Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.
Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa
masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.
Pemandian ini terletak di lembah
gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan
biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk,
rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak
masuk hutan.
FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat
Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era
Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur
Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya
ceritain di sini).
Karena serasa masuk hutan, maka
suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya
entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian
pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air
dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’
anaknya.
Menghindari keramaian, kami jalan
agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah
istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik,
tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.
Sebenarnya, pohon itu sama dengan
pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung
hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak
otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan
daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang
sedang sembahyang.
Rasanya… seperti lagi di anime atau
film-film Jepang.
Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon
besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh,
angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari
belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”
Eh, lho, ngayalnya kejauhan.
Tapi, serius, memang kesan itu yang
saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik,
tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di
kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan
damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya
suka sejarah dan suka hutan kali, ya?
Bisa jadi, karena kesan orang lain
bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti
dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.
Kesan terakhir ternyata banyak juga
yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah,
dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis
seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding
terbalik dengan di sini.
Kenapa, ya? Awalnya saya pikir
karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak
juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk
upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan
di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk
astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu
manusia. Namun, dengan kesamaan yang
mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?
(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)
Bukannya saya ngomong gini karena
pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu
sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat
dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance
pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup
mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang
ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau
mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.
Atau mungkin ini karena sepi dan
pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur
nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering
dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih
sedikit orang.