Hijaubiru

Kamis, 04 November 2021

Review: Aroma Karsa
November 04, 2021 6 Comments

 


Penulis : Dewi Lestari (Dee)

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2018 (cetakan 1), 2021 (cetakan 7)

Tebal: 702 halaman

Ukuran: ±13,5 x 19,5 cm


==============================

Index (click to jump to section):

==============================


Novel ini diawali dengan cerita salah satu tokoh utama, Raras Prayagung, ketika remaja. Raras dekat dengan sang nenek, Janirah, yang suka mendongenginya. Saat akan meninggal, Janirah membuka satu rahasia besar: Puspa Karsa yang selama ini ia dongengkan itu betulan ada. Kembang inilah yang mengubah kehidupan Janirah dari anak seorang abdi dalem keraton Yogya menjadi CEO perusahaan top di Indonesia. Janirah juga memberi Raras satu misi penting yaitu menemukan Puspa Karsa yang asli; yang hanya bisa ‘dibaui’ lewat ‘aromanya’.

 

Cerita berputar haluan dan membuka bab tentang Jati, pemuda yang tumbuh besar di TPU Bantar Gebang. Hidung Jati ini luar biasa. Dia bisa membaui aroma-aroma spesifik dan membedahnya satu-satu hingga terperinci. Saking hebatnya, Jati bisa menemukan mayat usia beberapa hari yang sudah terpendam dalam bukit sampah TPU hanya dengan membedakan baunya (padahal kalau kita ya bau sampah ya bau aja, mana bisa bedain satu-satu, ya nggak?). Karena itulah Jati dijuluki ‘Si Hidung Tikus’.

 

Satu peristiwa mengantar Jati bertemu Raras dan menjadikannya karyawan di perusahaan wanita itu. Ketika peristiwa ini terjadi, Raras sudah bukan remaja lagi. Ia sudah jadi wanita berusia menjelang senja sekaligus lumpuh separuh badan. Raras juga sudah jadi CEO Kemara (perusahaan warisan Janirah) dan ibu dari satu anak seumuran Jati, Tanaya Suma.

 

Pengangkatan Jati menjadi karyawan dan perlakuan khusus Raras padanya membuat Suma tak menyukai pemuda tegap itu. Meski keduanya punya kemampuan olfaktori yang sama hebat, banyak cekcok di antara mereka sebab Suma menganggap hanya dirinyalah yang mampu menemukan Puspa Karsa. Suma makin sebal saat Arya, kekasih Suma, justru seperti membela pemuda itu.

 

Bab-bab selanjutnya diisi dengan persiapan keberangkatan ekspedisi mencari Puspa Karsa ke Gunung Lawu, Jawa Timur. Mengumpulkan personel, penjabaran bukti arkeologi, sekaligus ‘membuka’ satu per satu misteri yang menyelubungi Puspa Karsa. Siapa sangka bahwa ternyata ia lebih dari sekadar bunga langka, tapi juga penghubung kisah-kisah hidup orang-orang yang terlibat dalam ekspedisi?

 

Bahwa masa lalu dan orang tua Jati ternyata seperti itu. Bahwa kehebatan indra penciuman Jati dan Suma ternyata karena itu. Bahwa ada selimut-selimut rahasia dan masa lalu, bahkan sejak era kerajaan, yang membungkus Puspa Karsa dan membelit perjalanan hidup orang-orang yang mencarinya. 

 

==============================

 

Waktu buku ini terbit, jujur nggak ada keinginan buat beli/baca karena mikir, “Oh, paling mirip sama serial Supernova”. Tapi nggak tahu deh, akhir-akhir ini kayaknya adaaa aja post tentang Aroma Karsa yang berseliweran. Entah ngomongin ceritanya yang memikat, risetnya yang dalem banget, atau penulisannya yang detail tapi tetap bisa bikin enjoy pas dibaca. Etc etc.

 

Akhirnya saya goyah juga, hahaha. Padahal kalau dipikir-pikir, serial Supernova (dan karya-karya Dee lain yg pernah saya baca) pun memikat, risetnya dalam, dan detail, tapi asik dibaca. Mungkin, yang bikin saya goyah adalah perbedaan universe antara keduanya. Saya penasaran gimana Dee mengawinkan dunia nyata ala kita dengan mitos kuno yang kemudian dibumbui dunia fantasi.

 

“Lah kan fantasi, mirip kayak Supernova?”

Beda.

Bila universe Supernova dibangun atas desain imajinasi penulis + berbagai folklore/kepercayaan di dunia, maka semesta fantasi Aroma Karsa punya titik berat berupa cerita rakyat/mitos sebagai salah satu fondasinya.

 

Dalam serial Supernova memang ada sisipan cerita rakyat, mitos, dan fakta ilmiah, seperti legenda suku Batak, ayahuasca, jamur psilocybe, dll. Namun, detail-detail itu bukan ‘fondasi utama’ dunia fantasi Asko; pelengkap detail aja. Nah, di Aroma Karsa, mitos-mitos itu termasuk salah satu fondasi utama dunia fantasinya. Mitos awal mula orang Jawa, mistisisme Gunung Lawu, dan cerita salah seorang raja yang ‘ngilang’ di Lawu turut membangun universe/semesta fantasi di dalamnya.

 

Sederhananya, kalau mitos/cerita rakyat ini dihilangkan atau diganti, maka dunia fantasi Aroma Karsa nggak bakal ada dan cerita akan berubah signifikan.

 

Dee menghubungkan benang merah antara mitos dan cerita rakyat masyarakat Jawa dengan dunia imajinasinya. Kisah-kisah ini misalnya:

-     Gunung Lawu yang mistis:

kenyataannya emang mistis, hehe. Teman-teman yang ‘bisa ngelihat’ bilang emang terasa banget. Lawu masih jadi jujugan orang-orang melakukan ritual doa dan ziarah sampai sekarang. Dulu waktu naik Lawu sering papasan dengan peziarah, padahal naiknya di hari biasa. Apalagi kalau hari istimewa macam Malam Satu Suro.

-     Mahisa Guning yang bersembunyi di Lawu:

Diceritakan kalau raja satu ini lenyap dan nggak dicatat dalam sejarah karena suatu sebab. Beliau kemudian minggir ke Lawu bersama orang-orangnya dan mendirikan perkampungan tersembunyi.

Cerita ini agak mirip dengan kisah Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. Menjelang keruntuhan Majapahit, Brawijaya dan orang-orangnya juga menyepi ke Gunung Lawu kemudian moksa (meninggal dan menghilang) di Hargo Dalem, salah satu puncak Lawu. Ada sebuah bangunan di Hargo Dalem yang biasa digunakan peziarah untuk sowan. Tapi, Mahisa Guning bukan Brawijaya; ia sepenuhnya tokoh fiktif.

-     Gagak hitam di Lawu:

Emang ada. Pernah lihat waktu hiking. Konon, mereka adalah penunjuk arah ke rute yang benar. Dalam sejarah, salah satu pengikut Brawijaya V ada yang bernama Kyai Jalak. Kalau di Aroma Karsa,  diceritakan bahwa gagak hitam ini adalah jelmaan warga Dwarapala.

 

Dari segi penceritaan, sejak dulu Dee udah ngalir banget. Jadi enjoy banget dibaca. Tiap bab selalu bikin tambah penasaran meski di tiap bab itu juga Dee ngasih petunjuk sedikit demi sedikit. Ya ini yang bikin nggak kerasa, pengin lanjut baca terus sampai nggak sadar udah baca berbab-bab, hehe. Aroma Karsa inilah yang ‘berhasil’ bikin saya ngabisin 500+ halaman dalam sehari lagi, kayak dulu waktu masih getol ngelahap buku (sekarang pace-nya udah berkurang huhu).

 

Aroma Karsa ini misterinya banyak. Namun, Dee juga adil dengan membuka keping demi keping pelan-pelan. Jadi, rahasianya nggak ujug-ujug terbongkar. Di halaman-halaman akhir memang dijelaskan semua, tapi pertandanya sudah diberi di bab-bab depan sehingga pembaca nggak kaget dan terjejali informasi. Jadi lebih ke ngerasa, “Ooh ternyata gini toh. Pantesan di halaman x dia kayak gini”.


Semua misteri di sini juga saling terhubung benang merah dan ending misterinya plot twist banget. Semacam 'kirain gini, ternyata sebetulnya gitu' dan ini haluuus banget 'penyamarannya'. Jadi sebagai pembaca ngerasa kecele, tapi kecele yang asik dan justru enjoy karena emang itu daya tariknya. 


Backstory tokoh-tokohnya juga keren. Lengkap dan menariknya bisa ditarik benang merah yang berkelindan di antara takdir-takdir mereka. Ini menarik karena banyak novel yang lebih fokus ke plot dan alur di masa depan (yang menuju ending) daripada masa lalu dan background story tokoh-tokohnya.

 

Oh ya, meski setting lokasinya banyak di Jabodetabek, aroma Jawa di novel ini kerasa banget. Mulai dari pemilihan nama tokoh sampai penjelasan setting dan detail-detail lain. Satu hal yang saya suka adalah nama Raras, Suma, dan Arya yang ‘Jawa banget’ tapi lux.

Kenapa, kan cuma nama doang?

Tiga orang ini tokoh utama sekaligus orang-orang dengan strata sosial high class. Raras bahkan CEO, yang artinya Suma adalah calon CEO. Sering, penulis ngasih nama ala Barat buat tokoh-tokoh kayak gini. Mulai dari yang umum macam Alexander sampai nama Barat yang dibuat-buat sendiri (dan susah dilafalkan) dengan nempelin banyak huruf e, h, x, atau y.  

 

Satu hal yang menurut saya bikin Aroma Karsa agak beda dengan novel-novel Dee yang lain adalah penggunaan katanya. Di sini, banyak kosakata bahasa Indonesia yang nggak umum dipakai. Antara lain: saru (kirain ini bahasa Jawa, ternyata udah masuk KBBI), mencureng (ini juga), gegep, menjeluak, membalam, dsb. Jadi nambah kosakata juga buat pembaca.

 

“Wah, kudu buka kamus, dong?”

Enggak. Bagusnya, Dee meramu kata-kata yang asing didengar itu sedemikian rupa sehingga dengan ngerti konteksnya aja kita bisa paham apa maksud/arti kata itu. Mirip-miriplah kayak kalau kita baca teks berbahasa Inggris terus nggak tahu artinya tapi tetap lanjut baca kemudian tetap paham maksudnya apa. Istilahnya ‘context clues’.

 

Context clues ini juga berlaku waktu Dee menulis soal dunia bebauan dan parfum (karena Jati kerja di toko parfum dan salah satu produk Kemara adalah parfum). Banyak istilah soal aroma, perfumery, bahkan kompos dan sampah yang dideskripsikan. Tapi saya sebagai pembaca tetap ngerasa ceritanya ngalir aja, nggak kayak baca laporan.

 

Namun, penjelasan-penjelasan itu emang bisa jadi bumerang tersendiri kalau tekniknya nggak pas atau porsinya kebanyakan. Ini saya temukan juga di Aroma Karsa.

 

Mungkin untuk menekankan suasana dan tema, jadi banyak paragraf tentang aroma. Tapi … banyak banget dan paragrafnya panjang. Deskripsi satu aroma disebutkan rinci satu per satu penyusunnya. Not atas, tengah, akhir, ditulis berkali-kali untuk aroma yang berbeda.

 

Awalnya memang asik. Terasa banget tema olfaktorinya plus nambah pengetahuan juga soal beberapa komponen penyusun aroma tertentu. Dan, tujuannya bagus yaitu supaya pembaca bisa ngebayangin wanginya. Namun lama-kelamaan jadi agak jemu. Berasa disebut-sebut terus. Akhirnya beberapa paragraf yang seperti ini saya baca skimming aja.

 

Selain itu, ada kosakata ilmiah yang diulang-ulang. Terutama kata yang berhubungan dengan ilmu Kimia (ya karena ngebahas bau-bauan). Keton, benzen, dsb. Buat orang yang nggak familiar dengan istilah ini tapi kerap dimunculkan, jadinya monoton. Saya yang paham dan emang sering berkutat sama Kimia aja ngerasa bosan.

 

Hal lain yang bikin saya kurang sreg dengan Aroma Karsa adalah pace-nya. Entah ya, meski ceritanya tetap ngalir, tapi serasa ngalirnya lambat. Berasa beda aja sama serial Supernova atau Perahu Kertas yang timing-nya terasa pas.

 

Dua per tiga bagian novel menceritakan soal perfumery, persiapan, pertentangan anggota (terutama Jati dan Suma), backstory, dsb. Sampai ngebatin, ini ekspedisinya kapan? Nyari Puspa Karsanya kapan?  Di sepertiga akhir, barulah masuk ke bab-bab petualangan di lapangan. Awalnya, saya kira titik beratnya adalah di pencarian Puspa Karsa a.k.a ekspedisinya.

 

Selain plot yang relatif lebih lambat, eksekusi turning point-nya juga lebih pelan. Sederhananya, adegan ‘jeng-jeng-jeng’nya (istilahnya yang bener apa yak, wkwk) kurang memicu adrenalin. Kalau di Supernova, jeng-jeng-jengnya bisa sampai bikin deg-degan dan ngejerit dalam hati, “OMG!!! Ternyata giniii!”. Di Aroma Karsa ini serasa pembaca dibuat lebih sabar dan menahan emosi meski ada rahasia besar yang terungkap, hehe. Kayak ada perasaan yang ditekan gitu.


Termasuk saat rahasia dan keberadaan Puspa Karsa ‘terbuka’. Tetap tegang, tetap mencekam, tapi nggak sampai bikin spaneng.

 

Kalau soal ending, ini relatif. Menurut saya cukup memuaskan karena semua misteri akhirnya terbuka jelas. Episode Puspa Karsa dan tokoh-tokoh yang terlibat pun sudah ‘selesai’. Yang agak janggal mungkin soal nasib Raras yang berasa, “Hah, gitu aja?” padahal dia salah satu tokoh sentral.

 

Hal yang kurang memuaskan mungkin adalah tipe endingnya. Saya penyuka segala ending, tapi yang satu ini rasa-rasanya bukan tipe gantung atau open ending. Kayak ada satu episode yang belum selesai; ada satu pertanyaan sangat penting yang emang baru muncul di ending dan belum terjawab.

 

Jadi bukan ending gantung yang sudah selesai, tapi gantung yang memang belum ada penyelesaiannya. Jelas tapi belum tuntas. Mungkin ada niat mau dibuat sekuel atau supaya mudah kalau mau lanjut sekuel, nggak tahu juga.

 

Itu hal-hal yang cuma kurang sreg. Tapi, apa ada hal-hal yang nggak disukai di Aroma Karsa?

Ada.

Satu hal doang, sih. Hal yang sebetulnya memang penting buat plot cerita, tapi saya nggak nyaman.

 

Hal itu adalah

~SPOILER STARTS here~

hubungan Jati dan Suma. Dari awal saya udah feeling kalau dua orang ini akan bersama. No problem. Yang jadi masalah adalah ternyata Suma waktu itu masih punya kekasih, Arya. Belum putus.

 

Hubungan Suma-Arya yang childhood friends turned to lovers ini baik-baik aja dan Arya orangnya juga baik. Bahkan dia suka belain Jati waktu Suma benci setengah mati. Laki-laki ini juga ngingetin Suma supaya berpikir jernih dan nggak segitunya benci sama Jati.

 

Sejak tahu Suma punya pacar, saya makin was-was. Kenapa?

 

Kita tahu ini memang novel untuk orang dewasa. Dan, temanya adalah indra penciuman. Jati bahkan bisa mencium perubahan hormon seseorang. Dalam hubungan asmara, ada satu hormon yang paling berefek: feromon. Feromon adalah hormon kawin.

 

Dan, yang jelas bisa mendeteksi aromanya adalah Jati dan Suma. Padahal, posisi Suma udah punya pasangan. Kalau udah putus mah nggak apa.

 

Hewan-hewan biasa menguarkan feromon saat sudah musim kawin untuk menarik hewan lain sebagai pasangannya. Manusia, meski punya akal, juga punya hormon ini. Apa jadinya kalau Jati dan Suma sama-sama bisa mengidentifikasi aroma tubuh dan feromon masing-masing? Ya, intercourse.

 

Mereka melakukan ‘itu’ bukan semata karena pengaruh feromon, sih. It was stated that they have a deeper connection than that. Diceritakan kalau mereka saling tertarik karena punya kemampuan penciuman yang mirip sehingga mereka saling mengerti. Juga karena cerita masa lalu yang ternyata berhubungan erat, trauma olfaktori, dsb. Semacam match made in myth gitu lah.

 

Arya, betapa pun pengertiannya, nggak punya kemampuan olfaktori ini sehingga dia kurang connect dengan Suma dibandingkan Suma dengan Jati, meski lelaki ini sudah sangat pengertian dan suportif. Padahal, dulunya Arya adalah sahabat Suma. Tapi, ditikung orang-orang yang ia percayai.

(So sad… I'm with you, Arya )

 

"Namanya jodoh, kan, nggak ada yang tahu."

 

Tapi tetap aja itu selingkuh. Meski akhirnya Suma terus terang ke Arya, lalu Arya merelakan, rasanya … hmmm. Berasa gemas pengin bilang, “Suma, kamu kok gini, sih?!” Jati juga. Udah tahu Suma punya pasangan, tapi kenapa dia membuka celah duluan? Arya bahkan termasuk salah satu orang yang pertama bantuin kamu!

 

Seenggaknya Suma putus dulu lah biar Arya nggak dikhianati. Atau mereka tahan diri apa gimana. Kasihan sama Arya. Serius. Kebayang sosok Arya yang lunglai begitu tahu soal mereka berdua tapi berusaha tegar dan ikhlas melepaskan. 

 

Cinta memang butuh pengorbanan. Dan kadang, berkorban itu sakit. Tapi berkorban karena dikhianati rasanya lebih menyakitkan.

 

Penggambaran adegan intim Jati dan Suma memang nggak digambarkan secara vulgar. Yes, ada kalimat yang menjurus ke bahasa dewasa. Kalimat/paragraf ini nggak deskriptif harfiah, tapi dibalut metafora. Beberapa reviewer lain menyebutnya sensual. Namun ini nggak dipanjang-panjangkan; ‘seperlunya’ aja. Beberapa untuk menekankan betapa erat keterkaitan bakat olfaktori Jati-Suma hingga mereka punya deeper connection.

~SPOILER ENDS here~   

 

Ada satu hal menarik. Pasangan yang saling menyukai bau pasangannya (bau alami yak, bukan parfum dsb) bisa memiliki anak dengan ketahanan imun yang lebih tinggi. Ini betulan. Ada penelitiannya juga. Mungkin karena unsur kimiawi tubuh mereka emang cocok, jadi kalau punya anak maka kualitas/ketahanan hidupnya lebih baik karena ortunya chemically klop.

 

Over all, Aroma Karsa sangat bagus. Plotnya apik, ngalir, bahasanya praktis tapi puitis. Terlepas dari beberapa hal yang personally saya rasa belum tuntas, misteri dan rahasianya sudah diterangkan jelas. Buat penghobi baca, bisa lah dibaca selesai dalam sekali duduk karena isinya hypnotic.

 

==============================

 

Review novelnya sendiri udah selesai sampai di atas. Tapi ada beberapa hal yang saya pengin highlight dan bahas lebih lanjut. Nggak terlalu berhubungan dengan novelnya, kok, jadi mangga kalau mau skip.

 

Hal itu adalah … jeng-jeng! Tumbuhan yang muncul di novel dan wujud Puspa Karsa.

 

1. MANISREJO

Nama tumbuhan ini berkali-kali disebut saat rombongan sudah memulai ekspedisi di Gunung Lawu. Diceritakan bahwa buahnya yang bulat kecil berwarna ungu bisa menambah energi warga Desa Dwarapala jadi berkali lipat kemampuan manusia.

 

Apa tumbuhan ini beneran ada?

Iya.

 


Di kalangan pendaki, tumbuhan ini dikenal dengan nama ‘cantigi’. Cantigi gunung lebih tepatnya. Saya baru tahu kalau cantigi punya nama lain ‘manisrejo’, yang merupakan nama lokal/nama Jawanya.

 

Deskripsi bentuk buahnya sama seperti di novel. Buah cantigi juga aman dimakan manusia (edible). Cantigi bisa jadi salah satu makanan survival kalau-kalau nyasar di gunung. Tapi setahu saya cantigi baru ada di ketinggian tertentu, biasanya kalau udah tinggi banget dan di hamparan, bukan di tengah hutan. Di Lawu, apalagi puncaknya, emang banyak semak cantigi.

 

Fun fact! Cantigi masih satu keluarga dengan blueberry.

Iya, blueberry yang itu, yang dijual umum dan banyak dibudidayakan di luar negeri. Keduanya berasal dari satu genus, Vaccinium. Ada beberapa spesies cantigi di Indonesia, yang paling umum adalah cantigi ungu (Vaccinium variengiaefolium). Sementara itu, blueberry adalah Vaccinium sect. Cyanococcus.

 

Selain berkerabat dengan blueberry, manisrejo/cantigi juga masih punya hubungan keluarga dengan cranberry, huckleberry, dan beberapa beri lain. Semuanya berbentuk bulat dan punya bunga seperti lonceng. Namun, yang jelas nggak ada hubungan dengan strawberry.

 

(Btw, buah dewandaru juga beneran ada. Dulu pernah punya tanamannya tapi nggak pernah berbuah, huft )




 

2. PUSPA KARSA

Sedari awal sudah ditengarai para tokoh bahwa bunga ini termasuk jenis anggrek. Di salah satu bab—entah keberapa—Iwan (ahli botani personel ekspedisi) berujar bahwa kemungkinan jenisnya (genus) Utricularia atau Gastrodia. Iwan bahkan menambahkan kemungkinan anggrek baru ini diberi nama Utricularia satyanae atau Gastrodia satyanae.

 

Apakah Utricularia satyanae atau Gastrodia satyanae beneran ada?

 

Awalnya, saya kira beneran ada. Sampai googling nama-nama ini buat memastikan gara-gara penasaran bentuknya seperti apa. Tapi ... nihil. Adanya ya, hanya di page-page yang ngebahas Aroma Karsa.

 

Sampai kemudian saya sadar: nama lengkap Iwan adalah Iwan Setyawan. Artinya, nama satyanae diambil dari nama belakangnya. Gastrodia satyanae dinamakan demikian karena ‘penemunya’ adalah Iwan dalam novel.

 

Ya pantes aja nggak nemu-nemu, lha wong emang rekaan!  Wkwkwk. Tumbuhannya nggak beneran ada.

 

Pencarian dengan kata kunci yang sama membawa ke page lain yang menceritakan soal anggrek-anggrek Gastrodia. Belakangan disebutkan kalau ada ‘anggrek hantu’ dari genus ini yang punya beberapa kemiripan dengan deskripsi Puspa Karsa. Anggrek hantu ini punya nama resmi Gastrodia bambu.

 



Gastrodia bambu ditemukan di Jawa, tepatnya di area Turgo di Gunung Merapi, Yogyakarta. Disebut ‘anggrek hantu’ bukan karena bentuknya kayak hantu (bentuknya kayak bunga biasa malah), melainkan karena tumbuh di tempat yang gelap; di sela-sela seresah daun bambu. Bentuknya nggak seperti anggrek pada umumnya yang besar-besar, cantik, dan warna-warni. Anggrek ini berukuran agak kecil (±1,7-2 cm) dan warnanya kurang menarik, yaitu coklat yang mirip tanah basah.

 

“… Nyala obor di tangan Jati memberi penerangan bagi organisme berbentuk bunga yang ukurannya sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar. Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai tengkorak. Terjulur labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna dan tekstur kelopaknya mirip daging busuk. ...”


Puspa Karsa punya beberapa kemiripan dengan Gastrodia bambu, antara lain:

-     Sama-sama nggak punya daun seperti anggrek pada umumnya, tapi mereka tersambung langsung dengan jaringan fungi yang disebut mikoriza. Mikorizalah yang memberi mereka nutrisi karena si anggrek tak punya klorofil (zat hijau daun) untuk ‘memasak’ makanan

Makanya, Iwan menyebut Puspa Karsa aklorofilik (tak punya klorofil) dan holomikotrofik (tergantung jamur—myco)

-     Bila bau Puspa Karsa seperti bangkai, maka Gastrodia bambu punya aroma ikan busuk

-     Warna keduanya mirip, yaitu coklat yang nggak cantik (daging busuk warnanya agak coklat-coklat gimana gitu bukan sih?)

 

Bedanya ya, banyak juga. Bila anggrek hantu ukurannya mungil, maka Puspa Karsa berukuran sebesar kepala manusia. Bentuknya juga mirip tengkorak, sedangkan anggrek hantu punya wujud lebih abstrak: seperti bunga setengah kuncup tapi setengah mekar. Seperti lonceng (bell-shaped flower) tapi bukan lonceng juga.


( Info lebih lanjut tentang anggrek hantu Gastrodia bambu bisa dibaca di

https://www.biotaxa.org/Phytotaxa/article/view/phytotaxa.317.3.5. Ada PDF-nya juga. Gratis. )

 

Mungkin Dee terinspirasi dari anggrek ini?


Saya ngebayangin wujud Puspa Karsa ini seperti gabungan seed pod (wadah biji) kembang snapdragon (bentuknya kayak tengkorak) yang terbentuk dari helaian mahkota dan punya kelopak di sekitarnya. Soal “dua mahkota” dalam novel ini masih bikin saya belum bisa bayangin bentuk imajinasi Dee seperti apa.



“Jadi gini 'aja' penampakan Puspa Karsa?”

Hohoho, jangan tertipu, Saudara! Deskripsi di atas cuma wujud fisik dan salah satu bentuknya aja. Di novel, dijelaskan kalau ‘bentuk’ Puspa Karsa ini lebih kompleks daripada itu. Nyambung ke mitos dan hikayat lainnya.

 

Maka biar jelas, ya, baca aja novelnya. Hehehe. 

  

 

 

Reading Time:

Sabtu, 02 Oktober 2021

Buku dan Film: antara Sekuel dan Layar Lebar
Oktober 02, 20210 Comments





Film: sekuel atau enggak? 

Makin ke sini, rasanya makin banyak film yang dibikinkan lanjutannya padahal sebelumnya nggak ada rencana. Biasanya film yang memang bagus atau disukai banyak orang. Aji mumpung, mumpung laku, siapa tahu kalau ada lanjutannya juga laku, kan? Nggak apa-apa sih, ASAL bagus. 

Masalahnya tuh, ada beberapa film (dan buku) yang awalnya bagus, terus waktu dibikin lanjutannya malah jadi zonk. Kan kecewa ya... Apalagi penggemar setianya. Tahu gitu nggak usah dibikin sekuel sama sekali.

====================================
Buku: sekuel atau enggak? Angkat ke film atau enggak?

Jujur sih, waktu lagi pengin nulis ini, sebenernya saya terpantik gara-gara ada satu novel favorit yang kemudian dibikin sekuelnya. Kecewa? Iya. Karena novel itu sudah selesai dengan paripurna dan sempurna. Nggak ada cerita lanjutannya dan memang nggak ada yang perlu dilanjutkan. Saya ngikutin proses sang penulis saat menyusun buku itu dan nggak ada arah ke sana sama sekali.

Memang sudah selesai.

Bahkan, endingnya aja sebetulnya agak aneh karena terkesan diada-adain atau dijelas-jelasin, seakan pengin negesin kalau ini lho tokoh utamanya udah nggak papa, beneran deh! Untungnya ending yang rada aneh ini cuma 1-2 halaman aja (ada sih novel yang ngasih glimpse ke kehidupan tokohnya waktu konflik udah selesai/udah bahagia, cuma, eksekusi di novel ini berasa kurang smooth). Selain poin itu, dari intro sampai menjelang ending sebetulnya isinya bagus. 

Yang bikin kecewa lagi adalah ketika buku ini difilmkan. Kejadiannya udah lama sih, bertahun-tahun lalu. Saya udah feeling harusnya nggak usah nonton. Tapi toh karena penasaran, pergi juga ke bioskop. Then, what? Ya bener, nyesel.

"Lho katanya isi bukunya bagus? Kok nonton filmnya nyesel?"

Isi bukunya emang bagus. Serius. Salah satu buku favorit saya. Berulang kali saya baca dan bahkan jadi 'acuan' nulis fiksi. Tapi, rasa-rasanya bukan buku yang cocok buat difilmkan. Bukan karena eksekusinya kurang bombastis kayak Harry Potter ketika difilmkan, bukan! Namun, lebih karena alurnya.

Saya rasa, film yang menarik itu harus alurnya yang memang menarik atau eksekusinya yang menarik. Biasanya buat yang kedua, ide ceritanya emang biasa-biasa aja. Misalnya? Film-filmnya Marvel. Plotnya kan simpel: ada orang jahat atau membahayakan bumi, lalu dibasmi dengan bertengkar. Tapi eksekusinya keren kan, bisa bikin orang 2,5 jam anteng nontonin adegan per adegan. Atau film Hachiko. Intinya sederhana: nemu anjing, dipelihara, terus si anjing tetap setia nungguin di depan stasiun meski pemiliknya udah meninggal. Tapi toh orang-orang tetap nangis deres waktu nonton filmnya. 

Nah, buku ini, sebenernya alurnya 'biasa aja'. Plot yang dipakai sebetulnya termasuk sudah sangat sering dipakai di jagat perfilman dan pernovelan Indonesia. Bedanya adalah: di buku, ada detail-detail yang dijelaskan lebih dalam. Perasaan si tokoh dieksplor lebih dalam, istilah dan hal-hal asing dijelaskan lebih jauh, ada backstory para tokoh, dan dan terutama diksi yang digunakan -meski tetap bahasa praktis tapi- lebih ke arah puitis. Jadinya, memang indah. Sayangnya, hal-hal seperti diksi, background story (yang memang luas dan panjaaang itu), memang nggak bisa diadaptasi ke film. Kalau dipaksakan, jadinya malah aneh. Entah jadi kepanjangan atau dialognya bakal berasa nggak natural.

Pernah di webtun, (iya webtun, bukan webtoon. Ini nggak salah tulis. Sekarang sudah ada versi resminya di KBBI jadi webtun) ada sebuah komik yang lumayan populer. Rame dong kolom komentarnya, pada nyaranin dan ngebayangin kalau dibikin K-drama dsb. Tapi, ada seorang yang kurang lebih bilang gini:

"Ya menurutku kurang pas dijadikan drakor karena sebenarnya ceritanya simpel. Cuma agak lambat aja alurnya. Mungkin kalau dijadiin webseries setengah jam-an atau cerita to the point (film) durasi kurleb sejam-an lebih cocok daripada dijadiin drama series. Soalnya, adegan dan alur ceritanya kurang dalem. Ntar jadi jelek." 

Entah buku, entah komik (fisik atau digital), menurut saya punya tantangan ini ketika difilmkan. Kalau buku, bisa jadi karena sebetulnya dia bagus di diksi. Kalau komik, bisa jadi karena sebenarnya dia bagus di penggambaran adegan. (Soal eksplor detail dsb keduanya sama sih menurut saya -- dalam hal-hal yang bagus maksudnya).

Yang ngikutin banyak komik romance pasti udah nggak aneh lagi kalau banyaaak pembaca yang pengin ceritanya dilanjutin. Entah sampai resepsi pernikahan, waktu udah punya anak, cerita pas udah nikah/bahagia, bahkan ada yang minta ceritanya dilanjutin sampai ke generasi anak si tokoh utama. 

Lha, konfliknya kan udah selesai. Kalau ditambah konflik lagi, malah mirip sinetron atau manhua pasaran, dong?

Untungnya --menurut saya sih-- emang komik/manhwa yang udah selesai kemudian nggak dilanjut oleh author. Di situasi gini, biasanya yang dipakai adalah win-win solution: dikasih sedikit chapter untuk side stories. Jadi pembaca bisa tetap ngintip kehidupan para tokoh di masa depan, tapi dengan cerita yang ringan dan nggak perlu berhubungan. Kayak, demi muasin perasaan pembaca aja gitu, nggak ada hubungannya sama plot. Tapi, ini cara yang bagus biar kedua belah pihak (author dan pembaca) sama-sama puas.

Cuma, cara di komik-komik ini menurutku kurang cocok kalau diadaptasi ke novel. Terutama yang endingnya gantung. Atau saya ngerasa gitu karena lebih suka ending gantung atau rada hablur ya? Hehehe.

Jadi, memang, buku bagus bisa jadi nggak bagus saat dijadikan film. Di sini emang hak prerogatif penulis: dia mau/nggak kalau ada tawaran difilmin. Tapi, ada baiknya dia juga mikir: bukunya cocok atau enggak buat difilmin?

"Yang kamu bilang adaptasi filmnya nggak bagus itu ada kok yang tetep difilmin dan banyak yang suka/nonton."

Iya, emang tetap banyak yang nonton dan suka. Selera dan pendapat orang kan beda-beda. Nggak bagus buat saya bisa jadi bagus banget buat orang lain, juga sebaliknya. Apalagi kalau penggemar yang militan, mau jelek atau bagus tetap bilang bagus (ini sih 'blindspot' kalo udah jadi penggemar seseorang/sesuatu. Jadi susah objektif. Fanatism?). Tapi menurutku, film itu jatuhnya sama seperti film-film layar lebar lainnya yang cuma jual cinta dan lokasi keren tanpa ada substansi lebih dalam. Padahal, justru itu yang bikin bukunya bagus, tapi malah nggak dimasukin di film.

Kemudian, buku yang saya ceritain di awal tadi bakal dibikin lanjutan bukunya.
Apa saya bakal beli, seperti waktu buku pertamanya dulu muncul dan bela-belain beli cetakan pertamanya?
Sepertinya enggak. 

Saya harus tahu 'batas untuk berhenti' supaya buku 'pertama' itu tetap bisa terus saya nikmati tanpa rasa kecewa. 



--------------------------------


NB: bahasanya amburadul ya? Iya, kerasa kok, wkwk.
Nanti deh saya edit lagi. Udah hampir tengah malem nulisnya,
udah nggak sinkron kayaknya otaknya.
Lebih berasa curhat daripada bikin tulisan 'biasa'.


--------------------------------

NB: Gambar hanya pemanis.
Gambar nggak nyambung? Emang, wkwk.
Biar ada gambarnya aja dan naruh foto lama yang nggak tahu
kapan bakal dipake. Daripada berdebu di folder.
Reading Time:

Jumat, 01 Oktober 2021

Growing Morning Glory
Oktober 01, 20210 Comments








My morning glory sprouts died. 


Today, yesterday, and five days ago. The three of them, gone. 


Perhaps it's because they couldn't stand the scorching dry season (which suddenly came again again after a few days of rain) eventhough I'd put them under the shades most of the days. BUT, when I put them inside the house, they wouldn't grow! Not even by half centimetre!


Let me retell their short life-story.


I submerged the seeds overnight (24h, precisely) and planted them in a pot the next day. 3 of them was showing the signs of germination, while another 2 didn't. But, these 2 seemed to become softer. One of them even appeared to shed its seed coat.


I put those 2 seeds in a plastic pot and the other 3 in (different) dried coconut shells. 


The next day, all of them sprouted except the shedding one. I don't know whether that seed was damaged or the sprout had been eaten by rats or cats (they're everywhere, huft!). A few days gone by and they grew splendidly. I water them once every evening and they grew longer and longer.


Since wild cats and rats roam freely in the neighbourhood, I decided to bring the survived sprouts inside the house every nightfall. At first I put them in a room with a little sunlight. But, when I recognise that there were almost no visible change in their height, I moved them to a room with more sunlight. 


The moving didn't change anything.


So I suspected that, maybe, they craved outdoor sunlight and micro-climate. Therefore, I brought them outside again and put them under the shades where they first sprouted. After that, I went out.


When I was home in the evening, I immediately check them and one of them had withered! 🥀


I didn't think of anything at that time. I thought that a cat stepped on it or something. I tried to revive it by watering it and  giving it a small stick to stand, but to no avail.


That day, I brought them inside again. They are inside for 1-2 days and then I brought them outside for a half day.


In the end of afternoon, again, one of them was wilting.


This time I was sure that it wasn't because of the cats or rats, but it was really lacking water or moisture. Like always, every nightfall I put them inside again.


I was heartbroken this time. But the most disheartened moment was when YESTERDAY, one of the sprout which previously has been EXTREMELY OKAY with no signs of wilting or sick or anything, WILTED!


I mean, what has gone wrong? You're inside, safe from the scorching heat, not even only by the shades but also by the thick house walls and I water you everyday and yesterday YOU WERE COMPLETELY FINE but why you're like this now?


I tried to revive it by water the pot to the max and place a stick to help it stand, but this morning I found it has been impossible to be saved.


Maybe it was the climate?


I live in a tropical country. The humidity is enough, there were no strong wind these days, but the weather for the last few days, I admit, was scorching. Usually it's hot but these days it feels like there's no 'cool wind' or even 'wind'. Perhaps this is the cause?


Or maybe, it's because of the container? I mean, the non-survivors are the seeds that I planted in the coconut shells. Maybe because of the shell's water capacity or something?


I don't know.


Considering the heat, I decided to plant the other seeds when the rainy season has come. Perhaps then it'd be safer. I was thinking that because of the flower's origin, it can't stand heat. I mean, I rarely see morning glory here. I saw them once, on a fence, but the fence was located in a mountain region. Of course, with cooler climate. 


CMIIW, I think that morning glory originally comes from four-season countries. I knew them from a Japanese film.


I fell in love with morning glory after watching Mamoru Hosoda's Summer Wars (サマーウォーズ). I fell in love with how the green vines covered the wooden fence and shades and adorned them with bright blue or purple flowers. 


We actually has a plant which has similar flower with morning glory: kangkung (water spinach/Ipomoea aquatica) -- same as morning glory which is an Ipomoea too . It has light-purplish colour. However, this plant isn't an ornamental plant. We grew it for the leaves to be eaten so we rarely grew them until it flowers (and I don't know how to get them to flower. It just kind of happen once in a while). It doesn't have vines too, but rather a herbaceous soft stalk. These stalks will collapse if it gets taller than mere 50 centimetres. It has different form of leaf, too


Let's hope the next sprouts will be able to grow well.


------------------------------------------------------------------

Windowsill and flowers are vectors from pngwing.com
which then were assembled together
Reading Time:

Minggu, 12 September 2021

Sepuluh Tahun Semeru
September 12, 20210 Comments



Mengapa angka 3, 5, 10, dan kelipatannya sering dijadikan patokan buat memperingati sesuatu? Entah. Namun, mungkin karena saking sering dan saking lazimnya, bawah sadar saya pun jadi ikut pakai angka itu. Tahun ini adalah selang sepuluh dan enam tahun sejak saya terakhir pelesir ke kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS). Tepatnya Juni-Juli lalu.

 

Wah, udah selama itu? Pantesan kangen!

 

Juni-Juli-Agustus memang selalu jadi bulan penuh liburan, penuh petualangan, dan kini, penuh kenangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena libur panjang dari sekolah yang bikin bisa bebas mbolang ke mana-mana.

 

Dan, nggak tahu, deh, TNBTS memang selalu punya tempat tersendiri di hati biarpun gunung-gunung lain yang pernah saya sambangi juga nggak kalah cantik. Mungkin karena rangkaian pegunungan ini adalah cinta pertama saya. Gunung pertama yang saya kunjungi ada di sini, yaitu Gunung Bromo.

 

Masih ingat banget betapa mata saya membulat takjub waktu ngelihat hutan-hutan rapat plus perbukitan menjulang di kanan-kiri. Kemilau kerlip Bimasakti dengan latar belakang langit bergradasi hitam-biru-ungu terekam jelas. Pun bekunya udara pukul tiga pagi yang menelusup halus lewat celah jaket ketika kami harus turun dari mobil demi menanyakan arah.

 

Beberapa tahun kemudian, saya melawat ke sini lagi untuk mendaki Gunung Semeru. Kali ini, yang bikin berkesan selain pemandangannya —yang masih juga breathtaking yaitu ‘misi’-nya. Buat anak sekolahan yang lemah fisik kayak saya, mendaki Atap Pulau Jawa adalah satu tantangan dan kebanggaan tersendiri.

 

Ah masa, sih, lemah?

Yes, seriously, I was.

 

Sebagai gambaran, saya nggak pernah nggak remidi ujian lari sejak SD hingga tamat SMP. Saat masih awal-awal berseragam putih-merah, saya bakal sesak napas kalau bawa ransel yang lebih berat daripada biasanya. Saat ada upacara bendera, mbak-mbak PMR adalah teman yang familiar karena saya sering mundur dari barisan dan izin duduk lantaran nggak kuat berdiri tiga puluh menit. To be noted, ini masih berlangsung sampai awal SMA.

 

Kemudian, segalanya berubah (halah!). Entah karena hasil digembleng habis selama satu tahun, atau gara-gara pengin banget bisa naik gunung, atau kombinasi keduanya, pelan-pelan fisik saya jadi lebih tangguh. Jauh, jauh, lebih tangguh daripada setahun sebelumnya, alhamdulillah.

 

Anak yang setahun lalu nggak kuat berdiri kalau upacara, kini atas izin-Nya bisa berangkat ke puncak tertinggi di Jawa. Catatan perjalanan untuk pendakian ini pernah saya ceritakan di sini.

 

I’d never have guessed.

 

Pendakian kali itu bikin saya makin kesengsem dengan TNBTS, apalagi ranu-ranunya. Empat tahun kemudian, saking kangennya dengan Ranu Regulo, saya main ke sana lagi. Hal yang spesial dari perjalanan kali ini adalah: alhamdulillah bisa explore TNBTS komplet mulai dari desa warna-warni Tosari, Kaldera Bromo, Lautan Pasir, Bukit Teletubbies, hingga Ranu Pani-Regulo. Dua hari, pakai sepeda motor keluaran ’99, di bulan puasa. Oh, of course bukan saya yang nyetir, hahahah. Nggak ke Ranu Kumbolo sekalian? Enggak, soalnya emang nggak berniat hiking. Selain itu, emang lagi kangen sama Ranu Pani-Regulo aja (buat ngehidupin vibes bikin cerpen, LOL).

 

Kemudian, musim berganti. Tahun-tahun kelipatan 3, 5, dan 10 pun hadir. Nggak terasa sudah sepuluh tahun berlalu semenjak hiking ke Semeru dan enam tahun setelah explore Bromo. Selain dipakai untuk patokan suatu momen, ternyata angka-angka ini juga turut dijadikan pembanding oleh manusia. Termasuk saya, meski tanpa sadar. Dan kemudian, secara sadar, diri ini jadi turut membandingkan keadaan kala itu dan situasi saat ini.

 

And it was quite disheartening.

 

Bukan karena ‘dulu bisa naik gunung, sekarang nggak bisa’. Ya lagi pandemi mau gimana lagi. Tapi lebih karena ‘dulu mampu naik gunung dan segala hal lainnya, sekarang personally nggak mampu’. Dan berakhir jadi ngebandingin banyak aspek lainnya.

 

Sering dulu, zaman sekolah, kami diminta memproyeksikan kira-kira apa yang akan dan mau kami lakukan 3, 5, 10 tahun ke depan. Diminta nulis daftar mimpi dan target juga. Apa karena mimpi yang tercoret nggak banyak, jadi kecewa?

 

Nggak juga. Dari awal saya emang sudah sadar kalau nggak mungkin target seratus biji (dulu kayaknya saya sih nggak sampai seratus juga) itu semuanya bisa tercapai on time ataupun a bit overdue. Karena itulah dibikin banyak biar seenggaknya ada beberapa yang nyantol. Well, it doesn’t matter. What hits me the most was because the grand design I meticulously planned crumbled, almost into ash.

 

It wasn’t about the targets, really. Bukan tujuan yang nggak tercapai yang bikin down, tapi karena langkah-langkah menuju ke sana pun sudah lebur dan hablur.

 

Many people says that the timing or age isn’t everything, but we know that’s not true. Kita semua punya limit waktu. Berita buruk atau baik? nya, kita nggak tahu limit itu kapan. Ini lebih dari ‘sekadar’ limit kematian, tapi juga tentang golden moment; masa di mana waktu dan sesuatu bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, seoptimal-optimalnya, semaksimal-maksimalnya.

 

And I missed that.

Damn.

 

Seberapa buruk, sih?

 

Sebagai bayangan: saya lebih lemah daripada zaman sebelum ditatar. Masih ingat kalau di atas ada cerita bahwa saya nggak tahan ikut upacara? Well, sekarang lebih ringkih daripada itu.

 

Physically, academically, dan -ly -ly yang lain.

 

Mungkin karena kamu ngebandingin sama orang lain, kali?

 

Eh, semua orang dekat tahu betapa cueknya saya kalau soal beginian, wkwk. Nggak menyangkal, kadang pengin juga kayak teman-teman lain yang sudah stable. Namun, perasaan itu hanya sebagian keciiil dari wujud utuh emosi yang menggerogoti. Saya jarang banget membandingkan diri sendiri dengan orang lain (ya karena cuek mendekati masa bodoh tadi), tapi lebih dari sering membandingkan saya-versi-nyata vs saya-versi-cita-cita.

 

Berkaca dari exploring TNBTS tahun-tahun itu, sebenarnya saya punya proyeksi gunung apa yang ingin saya gapai sepuluh tahun dari itu (atau sepuluh tahun lebih sedikit, deh). ‘Hanya’ satu gunung, kok. Di luar Indonesia, memang, tapi kurang terkenal. Tertinggi di negara/benuanya saja, enggak. Namun kalau diibaratkan, gunung ini adalah titik kulminasi secara harfiah maupun kiasan dari rangkaian target dan rencana hidup yang pernah saya buat.

 

*Sigh*

 

Sama seperti naik gunung yang kudu latihan dulu, kudu bikin manajemen perjalanan dulu, atau kudu ngalami gagal dulu, hidup pun sebenarnya begitu. Cuma kan beda yaaa rasanya (dan skalanya) antara mbeleset hiking gunung dan hiking kehidupan. Coping mechanism dan pengobatan rasa kecewanya juga beda, meski ya mirip-mirip sih kayaknya.

 

I’m trying.

 

Satu telepon dari seorang sahabat, Agustus lalu, jadi semacam suntikan semangat dan wake-up call  bahwa ‘hey, you did it in the past. I’m sure you can do it again, now, albeit slower and weaker. The point is: you can. Focus on that and don’t count the steps, for the time being. Don’t even think about calculating your progress. It’ll only send you backwards and upset. Just. Walk. I believe you can.’

 

Dia nggak literally bilang begitu, sih. Tapi kurang lebih begitulah maksud yang saya tangkap.

 

Gimana kalau salah tangkap?

 

Well I don’t care.

 

Salah satu ‘suntikan’ yang dibutuhkan orang yang lagi down adalah rasa percaya kalau dia bisa bangkit lagi; balik berdiri lagi. Entah rasa percaya dari dia sendiri atau dari orang yang dekat dengannya. Entah dari kata-kata yang memang bermaksud mendorong atau dari kalimat yang sebetulnya nggak bermaksud demikian tapi dia menganggap bisa membangkitkan. Suntikan semangat sekecil apapun bisa jadi booster yang punya daya dorong luar biasa bila ybs punya sugesti demikian.

 

Yah … semoga ‘suntikannya’ masih cukup sampai ‘yang disuntik’ mampu lagi berpijak kuat seperti masa yang telah lewat.


Reading Time:

Rabu, 30 Juni 2021

Platform & Komunitas Nulis, Kenapa Milih Itu?
Juni 30, 20210 Comments




“Kamu nulis di xxxx, kenapa nggak nulis di xyxy?”
 
Beberapa teman menyebutkan sejumlah platform kepenulisan, non-fiksi dan fiksi. Beberapa memang platform besar yang sudah banyak orang tahu. Platform lebih besar tentu berarti pembaca yang lebih banyak. Berarti juga, ‘mata-mata’ penerbit juga sudah terbiasa terjun ke sana untuk scouting naskah yang berpotensi dibukukan.
 
Jadi, kenapa lebih milih nulis di platform yang belum terlalu banyak orang tahu?
Dan, kenapa milih komunitas/grup belajar nulis tertentu?
Caution: ini tulisan bakal panjang karena ada curhatannya juga, wkwk
 
(1)
Salah satu alasannya justru itu: karena orangnya masih sedikit. Yaa sekarang sih nggak sedikit-sedikit amat, meski jumlah penggunanya masih kalah jauh dengan platform satunya yang lebih sohor. Namun, jumlah yang sedikit itu justru jadi peluang. Logikanya, kalau ada lebih sedikit orang lalu kemampuannya agak menonjol, maka peluang ‘dilirik’ lebih besar juga, kan? Beda kalau orangnya lebih banyak. Tentu bukan ‘agak’ lagi, tapi harus sangat menonjol.
 
(2)
Kedua, vibes-nya. Beberapa platform banyak mengusung tema percintaan sebagai trademark. Percintaan remaja, dewasa, hingga cerita stensilan. Tentu, nggak semuanya. Kisah yang bagus atau sarat makna juga banyak, baik yang bertema asmara ataupun bukan. Namun, seringkali views-nya kalah jauh dengan cerita-cerita di atas. Sayangnya, cerita-cerita bagus ini nggak masuk di menu Recommended platform ybs karena ya itu tadi... views-nya sedikit. Jadi pembaca yang mau nyari ya agak rumit.
 
Saya nggak masalah kalau cerita percintaan. Tapi letak masalahnya pada ini: substansi.
(Sok iyes banget, sih!
Emang! Hahaha.)
 
Saya suka novel roman. Jangankan yang berat kayak Pride and Prejudice, yang ringan macam Winter in Tokyo dsb-nya aja saya lahap. Lha emang pada dasarnya hopeless romantic (ups, ini sih trait di The Sims, hehe).
 
Beda Winter in Tokyo dkk dengan cerita cinta di platform ybs dkk adalah isinya. Di novel-novel tsb, meski poin utamanya tetap cerita cinta, yang diceritain nggak melulu soal asmara. Misalnya, ada nih cerita soal lokasi tertentu, kultur atau kebiasaan tertentu, konflik sosial tertentu, dll dsb yang larut ke alur cerita dan bukan tempelan. Bahkan, kerjaan tokohnya aja bisa jadi tambahan kisah.
 
Kalau di beberapa platform, maaf, klise. Topiknya nggak jauh-jauh dari kisah cinta cool CEO-bawahannya, dosen-mahasiswanya, atau malah sugar daddy. Atau perjodohan, pernikahan terpaksa, mencintai tapi tidak dicintai yang penuh tangisan bombay, abusive relationship yang ber-ending si tokoh laki-laki jatuh cinta dan tobat, dst.
 
‘Uniknya’, meski tokohnya CEO/dosen/the most eligible bachelor and exec, nggak ada cerita gitu lho soal kerjaannya, sedikiiit aja. 
Bahkan nggak jelas si CEO ini perusahaannya bergerak di bidang apa. Kalau rapat ya cuma dibilang meeting. Cuma diceritain dia masuk ruangan, menjelaskan (mbuh opo), terus direksi bilang “Saya suka, kita terima!”. Kayak tempelan gitu lho.  Pokoke CEO, tajir melintir, punya power. Misalnya nih, gawean si tokoh diganti jadi karyawan/staf biasa tapi tajir dari sononya, nggak bakal berefek banyak ke alur cerita.
 
Ada pula cerita-cerita yang mirip sinetron di TV atau akun gosip instagram. Bedanya cuma: ini bentuknya tulisan. Perselingkuhan, pelakor/pebinor, konflik menantu-mertua, konflik suami-istri, pernikahan dipaksa orang tua, rebutan pacar, dsb. Kadang dibumbui pesan agamis yang sayangnya cuma tempelan dan agamanya asal tafsir pulak! Biasanya yang ‘islami’ bertopik taaruf, pernikahan, dan poligami. Tapi, isi yang dibahas ya itu-itu aja. Klise, kayak udah template gitu. Cuma beda nama tokoh aja.
 
Jadi kasihan nggak sih sama yang Islam beneran, taaruf dengan benar, nyunnah beneran, dsb. Image-nya jadi gini amat di masyarakat. Padahal mereka yang beneran ini bisa seratus delapan puluh derajat sama tokoh yang diceritakan. Beda banget! Ya gini yang bikin image Islam (atau kelompok lainnya) amburadul: ulah oknum.
 
Oh, satu lagi. Fanfiction artis atau idol tapi dibikin cerita kasur. ‘Kasur’ ya, bukan lagi fanfiksi normal/sekadar selipan/sastra wangi, tapi betulan vulgar adegan per adegan tanpa cerita lain sama sekali. Jadi kasihan artis/idolnya nggak sih, dibikin fantasi liar begini. Satu lagi, soal fanfiksi artis ini juga mirip sama CEO-CEO-an tadi: profesi tempelan. Cuma dibilang ‘syuting, sibuk’. Lah terus? Misal si idol diganti bukan artis tapi orang berprofesi lain kayaknya nggak ngefek. Sama-sama sibuk juga toh?
 
Daaaan, cerita stensilan serta abusive relationship menjamur di sana. Dan ini laku abisss, views-nya banyak. Inget sinetron Zahra yang diprotes tayang beberapa waktu lalu karena nunjukin glorifikasi pernikahan di bawah umur? Cerita kayak gini bejibun, Bung!
 
Jadi ini: mulai dari background tokoh, setting, sampai konflik banyak yang tempelan. Nggak substansial (halah bahasane!). Plus, cerita seperti itu menjamur di sana. Ini sih yang paling bikin nggak setuju dan bikin nggak suka.
 
Kebetulan, platform yang saya masuki vibes-nya lebih ‘biasa’. Mayoritas cerita remaja dan dewasa muda/metropop (young adult). Cerita ‘dewasa’ tetap ada, tapi terbatas dan nggak vulgar banget. Cerita stensilan, saya belum pernah nemu sih. Semoga aja nggak ada. Dengar-dengar ada editor yang mengkurasi karya. Bukan kurasi yang serius gimana-gimana, cuma buat nyaring cerita yang nggak pantas aja. Cerita sarat makna juga ada, cerita sosio-kultural macam gaya Kompas/Jawa Pos ada.
 
Beberapa waktu lalu mereka nyelenggarain lomba cerpen bertema budaya (kalau nggak salah). Karena mayoritas young adult kan, saya pikir yang bakal menang ya yang vibes-nya metropop atau teenlit gitu. Ternyata enggak, dong. Baca cerpen pemenangnya bagai baca cerpen Kompas/JP.
 
To be noted, saya nggak bilang cerita bertema CEO, selingkuh, agamis, fanfiksi, dsb yg disebut di atas itu pasti jelek. No, nggak semuanya jelek. Yang bagus-bagus juga ada, saya pun pernah baca. Ada yang sampe bikin saya nangis, ada yang sampe bikin ngebatin, “Ini kudunya dinovelin aja, asik nih. Pasti laku nih”. Cuma mayoritas di platform-platform tsb ya pada retjeh gitu eksekusi ceritanya. Jadi bukan soal temanya, tapi lebih ke eksekusinya; isinya. 
 
Semoga itu cuma langkah awal aja, lalu ke depannya membaik dan penulisnya bisa bikin cerita dengan tema yang sama tapi lebih bagus.
 
 
(3)
Kelakuan anggotanya.
 
Seringkali kita cocok sama idenya, tapi orang-orang di sana nggak enak. Jadi cabut, deh. Iya, nggak? Banyak orang resign dari kantor yang gaji, benefit, dan visinya bagus karena ini. Grup nulis juga gitu.
 
Ini ‘grup’ nulis yang berhubungan sama platform nulis yang sudah dibahas, ya.
 
Duluuuu waktu tulis-menulis belum jadi se-anaksenja sekarang, sudah ada beberapa grup kepenulisan. Saya yang waktu itu masih ijo (eh sekarang juga masih sih. Kayaknya... hehe) dan cuma belajar nulis otodidak jadi suka mantengin grup. Soalnya, penjelasan di sana simpel dan aplikatif. Nggak terlalu banyak teori kebahasaan macam di kelas Bahasa Indonesia di sekolah (yang susah saya cerna, hehe).
 
Anggota grup-grup itu bervariasi. Ada yang sudah lihai nulis di media massa, ada yang sudah lihai aja tapi baru berani publish karyanya di grup doang, ada yang bener-bener baru nyemplung. Ada pula yang ikut simply karena suka baca aja, tapi nggak ikut nulis. It’s okay dan semuanya diterima dengan baik.
 
Semua anggota bebas mengomentari tulisan anggota lainnya. Kadang-kadang, founder platform tsb turut ngasih kritikan. Komentar dan kritik di sana ada yang halus, tapi nggak jarang pula pedas. Tapi, kritiknya memang fokus ke tulisan. Kalaupun bukan kritik, maka isinya adalah apresiasi. “Aku suka deh soalnya blablabla”, “Wah bagian ini keren nih”, dan komentar lainnya.
 
Seiring bertambahnya anggota yang kian membeludak, interaksi macam ini kian sedikit.
 
Ada naskah yang komentarnya banyak, tapi tulisannya cuma: “Next”, “Lanjut”, “Mana lanjutannya?”. Atau komentarnya malah menyoroti hal lain. Misal nih, tokoh dalam cerita dikisahkan berkonflik dengan iparnya. Maka komentar yang muncul semacam ini: “Iya nih ipar emang bisa jadi sumber masalah. Aku/tetanggaku/saudaraku sama iparnya juga blablabla” atau “Emang ya ipar nggak tahu diri. Mertuanya juga gitu. Memang keluarga pasangan itu harusnya cari yang beginibegitu”.
 
Begitu pun dalam tulisan non-fiksi. Kalau yang dibahas asuransi, nanti ada aja yang buka lapak soal halal-haram. Kalau yang dibahas vaksin, bakal ada yang ngomen anti-vax. Malah jadi curhat atau buka lapak sendiri. Forum di dalam forum. Kasihan si penulis (yang bener-bener pengin dibaca, bukan pengin tenar doang), tulisannya cuma jadi preambule doang buat obrolan lain.
 
Saya pernah ngasih komentar perbaikan seputar penulisan tanda baca dan PUEBI. Ada yang respon, “Halah gitu doang kok dipermasalahkan”. Halo? What? Ya saya bilang, kalau ini grup curhat (tulisannya memang cenderung opini) nggak bakalan saya komentarin tanda baca dll. Tapi kan ini grup literasi!
 
Ada juga platform yang komentatornya lebih ganas daripada penulisnya. Komentar macam ‘cerita lu jelek, cerita apaan nih, lanjutannya mana sih udah nunggu lama buruan dong!’ menjamur bak iklan pinjaman online. Kalau si penulis membela diri, maka balasan komennya akan lebih ganas lagi. Kadang pakai misuh dalam berbagai bahasa. Kadang, nggak cuma berhenti di komentar, si penyerang bakal buka semua data diri si penulis.
 
Jadi, yang dibedah bukan lagi tulisan, tapi personal.
 
Apalagi kalau yang dibahas adalah topik-topik tertentu yang sensitif. Isu politik, budaya, kelompok tertentu, dan agama hampir dijamin bakal banyak pelapak. Padahal, dulu juga tulisan macam ini sudah ada di grup-grup itu. Namun, reaksi anggota-anggota lebih adem. Kalau ada yang nggak setuju, ya dibalas pakai bahasa yang santun dan argumen yang baik. Kalaupun ada tulisan bertema demikian yang bahasanya ketara ‘memancing’, bakal di-report rame-rame biar tulisannya dihapus admin.
 
Sekarang enggak. Mungkin karena anggotanya udah banyak, adminnya juga kewalahan nyaring satu per satu. Akhirnya, tulisan alakadarnya yang bersifat ‘mancing’ pun membeludak. Anggota yang niatnya emang buat cari panggung dan bukan beneran nulis pun makin getol posting tulisan macam ini.
 
Pernah nemu status orang yang agak panjang, di medsos. Lalu ada orang lain yang komentar, “Mba share aja di (nama grup), insyaallah bakal banyak dukungan di sana.” – (ini perkataan asli ybs, nggak saya edit. Masih inget saking speechless-nya)
 
Lah, ini grup udah berubah jadi platform curhat rupanya.
 
Tulisan amburadul asal sensasional jadi laris manis. Grup kepenulisan udah berubah jadi medsos biasa.
 
Ada sebuah platform yang founder-nya buka suara. Dilihat dari analisis traffic, pengakses platform itu memang orang-orang segmen tertentu yang, kebetulan, sama dengan segmen tujuan sinetron dan akun hoax. Jadi ya nggak heran kalau sikap (mayoritas) anggotanya 11-12.
 
Padahal, saya suka sama tulisan founder-nya. Suka sama cara dia ngajarin nulis dulu, cocok sama pandangan menulisnya. Program-programnya sampai sekarang pun bagus. Tapi karena anggotanya reaktif gitu, saya milih pasif, lalu lama-kelamaan keluar. Sekarang saya cuma ikutan kalau si founder ada acara/seminar aja tanpa nyemplung juga di grupnya.
 
Seorang suhu dari grup lain memberi pencerahan soal segmen tertentu ini. Dia bilang, kita nggak bisa menyamaratakan tiap orang dan memaksa mereka jadi segmen yang seirama. Ada orang-orang yang ditakdirkan begitu sehingga pendekatan media untuk mereka berbeda pula. Sebab, kalau dipaksakan dengan media lain yang meski lebih berkualitas, pesannya nggak sampai dan nggak bakal efektif.
 
Ambil contoh penggemar sinetron dan semacamnya. Misal kita mau ngasih pesan terselip bahwa korupsi itu berbahaya, dilarang, dan merugikan orang banyak sehingga korupsi itu nggak boleh. Kalau sasaran orangnya seperti itu dan kita kasih macam film yang agak 'high level', mereka akan susah pahamnya. Mereka malah akan lebih paham kalau pesan itu ditayangkan lewat sinetron/sinema azab berisi kades yang meninggalnya susah karena nilep uang warga, misalnya.
 
Hal senada juga berlaku untuk segmen remaja penggemar artis tertentu atau K-pop.
 
Jadi, ya, mafhum kalau segmen pembaca di platform-platform pun beda-beda. Malah bisa jadi peluang untuk menggapai segmen tertentu lewat tulisan yang sesuai selera mereka.
 
Dan akhirnya, saya milih platform yang vibes-nya sesuai selera saya juga.
 
 
(4)
“Ada platform yang vibes dan segmennya sesuai selera kamu, kenapa nggak dimasukin, tapi malah nulis di blog?”
 
Pertama, emang nggak ambil banyak platform. Repot euy ngisinya. Lha wong blog aja jarang diisi, ini mau nambah banyak, wkwk.
 
Kedua, platform yang ditanyakan teman-teman itu ‘gede’. Saat itu. Dan kini, pamornya makin meredup. Ya masih aktif sih, tapi nggak se-hype dulu.
 
Kalau dilihat-lihat, platform tsb mirip-mirip sama medsos: ada masa kadaluwarsanya. Kayak era-era hype-nya FB, Twitter, dsb. Apa mereka sekarang nggak ada? Masih. Penggunanya juga masih banyak, tapi nggak segede dulu. Banyak yang migrasi. This might sound cliche, but I don’t want to 'just go with the flow'.
 
Ketiga, pertimbangan utama pakai blog adalah karena bisa diubah jadi web. Platform seperti blogspot dan wordpress bisa diubah jadi website berdomain .com dsb. Kalau H*pw**, M*d**m, dsb, setahu saya nggak bisa. Dan, website ini milik sendiri kan, jadi mau diubah sesuka kita juga bisa. Entah dimodif tampilannya atau mau pasang iklan biar dapet duit, dsb. Jadi lebih bebas dan lebih timeless aja meski era blogger & follow-follow-an blog udah lama usai.
 
 
(5)
“Kenapa nggak nulis buku? Udah lama kan nyemplung di kepenulisan. Emang nggak pengin?”
 
Kalau ditanya pengin, ya pengin. Penghobi nulis mana sih yang nggak seneng kalau tulisannya dibaca orang? Alhamdulillah kalau sampai disukai pembaca. Beberapa tulisan memang masuk ke sejumlah buku antologi. Tapi, kalau saya sendirian, ngerasa belum saatnya. Cukup testing the waters di blog, platform, medsos, dan lomba-lomba dulu. 

Why?
 
Simply karena emang belum mampu nulis bagus. Kalau dibandingin sama orang biasa yang nggak biasa nulis, ya emang bagus. Tapi kalau dicerna lebih dalam... Dibandingin aja deh sama temen-temen dekat di komunitas menulis, hasilnya masih di bawah. Jadi nanti dulu deh. Nanti, kalau kualitasnya udah agak naik. Sebab tulisan yang bagus itu adalah hak pembaca. Kalau pembaca kecewa sama tulisan, penulisnya juga bakal kecewa nggak, sih?
 
“Banyak lho yang baru nyemplung dan udah bikin buku.”
 
Ada penulis besar yang punya keyakinan bahwa semakin banyak orang menulis/menerbitkan buku itu lebih bagus. Artinya, tingkat literasi jadi lebih tinggi. Bahkan ada satu negara (lupa mana, kayaknya negara Balkan) yang presentase penerbitan bukunya hampir satu orang bikin satu buku. Itu bagus, karena minat bacanya juga tinggi.
 
Apalagi sekarang saat penerbit indie menjamur. Ini membantu penulis pemula banget. Soalnya nembus penerbit mayor atau media massa emang susah. Apalagi kalau belajar nulisnya masih ngerangkak. Butuh keberanian tersendiri buat soal terbit-terbitan ini.
 
Cuma sisi negatifnya adalah ada buku-buku yang nggak bagus yang bisa terbit. Ya karena proses penerbitan buku indie ini beda sama penerbit mayor. Tiap penerbit indie punya sistem yang beda. Ada yang tetap ada editor buat ngasih masukan, ada yang editornya cuma ngeditin saltik dll doang, ada juga yang langsung terima lalu terbit. Yang terakhir ini yang meresahkan. No quality control.
 
Saya pernah nemu novel begini. Udahlah kalimatnya kayak ditulis anak SD (sorry, but it’s true -- bahkan ada anak SD yang tulisannya lebih bagus dari ini), intronya panjang, tokohnya banyak, 3/4 bagian belum ada konfliknya, konfliknya ternyata langsung pembunuhan, terus endingnya selesai dalam 3 lembar A5. Like, whaaaat?  (untung murah!)
 
Gola Gong, penulis dan penggiat literasi, pernah bilang, “Penulis-penulis baru ini semangatnya tinggi. Itu baik. Tapi coba sesekali lemparkan naskah ke penerbit mayor atau media besar. Buat ngecek kualitas aja. Jangan buru-buru diterbitin. Semangat nulis tinggi, semangat nerbitin buku tinggi, itu bagus. Tapi kualitasnya juga harus bagus atau, paling nggak, meningkat.”

Jadi, jangan cuma terjebak euforia aja gitu.

Dee Lestari bahkan pernah bilang, "Yang menentukan langkah penulis itu bukan buku pertamanya, tapi buku keduanya".

Sebab, seringkali penulis, terutama pemula, terjebak suasana di buku pertama. Setelah buku pertama, lalu ngapain? Nulis apa lagi? Atau, sudah? Yang penting sudah pernah nerbitin buku dan tercatat di ISBN? (NB: soal ISBN dari penerbit, harap hati-hati. Sebab ada penerbit indie yang bilangnya ngurusin ISBN tapi ternyata enggak. Jadi cari penerbit indie yang terpercaya. Meski nggak semua buku kudu ber-ISBN sih. So, writer's choice)

Mungkin, ini salah satu sebab kenapa penulis dari background literasi atau kelompok tertentu kurang dikenal di kancah literasi nasional.  Dikenalnya ya orang-orang golongan itu aja sebab karyanya cuma berputar di circle itu-itu aja. Karena penerbitnya sejenis itu-itu aja, ditambah marketing yang begitu-begitu aja. Ya nggak salah sih, toh selera orang beda-beda. Cuma, kalau lebih dikenal, pesan kebaikan yang disampaikan bisa sampai ke lebih banyak orang. Kalau nggak dikenal, paling nggak pernah didengar di circle luar.
 
Mungkin ada yang nggak setuju dengan pendapat Gola Gong. Sebab, kalau nunggu ‘matang’, kapan mulainya? Saya sedikit nggak setuju juga sama beliau karena soal memulai ini. Tapi soal kualitas dan peningkatannya, setuju banget. Sebab, nggak bisa dipungkiri, salah satu tanda tulisan bagus adalah kalau dibaca, disukai, dan dipahami banyak orang.
 
Atau setidaknya, tulisan yang mudah dicerna orang lain.
(Dan saya masih tertatih-tatih soal ini.)
 
(Ya dari postingan ini aja kelihatan kan. Masih panjang banget, nggak efektif, dan mungkin bikin kamu yang baca jadi bingung, wkwkwk. Iya nggak sih?)
 

Reading Time: