Hijaubiru: Kebetulan Kepikiran
Tampilkan postingan dengan label Kebetulan Kepikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebetulan Kepikiran. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time:

Jumat, 03 Februari 2023

Euforia Kebaruan
Februari 03, 20230 Comments

 



Nggak terasa, ya, sudah berganti bulan lagi. Padahal rasanya baru kemarin Januari menghampiri. Baru kemarin rasanya dengar ledakan kembang api bertalu-talu di langit malam yang biru bertabut abu-abu. Eh, sekarang sudah Februari aja.

 

Bukan hal baru kalau banyak orang punya rencana baru saat tahun baru. Apapun tahun barunya: tahun baru Masehi, Hijriah, Lunar, you name it. Memulai kebiasaan anyar di awal tahun yang juga anyar memang terkesan lebih ‘bersih’ dan mudah karena beranjak dari sesuatu yang sama sekali baru, nol, kosong, putih. Sebetulnya sama aja dengan memulai kegiatan itu di awal bulan/saat berganti bulan. Sama-sama baru. Namun, feeling-nya agak beda. Mungkin karena durasi tahun itu lebih lama sehingga penantiannya pun lama, jadinya lebih spesial.

 

Yang menjadi masalah adalah: apa resolusi itu sudah ajeg dilakukan hingga akhir Januari atau mulai mrothol ketika memasuki Februari?

 

(Ini, dari kacamata saya. Dan memang ngebahas soal tahun baru Masehi.)

 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di awal tahun saya mengilas balik apa-apa saja yang dilakukan tahun lalu. Apa ada hal yang signifikan? Apa ada kenaikan value? Atau, ada hal yang menyenangkan atau tak terlupakan? Ya mirip dengan evaluasi program kerja lah, cuma karena ini diri sendiri jadi yaa nggak seserius itu; dibawa santai wae. Target tercapai alhamdulillah, nggak tercapai ya… sudah, wkwkwk.

  

Saat membuka buku agenda, saya baru ingat bahwa tahun lalu saya mencanangkan program “Satu Bulan”. Dalam satu bulan, saya akan fokus mempelajari satu bidang. Planning ini punya 'masa trial' tiga bulan saja untuk melihat efektif/enggaknya. Saya lupa persisnya, tapi yang jelas ada rencana Januari Menulis dan Februari Fotografi.

 

Apakah terlaksana?

Ya dan tidak, haha.

Januari Menulis berisi 30 hari rutin menulis dan merangkum materi-materi dari webinar/pelatihan menulis tahun sebelumnya. Pendek cerita, rencana menulis rutin hanya terpenuhi separuhnya, sedangkan proses pengumpulan rangkuman tersendat-sendat dan baru selesai di bulan Februari, LOL. Pekan pertama cuma alpa satu kali, pekan kedua bolong tiga kali, pekan ketiga nulisnya yang tiga kali, sedangkan pekan keempat cuma sekali. Memang seleksi alam itu nyata, bahkan dalam diri sendiri 🤣

 

Bagaimana dengan Februari Fotografi? Enough said, it didn’t work out, hahaha.

Ya gitu, deh, semangatnya di awal, sedangkan di akhir bulan sudah melempem hingga lama-kelamaan kemudian ditinggalkan.

 

Tampaknya hal ini nggak terjadi ke saya aja. Banyak juga orang lain merasakan hal yang sama. Dan, berulang-ulang. Setiap tahun baru.

 

Dan, rupanya, tak melulu di setiap tahun baru. Hal ini juga kejadian di program baru, organisasi baru, lingkungan baru, dan lain-lainnya yang baru-baru. Belakangan saya sadari ini nggak cuma berlaku pada barang, tapi juga pada orang: lingkungan dan status baru, misalnya.

 

Dalam beberapa seminar/kelas bertema komunikasi, keluarga, atau pernikahan, para pemateri sering menyampaikan bahwa selalu ada fase honeymoon alias fase senang-senang di awal perubahan status: menjadi pasangan baru, orang tua baru, dll. Di fase ini, semua terlihat bagus dan indah. Setelah beberapa saat, barulah muncul (semacam) fase kesadaran: “Kok, ternyata ini ada jeleknya, ya?” Lalu lanjut ke fase kebosanan.

 

Kalau dilihat-lihat, siklus seperti ini nggak terjadi hanya saat punya status baru, tapi juga saat ada barang, lingkungan, atau hal lain yang baru. Contohnya, ketika masuk organisasi baru, rasanya semangat banget merancang proker ini-itu. Saat masuk sekolah/kampus/kerjaan baru, serasa happy banget mengeksplorasi ini-itu. Saat punya barang baru, apalagi yang diidam-idamkan, itu barang disayang-sayang dieman-eman banget. Nggak boleh dijalankan atau dipegang sembarangan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semua kelekatan itu mulai longgar. Sesuatu yang dulu dianggap istimewa, lama-lama kian biasa saja. Ya karena jadi sering ketemu dan hal yang tadinya luar biasa telah menjadi ‘rutinitas’ biasa saja.

 

Hilangnya ketertarikan yang dibahas pada webinar tadi mirip dengan tulisan dalam buku Geography of Bliss. Eric Weiner—sang penulis—memperhatikan fenomena kebahagiaan di beberapa negara yang dinobatkan menjadi negara paling bahagia dan negara paling nelangsa. Dalam salah satu bab tentang sebuah negara paling bahagia, Weiner menyebut bahwa (salah satu) faktor kebahagiaan di situ bak euforia memenangkan sebuah lotre.


Weiner menyitir salah satu hasil penelitian oleh Philip Brickman tentang kebahagiaan dua kelompok: satu, para pemenang lotre dan dua, para survivor kecelakaan. Intinya adalah: saat baru menang lotre atau mengalami kecelakaan, kebahagiaan dua kelompok ini beda drastis. Jelas, yang satu bahagia banget karena dapat sesuatu yang diimpi-impikan, sedangkan satu lagi sedih karena kehilangan kesehatan. Namun, uniknya, setelah beberapa waktu, tingkat kebahagiaan dua kelompok ini jadi sangat mirip, yaitu balik ke tingkat ketika mereka belum menang lotre/kecelakaan. Bila diibaratkan dengan grafik, kelompok satu yang awalnya tingkat bahagianya tinggi banget lalu berangsur turun jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum dapat lotre. Di sisi lain, kelompok kedua yang awalnya sedih banget lalu berangsur naik jadi biasa-biasa saja; seperti sebelum kecelakaan.


Hal serupa penelitian di atas Weiner temukan di sebuah negara sangat kaya yang penduduknya saja emoh naik pesawat kelas bisnis karena dianggap terlalu murah. Negeri ini dulu dikenal gersang dan nggak ada perkembangan. Kemudian, nasibnya berubah kaya dalam sekejap karena ada sumber daya alam yang baru ditemukan. Penduduknya pun jadi sangat makmur, sampai petugas hotel pun harus 'diimpor' dari negara lain, sedangkan warga lokal menjadi customer saja; bukan pekerja.


Weiner bertanya pada salah satu narasumber, apa orang di sini bahagia karena kaya sekali? Narasumber itu menjawab: ya dan tidak. Dulu, awal-awal negaranya berubah kaya, para penduduk memang senang banget. Punya ini-itu yang mahal dan nggak pernah terbayangkan. Namun, sekarang, punya sebiji Ferrari itu sudah terlalu biasa. Punya macam-macam pun rasanya biasa saja. 

 

Disclaimer, saya nggak menggeluti dunia psikologi dan mungkin interpretasi saya salah soal ini.

Dari kacamata saya, resolusi awal tahun mirip dengan kasus kelompok pemenang lotre. Kita mendapat sesuatu yang baru (resolusi baru), meninggalkan tahun belakang yang mungkin aja berisi kesedihan. Karena masih awal, masih senang-senangnya, masih semangat, jadi ya… pekan pertama-kedua ini semangat sekali. Namun, lama-lama euforia kebaruan ini menurun karena ‘barang’ yang tadinya ‘baru’ kini sudah ‘semi-baru’. Seiring terlewatinya bulan demi bulan, resolusi ‘baru’ ini pun menjadi ‘barang lawas’ yang tidak lagi bisa memicu kebahagiaan lagi. Akhirnya, resolusi ini pun rontok pelan-pelan.


Seperti ungkapan,

“Barang baru disayang-sayang, barang lama dilupakan.”

 

Akibat memang sudah siklus alamiah, maka hal ini sebenarnya lumrah. Yang jadi tanda bahaya adalah ketika menjadi muak dan ogah berurusan dengan hal itu, padahal hal tsb harus dilakukan. Misalnya, menjadi staf organisasi padahal sudah telanjur diberi tanggung jawab, bosan menjadi pasangan padahal sudah berkomitmen bersama, dsb. Atau, kalau dihubungkan dengan bahasan sebelumnya: bosan ngelakuin resolusi atau rencana hidup.

 

Maka saya setuju dengan ucapan, “Semangat membara akan mengantarkan ke gerbang, tapi butuh keteguhan agar bisa sampai garis finish dengan benar.”

 

Berkaca dari resolusi tahun lalu, omongan itu benar banget. 1-2 minggu pertama masih semangat, masih senang. Minggu-minggu selanjutnya sudah buyar akibat rasa tertekan atau sekadar ingin menuntaskan kewajiban. Nggak heran kalau istikomah emang nilainya besar.


Semua yang baru akan terasa bagai euforia. Apalagi baru dan diidam-idamkan. Something that's full of happiness and too-good-to-be-true. But then, constantly, without we're realising, it has become dull. The happiness hormone decreased because the stimulation is no longer a stimulation since it has become familiar. 

 

Gimana dengan tahun ini, apakah ada program lagi seperti Januari Menulis atau sudah kapok? Well, saya masih meraba-raba. Kiranya cuitan di atas bisa jadi gambaran bagaimana, sebab saya baru (betul-betul) membuka (kembali) buku agenda di akhir Januari, hahaha.



Reading Time:

Jumat, 16 Desember 2022

Jagung dan Kawan-kawannya
Desember 16, 20221 Comments


Suatu sore.

"Jajan, yuk." Seseorang mengajak saya.

"Yuk. Mau apa? Asal jangan makanan berat, ya." Saya sudah berencana makan nasi capcay malam nanti.

"Hm... jagung manis yang dibumbuin bawang putih itu. Enak.”

“Jagung, kan, makanan berat?”

“Halah, makanan berat apaan, nggak usah ngikutin pendapat ala Barat, dibohongin lu.

“Lah orang Madura justru udah makan jagung buat makanan pokok sejak dulu. Kamu ke mana aja?”

 

Siapa yang sering merasa belum makan (berat) kalau nggak makan nasi? Sebagian besar orang Indonesia mungkin setuju dengan pernyataan ini, hehe. Atau mungkin orang Asia/Asia Tenggara? Seperti kawan bicara saya di atas tadi.

 

Dewasa ini, di sini, jagung, ubi, talas, sagu, dll sering dianggap ‘bukan makanan pokok’ atau tidak cukup mengenyangkan. 'Hanya' camilan teman duduk-duduk saja. Padahal, kandungan kalori mereka juga tinggi, lho. Nggak kalah dengan nasi. Simpelnya, makanan-makanan ini juga bisa ngasih energi yang tinggi untuk tubuh agar bisa normal beraktivitas. Hanya saja mungkin budaya kita sekarang lebih menitikberatkan makan nasi.

 

Sekarang? Berarti dulu enggak, dong?

Bukannya ‘ajaran’ makan pengganti nasi itu datang dari budaya Barat yang terbiasa makan roti dan pasta?

 

Enggak, kok. Kalau ditilik ke masa lalu, banyak banget masyarakat Indonesia yang makanan pokoknya bukan nasi. Variatif banget. Kalau selama ini kita cuma tahu jagung, sagu, atau umbi, sebenarnya ini bisa dijabarin lagi. Misalnya, umbi apa? Ketela pohon, ubi cilembu, talas, mbothe, ganyong, you name it. Itu, baru varian umbi-umbian. Belum lagi kalau ada varian sagu dsb.

 

Bahkan di sebagian daerah Indonesia—sayang saya lupa persisnya di mana, Sulawesi kalau nggak salah—pisang juga jadi makanan pokok. Ada yang memakan dengan moncocolnya dengan saus tomat atau sambal. Tak heran, sebab meski termasuk buah-buahan, pisang juga punya kandungan kalori yang nggak kalah tinggi. (Ini jadi salah satu jurus andalan saya kalau nggak sempat sarapan, hehe. Jus pisang+susu, tanpa gula. Kalau ada, blender sekalian beberapa lembar sayur hijau buat tambahan serat.)

 

Leluhur kita pun kreatif mengolah berbagai sumber karbo ini. Sebut saja gaplek (dari ketela pohon) atau nasi jagung. Itu baru dari Jawa. Padahal, kita tahu seberapa luas wilayah Indonesia. Secara logika, harusnya olahan pangannya juga lebih beragam.

 

Jadi, menurut saya salah bila ada yang bilang bahwa yang ngajarin untuk makan berat selain nasi itu orang Barat. Enggak. Nenek moyang kita udah melakukan itu lebih dulu.  

 

Cuma, tren ini sayangnya sempat hilang. Setelah beberapa tahun (atau dekade?), tren ini memang kembali ke sini lewat budaya Barat berupa beragam diet dengan konsumsi kentang, roti, pasta, non-gluten food, dsb, alih-alih nasi.

 

Kenapa bisa hilang?

Mungkin, ada benarnya jika ada yang bilang bahwa budaya ‘makanan berat itu harus nasi’ ini dimulai saat Revolusi Hijau di Indonesia di era Orde Baru. Di satu sisi, program ini bagus karena menggalakkan teknologi dan berbagai alat bantu yang cukup efektif untuk ngedongkrak produksi bahan makanan dalam negeri. Namun, salah satu sisi buruknya adalah penggalakan penanaman padi di mana-mana, termasuk di daerah-daerah yang masyarakatnya awalnya tidak/jarang makan nasi. Akibatnya, warga yang dulu mengonsumsi karbo non-nasi jadi turut makan nasi; meninggalkan karbo lokalnya. Hal itu berlanjut hingga keturunannya sampai kini.

 

Belum lagi ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa beberapa pangan lokal itu identik dengan kemiskinan. Karena nggak mampu beli beras, maka yang dimakan adalah ubi dsb. Mungkin itu benar. Tapi, ya… karena demand beras sudah sangat tinggi, imbas Revolusi Hijau tadi, maka harga juga jadi tinggi. Padahal, secara gizi, sumber karbo alternatif tadi nggak kalah dengan beras.

 

Akibat kejadian ini, saya jadi paham mengapa beberapa tahun lalu Kementerian Pertanian mengampanyekan “Diversifikasi Pangan”. Ya, supaya sumber-sumber pangan lokal ini dikonsumsi lagi. Ya, gimana, ya, sebab kebutuhan beras Indonesia kini sudah "nggak bisa" dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kalau bukan jumlahnya yang nggak cukup, ya harganya yang nggak cocok (sehingga akan sulit laku di pasaran).

 

Gimana dengan rasanya? Mungkin orang-orang menolak makan non-nasi karena alasan itu?

Mungkin ini soal biasa-nggak biasa, kali, ya. Saya aja misalnya, memang nggak biasa makan lauk dengan selain nasi. Namun, di daerah lain, makan lauk/sayur dengan ubi dsb itu biasa. Beberapa bulan lalu saat saya makan nasi jagung plus sayur. Eh, ternyata bisa-bisa aja; enak meski sensasinya berbeda. Dan meski bukan baru kemarin coba membiasakan diri konsumsi karbo non-nasi, saya toh masih pilih-pilih lauk yang sekiranya cocok dengan kentang dkk. Sebaliknya, ada juga lauk yang saya rasa justru nggak nikmat dimakan bersama nasi.

 

Balik lagi ke tadi: biasa-nggak biasa dan selera-bukan selera. Namun, rasa-rasanya yang kedua sangat tergantung pada yang pertama. 

Reading Time:

Jumat, 04 November 2022

Treehouse
November 04, 20220 Comments


Nowadays, treehouse is not something so foreign anymore. We may have seen it at some tourist objects, especially those which located near the forests or located in lodgings with outdoor concept. Some children parks or adult's outbound spots even have them. Some of them even gone viral, like treehouses in Coban Rondo camping ground and Nusa Penida's cliff. 


It has been widely accepted now. (At least here. I don't know about all places but in those western kid novels I read, the children were playing in a treehouse). At some point, at least to people around me, the concept of treehouse was so peculiar. I still remember the time when I was so obsessed with treehouse and people ridiculed it.


It was after I read an old comic titled "Swiss Family Robinson", I think. The comic was so old because it was Dad's childhood comic. I thought, 'the comic is Dad's so people who are the same age as Dad now must have been heard/know about this'. Because I was obsessed with it, I drew it anywhere and anytime.


And I mean, really anytime. In art class in school, I drew it for a few weeks consecutively. At home, I drew it leisurely. Of course, the designs were not the same. There were several forms and details I added to different pictures. But the object was still the same: treehouse. Either it was surrounded by forest or beach. 


At some point, my homeroom teacher asked me why I drew houses perched on a tree. I said that the building has a name: treehouse. I explained where I knew about it bla bla bla. He said that he never knew house like that. I told him it's okay because from the sources I obtained it was actually an emergency house, not a 'normal' one. It was used by someone when he was stranded—like the Swiss Robinson family—or by children when they were playing (later when I became an adult, I found out that some tribes including the ones in Indonesia use treehouse as their living home). I remembered a weird expression etched on his face at that time. I couldn't name it. It was mixed between confusion, confusion, and... disbelief.


I didn't think much about it. It wasn't until my friends asked me too. I told them the same thing I said to my teacher. There was one unforgettable response,

"I don't think that exists. I asked my dad and he said that the only treehouse he knows of is a birdhouse."

or in our language, "Masak, sih, ada yang kayak gitu? Aku nanya bapakku terus dibilang kalau rumah pohon yang bapak tahu ya rumah doro (merpati)."

Then they laughed. In a mocking tone. 

It was quite blurry but in the back of my head I recalled someone (probably) saying, "Ah dia ngayal, kali."


And I remember that I kept silent and looked back at those looks of disbelief with a stare in disbelief. 

"Maybe your dad doesn't know all thing? Maybe my dad actually knows more things than yours."


But they were insignificant and I knew they would keep mocking me if I explain it further (yeah you know how kids mocking, right) so I let that be.


This 'insignificant thing' reached the ear of my family members. They asked me the same thing: why I drew that, where I knew that from. And the ending was quite predictable.

"That's uncommon thing to draw. You should try to draw more normal things."


I declined. Why should I? Other people drew robots, princess and castles. Those were 'unreal' things too. So why should I stop? Moreover when I know that it was real, it existed.


The comic book itself was an adaptation from an old, classic, adult's adventure novel. And I mean, the treehouse had been shown everywhere aside from the comic I mentioned. Winnie The Pooh picture books (okay some people might not read it), TV's cartoon (certainly they had seen it because we talked about the cartoon at school). So why didn't they know of it? Why did they think I lied?


I didn't care. So I kept drawing treehouses until I got bored with it.


I realised now that the treehouse was a small detail in kids cartoon so they most probably didn't pay much attention to it while I recognised it because of mere-exposure effect.


At that moment, maybe up until this time, I might be a headstrong—or a stubborn one if you may—person. But, that character was what I actually need in some occasions. Yes, we—I—should consider another people's perspectives. As an adult, we have to be open to the other's opinion and then filter it. The problem is, as an adult, we—or just me? Maybe—pay attention to another's voice too much that we become docile and don't have our own voice. 


Or simply said as people pleaser.

Many adults do things not because they want it, but because the people around them told them to do it. The 'things' I mean are those that are trivial. Matters about prestige of owning some stuffs, wearing some stuffs. Things like that. 


In certain point, it reached some things that aren't quite trivial. Life choices, for example. Even though it gives more impact to my life than those trivial things. And I regret it.


At these times did I wish that I was as headstrong as the kid in me who kept drawing treehouse because that kid believed in me and believed in it. Even when people around me, adults around me, even my own family, doubted it. 


There were some occasions that I regret that I was headstrong, uncompromising.

But there were some occasions too that I regret why I wasn't headstrong and so compromising. 

Maybe I should've listened to my guts more than I listened to the voices around me.


Maybe I should believe to the 'treehouse' rooted in me.




=====================

Disclaimer: photo is courtesy of AzzanArts

Reading Time:

Jumat, 23 September 2022

September 21, 1945
September 23, 2022 4 Comments


Mumpung masih sama-sama September. 


Pernah kenal dengan gambar di atas? Atau justru langsung pengen nangis waktu lihat gambar di atas? Waktu lihat post di atas di story salah seorang teman, rasanya saya pengin memekik, "Kok kamu tega ngingetin soal ini. Di-post pagi-pagi, lagi!" 


Gambar di atas merupakan potongan adegan dari film animasi Grave of Fireflies (Hotaru no Haka). Meski film lawas banget, film besutan Studio Ghibli ini tetap sukses bikin penontonnya menangis tersedu-sedu. Film ini ber-setting di Negeri Matahari Terbit, ketika kekaisaran itu sedang mengalami perang dunia. Tepatnya, waktu mereka sedang dibombardir balik Amerika Serikat. Film ini sebetulnya merupakan adaptasi dari cerpen semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka[1]. 


Grave of Firelies bukan bercerita soal perang itu sendiri, tapi tentang hidup-hidup rakyat biasa yang terimbas perang. Tokoh utama film ini, seorang kakak lelaki dan adik perempuannya yang masih kecil, terpaksa kehilangan orang tua dan rumah karena perang. Nggak cuma ending, sepanjang adegan di film ini semuanya bikin nyesek dan nangis. 


Kali ini, saya nggak ngomongin soal isi cerita atau review filmnya. Tulisan kali ini lebih ngebahas tentang refleksi perang buat manusia non-militer. 


Film-film bertema militer sudah lama beredar. Bahkan film action yang bukan reka ulang kejadian masa lalu, juga bejibun. Sebutlah film-film Hollywood, antara lain seri Delta Force, dsb. Yang digambarkan di film itu adalah betapa kerennya action mereka (ya emang keren, sih), betapa rasanya bangga kalau berhasil menyelesaikan misi, betapa rasanya senang karena misi sudah selesai.


Tapi, apa betul begitu rasanya perang?

Yang kita lihat di film itu adalah serdadu yang hoki; yang berhasil menyelesaikan misi dan tetap hidup. Atau malah pasukan elit yang skill-nya memang di atas rata-rata. Tapi, berapa tentara biasa yang mati dan keluarga yang kehilangan sosok ayah/anak/suami/saudara? POV penuh rasa bangga itu akan berubah signifikan bila dilihat dari kacamata warga sipil. Grave of Fireflies menyinggung hal itu dari kacamata sepasang anak kecil.


Betapa adegan perang yang terlihat gagah, diiringi musik dengan beat berdentum, berubah jadi alarm penuh tanda bahaya di mata sepasang kakak beradik yang usianya masih kurang dari 12 tahun itu. Apalagi mereka kehilangan orang tua dan rumah. Maka hal seperti kelaparan, mencari tempat tinggal, terpaksa mencuri demi bisa makan, adalah hal yang harus mereka hadapi. Dan, hal-hal ini juga terjadi betulan pada manusia di masa perang. Mungkin, malah terjadi pada leluhur atau tetangga leluhur kita, dulu. 


Lupakan sekolah dan pendidikan. Mendapatkan kebutuhan primer seperti pangan dan papan saja susahnya minta ampun. Maka pendidikan jadi salah satu barang mewah waktu itu. Tak heran zaman dulu banyak orang yang buta huruf. Buat apa? Yang penting bisa bertahan hidup dulu. (Meski dalam beberapa kondisi, tidak buta huruf bisa juga sangat menolong untuk tetap hidup. Bisa ngelamar jadi pegawai di kantor pemerintahan, misalnya.)


Dalam Grave of Fireflies, hal-hal yang lumrah dilakukan anak kecil menjadi sesuatu yang super mewah. Permen? Duh, sekaleng harus dieman-eman bener biar nggak cepat habis. Sebab, jajan mereka ya cuma itu. Anak kecil juga nggak bisa pakai baju yang lucu-lucu kayak balita zaman sekarang saat mereka keluar main sore. Sehelai baju harus betul-betul dijaga supaya nggak sobek. Nggak apa-apa warnanya sudah luntur, yang penting masih bisa terpakai. Mainan? Buku? Lupakan seri-seri mainan dan buku mahal nan edukatif zaman sekarang. Sebuah ranting, bola usang, dan lahan depan sungai sudah harus cukup jadi bahan permainan. 


Bukan cuma barang atau materi, bahkan kebersamaan pun menjadi suatukemewahan. Berbanding terbalik dengan perpisahan yang telah jadi satu hal yang umum.


Seseorang pernah berkata bahwa nasib kakak-beradik dalam film nggak akan sesusah itu kalau saja si kakak mau bekerja mencari nafkah, seperti anak-anak lain seusianya yang juga bekerja. Itu ada betulnya, sebab di zaman tersebut, anak-anak memang sudah bekerja. Bahkan ada segolongan balita yang sudah dipekerjakan. Hal itu memang menjadi miris bila dibandingkan dengan standar sekarang.


Namun, saya pribadi tetap nggak sreg bila anak-anak, apalagi di bawah usia legal, sudah harus bekerja. Dan, bekerjanya bukan sekadar buat nambah uang jajan, tapi betul-betul untuk hidup. Saya tahu bahwa hal itu merupakan sesuatu yang di masa tersebut. Bahkan harus dilakukan kalau mau tetap hidup. Tapi, apa 'sesuatu yang harus' itu selalu manusiawi? Anak-anak, bekerja?


"Kan, zaman perang. Beda, dong."

That's the exact point. Perang membuat semua yang lumrah dan normal menjadi ekstrem. Sesimpel leisurely playing menjadi satu kemewahan. Suatu kebutuhan dasar yang wajar berubah jadi satu hal yang sulit didapatkan. Hal yang normal adalah suatu hal yang tidak normal, vice versa


Perang beda dengan penggambaran di film-film. Nggak semua orang ikut merasakan kemenangan. Nggak semua pihak bisa merasakan euforia kebanggaan dan kekerenan setelah bom dilempar dan si tokoh utama melenggang macho dengan kobaran api sebagai background


Justru banyak pihak yang terdampak adalah warga sipil yang nggak tahu apa-apa, nggak ikut apa-apa, tapi kena imbasnya. Warga sipil yang simply pengin hidup biasa-biasa aja. Kisah-kisah miris yang terjadi pada kelompok rentan, apalagi. Dan kisah-kisah itu masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, meski jumlahnya menurun jauh bila dibandingkan dengan waktu PD I atau PD II.


Tapi, rasa sakit tetap rasa sakit meski yang merasakan hanya sedikit.

Kehilangan tetaplah kehilangan meski hanya terjadi pada sebagian orang.

Kita, yang alhamdulillah tidak mengalaminya, tak punya hak untuk berkata, "Halah cuma gitu doang."


Betul bahwa perang adalah masalah politik. Akan selalu ada unsur politis. Tapi itu hendaknya nggak menghalangi kita untuk berempati pada sesama. Apalagi pada manusia yang nggak tahu apa-apa tapi tetap kena imbasnya akibat pilihan politik para pentolan negara.


Karena pada akhirnya mereka hanyalah rakyat biasa.

Seperti kita.

Bila kita saja tak sanggup membayangkan hal yang sama terjadi pada kita atau keluarga atau para sahabat dan teman dekat atau tetangga, maka mari bertenggang rasa. Atau setidaknya, tak usah mencela.




==================


Yang sering muncul di kisah atau diajarkan di sekolah adalah perang 'permukaannya' aja. Kalau kita gali sedikit lebih dalam, ugh, it was more gruesome. (Apalagi kalo gali sampai dalam banget.) Sampai kadang dibikin bingung sebab semua pihak jadi abu-abu. Dan pada akhirnya berkesimpulan, "Oalah... menungso, menungso..."






Reading Time: