Hijaubiru: Tentang Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Oktober 2022

Antisipasi Kemping Tepi Kali
Oktober 28, 20220 Comments


Kemping di tepi sungai memang asyik. Dan terlihat estetik. Suasana sejuk hutan dan sungai berpadu, membuat white noise berupa gemericik suara air dan kersik daun di pepohonan. Belum lagi kalau ada cuitan burung-burung kecil saat pagi atau cericit hewan atau serangga malam. Beuh…. Kalau kata teman, “Syahdu bener.”

 

Mau camping ataupun glamping (glamorous campingistilah untuk penginapan full fasilitas yang didesain bak suasana kemping dengan tenda dsb) di tepi sungai sebenarnya sah-sah aja. Pun, dengan penginapan yang menyediakan glamping pas di sisi sungai, hanya berjarak <3 meter (bahkan ada yang persis di pinggir), saya rasa pengelolanya pasti sudah memperhitungkan segala risiko. Cuma, kalau saya pribadi, emang rada nggak tenang kalau mendirikan tenda persis di samping sungai. Terutama kalau musim hujan.

 

Alasan utama adalah keamanan. Di musim hujan, badan air seperti sungai, danau, dsb bakal menerima tambahan air. Dari hujan, of course. Selain itu, debit air juga bisa meningkat karena kiriman dari hulu. Inilah yang berisiko.

 

Di gunung, sungai-sungai yang nampaknya kecil itu terhubung dengan sumber air di bagian yang lebih tinggi. Yang kadang terjadi adalah di sungai bagian bawah nggak hujan, tapi di hulu/sumber ternyata hujan deras. Akibatnya, debit air di sana pun meningkat dan bikin alirannya tambah deras. Namanya juga aliran pasti akan mengalir ke bawah. Ya, ke sungai yang nggak kena hujan tadi.

 

Bila hujan sangat deras, aliran itu bisa menjadi air bah. Meluber ke mana-mana, termasuk ke tepian sungai. Selain membawa air, aliran yang sangat deras juga bisa saja turut membawa lumpur, pasir, bahkan batuan besar. Oleh karena itu, bila mengunjungi air terjun saat musim hujan, hendaknya lebih berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan air terjun atau berlama-lama berada di bawahnya. Takutnya ada kiriman banjir dari atas itu.

 

Lalu, apa hubungannya banjir kiriman tadi dan kemping?

Selama ini yang saya tahu adalah disarankan mendirikan tenda tidak terlalu dekat dengan sumber air. Paling tidak, di jarak aman atau jarak perkiraan luberan air. Kalau tempatnya nggak datar, lebih baik karena kita bisa mendirikan tenda di tempat yang lebih tinggi dari permukaan sungai. (Ini setahu saya aja. Kalau ternyata ada update lain soal keamanan nge-camp di tepi sungai, saya belum tahu. Let me know if you know, pls). Ya untuk mengantisipasi kalau tiba-tiba banjir tadi. Kan, nggak enak kalau lagi nyenyak tidur kemudian tiba-tiba basah. Atau, yang lebih bahaya, ikut kebawa aliran.

 

Sungai yang kelihatannya sangat dangkal atau bahkan kering pun belum tentu jaminan aman. Berkaca dari pengalaman, saya dan teman-teman pernah menemukan sebuah jalur yang awalnya kami kira jalur pendakian (karena nggak ada rumput tumbuh di garis itu). Eh, sesaat kemudian hujan turun. Nggak deras (di tempat kami). Namun, dalam hitungan menit, jalur itu menjadi sangat becek dan berlumpur kemudian nampak aliran air di sana. Kecil, nggak sampai merendam sepatu kami. Tapi, itu sudah menjadi alarm.

 

Kami segera naik dan mencari jalan lain karena baru kami sadari bahwa jalan tadi sesungguhnya bukan trek pendakian, tapi jalur air. Tadinya nampak kering karena nggak ada hujan. Tapi begitu hujan turun, aliran air dengan cepat terbentuk. Bukan tak mungkin bahwa jalur tadi aslinya merupakan sungai, tapi saat itu sedang kering. Saat kami sudah naik dan berjalan agak jauh, terlihat bahwa aliran air di jalur tadi sudah bertambah. Kira-kira sudah seperempat paha.

 

Memang secepat itu berubahnya. Bukan dalam hitungan jam, cukup menit. Bahkan dalam beberapa kasus, cukup detik.

 

Alasan lain mengapa disarankan mendirikan tenda tak terlalu dekat dengan sungai adalah untuk menghindari kontak dengan hewan liar. Baik yang buas ataupun tidak. Sebab, hewan-hewan biasa turun ke sungai untuk minum atau berburu. Apalagi saat malam. Apalagi bila badan airnya adalah sumber air, bukan lagi sungai/danau, yang merupakan sumber air minum bagi satwa di daerah itu dalam radius entah berapa kilometer. Jadi, hewan kalau minum, ya ke sana. Oleh karena itu, beberapa tempat sighting hewan yang pernah dilaporkan salah satunya adalah di badan ataupun sumber air. (*cmiiw)

 

Kalau tempat yang memang sudah didesain untuk glamping atau camping ground, kayaknya nggak bakal ada risiko hewan ini buas ini. Beda kalau memang di hutan atau gunung.


Gimana dengan foto kayak di atas, yang di tepi kali pas?

Mungkin ada beberapa, pun tempat glamping. Namun, ada juga yang menyeret tenda hingga ke tepi sungai/danau hanya saat sesi foto. Buat properti. 


=============


Picture credit: Joshua Sukoff on Unsplash

Reading Time:

Jumat, 07 Oktober 2022

Sudut-Sudut yang Bercerita
Oktober 07, 2022 2 Comments

- Salah satu bekas kantung pertahanan di area benteng - 

Untai-untai daun hijau muda merambati permukaan seluruh dinding rapat-rapat bak kelambu. Rimbun. Bunga-bunga liar berwarna merah muda melapisi sela-selanya. Sekilas, bangunan itu tampak seperti bangunan terbengkalai biasa. Kalau bukan dari info yang sudah didapat sebelumnya, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tembok-tembok di tepi pantai Kota Surabaya ini adalah bekas benteng pertempuran saat Perang Dunia II.


Bangunan yang berbentuk seperti dinding itu adalah Benteng Kedung Cowek. Letaknya tak jauh dari Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Jawa dan Madura itu bahkan terlihat jelas dari area ini. Namun, berbeda dengan jembatan yang jelas ramai dan terawat, bangunan-bangunan Benteng Kedung Cowek jauh lebih sepi dari suara dan aktivitas manusia. Siang itu, hanya terdengar debur ombak Selat Madura dan cericit burung yang bersarang di pohon-pohon tinggi yang akarnya menembus dinding benteng.


Di sini, sekitar 7-8 dekade lalu, pasukan Jepang merangsek masuk ke Indonesia. Surabaya jadi salah satu titik pendaratan mereka. Untuk mempertahankan posisi di Jawa bagian timur, Belanda pun membentuk kantung-kantung pertahanan di pinggir pantai untuk menghalau armada laut Jepang. Salah satunya, ya, Benteng Kedung Cowek ini.


- Salah satu pojok benteng yang dirambati bunga liar. 
Bentengnya sampai nggak kelihatan -

Jika dilihat sekilas, Benteng Kedung Cowek tak ubahnya bangunan terbengkalai lainnya yang banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Bangunan-bangunan semacam ini di Surabaya sebetulnya tak hanya satu-dua. Bila kita tahu di mana mencari, ada saja bangunan atau struktur bersejarah yang terselip di tengah ingar-bingar kota.


Namun, tak semua bangunan bernilai sejarah itu tidak terawat. Banyak pula gedung lawas yang tetap berdiri kokoh dan tampak cantik. Banyak dari bangunan itu yang menjadi cagar budaya dan dirawat oleh dinas kota, tapi tak sedikit juga yang merupakan milik pribadi dan masih dipergunakan hingga kini.


Hal yang agak mencengangkan adalah ketika menyadari bahwa sesuatu yang sering kita jumpai, mungkin setiap hari kita lewati, ternyata menyimpan cerita berusia ratusan tahun. Gang-gang yang berada di area Kramat Gantung, misalnya. Gang yang berada tak jauh dari pusat kota ini ternyata menyimpan sejarah yang lebih tua daripada balai kota atau gubernuran, yaitu kisah Surabaya semenjak zaman Majapahit, saat kota pelabuhan ini masih memiliki keraton.


Kini, mungkin jarang yang menyangka bahwa gang-gang padat penduduk ini dulunya adalah tempat para bangsawan Surabaya hidup: makan, mandi, kerja, bercengkerama dengan keluarga dan tamu jauh, termasuk menyelenggarakan upacara/adat keraton seperti keraton-keraton yang sekarang masih eksis. Well, saya sendiri juga kaget begitu tahu bahwa jalan yang saya sering saya lewati dan saya abaikan (karena ya cuma lewat doang) ternyata eks keraton Surabaya.


Untuk ukuran kota metropolitan yang dikenal tidak memiliki jejak 'kekeratonan' seperti Surabaya, hal ini adalah sesuatu yang mengundang dengung kagum. Seenggaknya bagi saya, hehe. Akan beda kesannya bila sejarah kebangsawanan ini saya saksikan di kota yang terkenal memiliki keraton (dan sistem pemerintahan keraton), misalnya Yogya atau Solo. Di dua kota ini, nuansa keraton begitu lekat, sedangkan di Surabaya justru sebaliknya.


Terasa jauh karena bekas-bekasnya sudah tiada, mungkin sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang sudah berganti bangunan modern.  Namun, di saat yang sama juga terasa dekat karena tahu bahwa area yang kita lewati setiap hari ternyata punya sejarah panjang.


Dekat, tapi masa itu terasa jauh.

Jauh, tapi area/bangunannya masih bisa disentuh tangan.


- Salah satu bangunan di area Keraton Surabaya.
Bak pintu ke masa lalu -

Akan beda cerita bila sejarahnya berkisah soal situasi di lokasi saat era kolonial. Bangunan dari era ini masih banyak yang berdiri tegak, terutama di pusat kota. Atau, sejarah era kemerdekaan misalnya. Seperti bangunan Benteng Kedung Cowek tadi. Mungkin karena masanya lebih dekat dan bangunannya juga masih ada.


Apapun itu, di balik gedung-gedung tinggi yang gemerlap dan jalan-jalan besar yang kadang bikin orang luar kebingungan, Surabaya masih menyimpan berjilid-jilid cerita. Mungkin bahkan sejak masa pra-Majapahit ketika kota ini masih disebut Ujunggaluh. Detail kisah-kisah itu terselip di gang-gang kecil, tanah dan bangunan terbengkalai, di sudut sebuah lapangan golf, atau tempat-tempat nyempil lain yang bahkan banyak warga Surabaya pun juga nggak tahu.


Maka, kalau memang suka sejarah, asik rasanya jalan-jalan sambil ngelihatin bangunan lawas yang kita tahu ceritanya. Sering ada komunitas sejarah yang jalan-jalan begini. Ada juga layanan walking tour dari beberapa penyedia jasa pariwisata. Ada guide yang bakal menjelaskan sejarah tempat-tempat yang kita sambangi. 


Buat orang dalam kota yang pengin jalan-jalan dengan nuansa berbeda atau pengin jalan-jalan tapi nggak bisa keluar kota/punya sedikit waktu aja, walking tour sebetulnya bisa jadi salah satu opsi travelling. Jadi nggak melulu refreshing ke mall atau apalah yang biasa jadi jujugan main pada umumnya. Apalagi kemarin waktu pembatasan perpindahan antarkota diperketat ketika kasus Covid-19 lagi meradang, jalan-jalan dalam kota sendiri pun bisa jadi opsi refreshing (dengan tetap patuh protokol kesehatan tentunya). Plus, ini jalan-jalan yang budget friendly banget. Biayanya di bawah IDR 100k bahkan di bawah 50k. Paling membengkak kalau ternyata di tengah jalan pengin jajan atau beli minum.


Nggak cuma di Surabaya, di beberapa kota lain, acara (atau tur) jalan kaki semacam ini juga ada. Umumnya memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, atau Semarang. Namun, kadang ada juga yang mengadakan di kota lain. Apalagi dari komunitas pencinta sejarah lokal daerah tsb. Saya kurang tahu kalau di luar Jawa, mungkin di kota besarnya juga ada. Mungkin ada yang punya infonya? Siapa tahu kapan-kapan ke sana, jadi bisa walking tour juga, hehe.


"Eh, terus soal Benteng Kedung Cowek sama Keraton Surabaya sejarahnya sebenernya gimana?"


Stay tuned. Rencananya bakal dipos dalam waktu dekat. Mungkin pekan depan, mungkin pekan depannya lagi. Who knows, hehe. Nyari referensi dulu biar rada lengkap. Atau yang udah telanjur penasaran, bisa lihat sneak peek-nya di highlight IG. 


 


======================



Sedikit cerita (slash curhat? Wkwk)

Tulisan ini seharusnya dipos di platform lain karena saya berencana ikut lomba nulis kategori non-fiksi. Udah jadi, nih, kerangkanya. Tinggal eksekusi nulisnya aja. Eh, ternyata … waktu ngecek SnK lagi ... alpa ngelihat kalau kategori non-fiksi syaratnya min 20.000 karakter 😭 Kirain cuma sepanjang artikel biasa huhuhu.


Padahal udah ancang-ancang pengin ikut sejak Agustus dan udah rencana pakai topik ini. Mana DL-nya tinggal hitungan hari. Ya sudahlah, dipos di sini dulu aja. Toh tulisannya belum ‘matang’ juga. Siapa tahu bakal ada kompetisi sejenis kapan-kapan. Mungkin bisa buat tabungan, nanti tinggal dipoles dan nambah ini-itu sedikit lagi. Maybe.




Reading Time:

Jumat, 16 September 2022

Ketika Travelling Kembali, Apa yang Berganti?
September 16, 2022 4 Comments




Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula sebagian orang harus menahan diri untuk tidak bepergian tanpa keperluan yang mendesak, karena wabah. Keinginan untuk jalan-jalan tentunya bukan sesuatu yang urgen sehingga harus ditahan. Saya tahan. Selama itu pula saya nggak pergi travelling ke luar kota.


Perjalanan kereta api atau bus yang biasanya saya jabani, paling tidak enam bulan sekali, sama sekali tiada. Keinginan jalan-jalan syukurnya bisa terpuaskan dengan motoran dalam kota saja, tanpa mampir kecuali isi bensin. Jalan-jalannya pun sendirian atau hanya dengan segelintir orang yang sehari-harinya memang berkontak dengan saya.


Ketika gelombang Covid mereda akhir tahun lalu, setelah berhitung, barulah saya mulai travelling ke luar kota. Itu pun masih dengan syarat yang saya buat strict: pakai kendaraan pribadi, hanya dengan orang serumah, dan nggak pergi ke tempat yang banyak orang. Saat itu, kami hanya berhenti dua kali: untuk salat dhuhur dan makan. Sengaja kami cari resto sepi yang punya area outdoor


Alhamdulillah wabah Covid-19 sudah mereda tahun ini. Jauh, jauh lebih mereda dibanding tahun lalu. Tahu bahwa situasi sudah relatif aman (tapi tetap tidak abai), seorang sahabat memberanikan diri mengajak saya travelling luar kota dengan kendaraan umum. And, we were to stay overnight.


Setelah rundingan bikin itinerary, kami berdua sepakat untuk mbolang lagi. Kali ini dengan kereta api. Perjalanan waktu itu juga berupa open trip, yang artinya kami bakal satu mobil dengan beberapa orang yang tak kami kenal dan dari daerah lain. Apalagi, malamnya ternyata kami harus menginap. Di hostel, lagi. Bukan hotel yang lebih privat, tapi hostel yang sekamar diisi banyak orang. (Pengalaman nginap di hostel pernah saya bahas di sini)


Ternyata, dua tahun hidup dalam kondisi wabah mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan saya, termasuk dalam travelling. Mungkin style travelling juga berubah. Apa aja?



🏷️  Bawaan lebih banyak 

Saya nggak suka bawa barang terlalu banyak saat travelling. Dompet, HP, dan jaket adalah barang yang wajib dibawa. Sisanya opsional. Bermalam sehari? Tinggal tambah sehelai kaus dan deodoran. Barang lain bisa dibeli on the spot, kalau perlu. Satu tas pinggang udah cukup banget menampung semua kebutuhan.


Saat kemarin itu, saya cukup kaget karena ransel saya penuh. 'Ini cuma travelling 1D1N, lho. Kok penuh banget?' batin saya. 


Saya bongkar lagi. Ada tambahan barang rupanya. Sabun cair, hand sanitizer, setumpuk obat, buku bacaan, segepok roti, powerbank, dan charger HP. Selain sabun dan obat, barang-barang lain sebetulnya jarang atau nggak pernah saya bawa sebelumnya.


Dulu, saya nggak pernah bawa dan pakai hand sanitizer. Saya cuma pakai alkohol saat di lab, itu pun hanya sebelum/sesudah pegang sampel. Kalau mau makan atau minum ya cuci tangan biasa. Belum tentu pakai sabun dan jelas nggak cuci selama minimal 20 detik. Sekarang, mau keluar jauh atau dekat, botol mungil berisi etanol 70% selalu tersedia di saku.


Obat, selalu saya bawa. Jaga-jaga barangkali masuk angin atau mabuk darat di jalan, setidaknya bisa membantu tanpa perlu gupuh cari apotek. Buku genre fotografi saya bawa karena jalan-jalan ini sekalian hunting foto. Rencananya, itu buku bakal dibaca malam menjelang tidur. Namun, ending-nya nggak kebaca karena udah capek duluan. Zonk!


Powerbank dan charger cukup jarang saya bawa karena jarang pakai ponsel saat travelling, kecuali buka peta atau motret. Sayang, daripada utak-atik ponsel, lebih enjoy lihat dan ngamati lingkungan sekitar atau sekadar ngobrol dengan rekan seperjalanan/warga setempat. Kali ini, keduanya harus saya bawa karena ada rencana merekam video timelapse dengan ponsel yang, tentu aja, bakal ngabisin baterai. (Dan bener, dong, timelapse 10 menit langsung habis 10-15% kalau nggak salah).


Roti? Entah kesambet apa saya bawa ini. Ransum ini saya bawa buat jaga-jaga kalau di lokasi nggak ada warung yang jual makanan (tujuan kami cukup jauh dari mana-mana). Tapi kok ya bawa sebanyak itu!


Well, dua tahun tanpa travelling bikin insting light-travel  saya jadi aus rupanya. Bahkan, sobat saya pun merasakan perbedaan itu.

"Kok kamu sekarang jadi lebih ribet daripada aku?" katanya. 😄



🏷️ Lebih jaga jarak dengan orang lain 

Orang lain di sini adalah orang yang bukan rekan serombongan/orang yang nggak kami kenal. Mudahnya, orang yang kenal di jalan. Tahu lah, kalau travelling gitu kan ketemu banyak orang. Banyak yang cari travel-buddy juga. 


Mungkin ini efek physical distancing. Berusaha menjaga supaya kita nggak tertular orang lain dan kita nggak menulari orang lain. Apalagi, kalau kita (saya) datang dari kota besar menuju kota/desa yang lebih kecil. Kota/desa kecil itu tentu relatif lebih bebas wabah daripada kita (saya) yang dari kota besar. Biasanya penularan kayak gitu emang dari faktor luar, kan?


Masker terus terpasang. Di dalam kamar hostel juga tetap digunakan (meski penghuni lain copot masker). Apalagi ini kamar penghuninya bukan cuma WNI, tapi juga WNA. Dan waktu itu kasus Covid-19 dan cacar monyet di luar negeri agak naik kurvanya. Masker baru saya lepas ketika sudah masuk bilik pribadi. Di tempat terbuka pun, kami usahakan mask always on. Kecuali di tempat terbuka yang minim orang (atau, ketika mau difoto). 


Gimana jaga jaraknya? Apa nggak ngobrol sama sekali?

Oh, tentu aja tetap ngobrol. Jaga jarak nggak berarti kita judes dan ansos. Cuma jarak waktu ngobrol agak jauh aja, lebih dari jarak sopan. Apalagi kalau tempatnya sempit macam di kamar. Interaksinya ya tetap kayak dulu, sebelum wabah. 



🏷️  Skincare 

This is unexpected

Bahkan ketika hiking pun, paling pol saya cuma bawa tabir surya, sabun cuci muka, plus pelembap bibir. Itu pun biar kulit dan bibir nggak ngelupas seperti lapisan tomat setelah diblansir; kebutuhan basic yang cowok juga butuh. Itu pun, kalau lupa ya wes nggak jadi pakai, meski dibawa. 


Kemarin ini, bertambah beberapa skincare yang saya bawa. Ada kali ketambahan 2-3 botol lain. Ngapain? Ini imbas akibat setahun terakhir wajah saya rajin disambangi jerawat. Supaya doi nggak makin rajin ngapelin, jadilah terpaksa bawa beberapa krim dan obat. Apakah terpakai? Kepakai, sih, tapi nggak serutin yang seharusnya hahahah. Mana sempaaat. Lagian kalau dipikir-pikir absen sehari harusnya nggak apa-apa, kan. Kenapa waktu itu bela-belain bawa, ya? Nambah berat iya, dipakai enggak. Wkwkwk.



🏷️  Botol minum: antara termos dan zero waste 

Ini juga salah satu ke-riweuh-an waktu travelling kemarin. Bisa-bisanya kepikiran bawa dua botol minum! Tepatnya satu botol volume 1L dan satu termos kecil. Keduanya berisi air putih. Rencananya, ketika sampai di lokasi, termos itu akan saya isi kopi panas. 


Soal termos ini agak lucu (dan konyol). Saya dan sobat memang sengaja barengan bawa termos karena spot tujuan yang kami tuju memang terkenal dingin. Termos ini bakal berguna banget kalau pengin nyeruput minuman hangat. Namun, ada maksud lain juga. Saya sengaja bawa termos untuk ... properti foto.


Astaga. 


Rencananya, sih, pengin bikin shoot ala-ala adventure. Tahu lah, macam foto cangkir bushcraft dengan asap mengepul  dan latar belakang rangkaian gunung. Atau foto diri dengan separuh wajah tertutup cangkir dan background alam. One of the most mainstream travel aesthetic photos. (Tapi keren, hahaha)


Kayaknya pengaruh medsos sudah mulai merasuki kami, LOL. Padahal sebelum-sebelumnya, mana pernah kami peduli soal ginian. Living in the moment is our motto. Yang penting ada 2-3 foto diri dan barengan. Peduli amat itu foto aesthetic atau enggak.


Jadi apakah foto itu berhasil diambil?

Enggak! 😅 We were too immersed in the moment to care about those flasks. Pemandangannya terlalu cantik sampai kami lupa kalau bela-belain bawa termos. Astaga (lagi) ....


Gimana dengan nasib botol 1L-nya? Oh, jelas terpakai. Meski akhirnya tetap beli minum lagi karena mana cukup air putih satu liter buat dua hari.


Inspirasi bawa botol itu datang setelah beberapa saat ngikuti tulisan soal wisata minim sampah a.k.a zero waste adventure. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya nggak pernah bawa botol minum (selain kalau hiking) adalah kita dengan gampangnya bisa beli air mineral botolan. Toh, saya selalu butuh lebih dari satu botol sehingga percuma juga bawa botol sendiri karena ending-nya pasti beli juga.


Namun, setelah dipikir-pikir ulang, kayaknya nggak ada ruginya kalau dicoba dulu, toh? Beberapa kali travelling kecil-kecilan ke tempat yang dekat, kebetulan menyempatkan bawa botol kecil. Lumayan jadi nggak perlu berhenti buat cari minum. Karena 'percobaan kecil' itu berhasil, maka kali ini saya coba aplikasikan ke perjalanan yang agak panjang.


Memang, sih, 1L itu kurang. Dan bila kita melancong berhari-hari, pasti ada barang yang kita beli dan sampah yang kita hasilkan. Sampah wisatawan adalah salah satu faktor penting yang nggak semua daerah wisata bisa menyelesaikan. Kejauhan kalau saya ngomongin soal zero waste trip karena toh saya belum bisa aplikasikan menyeluruh. Bahkan mungkin ada yang mikir, "Cuma ngurangin satu botol/satu lembar bungkus doang, apa efeknya?" Meski bakal ada juga yang menyanggah, "Satu botol/lembar kalau banyak orang, bisa jadi setumpukan juga." Again, kejauhan emang, karena zero waste trip ini selain butuh akal dan perencanaan juga butuh modal. Cuma, mungkin berawal dari penasaran, lama-lama beneran bisa? Meski lama. Who knows ....




Hm ... apa lagi, ya? Kayaknya masih ada satu hal lagi, soal kereta. Tapi rasanya masih kabur dan hablur sampai saya juga nggak bisa pegang benang utamanya. Nanti, deh, ditambahin kalau udah jelas, hehe. 


Yang jelas adalah ada kemungkinan kebiasaan-kebiasaan baru ini yang akan terus terbawa dan memang ingin saya bawa. Lebih peduli soal kebersihan (tangan terutama), misalnya. Yang jelas, ketambahan barang bawaan yang nggak perlu bukan salah satunya, haha.


Yah, pandemi global eemang mengubah segalanya. Tanpa pandemi pun perubahan gaya hidup akan tetap terjadi, meski mungkin lebih lambat dan nggak drastis. Memilah mana perubahan yang baik diteruskan dan layak ditinggalkan, itu tergantung kitanya.



Reading Time:

Jumat, 15 Juli 2022

Menjajal Hostel
Juli 15, 2022 2 Comments
Tampak dalam kamar hostel. Satu kamar diisi beberapa tempat tidur susun atau bunkbed. Tampak bunkbed terletak tepat berdampingan dan diberi tirai agar tamu hostel lebih privat dan nyaman dalam beristirahat.


Yup, hotel dengan 's'; hostel. Bukan saltik.


Meski cuma beda satu huruf, hotel dan hostel cukup berbeda. Keduanya sama-sama penginapan, tapi fitur yang ditawarkan nggak sama. Kalau di hotel kita menyewa kamar, maka ibaratnya di hostel kita sewa tempat tidur. Sebab, beda dengan hotel yang menyediakan satu kamar+kasur+kamar mandi, hostel menyediakan satu ruangan yang diisi beberapa tempat tidur sekaligus. Artinya, satu ruangan bisa dihuni bersama oleh beberapa orang yang bahkan nggak saling kenal.


Pernah lihat kamar tidur di asrama? Ya kira-kira begitulah bentuknya. 


Gimana dengan fasilitas penginapan lain, kamar mandi misalnya?

Sama, kamar mandi ada di luar kamar dan juga dipakai bersama. Jadi nggak ada tuh istilah kamar mandi dalam kayak kalau cari kos, hehe. Hal lain yang agak beda dari hotel adalah hostel menyediakan dapur+alat masak dan living room. Jadi ya semuanya dipakai bersama. 


Tampak dalam kamar hostel. Satu kamar diisi beberapa tempat tidur susun atau bunkbed. Tampak bunkbed terletak tepat berdampingan dan diberi tirai agar tamu hostel lebih privat dan nyaman dalam beristirahat.
Penampakan kamar/dorm dengan tempat tidur susun.
Di hostel yang saya inapi, tiap bed diberi tirai. 

Meski udah lama tahu soal hostel, sebenarnya saya baru sekali nyobain. Itu pun baru beberapa hari lalu dan kebetulan; nggak direncanakan. Sebelum-sebelumnya lebih akrab bermalam di hotel, homestay, atau penginapan lainnya yang berkonsep sewa 1 kamar untuk sendiri (atau numpang di rumah/kosan teman, hahahah). Cuma perasaan saya atau emang di sini hostel lebih jarang ditemui daripada hotel? Dan orang-orang pun banyak yang lebih familiar dengan hotel?


Gimana ceritanya bisa milih hostel?

Jadi beberapa hari lalu, saya dan seorang teman pergi ke Kota Malang. Sebetulnya nggak berniat menginap, tapi karena ada sedikit perubahan jadwal, kami harus cari tempat istirahat. Agak maju-mundur juga waktu cari penginapan karena dini hari kami sudah harus cabut, jadi sayang bayarnya kalau cuma nginap sebentar. Akhirnya kami cari penginapan berharga paling miring di dekat Stasiun Malang Kota. Ketemulah angka Rp62.000 di salah satu penginapan. "Kok murah banget?"


Penginapan itu ternyata adalah hostel.

"Oh ya pantes."

Harga hostel memang lebih murah daripada hotel, kadang bisa jauh banget murahnya. Meski akhir-akhir ini mulai banyak hostel eksklusif atau capsule hotel yang harganya setara dengan satu kamar di hotel sederhana. Harga tadi adalah harga per orang di dorm campur laki-perempuan. Berdua cuma 125 ribu; lebih murah sekian puluh ribu daripada harga satu kamar hotel sederhana di area situ. Yo wes, langsung booking


Malam itu kami tiba di SO! Boutique Hostel di bilangan Jalan Majapahit. Lokasinya nggak jauh dari stasiun, tugu, dan alun-alun. Dari luar, kami nggak menyangka kalau betul ini bangunannya kalau bukan karena ada plangnya. Soalnya, dari luar kelihatan lebih mirip ruko atau kantor, bahkan begitu masuk, vibes-nya lebih kayak kafe.


Seantero bangunan dipenuhi cahaya warm white. Lantai satu tampak kosong-melompong. Naiklah kami ke lantai dua dan rupanya di sinilah lobinya. Ada meja resepsionis, set meja-kursi serta hamparan karpet di depannya. Seorang bule pirang tengah goleran santai di sana sambil memainkan ponselnya. Denting perkakas masak terdengar dari dapur di belakang resepsionis. 


Dengar-dengar, hostel memang lebih populer di kalangan WNA, khususnya yang backpacker atau budget traveller. Kenapa? Ya karena murah. Ada fasilitas dapur pula, jadi kalau pengin menghemat biaya makan ya bisa masak. Makanya di depan resepsionis tadi ada meja-kursi yang bisa dibuat tempat makan bersama.


Ruang makan/ruang duduk di hostel memang difungsikan sebagai tempat komunal supaya tamu yang tak mengenal bisa saling berinteraksi. Berawal dari sapaan, nanya asal, kemudian berlanjut jadi tukar info soal travelling. Bahkan kemudian bisa jalan bareng kalau tujuannya sama, urunan transpor atau sewa kendaraan, dsb. 


Sepertinya SO! Boutique Hostel cukup banyak dikunjungi WNA. Papan coklat di seberang meja resepsionis dipenuhi foto-foto warga asing yang pernah menginap di sini. Ada juga potret tamu-tamu Indonesia. Kertas warna-warni menyeruak dari sela-sela foto, berisi kesan-pesan mereka.


Setelah check-in, kami masing-masing diberi kartu bertuliskan nomor bed dan semacam gelang oleh mbak penjaga. Dua barang ini berfungsi membuka pintu kamar dan loker serta menyalakan lampu di bilik bed. Naiklah kami ke lantai tiga sambil melihat-lihat desain penginapan yang sangat minimalis.


Satu hal yang kami sadari ketika masuk hostel ini adalah: temanya industrial. Dinding dibiarkan (atau dibuat?) bersemen abu-abu tanpa dicat. Demikian juga lantainya. Pipa dan kabel serba putih mencuat dari langit-langit, berbaris rapi. Terundak tangga terbuat dari kayu coklat muda yang disangga tiang dan teralis putih; minimalis. Tangga ini berada di tengah ruangan seakan jadi pembatas antara sisi kamar+loker dan kamar mandi+wastafel.


Di lantai tiga terdapat dua dorm/kamar campur, sedangkan di lantai empat, kamar cowok-cewek dipisah. Harga kamarnya juga beda antara dipisah atau enggak. Harga mixed dorm lebih murah, sedangkan yang dipisah dibanderol seratus ribu sekian rupiah, kalau nggak salah lihat.  Suara obrolan berbahasa Indonesia terdengar dari lantai atas, sedangkan di sini sayup-sayup percakapan berbahasa asing mengalir dari balik pintu. Di samping pintu-pintu inilah berdiri loker-loker sebagai pengganti lemari. 


Waktu itu kami bingung gimana buka lokernya karena nggak ada kunci atau slot kartu. Nge-tap kartu juga nggak bisa. Setelah tanya pada sesama penghuni yang kebetulan lewat, ternyata tinggal tap aja gelang karet tadi ke nomor loker. Beep, dan cklek! Loker pun terbuka. Saya berasa kudet, haha. Tadinya mikir ini gelang fungsinya apa, kan udah ada kartu. Oh ternyata....


Setelah naruh barang di loker, kami pun masuk ke kamar. Beberapa tempat tidur susun (bunkbed) tertata rapi dengan gorden sebagai penutup. Di sini, antarkasur pun dipisah dengan triplek sehingga lebih tampak seperti bilik kecil daripada bunkbedBed-nya tampak lumayan rapi dengan sprei dan bantal putih. Diberi juga satu selimut tipis.

Loker berderet di depan kamar/dorm hostel. Loker juga dipakai untuk menggantung dan mengeringkan handuk basah. Tampak juga tempat tidur hostel. Di sini, tiap bed diberi papan pemisah sehingga terlihat seperti bilik kecil.

Gimana rasanya tidur di bunkbed, komunal pula?

Ya gitu; sama aja kayak tidur biasa. Buat saya, kasurnya nyaman-nyaman aja, sih. Empuk, nggak keras. Cukup bersih pula meski nggak bersih banget atau nggak wangi. Karena tiap tempat tidur ada tirainya maka bisa lebih bebas meski komunal. Nggak perlu khawatir ada yang ngebatin, "Ini orang pose tidurnya gini banget", hehehe. 


Cuma kalau udah malam banget dan malas ngobrol di ruang duduk, ngomongnya kudu bisik-bisik biar nggak ganggu penghuni di bilik lain. Karena tiap bilik bed ada lampu sendiri, jadi aman lah kalau belum mau tidur tapi pengin goleran atau baca buku di kasur. Nggak kayak asrama yang lampunya satu dipakai seruangan.


Sekadar saran buat yang gampang pusing atau punya vertigo: mending pilih kasur di bawah. Jangan pilih bed yang atas. Waktu nginap kemarin, saya sengaja pilih bed atas karena penasaran. Lupa, kalau saya lagi gampang pusing. Waktu saya lagi tidur-tidur ayam, ada penghuni yang gerak agak kenceng. Meski mungkin nggak sadar pindah posisi tidur, otomatis semua bed ikut goyang. Meski pelan, tapi diayun halus dan berkali-kali kayak gitu ternyata bisa bikin pusing beneran. 


Oh ya, saran ini juga berlaku buat yang trauma gempa atau gampang kebangun karena gempa. Ayunan bed-nya haluuus kayak kalau lagi gempa. Kalau tidur di kasur bawah mungkin nggak akan begitu terasa.


Mandinya gimana? Makannya gimana? Shalatnya gimana?


Kamar mandi dipakai bareng. Di sini shower dan toilet terpisah, tapi saling hadap. Toiletnya model toilet kering, tapi tenang aja ada bidetnya, kok. Toilet dan shower dua-duanya bersih. Biliknya juga ada banyak jadi meski dipakai bareng, nggak perlu ngantre.


Karena bukan hotel, maka nggak dapat makan. Bisa masak atau cari di luar. Pas banget hostel ini dekat dengan pusat keramaian sehingga gampang kalau mau cari makanan jadi. Asal nggak makan di dalam kamar biar kamarnya nggak bau. Bisa makan di lantai dua atau kursi depan kamar.


Di sini kebetulan nggak ada mushalla. Jadi kami wudhu di shower kemudian mojok di kamar lalu gelar sajadah. Oh iya, pastikan posisi shalat nggak menghalangi bed orang. Kalau menghalangi karena nggak ada tempat lain, izin dulu. Kebetulan kemarin bunkbed di pojok kamar nggak ada penghuninya, tapi ada tangga buat bunkbed sebelahnya yang cukup terhalangi kalau kita shalat. Jadi teman saya izin dulu ke mas penghuninya.


Jadi, apa menginap di hostel tergolong recommended?

Tergantung. Kalau sekadar nyari tempat tidur, recommended. Apalagi kalau seharian dipakai travelling dan malam tinggal capeknya. Apalagi buat orang yang, kayak saya yang kemarin, cuma transit sebentar: recommend. Tidur dan istirahat di hostel cukup nyaman juga, kok. 


Hostel kurang cocok kalau kamu orangnya gampang kebangun. Sebab, bisa jadi tidurmu justru nggak nyaman karena tempat tidurnya goyang, dengar suara gedebak-gedebuk, atau terganggu ngoroknya penghuni lain.


Kalau soal kebersihan, fasilitas, kenyamanan, dsb, saya rasa tergantung hostelnya. Karena kemarin hostel yang dikunjungi bersih dan tertata, jadi rasanya cukup nyaman. Anyway ringkasnya kayak di bawah ini. Dan, poin ini buat hostel secara umum, bukan spesifik yang saya kunjungi kemarin, ya. 




==========================================================


H O S T E L

Cocok buat yang:

  • nyari harga (relatif) murah 
  • backpacker/budget traveller
  • cari tempat rehat beberapa jam sambil leyeh-leyeh
  • pengin nambah teman atau latihan English speaking (lebih mungkin ketemu WNA. Tapi pastikan mereka nyaman diajak ngobrol juga, ya)
  • nyari teman jalan bareng/urunan transpor dll
  • tukar info


Kurang cocok buat yang:

  • nyari tempat privat (yang pengin bebas menguasai satu ruangan + KM)
  • susah tidur atau gampang kebangun 
  • kurang waspada/sembrono. Karena kamar komunal, baiknya lebih hati-hati menjaga barang 
  • fisiknya sungguh rentan atau kurang enak badan, karena bisa tertular atau menulari rekan sekamar (karena lagi pandemi. Kalau nggak lagi pandemi sebetulnya juga bisa penularan penyakit lain airborne. Tapi ini balik lagi ke penginapannya, sih. Penginapan selain hostel juga bisa tertular penyakit kalau nggak bersih)


Saran kalau kamu nginap di hostel:

  • Meski ada loker, tetap bawa barang berharga ke kasur. Kalau keluar, ya dibawa. (Ini bisa dipakai nggak cuma di hostel aja, sih. Di hotel dll juga bisa)
  • Friendly tapi tetap hati-hati pada orang baru; nggak sepenuhnya percaya. Ada banyak sharing kisah tertipu teman yang baru kenal di perjalanan 
  • Cek ada jam malamnya atau enggak
  • Kalau lagi kurang enak badan/khawatir tertular penyakit khususnya yang sejenis flu atau penyakit airborne lain, lebih baik nginap di kamar yang lebih privat. Tbh kemarin berani nginap di hostel karena cuma stay beberapa jam


==========================================================


Reading Time:

Jumat, 04 Maret 2022

Kebetulan (?)
Maret 04, 20221 Comments

Beberapa hari lalu, seorang sobat ngajakin makan di salah satu tempat yang emang lagi happening di kalangan kancah muda. Habis cek-cek online, oke lah. Emang tampak nyaman, panorama di sana juga cantik. Cuma, ini salah satu tantangannya: karena happening abis, maka besar kemungkinan itu tempat bakal ruamee pol.


Apalagi, kami emang berencana pergi di hari libur.
(Ya gimana, kalau hari biasa kepentok hari kerja)

Salah satu trik saya kalo pengin jalan-jalan/wisata ke tempat yang disukai banyak orang: pergi di hari kerja atau datang pagi-pagi banget. Yang pertama, tentu nggak bisa. Nah, yang kedua bisa diusahakan.

Tapi karena satu dan lain hal, kami baru bisa mampir menjelang sore. Terus gimana? Sesuai dugaan. Bukan rame lagi, tapi full! Pemilik resto sampai bilang ke bapak parkir supaya nggak nerima pengunjung lagi.

Ya wes kita cari tempat lain yang suasananya masih 11-12. Lagipula kalau penuh manusia gitu rasanya agak gimanaaa gitu. Sebelum ada Covid19 aja, saya cenderung ngehindarin tempat nongkrong yang rame karena berasa sumpek dan malah nggak bisa santai. Apalagi pas ada Covid, tambah lagi. 

Nggak jauh dari situ ada resto lain. Resto yang ini sama happening-nya dengan yang tadi. Kita coba masuk. Udah parkir nih, udah jalan sampai ke gerbang, lalu dicegat seorang bapak (security, maybe?) yang intinya pengunjung harus antre dulu dan syarat berkunjung harus memesan makan/minum minimal sekian rupiah per orang. Udah jam segini dan kudu ngantre dulu buat makan siang? No way. Selak keluwen, cak. 

Sebelum tempat parkir kebetulan ada beberapa resto lagi. Salah satu terlihat lebih sederhana dibanding tempat makan di sekelilingnya. Di sana pun pengunjung tampak sedikit, jadi sepi. Maka kami berbelok ke resto itu. Urusan rasa, nanti-nanti lah. Yang penting makan dan duduk dulu.

Dari ukuran, tempat ini jelas lebih kecil. Hanya seukuran rumah dengan halaman yang rada luas. Soal konsep, nggak tahu. Mungkin mengusung konsep fasad tradisional karena ada beberapa saung jerami khas Indonesia, beda dengan resto-resto di sekitarnya yang tampak mengusung tema lumbung tani ala Eropa (a.k.a rustic Western barn). Tapi karena lebih sepi, kami bisa lebih santai.

Selain agenda meet up sama sobat, sebenernya saya sekalian hunting foto juga. Awalnya rada skeptis, sih. Tempat yang sederhana kan biasanya bikin otak harus lebih muter karena kudu cari angle yang pas biar foto jadi enak dipandang. Karena udah agak capek juga, jadi saya cuma motretin bunga-bunga di sekitar situ aja. Sekenanya; cenderung asal jepret.

Kemudian nyadar. Lah, kok, di sini ada lebih banyak bunga dan lebih berwarna daripada resto sebelah? 

Salah satu alasan kenapa saya motret bunga adalah mereka eye-catching. Nggak perlu banyak usaha, mereka sudah bisa 'tampil' dengan cantik. Jadi buat saya yang amatir ini, objek bunga sangat memudahkan hunting foto, hehehe. Selain itu, bunga juga bisa jadi salah satu alat buat framing. Karena masih latihan (lama amat latihannya, wkwk), maka kalau ada objek kayak gini ya membantu banget. 

Mungkin, kalau kami jadi ke resto tujuan tadi (baik yang pertama ataupun kedua), kami bakal kurang bisa santai karena ada banyak orang. Kami pun, mungkin, kurang max menikmati pemandangan alam dan hawa sejuk yang ada di sekitar. Dan, saya nggak bakal ketemu bunga-bunga elok aneka warna yang bisa jadi objek foto.

Kebetulan banget, bukan?
Padahal resto itu kami pilih asal. Asal dapet tempat, asal bisa makan (udah laper! wkwk), asal bisa duduk. Suasana dan makanan nomor sekian (meski surprisingly rasa makanannya lumayan meski menunya biasa aja). Serasa kebetulan yang merupakan keberuntungan.

Kalau kata orang bijak, sih, nggak ada yang namanya kebetulan. Kan, udah ada yang ngatur takdir. Hanya saja, logika takdir nggak semudah logika otak manusia. Atau mungkin pakai hukum logika yang berbeda. Jadi ya... nggak nyampe.  

"Oh, Sherlock, what do we say about coincidence?"
"The universe is rarely so lazy."
- Sherlock (BBC ver)

Hal yang kita anggap kebetulan, mungkin sebetulnya adalah hasil dari sebuah rangkaian rumit dan teramat panjang yang didesain Yang Maha Kuasa. Rentetan reaksi ini begitu njelimet dan 'nggak logis' bagi otak kita. Tahu butterfly effect? Ya mirip-mirip itu lah, cuma lebih rumit sebab ilmu kita kan jauh lebih sedikit. Seperti yang kita tahu, logika dan matematika Tuhan seringkali beda dengan kita. Dan bukannya dunia ini sebetulnya perwujudan sebuah model matematika? Bahkan cahaya yang dianggap maya toh bisa dihitung pakai formula. 

Yaa kebetulan waktu itu takdirnya dapat tempat yang lumayan cozy. 
Berarti, bisa aja dong dapatnya justru tempat yang lebih nggak enak? Bisa. Bisa aja kebetulan kami jadi dapat resto yang suasana dan makanannya nggak enak. Bisa jadi kebetulan malah dapat tempat yang enak tapi harganya selangit. Daaan kebetulan-kebetulan lainnya.

Namanya juga kemungkinan; ada banyak. Hampir tak hingga.

So, kebetulan tak harus selalu dapat keberuntungan; kadang malah bisa buntung. Bahkan ketika sudah diusahakan, udah ikhtiar mati-matian, hasilnya tetap bisa jelek dan nggak sesuai harapan. Para pengunjung resto happening tadi mungkin ada yang udah rencana jauh-jauh hari, datang dari tempat yang jauh juga, atau mungkin berangkat pagi dari rumahnya. Tapi bisa jadi dengan usaha yang lebih itu, ada yang justru rugi karena malah nggak bisa nikmatin suasana akibat penuh sesak. Atau, nggak bisa dapat foto bagus karena banyak orang seliweran. Di sisi lain, ada yang lebih santai, tanpa usaha, mungkin malah asal aja (kayak kami tadi), tapi justru dapat hasil yang baik.

Kok kayak nggak adil gitu?
Well, that's life. Life is unfair. You want fair? That's afterlife.

Manusia cuma bisa usaha dan antisipasi. Hasilnya? Entah.
Beberapa bisa seperti prediksi, sebagian bisa seratus delapan puluh derajat.
Bisa kebetulan bagus sesuai perhitungan atau kebetulan apes meleset berlawanan.
Bisa qadarullah pas dengan hal yang dipengeni atau qadarullah malah bikin istigfar berkali-kali. 

Hidup toh memang dinamis. Nggak sesimpel 'jika x maka y'. Jika berusaha maka berhasil, jika malas pasti miskin, dan jika-jika lainnya. Nggak juga seideal kalimat motivasi ataupun kata-kata mutiara; mau yang berbau senja ataupun yang tampaknya berbalut agama. 

Life is just... too complex to be comprehended from only one sentence.
And it is too complex to be summarised to only one sentence.

Or one paragraph.
Or one random written thoughts.


Siapa sangka dari asal pilih, ternyata kebetulan dapat pemandangan lumayan cakep

Reading Time:

Jumat, 07 Januari 2022

Daya Dukung
Januari 07, 2022 4 Comments

 

Kalau Cappadocia itu di Indonesia, yakin deh, beberapa bulan ini pasti bakal berjubel wisatawan domestik.

 

Salah satu adegan dari serial film lokal yang populer belakangan ini menyebut-nyebut Cappadocia sebagai salah satu tujuan wisata. Sebetulnya, lokasi ini sudah jadi global tourist destination Turki sejak lama. Bisa dibilang a-must-visit kalau punya budget travelling lebih pas main ke negara asal kebab dan baklava ini. Orang-orang Indonesia pun sudah banyak yang dengar, meski nggak seluas sekarang. Lokasi ini pernah diulas di beberapa buku travel writing Indonesia juga.

 

Salah satu sifat manusia memang latah. Lihat orang lain begitu, jadi pengin begitu juga. Lihat orang wisata ke sana, jadi pengin ke sana juga. Nggak terkecuali (atau tepatnya, apalagi 😁) orang Indonesia. Begitu lokasi itu terkenal di dunia maya, bakal banyak orang datang ke sana. Kesempatan ini pun dimanfaatkan untuk bikin lokasi tsb jadi ‘lebih menarik’ dengan bikin panggung love atau bunga-bunga atau tagline ‘mirip ikonnya negara X’.

 

Seorang acquintance pernah berseloroh, “Di sini tuh belum afdol jadi tempat wisata kalo belum ada love-love-nya.” 😄

 

Kadang, justru pengelola yang menghadirkan atraksi yang muncul di film-film yang melariskan lokasi itu tanpa ngecek lagi sebenernya cocok/enggak, aman/enggak, demi menuruti animo pasar. Dan ending-nya malah turis luar jadi males ke situ karena, “Udah nggak asli lagi, ya…” padahal mereka ke Indonesia buat nyari sesuatu yang beda dengan negara lain. Dan wisatawan domestik yang nyari keaslian akhirnya juga nggak pengin ke sini (– kayaknya ini dibahas lain kali aja kali ya? Kepanjangan ntar, haha. Soal asli-modif ini saya juga ‘disadarin’ sama share seorang temen di Facebook, bukan hasil mikir sendiri).

 

Kalau dilihat dari segi ekonomi, kenaikan pengunjung ke lokasi wisata jelas menguntungkan karena semakin banyak wisatawan maka semakin banyak pula pemasukan. Lebih bagus lagi kalau yang diuntungkan bukan cuma pengelola, tapi juga warga lokal. Sebab, banyak tempat wisata yang ternyata pemilik dan pengelolanya bukan orang situ. Jadi ketika untung, taraf ekonomi warga sekitar nggak turut meningkat. Mereka mungkin kecipratan ramenya, tapi cuma jadi penonton atau pelaku usaha yang nggak begitu laku. Bahkan ada juga kasus di mana penduduk justru cuma kecipratan dampak negatif: sampah, kerusakan alam, jurang sosial, kekerasan, dsb.

 

Jadi semakin banyak pengunjung makin bagus, dong, apalagi kalau masyarakat ikut sejahtera?

 

Iya, dalam batas tertentu. Kesejahteraan warga lokal nggak cuma ngomongin soal untung secara ekonomis. Namun, juga bicara soal keberlanjutan tempat itu sendiri. Maksudnya ‘keberlanjutan’? Maksudnya adalah seberapa tahan dan seberapa lama tempat itu bisa tetap bagus, lestari, dan nggak rusak. Hal ini disebut ‘daya dukung’.

 

Saya baru tahu istilah ini beberapa tahun belakangan. Selain soal lestari dll tadi, daya dukung juga berkaitan dengan jumlah wisatawan yang berkunjung. Nggak selalu, sih, tapi biasanya kalau jumlah wisatawan yang tinggi, maka kerusakan yang timbul cenderung lebih mudah muncul, meski itu kerusakan yang sungguh-sungguh nggak sengaja.

 

Misalnya, di Monkey Forest Ubud, tanahnya jadi padat karena sering diinjak banyak manusia. Ini salah satu contoh yang nggak sengaja (karena toh gimana lagi, masa mau wisata tapi ngawang?). Padahal, kalau tanah jadi padat, pertumbuhan pohon akan terganggu. Maka pengelola mencari cara supaya tanah jadi gembur kembali.*seminar pariwisata FIB UGM, 09/2019

 

Di beberapa tempat wisata alam, pemberian kuota pengunjung harian juga punya tujuan yang sama: untuk konservasi tanah/alam. Selain biar nggak umpel-umpelan dan akhirnya malah jadi kayak demo dan bukan wisata. Makanya beberapa taman nasional dan gunung untuk pendakian kini diberi kuota maksimal per hari.

 

Sebelumnya aturan ini nggak ada. Mungkin demi keamanan, mungkin juga berkaca dari pengalaman, maka aturan ini dibuat. Pasca pemutaran film 5 Cm yang ber-setting di Gunung Semeru, puncak tertinggi Jawa itu jadi banyak disambangi orang. Berturut-turut kemudian gunung-gunung lainnya. Sebelum film ini populer, pendaki gunung ini berjumlah jauh lebih sedikit dan waktu itu gunung-gunung beneran masih sepiii. Akibatnya, masalah sampah dan konservasi pun timbul. Hal ini berlangsung sampai sekarang hingga beberapa saat lalu populer kampanye ‘gunung bukan tempat sampah’.

 

Soal Cappadocia tadi kurang lebih mirip dengan ini. Kalau Cappadocia ada di Indonesia (eits, bukan berarti Cappadocia di Turki juga bebas dari masalah. Problem konservasi dan turisme juga tetap ada).

 

Coba perhatikan berapa banyak kasus serupa di sini, yaitu tempat wisata yang viral kemudian jadi muncul banyak masalah karena pengelolaan yang nggak bagus. Atau, bukan cuma banyak masalah, tapi lama-lama jadi tutup. Apa ini salah pengelola aja? Ya enggak, pengunjung macam kita juga ikut andil. Apalagi kalau abai dengan kondisi lingkungan di lokasi dan cuma pengin ambil senengnya aja. Contohnya? Se-‘simpel’ bawa jajan buat konsumsi terus sampahnya dibuang sembarangan.

 

Lagi-lagi semua balik ke daya dukung. Pengelola harus sadar seberapa kapasitas tempat wisata dan pengunjung harus membantu jagain kelestarian tempat wisata. Bukan seenaknya aja karena alasan, “Tempat ini hidup karena turis, loh. Aku sebagai wisatawan juga bayar. Tanpa wisatawan, warga sini nggak bisa makan, loh. Harusnya berterima kasih, dong, ke kita-kita”. Ye nggak gitu jugak ya, kalau udah bayar bukan berarti terus ngerasa bisa seenaknya.

((jadi inget beberapa waktu lalu pas penduduk Hawaii minta pariwisata ditutup sementara karena mereka kekurangan air bersih terus ada wisatawan yang ngegas bilang kayak cuplikan di atas))

 

Semoga, ya, semoga, kita nggak termasuk dalam kategori wisatawan yang nyebelin…

 

 

Disclaimer: background vector created by Freepik,

then slightly edited


Reading Time: