui memang nggak banyak perubahan, meski sedikit mengetahui latar belakang lokasi dan hidup warlok jadi sesuatu yang cukup membantu untuk ‘mengalami lebih dekat’ dan memaklumi hal-hal asing atau nggak mengenakkan yang terjadi selama perjalanan.

 

Yang agak berubah mungkin dari segi tulisan. Kalau dulu hanya ngomongin rute atau itinerary dan banyak keindahan lokasi, sekarang sebisa mungkin disisipi kisah lain. Entah sejarah, cerita orang, dsb. Kenapa? Supaya nggak hanya fokus di keindahan aja. Kalau cuma spot-spot cantik atau viral, then what? Hanya foto, ‘mengambil’ keindahan, lalu apa? Ini adalah saran dari beberapa travel writer saat webinar. Kisah selain keindahan dan rute mampu memberi lebih banyak arti untuk sebuah lokasi. Jadi titik beratnya nggak hanya di keindahan lokasi. Pengunjung jadi nggak terpaku di kecantikan tempat/bangunan semata. Mereka pun jadi tahu bahwa ada cerita yang lebih dalam sehingga diharapkan tumbuh empati untuk turut peduli pada keberlanjutan tempat wisata itu.

Sesimpel, mungkin,

“Eh ini bangunan/barang dari ratusan tahun lalu, lho. Jangan sembarangan utak-atik/megang, sayang kalau udah lama terus rusak.”

“Eh ini tempatnya dilindungi kelestariannya, lho. Nggak boleh seenaknya metik-metik tumbuhan. Jangan buang sampah sembarangan.”

“Eh nggak boleh kasar sama pengelola/warlok. Meski kita udah bayar, tapi merekalah yang sebenarnya punya tempat ini. Kita ini tamu.”

 

Sehingga, ke depannya diharapkan kepedulian yang timbul makin besar. Kepedulian yang berdampak baik bagi tempat wisata, warga lokal, pengelolanya, lingkungan/alamnya, dan wisatawannya. Untuk semuanya.





=====

Picture by Freepik

Tidak ada komentar: