Hijaubiru

Jumat, 28 Juli 2023

Bediding: Ketika Kemarau Justru Terasa Dingin
Juli 28, 20230 Comments

 

 

Siapa yang ngerasa akhir-akhir ini cuaca dingin meski langit cerah tanpa awan? Apalagi kalau malam. Siang boleh panas terik menyengat, tapi malam hari justru dingin menggigit. Beberapa mungkin juga merasa siang terasa adem meski matahari bersinar menyengat. Di beberapa daerah pegunungan, seperti Dieng dan Bromo, justru muncul es atau embun upas.

 

Fenomena ini disebut ‘bediding’ (atau bedhidhing) oleh orang Jawa. Bediding berarti awal peralihan musim hujan ke kemarau, ketika suhu udara justru terasa dingin. Nanti, ketika sudah betul-betul masuk kemarau, suhu sudah kembali ‘normal’ alias sudah panas lagi.

 

Mengapa masuk musim kemarau justru tambah dingin?

BMKG menyebutkan bahwa ini adalah efek angin muson dan efek ketiadaan awan.

 

Saat ini, angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia sehingga melewati kita, Indonesia. Angin itu juga membawa udara dingin karena Australia sedang musim dingin sekarang. Ada yang bilang, ini juga berhubungan dengan axis alias sumbu bumi yang miring sehingga menyebabkan perbedaan musim di belahan bumi yang berbeda.

 

Sebab kedua adalah ketiadaan awan. Akibat sudah masuk musim kemarau, maka hujan dan mendung pun berkurang pesat. Tanah/bumi yang terasahangat saat siang karena disinari matahari, saat malam melepas panas yang ia terima (karena tidak ada matahari yang bikin tetap hangat). Ketika ada awan/mendung—di musim hujan—, panas yang dilepas ini akan tertahan di atmosfer bumi karena ‘tertutup’ awan sehingga suhu jadi rada mendingan. Namun, tidak ada awan/mendung saat kemarau. Panas yang dilepas bumi itu pun akhirnya betulan lepas ke luar karena tidak ada yang ‘menahan’. Akibat kehilangan panas, permukaan bumi pun jadi dingin sehingga kita—manusia yang hidup di permukaannya—ikut kedinginan.

 

Namun ini nggak berlangsung lama; hanya di awal peralihan musim aja. Kalau sudah betulan masuk kemarau, ya, panas-panasan lagi.

 

💡 Untuk yang suka main ke wilayah pegunungan, bediding jadi suatu hal yang harus diperhatikan. Memang cuacanya cerah sehingga pemandangan bakal jelas banget dan (relatif) jarang ketutup kabut atau risiko hujan, tapi dinginnya akan lebih dingin daripada suhu gunung biasanya. Karena alasan itulah tur ke Bromo yang saya ceritakan di sini mengatur keberangkatan mendekati subuh meski kami ingin lihat Milky Way dari ketinggian; karena khawatir peserta tur pada kedinginan.

 

Kala suhu rendah banget begini, di beberapa pegunungan bisa terbentuk es atau embun. Beberapa hari lalu hingga hari ini, ada berita muncul es di Bromo dan embun upas di Dieng. Fenomena ini menarik perhatian orang berduyun-duyun untuk melihat wujud es, benda yang hampir mustahil terlihat secara alami di daerah tropis yang panas. Di sisi lain, para petani pun harap-harap cemas karena embun es ini bisa merusak tanaman yang mereka budidayakan.

 

Dulu, saya heran ketika ada yang cerita soal kerusakan ini. Embun es, kan, nanti akan mencair juga. Toh nggak lama; tinggal tunggu matahari muncul dan es akan hilang. Setidaknya itu yang terjadi di Ranu Kumbolo, saat seorang teman bilang, “Ada es, lho, di rumput,” dan saya nggak menemukannya ketika keluar beberapa menit kemudian (yaa waktu matahari udah lebih naik, haha).

 

Jadi, kenapa embun es yang nanti akan kembali jadi air bisa merusak tanaman?

Apalagi tanaman yang kena, bisa jadi kering.

Lho, kan, es? Kok kering? Harusnya malah basah, dong, kan dari air?  Dulu saya bertanya-tanya kayak gini.



BAGAIMANA EMBUN ES MERUSAK TANAMAN 

Konon katanya embun upas adalah sebutan masyarakat Dieng untuk es yang muncul pada tanaman. Teman-teman saya yang nggak berasal dari Dieng tapi dari area Jateng lain juga menyebut demikian. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti “racun”. Kata ini sudah masuk KBBI dengan makna racun dari pohon tertentu. Jadi, embun upas berarti embun yang “beracun” karena bisa merusak tanaman.

 

Ladang dan perkampungan di Dataran Tinggi Dieng,
dilihat dari puncak Gunung Prau


Embun es bisa merusak tanaman karena tanaman ini nggak terbiasa dengan suhu amat rendah. Kita bicara soal air di dalam tubuh tanaman sekarang, bukan air/es di luar yang simply nempel di permukaan. Es yang menempel di tubuh tanaman adalah sebuah indikator untuk kita bahwa suhunya lagi dingin banget. Artinya, suhu di dalam tubuh tumbuhan juga dingin banget.

 

Suhu rendah bisa membuat air dalam tubuh tumbuhan turut menjadi es, seperti embun upas di luar tubuhnya. Air dalam tubuh ini menjadi kristal es. Kristal ini bisa merusak sel tubuh. Akibatnya? Banyak. Kristal es ini bisa melukai sel dari dalam karena kristalnya yang tajam atau ‘mencepit’ sel-sel dari luar dengan bentuknya yang tidak beraturan. Ia juga bisa membuat konsentrasi internal sel meningkat karena nggak ada air (sudah jadi es). Ibarat sirup tanpa air, kental sekali, bukan. Kalau nggak salah, kata buku teks Biologi SMP/SMA inilah kondisi hipertonik. Lalu karena lingkungan sel yang terlalu ‘kental’, zat lain dalam sel bisa ikut rusak karena kondisi lagi dehidrasi alias kekurangan air. Lalu, jangan lupakan bahwa metabolisme sel sangat butuh air: untuk ‘mengalirkan’ zat, untuk mereaksikan zat, dll. Tanpa air, praktis proses metabolisme ini berhenti.

 

Metabolisme yang terhenti berarti terjadi gangguan tubuh. Kalau gangguan itu sangat kecil, mungkin bisa diatasi. Namun kalau banyak, ya, alamat tamat. 


Hal yang sama terjadi pada manusia. Di gunung-gunung tinggi bersalju, ada ancaman frostbite alias kerusakan jaringan sel, utamanya dekat permukaan kulit, akibat beku. Kalau beku/dinginnya sekujur badan, ya ... wassalam.

 

Balik ke tanaman. Tanaman yang terkena embun upas juga jadi kering karena airnya tidak ada. Airnya sudah membeku semua. Kering = nggak ada air (tersedia) dalam tubuhnya.

 

Sebagai catatan, es tidak selalu berarti basah. Konsep ini juga baru saya pahami waktu ada teman yang cerita dia harus pakai lipbalm, handbody, dan segala macam buat jaga kelembapan tubuh saat ia tinggal di negara yang sedang winter.

“Kalau nggak pakai, bibir atau kulit bisa pecah-pecah,” tuturnya.

Ia bercerita bahwa winter itu kering karena kelembapan udara rendah sekali. Memang salju/es itu dari air. Namun, itu itu juga berarti tidak ada air (atau minim kelembapan) saat winter karena sudah berubah jadi salju/es.

 

Konsep dingin basah ini sebetulnya juga bisa dilihat di Indonesia. Itulah sebabnya kalau naik atau main ke gunung, apalagi berhari-hari, disarankan pakai lipbalm karena bibir bisa dehidrasi lalu pecah-pecah. (Ketahanan orang beda-beda. Ada yang nggak pakai, baik-baik aja. Sebagian yang lain—contohnya saya—bisa pecah mengelupas bibirnya).

 

Perladangan di area sekitar Bromo-Tengger-Semeru: 
ada lahan yang belum ditanami (coklat) & sudah (hijau, bawah)
(Dan ya, securam itu ladangnya. Kalau saya pasti sehari aja
keliling ladang, ini kaki udah gempor  😄)


Di perladangan seperti di Dieng atau Tosari (Bromo), embun upas ini merusak tanaman kentang sehingga panen kentang menurun. Ada yang bilang batang-daun carica Dieng juga ikut kering. Sudah ada beberapa antisipasi untuk efek embun upas, seperti ditutup paranet atau diberi mist irrigation. Di negara empat musim yang memang bersuhu dingin, frost pada tanaman bisa diantisipasi dengan dibungkus atau ditanam di greenhouse. Masih ada cara lainnya juga. Beda cara, beda efektivitas, dan tentu beda cost produksi.

 

Tapi, kenapa ada tanaman yang nggak kenapa-kenapa meski kena embun upas juga, ya?

Simpelnya: karena sifat tumbuhan beda-beda. Ada tumbuhan yang tahan dingin, ada yang tahan panas. Thus, adaptasinya pun beda-beda.

 

Namun, apa yang membuat tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di tempat yang sama (say, di Dieng/Bromo), misal kentang, cemara, semak liar, ada yang mati kena embun upas tapi yang lainnya tetap hidup?

 

Kita kembali ke …

 


BAGAIMANA CARA ADAPTASI DI SUHU DINGIN 

Ada banyak cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk di suhu dingin. Bisa termasuk jenis adaptasi perilaku, seperti manusia yang pakai jaket tebal atau selalu makan yang berlemak. Bisa juga adaptasi bentuk tubuh (morfologi) atau proses dalam tubuh (fisiologi). Karena terlalu banyak, kita rada sempitkan ke bagian fisiologi aja.

 

Sederhananya, tumbuhan bisa tahan hidup di lingkungan beku karena dia punya metabolisme tubuh yang mengatur itu. Bisa dengan:

  • produksi zat tertentu (antifreeze agent) untuk mencegah pembekuan
  • menyetorkan nutrisinya ke bagian tertentu
  • 'menghibernasikan diri' (dorman)
  • mengurangi kandungan air dengan memindahkan ke bagian lain/melapisi tubuh dengan lilin/mempersempit permukaan
  • punya ‘sensor’ yang aktif ketika mendeteksi perubahan suhu
  • produksi enzim tertentu, dan
  • cara-cara lain yang belum dipahami sepenuhnya oleh kita, manusia. 

Mekanisme tumbuhan juga bisa beda antara mereka yang memang hidup di lingkungan dingin dan tumbuhan yang lingkungannya bisa menjadi dingin.


Adaptasi tumbuhan yang hidup di wilayah tropis, seperti di sini, beda dengan adaptasi tumbuhan yang memang hidup di negara yang dingin. Pun di negara yang dingin/4 musim, adaptasinya beda lagi dengan tumbuhan yang hidup di daerah yang hampir selalu tertutup es. Bervariasi banget. Itu baru di tumbuhan. Belum di hewan. Belum lagi di manusia.

 

Kita aja, yang sesama Homo sapiens, punya ketahanan dan adaptasi yang berbeda-beda. Padahal kita masih satu spesies. Apalagi kalau pada tumbuhan/hewan yang spesies bahkan genusnya lebih variatif lagi.


Buat apa tahu soal adaptasi beginian?

Tergantung orang/keperluannya. Kalau saya karena penasaran aja. Namun untuk orang-orang yang lebih serius, hal beginian bisa diaplikasikan untuk pengawetan makanan/benih pertanian, misalnya. Bisa juga buat memahami tanaman sehingga bisa antisipasi kalau-kalau suhu rendah, jadi tanamannya nggak rusak dan tetap bisa dipanen. Untuk antisipasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, misalnya. Buat penggemar science fiction, bisa juga jadi 'pintu gerbang' menilik cryobiology alias pembekukan makhluk hidup untuk dihidupkan lagi. Kayak adegan di film-film: dibekukan terus hidup lagi berapa ratus tahun kemudian saat bumi sudah berubah atau saat di planet lain.



KEMBALI KE BEDIDING  

Kalau kata orang-orang tua, bediding berarti waktu ketika minyak klentik membeku. Katanya juga, ini musim pohon-pohon mangga mulai berbunga. Beberapa bulan lagi saat kemarau, buah segarnya sudah bisa dinikmati.

 

Mungkin dulu memang hal-hal seperti ini belum bisa dijelaskan. Apa hubungannya suhu dingin dengan buah mangga? Entah. Yang jelas, saat suhu berubah lebih menggigit, moyang kita memperhatikan bahwa pohon-pohon mangga mulai semerbak berbunga. Kini kita mungkin sudah tahu bahwa suhu itulah salah satu pemicu pembungaan mangga.

 

Dulu, kakek-nenek kita dan moyangnya membaca prakiraan cuaca dengan modal niteni alias memperhatikan kerutinan yang terjadi dari tahun ke tahun. Dari kerutinan inilah muncul prakiraan cuaca model lawas seperti pranoto mangsa pada masyarakat Jawa. Praktik niteni inilah yang menjadi salah satu patokan musim bertani.

 

Sekarang, dengan musim yang makin tak jelas batasnya akibat perubahan iklim cukup drastis, praktik memperhatikan tanda-tanda alam ini makin sulit dilakukan.



=====

Disclaimer:

Artikel ini bukan tulisan akademik, melainkan bacaan ringan saja. Beberapa poin bukan sesuatu yang pernah saya pelajari langsung/spesifik sehingga untuk penjelasan ilmiah silakan di-recheck ulang karena meski ada referensinya, bisa saja saya salah membaca/salah memahami sehingga salah menuliskan pula. Terima kasih!



=====


Source (linked italicised text):

Fajarlie, N. I. 2022. Kompas. Embun Es di Dataran Tinggi Dieng: Ancaman bagi Petani, Daya Tarik buat Wisatawan (kompas.tv) || Harmoko, I. W. 2021. BMKG.https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=mencermati-periode-terjadinya-embun-upas-dan-bediding&lang=ID || Ritongga, F. N. dan S. Chen. 2020. Physiological and Molecular Mechanism Involved in Cold Stress Tolerance in Plants - PMC (nih.gov) || Simangunsong, W.S. 2023. Kompas. Embun Upas Muncul di Gunung Bromo, Suhu Capai 5 Derajat Celsius - Kompas.com || Wikipedia EN. Frost - Wikipedia || __. Cold hardening - Wikipedia || Wikipedia ID. Bediding - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas || * Terima kasih pada para dosen Thermomikrobiologi yang mengajarkan efek freezing pada sel


Reading Time:

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya menemukan sebuah website dengan foto amat menarik. Itu adalah gambar Candi Borobudur yang dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya seperti melihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google, lewat website. Foto Borobudur terbalut kabut tadi saya temukan pada website fotografer asing yang tentu saja nggak menyebutkan rute jalan menuju ke sana. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang bapak penduduk lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini banyakan bule buat lihat matahari terbit. Ada juga yang bukan bule, yang memang suka foto-foto,” ujarnya memberi tahu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu baru browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang ditulis oleh beberapa orang di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise, artinya harus jalan malam.

 

Nggak tahu jalan, tanpa transpor umum, belum bisa naik motor. Harus jalan malam pula (yang artinya nggak bisa nanya penduduk lokal karena pasti pada tidur). Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 

(Dalam bahasa Jawa, punthuk = bukit.

Ada juga yang menyebut bukit sebagai ‘puthuk/putuk’. Yang kedua ini saya temui di Jawa Timur)

  



Namun, untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak dibutuhkan pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan dan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar.

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto paling atas tadi. Orang yang nggak tahu mungkin akan menganggap saya ambil foto ini di Borobudur, padahal diambil dari Punthuk Setumbu. Dan menurut saya pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan memberi kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, dibalut kabut putih seperti negeri di awan. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom




Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca sedang cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti pada gambar anak-anak. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan seakan dua gunung itu terletak tepat berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view menakjubkan gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami mengecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang untuk dilewatkan.

 

PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN PANGERAN DIPONEGORO


Saya nggak mengira bahwa Punthuk Setumbu yang terletak di Kota Magelang ini termasuk dalam Pegunungan Menoreh yang membentang hingga Kab. Kulonprogo. Oh, pantas aja daerahnya berbukit-bukit.

 

Bicara soal Pegunungan Menoreh di Magelang, belakangan juga baru tahu bahwa rangkai pegunungan kapur ini turut menjadi saksi Perang Jawa (1825-1830), perang dahsyat yang dikobarkan Pangeran Diponegoro dan membuat Belanda kalang-kabut. Di buku sejarah zaman sekolah memang disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang sebelum diasingkan, tapi saya nggak nyangka aja kalau hal itu terjadi di dekat-dekat sini.

 

Menurut info, Pangeran Diponegoro ditangkap di rumah Residen Kedu, di Magelang. Beliau kemudian dibuang ke Makassar, Sulawesi.

 

When history meets reality, that’s when I feel stunned by how close we are.

Dulu, saya sempat melongo saat seorang teman mengajak pergi ke rumah teman lain yang terletak di daerah Pleret (Kab. Bantul). Saya ingat betul bahwa nama itu tercetak di buku mata pelajaran sejarah. Kutipannya: “… Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu menyingkir ke Selarong, Pleret, Dekso ….”

 

Bila ingin menelusuri jejak Pangeran Diponegoro dan sejarah Perang Jawa, area Magelang-Yogya ini memang ‘harta karun’ sekali. Gimana enggak, beliau memang lahir, besar, dan tinggal di Yogya. Perjuangannya pun bertempat di area itu. Ada beberapa jejak bersejarah yang kini dikembangkan menjadi tempat wisata sehingga bisa dikunjungi. Salah satunya Gua Selarong yang terletak di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Arahnya dari Jl. Godean ke selatan. Tapi, itu cerita untuk lain kali *wink

(still incomplete, more story incoming)


 

BOROBUDUR, "TERATAI" DI TENGAH DANAU PURBA

Mengenai Borobudur sendiri, sejarahnya juga panjang. Candi ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir, bahkan berabad-abad sebelum Mataram Islam (keluarga Pangeran Diponegoro) berdiri. Borobudur dibangun oleh Mataram Hindu.

 

Banyak hal menarik tentang Borobudur, baik penemuannya, kisahnya, maupun bentuknya. Dari semua hal, yang paling menarik untuk saya adalah:

  • kenyataan bahwa candi ini dulu terkubur seutuhnya karena letusan Gunung Merapi. Konon, letusan inilah yang bikin kerajaan yang jaya di Jateng lalu pindah ke Jatim hingga muncul Majapahit dkk.
  • bahwa Borobudur ditengarai dibangun di tengah danau purba. Kabarnya, pembangunan di tengah danau itu dilakukan secara sengaja agar candi ini nampak seperti teratai di tengah-tengah kolam. Very poetic!

(still incomplete, more story incoming)

 


 

💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa




Reading Time:

Jumat, 16 Juni 2023

Bunga dan Panas
Juni 16, 2023 2 Comments

 



Sudah beberapa minggu ini cuaca terik. Jangankan hujan, mendung aja baru mampir tadi siang. Mampir doang, sebentar. Akibatnya, tumbuhan pun banyak yang mulai meranggas. Yang nasibnya lebih buruk, ya, mati. Tanaman peliharaan yang ada di pot umumnya lebih kritis karena akarnya nggak 'menjejak' tanah sehingga nggak bebas cari air. Makanya pemandangan tumbuhan hijau yang menguning kemudian kuning-kurus-kering dan mati menjadi sesuatu yang biasa (meski tetap menyedihkan) di musim ini.


Namun, nggak semua tumbuhan seperti itu. Ada juga yang malah berkembang saat suhu beranjak naik dan intensitas matahari makin menggila. Kalau tumbuhan lain mengatur tubuhnya supaya hemat air dengan meranggas (seperti jati) dsb, ada tumbuhan yang justru 'berani' untuk berkembang. Di saat tumbuhan lain cuma 'berani' menumbuhkan beberapa bagian yang krusial aja untuk sekadar bertahan hidup, justru ada tumbuhan lain yang 'dengan happy' tumbuh makin semarak dengan bunga warna-warninya.


Memangnya kenapa kalau ada yang berbunga?

Jadi gini, aktivitas berbunga adalah aktivitas ekstra. Tumbuhan berbunga dengan tujuan apa? Betul, berkembang biak. Karena bunga itu nanti akan jadi buah dan biji yang menghasilkan anakan baru. Berkembang biak, 'melahirkan' anak ini tentunya perlu energi ekstra, sama seperti manusia. Kenapa termasuk aktivitas ekstra? Karena aktivitas 'biasanya' cukup tumbuh atau bertahan hidup saja.


Jadi, kalau ada tumbuhan yang justru mau mengeluarkan energi ekstra di saat kondisi lingkungan sedang nggak bersahabat (alias, sedang panas-panasnya), dia adalah tumbuhan yang berbeda. Tentu, metabolismenya juga berbeda dengan tumbuhan kebanyakan yang justru tumbang di saat yang sama. 


Hari ini, di tepi jalan, di sebuah pot berukuran 40x40 cm, saya melihat bugenvil yang tumbuh rimbun. Bukan daunnya yang rimbun, tapi bunganya. Warna merah jambu, merah hati, dan putih berpadu di satu pot. Di balik bunga-bunga itu, barulah terlihat daun-daun hijau yang telak kalah jumlah. 


Apa cuma bugenvil yang justru berbunga saat cuaca panas? Enggak. Pernah dengar tabebuya? Bunga yang semarak sekali saat berkembang ini juga sama dengan bugenvil. Kalau nggak salah memperhatikan, saat cuaca di Surabaya sudah gerah bener, biasanya beberapa hari setelah itu bunga ini akan memenuhi sepanjang jalan raya. Contoh lain adalah jacaranda, pohon yang bunganya ungu. 


Terus, hm... apa lagi, ya?


Kenapa bunga-bunga ini justru 'bersuka-cita' saat suhu lingkungannya memanas? Penjelasan paling sederhana adalah karena iklimnya cocok; mereka memang suka cuaca panas. Penjelasan lainnya adalah metabolisme tubuhnya justru semakin optimal saat cuaca panas. Entah bagaimana caranya. Saya juga lagi cari-cari, tapi belum nemu.


Kalau sudah nemu alasannya, bakalan di-update di sini 😁 

Atau barangkali ada yang sudah tahu? 


========== 

Poin kedua ini baru terpikirkan belakangan, saat tulisan ini sebenarnya sudah selesai. 


Mengapa pohon tabebuya justru berbunga di musim kemarau, padahal di saat yang sama pohon jati sampai menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup? Atau, kenapa bugenvil yang 'cuma' semak, bukan pohon yang sturdy, juga justru bisa berkembang dibanding jati yang kuat?


Saya pernah nemu sebuah ilustrasi dengan beberapa pot tanaman di situ. Tanaman di tiap pot berbeda. Teks yang tertulis di bawahnya kira-kira:

Bila tumbuhan saja butuh kondisi yang berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang, apalagi manusia.

Aaand that hit me. 


Betul juga. Ada tumbuhan yang suka hujan, ada yang kalau kena hujan malah mati. Ada tumbuhan yang suka dipupuk X, ada yang kalau dikasih pupuk X malah mati. Bahkan tumbuhan yang satu spesies dan ditanam di halaman yang sama pun pertumbuhannya bisa berbeda karena faktor-faktor lainnya. Jadi, kenapa manusia yang juga satu spesies dan menyebar di muka bumi dengan kondisi 'lingkungan' yang berbeda-beda, sering disama-samakan?


Oke, memang ada standar tertentu yang bisa (tidak harus) digunakan untuk 'mengukur' tanaman. Misal, rendemen berapa baru boleh dipanen/dijual. Tapi, itu, kan, tanaman komoditas yang memang diperdagangkan? Manusia, kan, bukan.


Ilustrasi di atas (thanks to siapa pun pembuatnya, maaf saya lupa siapa/nemu di mana) terasa sangat uplifting. Seringkali kitamungkin tepatnya sayasuka membandingkan diri-sendiri dengan orang lain. Nggak apa-apa kalau sekali-kali dan tujuannya untuk melecut diri untuk lebih baik. Tapi kalau terlalu sering sampai ngerasa rendah diri dan tertinggal sekali, juga nggak bagus, bukan? 


==========

In frame: bunga kertas / bunga zinnia / Zinnia sp. 

Reading Time:

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time:

Jumat, 19 Mei 2023

Review Buku: The Journeys 2
Mei 19, 2023 2 Comments

Judul: The Journeys 2, Cerita dari Tanah Air Beta 
Penerbit: Gagasmedia 
Tahun terbit: 2012 (cetakan pertama) 
Tebal: 255 halaman 



“Kamu harusnya lahir sepuluh tahun lebih awal.” Begitu yang biasa diucapkan beberapa teman pada saya. Saya setuju saja karena selera musik saya memang lebih lawas. Namun, untuk buku ini, sepertinya review saya juga harusnya sepuluh tahun lebih awal karena ia terbit satu dekade lalu. 


The Journeys adalah buku berseri. Saya lupa ada berapa, karena yang saya tahu/pernah lihat hanya tiga. Buku pertama pernah saya baca; hasil pinjam dari seorang teman, saat masih berseragam putih abu-abu (review supersingkatnya pernah diulik di postingan ini). Hingga tahun lalu, saya nggak tahu kalau buku ini beranak-pinak. Hingga takdir mengantarkan saya (ceile…) pada sebuah pameran buku tahun lalu. 


Kalau nggak salah pula, di era sepuluh tahun lalu itu, buku-buku travel story dari orang Indonesia mulai membanjir. Sama dengan tren saat itu, The Journeys yang pertama juga bercerita tentang perjalanan penulis-penulisnya mengunjungi negara-negara dunia. Karena saat itu dan hingga kini buku perjalanan macam itu sudah banyak, awalnya saya juga nggak begitu tertarik waktu melihat The Journeys 2 di rak. No offense, semakin banyak buku seperti ini, semakin banyak juga rasanya tulisan yang ketika dibaca serasa laporan yang kaku, bukan teks non-fiksi naratif yang ‘bercerita’. 


Nemun, teks di bawahnya menarik mata saya kemudian. Tagline “Cerita dari Tanah Air Beta” itu… menarik. Buku travel story tentang perjalanan di Indonesia memang tak cuma satu-dua, tapi rasanya masih lebih sedikit (atau kurang populer?) daripada yang perjalanan luar negeri. (Ini konteksnya buku yang dikemas travel story, ya, bukan yang hanya kumpulan tulisan aja). Padahal, keindahan Indonesia sangat boleh diadu dengan mancanegara. Kalau enggak, manalah mungkin jadi salah satu tujuan wisata internasional, meski ya kadang masih kalah dengan negara-negara tetangga kita. 


Tagline tadi bikin saya berharap bahwa The Journeys 2 akan memuat kisah-kisah yang menunjukkan uniknya kelokalan kita atau tempat-tempat hidden gem yang bahkan jarang diketahui WNI sendiri. Apalagi melihat beberapa nama penulis di bawahnya: ada yang jurnalis, pembuat film dokumenter, presenter acara jalan-jalan, dan salah satu travel writer favorit. Dengan latar belakang/pengalaman yang sudah malang-melintang di dunia media, saya jadi berharap buku ini berbeda dengan antologi catatan perjalanan lainnya.


Jadi gimana, apakah sesuai ekspektasi?

Pertama-tama, ada dua belas cerita di sini. Semuanya menyebar dari sekitaran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sekitarnya, serta Papua. Sayang nggak ada cerita dari Tanah Sumatra dan Kalimantan. Namun, kisah-kisahnya cukup menarik. Mungkin karena nggak semua yang diceritakan adalah resor atau tempat yang memang jadi tempat wisata.


Ada satu-dua yang menulis tentang tempat terpencil yang hanya dikunjungi kalau ada keperluan khusus; napak tilas misalnya. Memang bukan tempat wisata. Ada pula satu tempat yang ulasannya menarik, tentang batik. Tempat ini sudah umum dikenal soal batiknya, tapi di sini penulis berhasil mengisahkan nggak cuma filosofi di balik kain dan motifnya, tapi juga cerita para pengrajinnya, dengan menarik.


Yang nggak kalah menarik adalah cara berceritanya. Ada satu tulisan yang bercerita tentang sebuah tempat secara umum. Umum di sini maksudnya lokasi yang diceritakan udah umum banget. Sebuah kota yang cukup punya nama, tempat-tempat yang biasa dikunjungi sejuta umat di sana (Lapangan Merdeka Kota Ambon, contohnya). Namun, style tulisannya yang kocak bikin ngalir dan pembaca jadi ikut nyantai ngikutin alur, meski tempat-tempatnya sekilas nggak/kurang berkesan.


Ada pula tulisan lain yang bikin rada kaget. Pasalnya, tulisan satu ini berkisah soal perjalanan penulis liburan ke salah satu daerah yang dilarang. Pemerintah daerah setempat sudah menutupnya dari wisatawan karena asalnya memang bukan tempat wisata, hanya saja tempatnya memang menarik sehingga banyak orang yang nggak tahu lalu main ke sana. Sempat ngebatin, ‘Kok, bisa dimuat? Apa nggak cross check dulu?’. Tapi suudzon itu berakhir setelah baca tahun terbit buku ini: 2012. Oh, pantes. Lha wong ini buku terbit tahun 2012! Larangan itu baru berlaku kurang lebih tiga tahunan setelahnya. Dan, oh, satu lagi subbab yang bikin kaget adalah pengalaman salah satu kontributor waktu ikutan acara nudis. 


Ngomong-ngomong soal cara bercerita, tiap tulisan di sini punya ciri khas sendiri. Efek karena penulisnya banyak. Ada yang lempeng, ada yang mirip itinerary (hari X jam X ke X, dst), ada yang (menurut saya, sih) berusaha ngelucu tapi jatuhnya agak hm…, tapi ada yang memang lucu beneran. Bagian yang saya tunggu tentu aja tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang setahu saya biasa mengulik tabir lebih dalam dari sesuatu/suatu tempat (dan emang tulisannya bagus, kayak standar majalah/koran cetak gitulah). Terbukti, sih. Tulisan mereka memang ‘dalem’, selain informatif dan menyentuh. Cerita tentang Digul dan bangkai lumba-lumba, salah dua di antaranya. 


Jadi kalau ditanya gimana isinya, ya, macam-macam. Ada yang bagus, ada yang biasa aja.


Kalau lokasinya gimana?

Nggak bisa disangkal, sebagian besar lokasi yang dituju memang cantik-cantik! Ada yang enggak, tapi memang karena bukan tempat wisata. Jadi indahnya yang alamiah gitu. Kalau soal tempat hidden gem, kayaknya nggak ada. Tempat-tempat itu udah umum diketahui di zaman ini. Kalau di tahun itu, memang ada beberapa yang belum terkenal, kecuali di kalangan orang yang suka jalan-jalan. Lokasi tsb pernah saya tahu di sekitaran tahun terbit buku ini, sayang sampai sekarang belum terwujud ke sana, hahaha. 


Tapi jangan khawatir. Meski belum ke sana, penulis berbaik hati membagikan wujud tempat yang mereka kunjungi. Yup, dengan foto. Spesialnya (dan poin yang bikin saya suka buku ini) adalah… foto-fotonya berwarna! Dan banyak! Nggak pelit, deh! Padahal, biasanya kan buku buat orang dewasa ya gitu-gitu aja: tanpa gambar, tanpa warna, hitam-putih doang. Kalau ada foto atau gambarnya pun terbatas alias sedikit banget. Itu pun dicetak grayscale yang tentu kurang menarik daripada gambar warna-warni. Padahal, orang dewasa yang suka buku+gambar berwarna juga ada, lho. Ya mungkin ini lebih ke alasan ekonomis daripada alasan kesukaan. Nggak bisa dipungkiri kalau makin banyak yang dicetak berwarna, harga jual juga bakal makin tinggi, sehingga ngaruh ke daya beli pasar. 



Karena ini buku antologi, yang artinya ada beberapa tulisan terpisah yang nggak saling berhubungan, maka buku ini cocok buat bahan bacaan orang yang baru mau nyoba kebiasaan membaca atau yang mau kembali memulai hobi/kebiasaan membaca. Sejujurnya akhir-akhir ini saya termasuk jenis kedua: berasa malas-nggak sabar-susah fokus kalau baca buku. Tapi kalau gitu terus, kapan nambah masukan otaknya? :’) Akhirnya saya coba baca buku macam ini. Karena fokusnya nggak bisa lama, maka buku macam ini nggak masalah kalau dibaca sepotong-sepotong sebab antarbab nggak berhubungan. Jadi misal hari ini baca bab 1-3, terus ternyata mutung beberapa hari (di kasus saya malah 1-2 minggu), kita bisa lanjut baca bab selanjutnya tanpa ngerasa lupa cerita sebelumnya. Sebab, biasanya, yang bikin malas lanjut baca adalah karena lupa kisah yang udah dibaca, tapi mau re-read malas, sedangkan kalau lanjut baca bisa jadi nggak nyambung karena lupa detailnya.


Untuk buku yang nggak begitu tebal kayak gini, ternyata sekarang saya butuh waktu satu bulan biar kelar baca. Namun, kalau dihitung-hitung, total hari baca lama cuma lima harian aja. Itu pun, nggak terlalu lama. Paling lama sejam lah; di sela-sela ngurus sesuatu, nunggu servis, dsb. 


Kalau niat emang bisa cepat, kok, sebenarnya. Mengabaikan distraksi (ponsel, terutama) itu yang susah, hahaha. 


Sooo, kalau diringkas, begini review-nya:


Kelebihan (+)

  • Ada cerita yang bagus. Gaya bercerita/secara tulisan juga bagus. Informatif, historis, empatis, komedik juga ada
  • Ada foto berwarna, banyak
  • Cocok buat yang lagi kena reading slump atau mau mulai membaca

Kekurangan (-)

  • Ada cerita yang lempeng aja atau kayak baca laporan  
  • Cerita lokalitas ada, tapi nggak semuanya bercerita ‘dalam’



==========


Di luar pengalaman bepergiannya, ada beberapa hal yang membekas buat saya. Salah satunya adalah kisah satu penulis yang mengajak ibunya travelling. Di situ ia bilang bahwa tempo jalan bareng orang tua (orang tua yang mengasuh kita ataupun orang yang umurnya sudah tua) itu beda. Tentu karena faktor fisik dan usia. Kalau ngajak ortu jalan bareng, sebisa mungkin kita ‘berjalan’ lebih lambat, menyesuaikan tempo mereka. Begitu juga dengan kenyamanan. Orang tua mungkin lebih suka jalan-jalan yang mengutamakan kenyamanan dibanding anak muda yang ‘geletakan di mana pun tetap bisa tidur nyenyak’. Apalagi kalau ortunya jarang travelling. Jangan sampai sesi bepergian dengan kita malah bikin mereka nggak nyaman atau kapok, kalau kita masih pengin jalan bareng lagi. 


Buat saya, pendapat itu membekas.

Saya cenderung cepat saat berjalan atau bepergian. Tipe yang ngejar tempat sebanyak mungkin dan menikmatinya sepuas mungkin. Jadi, waktu yang 'dipangkas', ya, semacam makan atau jalan (literally). Belakangan, saat jalan bareng ortu, saya merasa tempo saya diperlambat. Ucapan seperti, “Jangan jalan cepat-cepat” menjadi kian familiar seiring bertambahnya usia mereka. Bisa ditebak, waktu perjalanan pun jadi makin lama. Tapi, ya, travelling kan buat senang-senang. Kalau yang satu nggak enjoy, what for? Akhirnya saya pun kompromi: ‘berjalan’ lebih lambat, nggak jarang mengunjungi lebih sedikit tempat daripada biasanya. Di setiap tempat pun kami siasati dengan menambahkan waktu istirahat yang cukup supaya nggak terlalu capek saat ‘jalan’ lagi. 


Memang, jadinya ada lebih sedikit destinasi yang dikunjungi. Tapi memang baiknya begitu: saling kompromi. Si anak muda (saya) berkompromi dengan ‘jalan’ lebih santai, sedangkan di lain kesempatan para orang tua berkompromi dengan, misalnya, mengunjungi tempat yang lebih ke style anak muda. Oh, tentu ini berlaku kalau jalan-jalan personal, bukan group tour. Kalau yang itu, setahu saya ada beberapa organiser yang menyediakan paket sesuai usia/tempo.


Terakhir, mungkin kita perlu berjalan sesuai tempo masing-masing. Nggak cuma berjalan secara harfiah atau jalan-jalan, tapi juga ‘berjalan’ meniti jembatan rapuh bernama kehidupan. 


Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti halnya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati. Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya.

         Rahne Putri, salah satu kontributor tulisan The Journeys 2


Reading Time: