Hijaubiru

Sabtu, 26 Januari 2013

5 Cm - Mulai dari Novel, Komik, Hingga Film
Januari 26, 20130 Comments

Ada yang sudah nonton filmnya? Gimana tanggapannya? Ada yang sudah baca komiknya? Atau, ada yang sudah khatam novelnya?

gambar diambil dari www.google.com

Film yang premiere pada 12-12-2012 ini dikatakan sukses karena dalam seminggu pertama, penontonnya sudah membludak. Nggak heran sih, soalnya settingnya emang keren. Berlokasi langsung di gunung Semeru, film ini menayangkan keeksotisan dan keindahan alam Semeru. Mulai dari Ranu Pani, Ranu Kumbolo, Oro-Oro Ombo, Kalimati, Arcapada, sampai puncak tertinggi Jawa: Mahameru, 3676 meter dpl (pernah saya post di http://hijaubiru-hijaubiru.blogspot.com/2011_10_01_archive.html).

Kalau kata beberapa orang nih, biasanya lihat film itu lebih nggak enak daripada baca novelnya. Apa pasal? Karena dalam novel, kita bisa berimajinasi. Kita bisa membayangkan wajah, gestur, dan tingkah tokoh-tokoh sesuai dengan yang kita tangkap dan inginkan. Setting-nya pun, sesuai imajinasi kita. Kalau di film sesuai ekspektasi a.k.a seindah yang di novel, sih, nggak apa ya. Kalau nggak? Kecewa dong penontooon!

gambar diambil dari www.google.com

Terus, film 5 Cm ini gimana? Sesuai ekspektasikah?

Secara keseluruhan, film ini sama dengan novelnya. Mulai dari kejadian, setting, sampai percakapan pun ada yang persis plek seperti di novel. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang nggak ada. Seperti kejadian Finding Ian yang diceritakan lengkap di novel, di film hanya dibicarakan di mobil. Atau obrolan-obrolan random lima Power Rangers ini, juga nggak ditampilkan di film (kalau ditampilin, mungkin durasi filmnya bisa-bisa lebih panjang dua kali lipat, mengingat banyaknya obrolan random-nya). Hal besar yang nggak ada adalah nggak diceritakannya mas Gembul (sopir angkot di Tumpang) dan Deniek dkk. Nggak ada adegan kenalan dengan Deniek, Deniek nyeritain temannya yang meninggal, ataupun ketemu Adrian di puncak.

Oh iya, ada lagi sih satu perbedaannya. Kalau di novel kan diceritain kalau Riani nikah sama Zafran, Genta sama Citra (sobat kerjanya Riani), Deniek sama Arinda, dan Ian sama bunda Happy, di film beda. Riani tetap sama Zafran, Ian sama Happy (di film, yang jadi istrinya Ian Happy Salma beneran!). Namun Genta dan Arinda masih sendiri. Kalau di film, naga-naganya sih Genta nanti tertarik sama Arinda.

Overall, lumayan miriplah sama novelnya. Oh iya, yang penasaran gimana Genta ‘nembak’ Riani (kan di novel cuma dinarasikan aja tuh, nggak ada percakapannya), di film ini ada adegan tembak-tembakannya. Jadi pembaca sudah nggak penasaran lagi, “Gimana sih Genta bilangnya ke Riani? Apa langsung bilang ‘I love you, Ni’, atau Genta mengungkapkan dengan bahasa puisi, atau Genta nyebur dulu basah-basahan di Ranu Kumbolo terus dandan ala pesut ancol kayak Ian, makanya Riani lebih milih Kahlil Zafran daripada ‘Si Sempurna’, Genta?”. Hehehe.

Personally, saya lebih suka novel daripada filmnya. Sorry to say, tapi yang bikin filmnya meledak adalah karena setting lokasinya di Semeru. Inti ceritanya masih berasa mirip dengan film-film lain bertema cinta dan persahabatan. Bedanya cuma ini dibalut pendakian, yang notabene konsep yang lumayan baru dan fresh. Tapi selain itu, yang lain biasa aja. Saya masih tetap agak aneh saat ada kata-kata atau adegan, yang beberapa sebenernya memang ada di novel, tapi difilmkan juga. Terlalu... dramatisasi, mungkin? Ya sama aja kayak film percintaan/persahabatan lain lah. Ada adegan yang kayaknya sweet atau melankolis banget, tapi sebenernya rada cringe

Menurut saya sih emang ini poin lebihnya novel dibanding film: bisa lebih bebas eksplor dengan meminimalisasi cringe itu tadi, seaneh apapun adegannya. Dan, durasi film kan emang pendek ya, jadi kalau diisi dengan hal yang 'biasa', jadinya jelek. Film butuh sesuatu biar 'nendang'. Sayangnya, satu-satunya hal yang menurut saya 'nendang' banget di film 5 Cm ini adalah lagu dan shot lanskap Semeru, bukan alur ceritanya. 

Ada beberapa detail yang agak mengganggu juga. Antara lain:
- Jeans
ada beberapa dari mereka yang mendaki pakai celana jeans. Padahal, para pendaki tahu bahwa jeans adalah salah satu bawahan paling dihindari kalau hiking karena udahlah berat kalau basah, susah kering, juga kalah ringan dibanding celana kain biasa. Jadi menuh-menuhin carrier dan bikin berat yang nggak perlu.
- Minta air ke pendaki lain
Maaf, ini manajemen air & pendakiannya gimana ya? Bisa-bisanya kehabisan air padahal di Ranu Kumbolo ada danau air tawar luas banget? Bukannya nggak boleh minta. Pendaki mana sih yang bakal nolak dimintain tolong, apalagi kalo ada pendaki lain emang kepepet? Tapi ya gitu, manage you and your team first, dude.
- Mendaki nenteng barang
Jaket pink Riani emang cantik, tapi lebih baik kalau itu jaket nggak ditenteng sepanjang pendakian. Lagian kenapa harus ditenteng kalau bisa dimasukin carrier atau diikat di pinggang, misalnya. Ini bukan soal preferensi dan kenyamanan aja, tapi juga tentang keamanan.
Ini lebih ke pilihan personal, sih. Saya emang termasuk orang yang semua barang sebisa mungkin masuk carrier sehingga tangan bisa bebas. Karena, ya naudzubillahi min dzalik, kalau misal ada apa-apa, tangan bisa bebas meraih buat jadi penyangga. Misalnya, kepeleset atau pijakan kaki nggak sterk, maka tangan yang nggak memegang apa-apa bisa nyaut akar pohon buat pegangan. Satu-satunya barang yang saya setujui dipegang tangan selama pendakian cuma trek pole. Itu pun kalau butuh banget. 

Kalau film 5 Cm  agak sama dengan novelnya, agak beda lagi dengan komiknya. Oh ya, 5 Cm ada komiknya? Ada dong! Tapi nggak tahu keluaran tahun berapa. 2012 kemarin saya ngider-ngider di toko buku online entah kenapa nggak nemu-nemu juga.

Balik, balik. Apa komiknya mirip dengan novelnya?

gambar diambil dari www.google.com

Beberapa peristiwa inti masih ada. Namun karena ini komik, banyak buangeet peristiwa yang dipotong. Jadinya, baca komik kayak baca intinya doang: lima Power Rangers terpisah, bertemu, pendakian, selesai. Pendakiannya nggak seseru seperti yang di film maupun novel. Seingat saya, nggak ada adegan Ian kejedug batu. Cuma ada gambar kelima anak manusia ini berjuang begitu keras demi mencapai puncak. Buat orang yang sudah baca novelnya, komik ini rasanya kurang greget.
Reading Time:
Habibie-Ainun
Januari 26, 20130 Comments

Judul: Habibie & Ainun
Sutradara: Faozan Rizal
Produser: Dharmoo Punjabi & Manoj Punjabi
Produksi: MD PIctures
Tanggal rilis: 20 Desember 2012
Durasi: 118 menit
Bahasa: Indonesia & Jerman

Rudy Habibie diseret begitu saja oleh gurunya ke sebuah ruang kelas.
“Mana Ainun?” sang guru bertanya pada sesisi kelas.
Tak lama, sosok Ainun yang masih SMA muncul.
“Ainun, kenapa langit berwarna biru?” sang guru melontarkan pertanyaan. Ainun menjawab dengan lancar. “Kalian memang jodoh. Cuma kalian yang bisa menjawab pertanyaan itu.”

“Kamu jelek, gendut, item, kayak gula jawa!” cela Habibie pada Ainun, saat ditantang kedua kawannya apakah ia berani pada Ainun.

Tak dinyana, bertahun setelah kejadian itu, keduanya bertemu lagi. Namun, keduanya sudah bukan remaja lagi. Habibie sudah menjadi seorang mahasiswa teknik di Jerman, sedang Ainun sudah menjadi dokter. Keduanya tak sengaja bertemu saat ibu Habibie memintanya mengunjungi keluarga Ainun untuk bersilaturrahmi. Saat itulah Habibie melihat Ainun menjahit.
“Eh, ternyata gula jawa bisa jadi gula pasir,” seloroh Habibie.

Itulah sepotong intro dari film produksi Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi ini. Merasa familiar dengan dua tokoh di atas? Tidak heran. Karena film yang dibuat berdasarkan sebuah buku tulisan Habibie sendiri ini memang menceritakan wakil presiden ketiga Indonesia,  B.J. Habibie, dan istrinya, Ainun. Mulai dari pertemuan pertama keduanya, peristiwa keduanya bertemu lagi, hingga keduanya berakhir di pelaminan lalu melanjutkan hidup bersama di Jerman, diceritakan dengan apik dalam film ini.

Film ini memang menceritakan kisah cinta abadi Habibie dan Ainun. Kisah romantis yang ‘elite’, yang tidak dibumbui dengan tangis-tangisan, gangguan pihak ketiga, dan sejuta problema asmara lain. Namun sebuah kisah abadi, cinta yang bukan cuma “makan tuh cinta” tapi cinta yang membutuhkan keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, dan saling menguatkan.

Perjalanan keduanya memang tidak mudah. Habibie tidak ‘ujug-ujug’ sukses lalu menjadi presiden nusantara. Tidak. Setelah menikah, keduanya harus bertahan hidup di Jerman. Entah berapa tahun hidup dalam sebuah flat kecil. Entah berapa lama Ainun harus menunggu suaminya pulang dari bekerja. Entah bagaimana kuatnya Habibie menahan lelah dan dingin yang menggigit saat pulang dari kantor namun tidak memiliki cukup uang, sehingga harus pulang berjalan kaki dan sepatunya sobek. Ia tambal sepatunya dengan kertas-kertas kerjanya yang masih juga dipilah-pilahnya di tengah salju, padahal cuaca sangat menggigit. Bagaimana Ainun bisa kuat hidup di negeri orang sendirian, dalam keadaan hamil. Bagaimana Habibie bisa bertahan terus mencari formula baru, padahal orang-orang Jerman meragukannya.
“Kamu tahu pasien yang baru masuk? Ia dari Indonesia. Di mana itu?”
“Ia orang Asia.”
“Apa dia bisa membuat rel sekuat itu? Kereta api di negaranya saja impor dari kita.”

Tapi apa masalah menggunung itu merontokkan semangat hidup keduanya, merapuhkan ikatan mereka? Tidak. Bagaimana bisa? Karena keduanya ikhlas. Keduanya sadar bahwa hidup yang mereka pilih tidaklah mudah. Pasangan muda ini saling menguatkan, saling menghangatkan saat yang lain terlihat muram.
“Terowongan itu panjang, gelap.”
“Saya akan bawa kamu ke cahaya itu.”

Selain menyuguhkan romantisme, film ini juga menunjukkan bahwa semangat bisa mengalahkan semua rintangan. Berbekal mimpi, Habibie toh akhirnya bisa membuat pabrik pesawat terbang di Indonesia. Membuat terbang bangsanya setelah surat permohonannya ditolak beberapa tahun sebelumnya.
Percakapan dua orang wartawan di sebuah toilet.
 “Pesawat Amerikanya ditembaki, tapi tetap lewat. Terus datang pesawat Indonesia. Tapi nggak perlu ditembak.”
“Lho, kenapa?”
“Nggak ditembak, nanti juga jatuh sendiri.”
Pintu toilet terbuka. Keduanya sontak terdiam. Sang insinyur yang dibicarakan keluar dari toilet sebelah, melangkah dengan santai. Tanpa tatapan marah, tanpa wajah mencela.

Setelah mimpinya membuatkan Indonesia pesawat sudah terwujud, semua belumlah mudah. Ia harus meninggalkan Ainun dan kedua anaknya di Jerman, karena Ainun sudah terlanjur bekerja di Jerman. Belum lagi cobaan-cobaan lain seperti Habibie yang disogok seorang pengusaha agar memenangkan tender. Atau, saat ia didekati seorang suruhan pejabat tinggi. Semuanya ditolaknya, ia berpegang pada prinsip yang tak banyak orang memegangnya: jujur. Meskipun ia diancam karena yang ditolaknya adalah orang dekat presiden, Habibie tetap teguh.
“Terima kasih atas peringatannya.”

Adegan penerbangan pertama pesawat N250 merupakan adegan yang paling menggugah, menurut saya. Hanggar dikondisikan sedemikian rupa. Semua orang tampak sibuk mempersiapkan penerbangan perdana ciptaan anak bangsa. Pegawai-pegawai berseragam putih dengan tulisan merah ‘N-250 First Flight’ berlalu-lalang. Sebuah pesawat biru telah siap dia hanggar. Kemudian sebuah film dokumenter penerbangan perdana diputar. Benar-benar film dokumenter. Penerbangan yang asli, rekaman langkah awal anak bangsa yang asli. Tampak presiden Soeharto menyaksikan. Ternyata orang Indonesia sebenarnya bisa, kalau mau. Buktinya? Pesawat Gatotkaca ini buktinya!


Tahun berselang, Habibie sudah menjadi wakil presiden. Tugasnya makin berat. Apalagi ketika ia diangkat menjadi presiden. Presiden yang kurang tidur lantaran tiap malam harus membaca buku-buku referensi kenegaraan.
“Tidak bisa. Harus diselesaikan malam ini juga.”
Sampai Ainun marah karena suaminya kurang tidur. Ainun yang mengkhawatirkan kesehatan suaminya,  yang selalu mengontrol obat-obatan suaminya, memarahi Habibie. Tapi tanggapan Habibie? Ia diam, lalu menuruti Ainun. Mengapa ia tak marah sekalian? Toh ia presiden. Tapi ia memang tetap rendah hati, low profile.

Film ditutup dengan mundurnya Habibie dari kursi kepresidenan. Telah menyelesaikan tugas, ia berencana berwisata dengan Ainun. Namun ternyata Ainun sedang sakit, sakit yang tak pernah ia ceritakan pada Habibie. Rencana wisata batal. Ainun segera dibawa ke Jerman untuk operasi karena kanker ovariumnya sudah sangat berbahaya.

Habibie tetap setia menunggui  Ainun yang sedang sakit. Membantunya berwudhu, mengimaminya salat berjamaah dengan anak-anaknya yang sudah dewasa, terus-terusan berjaga di depan bangsal steril tempat Ainun dirawat. Dan meskipun dokter menyatakan sudah tak ada harapan, meski sahabat dekat Ainun menyarankannya mulai mempersiapkan pemakaman, Habibie yakin, tetap yakin, amat yakin, kalau Ainun masih kuat. Bahwa Ainun masih bisa bertahan.
Habibie: “Pemakaman? Siapa yang mati? Ainun?”
Arlis     : “Harus berapa kali lagi Ainun dioperasi?”
Habibie: “Seperlunya. Sampai sembuh!”

Hingga Ainun meninggal, Habibie tidak pernah melupakan cinta pertamanya itu. Hal ini ditayangkan di akhir film. Habibie menuju rumah orang tua Ainun. Dengan gerak-gerik yang sama seperti ketika ia pertama kali datang ke sana. Memperhatikan foto-foto keluarga Ainun di dinding, yang sekarang sudah bertambah dengan fotonya bersama Ainun. Mengamatinya satu-satu. Kemudian seperti deja vu, ia mendengar bunyi mesin jahit. Ia melongok dari balik dinding. Dilihatnya sebuah sosok yang pernah ia lihat.
“Ainun?”
Ainun menoleh. Wajahnya, gerak-geriknya, persis seperti ketika Habibie bertemu dengannya dulu. Habibie teringat pertemuan pertamanya dengan Ainun di rumah itu.
“Gula pasirku...”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ketika mimpi berbenturan dengan kenyataan, manakah yang akan menang?

Setidaknya itulah yang saya tangkap dari film ini. Selain sisi romantismenya yang digarap dengan sangat halus dan menyentuh, menurut saya film ini patut diacungi dua jempol dari caranya menampakkan nasionalisme.

Bahwa kehidupan pernikahan tak selalu mulus seperti cerita Cinderella atau Bawang Putih yang ‘dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya’. Di sini diperlihatkan bahwa yang namanya orang kalau sudah sayang (“frekuensinya sama”, kata Habibie dalam film), memang tak cuma mengatasnamakan sayang. Harus ada konsekuensinya. Pahit-manis diarungi bersama. Saling pengertian, saling menguatkan. Ikhlas. Sabar.

Mimpi. Tema yang sedang marak dibicarakan di buku-buku motivasi dewasa ini. Habibie bermimpi, namun tak cuma bermimpi. Ia juga bekerja demi mewujudkan mimpinya. Menyarankan idenya, bekerja sampai malam, tetap cuek meski orang-orang berkata pesawat buatannya akan jatuh. Dan ketika idenya ditolak petinggi Indonesia saat itu, ia tidak menyerah. Ia tidak serta merta meninggalkan mimpinya. Tetap ia pelihara, hingga ketika kesempatan itu datang, ia masih bermimpi.

Dan nasionalisme. Mengapa orang pandai seperti Habibie mau-mau saja balik ke Indonesia yang saat itu sedang bergolak? Bukannya lebih enak tetap di Jerman? Hidup terjamin, aman, tentram, dan orang-orang di sana sudah percaya padanya. Bukan seperti bangsanya yang saat itu meremehkannya. Alasannya cuma satu: “Bayangkan, Ainun! Pesawat untuk sarana transportasi. Menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Menghidupkan ekonominya. Negeri ini akan menjadi negeri yang mandiri!” secara garis besar, itulah kalimat yang sempat saya tangkap. Karena Habibie ingin membangun negerinya. Prinsipnya teguh. Ia tak melihat uang (sudah disogok berkali-kali, bergeming. Diancam pun cuek). Prinsip yang, ampun dah, susah banget ditemukan sekarang.

Ada sebuah kalimat yang sangat membekas dalam film ini. Habibie mengucapkannya saat ia menilik pabrik pesawatnya, usai ia meninggalkan kursi kepresidenan. Ia mendapati pabrik itu sepi. Tak ada orang, tak ada aktivitas. Pabriknya mati. (Sebenarnya kalimat ini adalah lanjutan kalimat yang saya sebutkan pada paragraf di atas.)

“Saya percaya bangsa ini bisa. Tapi, mereka tidak mau percaya.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pemeran:
  • Reza Rahadian: B.J. Habibie
  • Esa Sigit: Habibie remaja
  • Bunga Citra Lestari: Ainun
  • Marsha Natika: Ainun remaja
  • Ratna Riantiarno: R.A. Tuti Marini Puspowardojo (ibu Habibie)
  • Bayu Oktara: Fanny Habibir
  • Vitta Mariana Barazza: Arlies (sahabat Ainun)
  • Radytia Argoebie: Thareq Kemal Habibie
  • Mike Lucock: Ilham Akbar Habibie
  • Tio Pakusadewo: Soeharto


Soundtrack: Cinta Sejati, ditulis oleh Melly Goeslow, dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari.
Reading Time:

Minggu, 20 Januari 2013

Tahta Mahameru
Januari 20, 20130 Comments
Judul : Tahta Mahameru
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit : Republika
Tahun terbit: Maret 2012
Tebal :380 halaman

Buat saya, dari judul maupun cover-nya, novel ini catchy banget.

Novel yang menjadi novel terbaik kedua dalam lomba novel Republika 2011 ini nggak sengaja saya temukan ketika saya lagi ngubek-ngubek toko buku demi mencari sebuah buku agenda yang pas di hati. Bukan cuma buku agenda yang saya temukan, tapi juga lima novel yang semuanya bagus-bagus. Namun karena saya sadar dompet saya belum begitu tebal, yang berhasil saya gondol cuma buku agenda dan novel karya Azzura Dayana ini.

Bermula dari desa tertinggi di Jawa, Ranu Pani, novel ini menceritakan perjalanan tiga manusia (Faras, Mareta, dan Ikhsan) dengan karakter yang amat berbeda.

Faras, gadis lulusan SMA, pengajar di SDN Ranu Pani yang juga tumbuh di desa itu. Perangainya lembut, sopan, sabar, dan cerdas. Tipikal tokoh protagonis sejati. Ada pula Ikhsan, pendaki slengekan, sinis, dan suka berbuat semaunya. Baginya, persahabatan  tidak ada artinya. Hubungan sosial tidak berarti apa-apa. Ambisi terbesarnya cuma satu: membunuh ayahnya, orang yang ia anggap sangat bertanggung jawab atas takdir buruk yang menimpanya. Sedangkan Mareta, setipe dengan Ikhsan, namun tidak se-keterlaluan seperti Ikhsan.

Cerita berawal ketika Ikhsan dan Fikri mencari wisma untuk menginap sebelum mendaki Semeru. Mereka bertemu Faras, yang dengan senang hati menunjukkan rumah penduduk. Pertemuan Faras dengan Ikhsan, pendaki yang slengekan, sinis, dan suka berbuat semaunya, mengubah jalan hidupnya.

Eit, jangan dulu mikir bahwa nanti jadinya Faras suka Ikhsan, atau Ikhsan naksir Faras, tapi cinta mereka terhalang problema sebesar gunung Semeru. Bukaaaan! Sama sekali bukan! 

Ikhsan yang sekuler dalam urusan agama, pun apatis dalam memandang persahabatan, selama tiga tahun berturut-turut terus menghujani Faras dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kamu bisa jelaskan padaku sebelas alasan kenapa aku harus shalat?", "Kamu tahu 'Tahta Mahameru'?" dan sebagainya. Pertanyaan terakhir Ikhsan cukup membuat dada Faras bergolak. Ikhsan bertanya apakah ia harus membunuh ayahnya.

Tahun berselang, Faras tak pernah bertemu Ikhsan. Ia hanya menerima foto-foto jepretan Ikhsan tentang perjalanannya traveling Indonesia. Namun, teringat pertanyaan terakhir Ikhsan, Faras memutuskan mencari Ikhsan, agar Ikhsan terhindar dari lumpur hitam yang menjeratnya.

Pertemuan Faras dengan Mareta di Borobudur tidak disengaja. Kedua wanita yang tak saling mengenal ini terlibat pembicaraan, kemudian menjadi kawan seperjalanan. Mereka menuju Sulawesi bersama-sama. Faras dengan misinya mencari Ikhsan (yang menurut email terakhirnya berada di Sulawesi) dan Mareta dengan niat traveling-nya.

Selama tahun-tahun tidak ada kontak dengan Faras, Ikhsan ternyata mengalami masa kelam. Ia yang ingin membalas dendam pada istri tua ayahnya karena dianggapnya sudah membunuh ibu kandungnya, malah masuk penjara. Di dalam penjara, ia menemukan cahaya.

Cerita diakhiri dengan Ikhsan yang kembali bertemu Faras di Ranu Pani (padahal dicarinya di Sulawesi, boo!). Mereka mendaki Semeru bersama ayah Faras. Di puncaklah Faras menjawab pertanyaan Ikhsan yang dulu membuatnya bingung : "Jika Mahameru adalah puncak para dewa, apakah Allah punya tempat di sana?"

Terus, apa spesialnya novel ini?

Memang pendeknya, novel ini mengisahkan perjalanan Faras mencari Ikhsan. Tapi, nggak sesimpel itu. Tentu aja ada nilai-nilai kemanusiaan bahkan agama yang tersurat. Banyak juga quote bagus di sini. Buat yang doyan traveling juga, lumayanlah referensi mengenai Makassar seperti kapal Pinisi, adatnya, pulau Selayar, dan semacamnya. Soal budaya dan perjalanan inilah yang bikin novel ini jadi favorit saya.

Salah satu hal yang bikin saya suka di sini adalah plot twist-nya. Clue-nya ada di si pengirim email perjalanan ke Faras. Kejutan ini dirangkai secara rapi sehingga kalau kita putar balik ke bab-bab selanjutnya maka baru nyadar: oooh ternyata iniii pertandanya. 

Namun, seperti novel-novel lainnya, Tahta Mahameru juga punya kekurangan. Beberapa masalah dan dialog terkesan agak kaku dan too good/too dramatic to be true. Beberapa hal yang bikin saya nggak sreg adalah cerita Ikhsan di penjara yang bertemu Yusuf. Yusuf ini kisahnya seperti Nabi Yusuf a.s. yang dibui karena difitnah menggoda atasannya. Kebetulan ini rasanya agak gimanaa gitu. Pun adegan balas dendam Ikhsan ke istri tua ayahnya. Dramatis, sih. Tapi kesannya terlalu... hm... sinetron, mungkin? Jadi agak polar gitu sama adegan-adegan lain yang rasanya ngalir lancar, alamiah, dan real. 

Terlepas dari hal-hal di atas, topik traveling, budaya, serta perjalanan mencari jawaban dan mengenal jati diri tetap jadi topik yang mendominasi. Dan, satu hal lagi, perjalanan mencari jawaban/jati diri di sini bukan cuma tempelan dan nggak cuma menyentuh permukaan kemudian dibikin puitis dan diromantisasi berlebihan (seperti novel perjalanan yang jamak di masa ini, ehm). Jadinya, lebih 'nendang' gitu pencarian jawaban/jati dirinya.

Jadi, hiking, travelling, agama, quote kehidupan, semuanya dirangkum jadi satu deh di sini!


----------------------

Desember 2013 lalu saya sempat ke salah satu toko buku gede. Di sana saya nemuin buku ini judulnya sudah diganti menjadi 'Altitude 3676'. Covernya pun diganti jadi pemandangan matahari terbit di jalur pendakian ke puncak Semeru.
Reading Time:

Selasa, 30 Oktober 2012

Kakak?
Oktober 30, 20120 Comments


Lampu jalan berwarna kuning memancarkan sinarnya yang keemasan, dipantulkan oleh comberan tepi jalan. Jalanan nampak sepi. Tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Yogyakarta sudah mencapai tengah malam.

Kakinya melangkah menyusuri trotoar, menghindari lubang-lubang becek bekas hujan sore tadi. Tangan dimasukkan ke saku, hood jaket menutupi kepalanya. Ransel di punggungnya berguncang-guncang pelan, searah langkahnya. Di sebuah perempatan, ia menyeberang.

Sekilas tak ada yang aneh darinya. Seseorang yang berjalan tengah malam menembus jantung bekas ibu kota Indonesia. Namun ia tahu, ada yang berbeda.

Aku tak tahu ke mana arah tujuanku.

Kakinya melangkah ke mana hatinya ingin melangkah. Tapi tanpa tujuan pasti.

Karena tujuanku sudah tidak ada.

Segerombolan pria duduk di tepi jalan, bersorak-sorak ramai. Bibir mereka keras meneriakkan nama-nama kartu. Sesekali tangannya mengarah ke atas, lalu dengan cepat melemparkan sebuah kartu remi ke tumpukan kartu di bawahnya. Setumpuk pendek uang diselipkan di bawah kursi. Olala, Las Vegas ada di mana-mana!

Ia melirik sejenak, lalu kembali fokus ke depan. Dalam kondisi normal, ia tak akan tinggal diam. Pasti akan diambilnya kamera dan membidikkan lensanya ke arah mereka. Tapi dalam kondisi seperti ini, rasanya kehilangan kameranya pun ia tak akan peduli.

Meski kamera itu kamera yang setia menemaninya. Meski kamera itu kamera favoritnya, karena tak pernah rewel dan hasilnya selalu memuaskan. Meski kamera itu selalu ikut serta memvisualkan memori yang tersimpan di otaknya.

Rasanya memoriku sudah hilang. Atau mungkin rusak. Sehingga semua yang kutahu tak lebih dari sebuah kesalahan.

Sebuah wajah meloncat keluar dari imajinya. Wajah yang tersenyum dengan rambut agak gondrong. Wajah yang mengaku tak bisa melepaskan diri dari kaos dan jeans belelnya. Yang mengaku tak pernah bisa lepas dari kamera pula.

Jantungnya seakan tercabut keluar saat melihat sosok itu setelah lima tahun. Bukan kejut bahagia yang ia rasakan. Bukan.

Kenapa kakak jadi begini?

Kalimat itu tak sampai hati ia lontarkan. Ia hanya tersenyum, menanyakan kabar, berbasa-basi. Lawan bicaranya pun sama saja. Menanyakan kuliahnya, sudah semester berapa sekarang, menanyakan kondisinya. Formal sekali.

“Meler terus! Kasih minyak kayu putih sana!” hidungnya dipencet.
Padahal pintu pagar baru saja dibuka. Bukan sapa yang dilontarkan, tapi kalimat seperti itu.
“Daripada Kakak! Cukur tuh rambut! Gondrong, kayak kuntilanak!” balasnya.
“Eh, gondrong-gondrong gini banyak yang suka!”
“Yee, tapi aku kan nggak suka!”

Jika dibandingkan dengan lima tahun lalu, orang tak akan menyangka mereka dua orang yang sama yang tersenyum di atas rerumputan Taman Biologi sambil memamerkan kameranya masing-masing. Yang begitu bertemu, pasti ramenya minta ampun sampai yang lain harus menyuruh mereka berdua diam.

“Kamera Kakak, mana?” tanyanya gagu, sekedar untuk memecah hening.
“Oh, aku sudah nggak main kamera lagi.”
Kaget. “Kenapa?” Bukannya Kakak yang dulu ngajarin aku supaya suka kamera?
“Sibuk, nggak banyak waktu buat main lagi.”
“Hari Minggu?”
“Mending dibuat istirahat.
“Selain itu...”

Dan kata-kata yang meluncur selanjutnya dari si lawan bicara membuatnya jatuh ke tanah.

Kata-kata yang, tak bisa ia percaya, keluar dari mulut orang yang sama yang dulu pernah berkata, “Kenapa aku suka motret? Pertama, buat memori. Dua, nambah koleksi. Dan tiga...,” ia menggoyang-goyangkan tangannya, “kamera itu jujur, obyektif. Dia bisa lihat apa yang mata manusia nggak mampu lihat. Atau seenggaknnya, pada akhirnya, menyadarkan manusia kalau penglihatannya salah”.

Dan ia tak suka karena kamera terlalu jujur? Karena kameranya tak menangkap kilat yang ia tangkap setiap melihat’nya’?

“Sesepele itu?”
“Mungkin.”
“Nggak ada alasan lain?”
“Mungkin nggak ada,” jawabnya cepat. “Mungkin juga ada.”

Jawaban yang mengambang. Yang ia tak bisa tebak. Jika orang yang di depannya orang yang sama seperti dulu, pasti ia akan mendapati dirinya mengejar-ngejar jawaban sekarang.

Tapi tidak. Dua sosok itu hanya diam di kursi masing-masing. Yang ingin ditanya menekuri layar komputer, yang ingin bertanya memain-mainkan jarinya. Yang ingin ditanya necis memakai kemeja, dasi, dan sepatu fantofel. Yang ingin bertanya masih memakai kaus, celana jeans, dan sepatu kets. Sama-sama diam.

Sampai ia mengucapkan salam. Pergi. Keluar ruangan.

Dan ia mendapati dirinya termangu di pagar besi sebuah jembatan. Kepala menumpu siku, mata memandangi arus Kali Code dari atas. Menyaksikan riak-riaknya keras terbentur batu-batu besar di tengah sungai.

Dibukanya tas, dikeluarkannya kamera, membidik laju sungai di bawah. Dengan keahliannya memotret, sungai yang aslinya berwarna abu-abu itu terlihat artistik. Hitam arus memantulkan warna langit, semburat oranye membiaskan lampu-lampu jalan.

“Karena kamera membuat yang tampak jadi lebih indah. Lihat ya,” sosok itu memotret sebuah pohon besar di Taman Biologi.
“Waaah,” bibirnya membentuk bulatan ‘o’ sambil memerhatikan gambar yang nampak di layar kamera. Pohon yang tadinya hanya berwarna hijau, sekarang bergradasi. Yang kanan hijau, yang tengah hitam siluet, yang kiri oranye terkena pantulan mentari senja.
“Bagus kan?” sosok itu tersenyum, bangga memamerkan kebenaran katanya.
“Aku mau dong, diajarin motret, Kak!”
“Oke! Kapan aja kamu minta ajarin!”

Betapa berbeda. Betapa berbeda. Betapa tak sama!

“Tapi, itu artinya kamera jujur kan, Kak?”
“Ya, tapi kadang dia bohong juga kan?”
Ia menggeleng tak mengerti.
“Yang jelek jadi kelihatan bagus, asal kita ahli.”
“Berarti bergantung orangnya kan, Kak?”
“Tapi, itu tetap bohong.”

Sebuah alur mengalir di pipinya, masuk ke sela bibir. Asin.

Sosok yang dikenalnya, sudah jadi orang lain. Tidak ada lagi panggilan sayang, tidak ada lagi tangan yang suka mengacak rambutnya. Tidak ada senyum ramah atau mata yang bersinar jenaka. Tak ada lagi semangat yang tampak menyala. Yang ada mata yang memandang penuh ketegasan, bibir yang lurus menampakkan kekakuan. Sarkas.

Ia sudah kehilangan kakaknya.

Aliran di pipinya bertambah deras. Dirogohnya saku, mencari sesuatu sebagai bendungan. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan kotak-kotak berwarna biru.

“Sampai kapan sih kamu mau meler terus?”
“Kakak kan tahu aku alergi dingin!”
“Hei, Lasem kan nggak dingin-dingin amat!”
“Kakak lupa kalau kita tinggal di gunungnya, bukan daerah pantainya?”
“Alasan!” kakaknya merogoh sesuatu dari tas, lalu meletakkan sapu tangan kotak-kotak berwarna biru di atas kepalanya. “Nih, sapu tangan, supaya nggak meler terus!”
---------------------------------------------------------------------------------------------

Kupejamkan mata ini mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah tentang dirimu, tentang mimpiku
Semakin aku mencoba, bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan tolonglah diriku

Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa diriku tanpa dirimu
Apakah di sana kau rindukan aku
Seperti diriku yang s’lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu

Tak bisa aku ingkari engkaulah satu-satunya
Yang bisa membuat jiwaku tak pernah mati, menjadi berarti
Namun kini kau menghilang bagaikan ditelan bumi
Tak pernahkah kau sadari arti cintamu untukku?

(Hampa, Ari Lasso)


-------------------------------------------------------------------------------------------
Monggo dibaca, dipahami, direnungi #eh dan berikan tanggapannya di kotak bawah ini. Mohon saran juga ya. Suwun :)

Reading Time:

Selasa, 07 Agustus 2012

Semeru Masih Nomor Satu
Agustus 07, 20120 Comments

Aku kangen desir pasirnya
Aku kangen biru danaunya
Aku kangen bisik anginnya

Aku rindu gemerisik ilalangnya
Aku rindu pilas kabutnya
Aku rindu putih edelweisnya

Aku kangen Semeru

Aku kangen Semeru
Karena bagiku, dia masih nomor satu :')
Reading Time:

Senin, 09 April 2012

April 09, 20120 Comments
Bagaimana seseorang bisa berarti untuk orang lain?
Dengan membantunya? Memberinya materi? Memberi hadiah-hadiah?
 Nggak.
 Seseorang 'memberitahu' saya, bahwa

kehadiran saja sudah cukup


Kemarin habis lihat dorama, judulnya 'Papa to Musume'. Di situ ada seorang tokoh yang bernama Nakajima. Orang ini workaholic, terobsesi untuk menjadi pegawai yang perfect. Hingga saat ayahnya sakit pun, demi kemajuan perusahaan, dia lebih memilih untuk bekerja daripada menunggui ayahnya.
Atasannya marah, dan menyuruhnya pulang.
Esoknya, Nakajima pergi ke rumah atasan tersebut dan berkata, "Ayah saya sudah lebih baik. Katanya karena kehadiran saya, membuatnya sembuh".

Saat sedih pun, kita tidak perlu dihibur.
Kita tidak perlu diberi uang, untuk membuat kita senang
Oke, diberi materi memang bisa membuat senang
Tapi
Saat seseorang itu melihat kita sedih, 
Lalu dia duduk di samping kita
Bahkan tanpa dia mengatakan apa-apa
Itu sudah cukup kan?
Tanpa dia memberi solusi
Dia hanya mengelus pundak kita
Itu sudah membuat beban kita sedikit-banyak terangkat, bukan?

Mungkin kita tidak menyadari, kehadiran kita berarti banyak bagi orang lain

Tapi bagi 'orang lain' itu, mungkin kehadiran kita bisa meneteskan embun pada dahaganya.

Mungkin, bagi kita hanya datang, itu biasa

Tapi bagi mereka, mungkin itu sebuah pesta

Mungkin


Bahkan jika kita hanya

Sebuah bayangan
Reading Time:

Senin, 26 Maret 2012

Weekend
Maret 26, 20120 Comments
Weekend = ke sekolah (kegiatan SS) = di rumah (nganggur). Tapi alhamdulillah, minggu kemarin ternyata nggak! :D

Ternyata weekend kemarin saya berkesempatan kembali ke Watusemar, Trawas. Karena kekurangan motor, jadilah saya dan Bonita naik bus.

Rute kami ke Trawas dari Surabaya (via Pandaan):
Surabaya --> Terminal Bungurasih, naik bus ke Arah Malang
                  Turun di Terminal Pandaan, naik colt ke arahTrawas
NB: kalau naik colt, jangan di terminalnya ya. Soalnya pasti bakalan lama (itu colt nunggu sampai penuh dulu, baru berangkat). Tunggu aja coltnya di depan terminal, depannya pom bensin.

Nah, karena coltnya cuma sampai di pertigaan Trawas aja, maka kalau mau lanjut ke Trawas harus oper lagi. Opernya ojek. Dan FYI, mulai dari pertigaan itu sampai gang Arcalanang di Trawas yang kami tuju, jalannya kayak roller coaster.

Sampai gang Arcalanang, saya pun lega.

Mulailah kami treking ke Bukit Watusemar. Di sana sampai sore. Setelah matahari kelihatan seperti mau balik ke peraduannya, kami pun turun bukit.

Menuruni jalan tanah dengan seledri di kanan-kiri, pohon-pohon yang menjulang tinggi, guguran daun pinus yang mulai menguning, mendengar suara hewan hutan yang berkerik. 

Ah, entah kenapa jadi galau.

Dan kegalauan itu semakin menjadi saat teman-teman dengan ramainya bernyanyi, memecah kesunyian suci hutan ini.

Apalagi suaranya Pingka, yang tetap bernyanyi meskipun semuanya sudah diam. (Sepurane, Ping :P )

Hingga akhirnya......
Tiba-tiba saya menemukan diri saya sedang berjalan di sebelah si Pingka.

Dan sebuah ide gila terlintas.

Sebelum otak memutuskan syaraf-syaraf motorik untuk menutup mulut saya, mulut saya sudah terlanjur kebuka.

Dan parahnya, syaraf motorik lidah seperti tidak mendengarkan si otak juga.

Sehingga tanpa sadar saya melontarkan kalimat ini pada Pingka,
"Ping, nyanyi yok!"

Jadilah sepanjang jalan kami bernyanyi, teriak-teriak.
Padahal saya adalah tipikal orang yang lebih suka diam saat treking, untuk menyimpan napas supaya tetap kuat berjalan.

Ah, mumpung jalannya turun. Sesekali teriak-teriak di hutan toh nggak apa, suara liar membujuk napas saya tetap kuat.

Hei, teganya kamu merusak kesunyian hutan yang suci ini!, eh, suara saya yang lain, yang sering menemani saya treking.

Peduli amat sama napas, suara asli saya.

Dan saya tetap berteriak-teriak, membiarkan pita suara yang sudah lama tidak pernah dilatih ini bekerja kembali, menghasilkan suara yang serak-serak basah putus.

Entah kenapa, semua jadi kelihatan seperti sinetron.

Sekelompok anak manusia yang dikelilingi alam, nyanyi-nyanyi gila macam film India. Persis bayangan saya tentang drama-drama penguras air mata.

But, truly, I love this. I like this. Seems I miss this.

Waktu saya SD/SMP dulu, saya sering membayangkan betapa senangnya memiliki sekelompok teman yang suka jalan-jalan ke hutan. Yang menyayangi satu sama lain dengan tulus, lalu bernyanyi-nyanyi bersama.

Eh, kesampaian.

Sepanjang jalan saya dan Pingka berhasil menyelesaikan beberapa lagu. Antara lain: Gie, Cahaya Bulan, dan Bagaikan Langit-nya Melly yang saya gilai sejak SD (dan baru tahu judulnya  saat itu)

BAGAIKAN LANGIT - Melly Goeslow

Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium, hangat 'kan untukku


Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium, hangat 'kan untukku


Oh asmara
Yang terindah mewarnai bumi 
Yang kucinta menjanjikan aku 
Terbang ke atas
Ke langit ketujuh, bersamamu


Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium, hangat 'kan untukku


Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium, hangat 'kan untukku


Oh asmara 
Yang terindah mewarnai bumi yang kucinta
Menjanjikan aku terbang ke atas
Ke langit ketujuh, bersamamu


Oh dewi cinta
Sandarkan aku di bahumu
Ada kurasa rindunya hati, teredakan sudah
Hadirmu sayang, tenangkan diriku


Oh asmara
Yang terindah mewarnai bumi
Yang kucinta menjanjikan aku terbang ke atas
Ke langit ketujuh, bersamamu, oh oh...


Oh asmara
Yang terindah mewarnai bumi
Yang kucinta menjanjikan aku terbang ke atas
Ke langit ketujuh, bersamamu, 


Oh dewi cinta
Sandarkan aku di bahumu
Ada kurasa rindunya hati, teredakan sudah
Hadirmu sayang, tenangkan diriku


Oh asmara
Yang terindah mewarnai bumi
Yang kucinta menjanjikan aku terbang ke atas
Ke langit ketujuh, bersamamu 



Senang sekali Pingka mau ngajarin saya lagu itu. Suwun, Ping :D

Dan saat mas Brodin datang dengan HP-nya dan menyetel lagu ini, seakan-akan sepotong kenangan terlempar dari alam bawah sadar.


Menatap lembayung di langit Bali
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai memulang waktu


Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta


Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk


Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan 
Semangatmu itu
Oh jingga


Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta


Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan 
Semangatmu itu
Oh jingga


Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi


Andai ada satu cara
Tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali 


Yup, judulnya Lembayung Bali. Cocok diputar di senja hari. Bareng teman-teman. 

Well, what a day. What a weekend. What a MEMORY :')


Reading Time: