Readability - Hijaubiru

Jumat, 01 Juli 2022

Readability

Sekian lama ngeblog, ternyata topik SEO (Search Engine Optimisation) dalam dunia perbloggingan masih jadi barang yang kurang begitu saya akrabi. Secara teori udah paham, tapi dalam praktiknya ya... gitu, deh, hahahah.


Coba aja perhatikan, berapa keyword yang disisipin di artikel, ada meta-tag atau enggak di gambar yang ditampilin, apa judul header dan subheader udah sama dengan target keyword? Dijamin, hampir nggak ada, wkwkwk. Apalagi, tulisan yang saya bikin kejar deadline atau on-a-whim aja; bukan yang emang direncanakan. So pasti ini praktik SEO-nya nol besar.


Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol virtual dengan seorang kenalan yang juga suka blogging. Bedanya, ini orang udah lebih serius dibanding saya. Blognya udah terdaftar domain TLD (kayak .com, .net, dsb, bukan yang .blogspot atau .wordpress yang gratisan). Karena dia update di medsos, saya tanya-tanya ke dia karena gambaran saya soal per-domain-an ini masih buram.


Obrolan kami mengalir hingga soal SEO. Dia cerita kalau dia nggak terlalu mikirin penulisan dengan SEO. Pertama, karena dia belum terlalu serius dan kedua, udah ada indikator SEO yang built-in di blognya. 


"Hah, kok bisa?"

Ternyata, dia pakai wordpress.com (?). Di sana ada plugin yang otomatis mendeteksi tulisan kita: apa keyword untuk SEO-nya sudah cukup, apa kalimatnya sudah enak dibaca, apa dari tulisan itu yang bisa diperbaiki, dsb.


"Lah, enak bener ada mesin otomatisnya gitu?"

Beneran enak. Apalagi buat penulis atau yang pengin ningkatin skill nulis, jadi terbantu banget. Nggak perlu repot ngoreksi sendiri satu-satu, mengira-ngira mana yang kedengaran nggak enak dsb. Dan, ini kan subjektif sekali. Pun kalau peer review ke teman. Kalau pakai mesin, kan, lebih objektif (meski mesin belum tentu selalu benar juga).


Fasiliitas di atas sayangnya nggak tersedia di blogspot. Akhirnya saya browsing, siapa tahu bisa diinstal manual ke blogspot atau gimana. Ternyata ada beberapa apps/plugin/web yang bisa dipakai dan gratis. Beberapa nggak bisa diinstal ke blogspot, tapi kita bisa copas tulisan ke sana buat dideteksi. Coba aja cari 'readability SEO checker' atau kata semacamnya.


Hal yang bikin saya agak ragu setelah nyoba beberapa website ini adalah: nilai readability-nya pakai skala tulisan berbahasa Inggris. "Emangnya bisa diaplikasikan ke bahasa Indonesia juga?" pikir saya. Kan, tiap bahasa punya standar yang beda. Kalau YOAST SEO atau AIO SEO bisa jadi sudah terintegrasi dengan bahasa Indonesia, tapi kalau web/apps lain yang saya coba tadi, entah. Sebab waktu saya coba masukkan tulisan, beuh, merah semua akibat ditengarai sebagai saltik. Ya iya saltik, lha kan bukan pakai bahasa Inggris. 


Saya pun ngubek-ngubek biar nemu checker yang (kata orang-orang) semantap YOAST atau AIO. 


And that's when something strucked me. 

"Jadi, kamu nulis biar enak dibaca atau biar sesuai SEO aja?"


Penulis atau blogger yang udah malang-melintang udah bisa menggabungkan dua hal ini. Jadi, selain ber-SEO (biar pengunjung/traffic-nya banyak), tulisan mereka juga enak dibaca. Dan, IMO, ini nggak cuma buat blogging atau tulisan yang terbit online aja. Dalam fiksi/nonfiksi pun, poin SEO seperti kalimat yang panjangnya pas/nggak terlalu banyak frasa/dll juga kepakai. Dan, toh, kalau sudah lihai memang enak-enak aja pas dibaca. 


Balik ke tulisan saya: masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, kayak:

  • kalimatnya belum efektif
  • kalimatnya kepanjangan
  • mbulet dalam menyampaikan maksud
  • kurang runut sehingga pembaca kadang bingung ("Lagi bahas apa ini kok loncat-loncat?"
  • terlalu kaku
  • kalau nggak lagi terlalu kaku, ya terlalu santai kayak nulis diary
  • terlalu deskriptif yang detail tapi lupa menyampaikan 'rasa'
  • deskripsinya terlalu visual, belum memakai semua indra
  • hm... apa lagi ya? Tolong tambahin coba, hehehe
  • ...

Nah, ini kan perlu dibenerin dulu. Kualitas tulisan, yang adalah hal terpenting dan paling inti daripada SEO dan 'kemasan' segala macam, harus dibenahi dulu kalau emang mau bikin tulisan yang nyaman dibaca dan mudah dipahami. 


Seperti gambar di bawah ini, saya setuju kalau tulisan itubaik fiksi, nonfiksi, atau post di blogsama dengan musik: ada ritmenya biar enak dibaca. Nah, ini yang harus saya poles sehingga nggak melulu mengandalkan SEO aja. SEO itu baik & bagus, tapi kalau tulisannya acakadul ya tetap nggak bisa membantu; biasanya kalah dengan yang tulisannya bagus sekaligus pakai SEO. 


Belum lagi soal tampilan blog yang masih kurang friendly. Ada kode-kode yang perlu diubah dsb. Belum lagi mempertimbangkan domain TLD kalau emang mau upgrade.


Note to myself, actually. Kapan gw mau benerin tulisan gw dan nggak sekadar nulis/blogging hore-hore aja? *plak






===================


Update: Sept 2023


Dalam postingan yang berjudul “Readability” di atas, saya ngebahas soal tulisan panjang yang terbaca atau mudah ditemukan berdasarkan SEO. Sekarang, yang dibahas adalah tulisan lebih pendek atau bukan tulisan sama sekali, tapi foto. Nggak ngomongin tentang SEO website juga, tapi lebih ke algoritma aplikasi.

 

Kok, kedengarannya teknis banget. Nggak juga, sebenarnya intinya ini: dibaca/enggak.

 

Singkat cerita, udah hampir setahunan ini traffic medsos saya turun drastis. Efeknya terasa tahun lalu, waktu sempat crash. Setelah kejadian itu, traffic nggak setinggi biasanya: turun hampir separuh. Akhir-akhir ini, penurunan ini merembet ke feeds yang turunnya nggak main-main. Secara reach memang masih lumayan (apalagi kalau memperhatikan timing posting), tapi engagement-nya rendah banget. Mudahnya, yang ngasih comment/likes/save kalau ditotal turun hampir 75%. 

 

Awalnya, saya kira ini efek crash tadi. Tapi, kok, lama? Ya sudah mungkin ada yang berubah. Sempat kepikiran jangan-jangan kena shadowbanned atau gimana, tapi kayaknya enggak. Alasan kedua, saya pikir, adalah karena aktivitas followers menurun. Kalau dirunut ke belakang, akun saya memang rame banget justru saat Covid-19 lagi tinggi-tingginya. Mungkin efek orang-orang nyari kesibukan saat terkungkung di rumah aja, jadi mereka beralih ke medsos. Sekarang kegiatan alhamdulillah sudah balik seperti sebelum wabah, jadi mereka juga balik ke aktivitas sehari-hari yang artinya makin sedikit buka medsos (because life’s ‘happening’ again).

 

Toh sebagian besar followers saya emang teman-teman sendiri, yang artinya bukan akun hobi. Karena akun personal, ya, tentu saja bukanya sesuka hati. Kalau akun hobi, meski sama-sama sesuka hati, kadang lebih sering dibuka entah untuk refreshing atau sekadar update info sesama penghobi. Ini juga jadi kemungkinan alasan ketiga kenapa traffic saya rendah: karena akun saya lebih ke akun hobi (yaa meski kadang campur-campur sama personal life juga, hehe). Jadi kalau nggak satu selera dengan hobi saya, ya, nggak akan engage alias cuma lewat aja.

 

Alasan keempat, yang rada mellow dan bikin rada gimanaa gitu, adalah juga karena pandemi. Followers dan following saya memang nambah banyak waktu pandemi. Sekarang, saya jadi kepikiran, jangan-jangan mereka yang nggak muncul lagi ini karena … terkena imbas pandemi? Entah jadi hidup sulit atau, worse, meninggal? Kadang sedih saat tiba-tiba keingat dulu pernah/sering interaksi dengan akun A atau sering lihat fotonya lewat di feeds. Tapi begitu saya cek akunnya, eh, terakhir aktif 1-2 tahun lalu. Are you guys doing okay? Are you guys … still alive? Semoga mereka cuma sedang sibuk dengan kehidupan dan nggak aktif medsos aja.

 

Alasan kelima, yang paling mungkin dan pasti di antara alasan lainnya karena confirmed by IG, berhubungan dengan SEO dan readability. Belakangan beredar info bahwa algoritma IG berubah lagi. Kalau dulu hal seperti timing, tagar, dan likes menjadi faktor, maka sekarang balik ke konten. Mudahnya, kalau konten itu banyak yang suka/engage, ya bisa naik. Nggak terlalu tergantung faktor-faktor sebelumnya. Ini sedikit berhubungan dengan alasan ketiga: bahwa ini bukan akun khusus hobi alias followers-nya banyakan temannya daripada yang sehobi. Karena teman, kan, belum tentu sehobi sama saya. Jadi feed yang saya unggah pun besar kemungkinan ‘cuma lewat’ karena mereka nggak tertarik. Karena sedikit yang tertarik, maka IG pun menurunkan traffic kemunculannya di laman orang lain (PS: cara main IG adalah konten makin naik kalau yang tertarik/engage/visit makin banyak, dan sebaliknya).

 

Makanya kalau dilihat-lihat, akun yang ‘satu selera’/satu niche/satu hobi suka berbalas likes atau komentar ya supaya traffic-nya saling naik. Dan kalau nggak salah ngelihat, yang begini ini lebih efektif kalau ada dalam satu komunitas karena akan lebih ramai dan terdeteksi. Nah, akun saya kan nggak ikut komunitas apa-apa di IG, hehe. Paling kalau lagi ikut acara apa gitu terus tag-tag-an, tapi setelah itu ya sudah. Bukan tipe yang sering aktif upload dsb. 

 

Ini sedikit berhubungan sama readability/SEO di blog.

 

Waktu ngebahas soal readability itu, saya juga mikir gimana caranya masukin kata kunci atau bikin tulisan yang SEO-friendly supaya lebih banyak yang baca. Di kasus akun IG ini, saya juga melakukan hal yang sama: gimana caranya supaya postingan bisa naik dengan merhatiin tagar, timing, dsb. Akhirnya apa? Satu, jadi nggak enjoy. Padahal saya bikin ginian niat awalnya buat hobi (dan melatih skill hobi tsb) supaya hidup lebih hepi. Kedua, saya jadi berkutat dengan teknis dan melupakan kualitas isi/kontennya sendiri. Tentu kualitas versi growth saya yak, bukan standar media.

 

Endingnya sama: sama-sama bikin semangat berkurang.

Berasa, "Udah susah-susah nulis/motret, yang berkunjung/engage cuma segini."

Jadi nggak semangat kalau nggak dapat respons sesuai ekspektasi.

 

Ini mirip dengan kejadian yang konon katanya menimpa banyak penulis ketika memutuskan melepas karyanya ke khalayak: jadi patah semangat kalau yang likes/comment sedikit, jadi minder ketika yang suka tulisannya ternyata nggak banyak. Saya kira ini cuma terjadi pada penulis. Oh, ternyata juga bisa menjangkiti penghobi fotografi, haha. (*ambil cermin)

 

Well, kalau buat tulisan di blog, karena emang saya niatkan buat nulis-nulis aja, maka saya nggak masang ekspektasi tinggi meski ini blog lama. Sebab, kalau dilihat dari traffic ya segitu-segitu aja. Tentu kalah dengan website yang benar-benar diopeni, apalagi kalau sampai pasang iklan. Terus kalau di IG apakah bukan buat ‘nulis-nulis/foto-foto aja’? Ya enggak juga, sih, wong akun saya nggak dimonetisasi. Hanya aja, mungkin, karena sebelumnya sempat ngerasain traffic tinggi, jadinya rada kecewa saat dapat traffic rendah.

 

Padahal kalau dipikir-pikir, dulu juga traffic-nya segini-segini aja. At least buat story. Kalau buat feeds, mungkin dulu bisa tinggi karena faktor yang udah disebutin di atas plus dulu belum ada story, kan, jadi probabilitas dilihat lebih besar.

 

Faktor terakhir, yang bikin saya kepikiran adalah: jangan-jangan selama ini saya yang kurang engage sama akun teman-teman/followers? Alias isi IG saya kurang relate sama teman-teman. Kemungkinan lain adalah mungkin saya ‘asyik sendiri’ ngulik sesuatu tapi secara komunikasi kurang melibatkan? Bisa jadi. Akibatnya respons alias timbal balik dari viewers pun nggak banyak.

 

Apalagi belakangan ini saya emang jarang explore medsos dan saling mengunjungi karena lagi bosan, sehingga akhirnya cuma ngebuka foto yang emang lagi bikin tertarik aja.

 

Apa pun itu, output-nya sama: jadi malas nulis/foto, wkwk. Padahal seperti yang dibilang tadi, itu merupakan sarana refreshing dan mengurai pikiran supaya enjoy. Jadi gimana, dong? Kalau di blog, nggak akan berubah karena yo wes emang buat nulis apa pun. Kalau di IG, mungkin akhirnya saya bakal meniru blog: tulis dan unggah yang saya pengin di saat yang saya pengin tanpa terlalu memperhatikan traffic. Paling enggak dengan begitu saya jadi senang dan lebih enteng karena—seperti di blog—bisa menuangkan apa yang saya mau. Soal traffic, ya udahlah apa adanya. Toh dulu niat bikin IG juga bukan supaya dapat likes banyak, tapi buat album.

 

If I cannot make people enjoy it, at least I can enjoy it myself.

Kalau nggak bisa memuaskan orang lain, paling nggak saya sebagai pembuatnya bisa ngerasa puas.

 

Lagian ini hobi. Apa tetap disebut hobi kalau nggak enjoy, padahal hobi sendiri berarti “kegemaran”?

 

I’ll start a new path, then.

 

Ngapain, sih, nulis kayak gini? Toh SEO/algoritma juga nggak begitu paham, medsos pun bukan buat keperluan (amat) profesional. Ya… apa ya, buat mengurai pikiran aja. Sekaligus sebagai pengingat kalau misal di masa depan nanti saya frustasi dengan traffic, minat orang lain, dan sejenisnya, saya bisa mengingat kalau saya nulis/motret sebagai pelampiasan supaya nggak banyak pikiran, bukan supaya menambah beban pikiran.

 


2 komentar:

  1. Ternyata sedikit beda, ya, antara SEO dengan prinsip penulisan tradisional. Kalau dulu diajari, satu paragraf satu topik bahasan, pakai mesin SEO malah disuruh dipecah jadi beberapa paragraf. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ada juga yang begitu :D Macam-macam rupanya

      Hapus