Hijaubiru: Film
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Desember 2013

99 Cahaya di Langit Eropa
Desember 14, 20130 Comments
Picture was taken from  http://1.bp.blogspot.com/-i7OAlrLrUS0/T3LZWAur5lI/
AAAAAAAACD4/zqsqzPCXB6M/s1600/cover-99for-web1.jpg

Yang di atas ini cover novelnya. Akhirnya novel ini difilmkan juga. Baru 5 Desember 2013 kemarin premiere kalau nggak salah. Nah, karena di postingan ini udah ada sekilas info tentang novelnya (meski sekilaaaas banget, tapi coba baca bukunya deh, top abis kok!), maka di postingan ini saya akan bahas filmnya.

Terus, terus, gimana filmnya?

Kalau saya cuma bilang 'keren banget', pasti nggak puas.

Picture was taken from: http://indosinema.com/wp-content/uploads/
2013/11/poster-99-cahaya-di-langit-eropa-e1383578690652.jpg

Film dibuka dengan kisah penaklukan Austria oleh Turki (persis dengan novelnya yang dibuka dengan hal yang sama). Kisah penaklukan ini diceritakan oleh seorang guru sekolah Ayse.

Kisah beralih menuju Hanum yang ikut suaminya, Rangga, kuliah di Austria. Bulan-bulan pertama emang asyik, dia bisa jalan-jalan ngelihat berbagai khazanah budaya yang disuguhkan Eropa. Tapi setelah beberapa waktu berlalu, Hanum bosan. Semua yang dilihatnya sudah terasa hambar. Eropa tidak semenyihir sebelumnya.

Hanum memutuskan ikut les bahasa Jerman. Di sinilah dia berkenalan dengan Fatma Pasha, seorang muslimah keturunan Turki yang tempo hari dilihatnya ditolak bekerja karena tidak lancar berbahasa Jerman. Waktu berjalan, Hanum pun bersahabat dengan Fatma dan menjadi dekat dengan Ayse, anak Fatma. Melihat Fatma dan Ayse yang enjoy mengenakan jilbab di negara non-muslim, Hanum pun penasaran. Bersama Fatma, ia diajak menggali Islam di Eropa.

Kisahnya macam-macam. Mulai dari pandangan orang Eropa terhadap muslim, sejarah Islam yang terjejak di Austria lewat perbukitan dan bangunannya, hingga kendala-kendala yang jamak dirasakan para muslim di Eropa. Namun intinya satu: menjadi agen Islam yang baik, meski dalam kondisi sulit sekalipun.

Jika jejak Islam pada sejarah Eropa digambarkan lewat adegan-adegan jalan-jalan Hanum dan Fatma, maka permasalahan muslim ditampilkan lewat adegan Rangga dan teman-temannya: Khan, Stefan, dan Marja. Khan seorang Islam India yang kukuh tapi terlalu kaku, Stefan adalah seorang kritis yang sering bertanya tentang Islam pada Rangga tetapi 'rame' orangnya, serta Marja yang perhatian tetapi 'ya lihat sendirilah'.

"Kok kayaknya Tuhan kamu suka banget bikin orang menderita," ucap Stefan saat Rangga menolak ajakannya makan karena sedang puasa.

"Nah, kalau asuransi, aku tahu di mana kantornya. Tuhan kamu, kantornya di mana?" ungkap Stefan heran mengapa Rangga begitu teguh memegang kepercayaan untuk sesuatu yang tak bisa dilihat.

"Maaf kawan, untuk agama, saya tidak ada toleransi. Untuk masalah ini, kamu sendirian," tanggap Khan saat Rangga mengajaknya mengajukan dispensasi ke profesor penguji karena jadwal ujian bertepatan dengan jadwal shalat Jumat.

"Mr. Almahendra, saya pernah mendengar kalimat 'bismillahirrahmanirrahim' yang artinya 'dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, what's the big deal?" cetus sang profesor saat Rangga mengutarakan maksudnya.

Adegan-adegan yang ada dalam novel seperti Fatma, Hanum, dan Ayse yang masuk ke gereja untuk menghangatkan diri atau percakapan pengunjung restoran tentang sejarah croissant yang melambangkan kekalahan Turki di Wina, ada dalam film ini. Namun, konflik terbesar yang ada di sini adalah saat Rangga bingung apa ia harus shalat Jumat ataukah mengikuti ujian. Kerasa banget konflik batinnya.

Suatu saat, Rangga ada kegiatan (mungkin semacam seminar) di Paris. Fatma menyarankan Hanum mengontak temannya, seorang sejarawan dan mualaf Prancis bernama Marion. Petualangan mencari jejak Islam di Prancis pun dimulai. Saat Rangga seminar, Hanum ditemani Marion berkeliling Paris.

Sebelum pulang dari Paris, Marion menitip sesuatu untuk Fatma lewat Hanum. Namun begitu kembali ke Austria, Hanum tidak menemukan Fatma. Fatma absen les bahasa Jerman, rumahnya kosong, dikontak lewat internet pun tidak bisa. Hanum teringat paket Marion untuk Fatma. Penasaran, ia dan Rangga membukanya.

"Fatma kanker?" tanya Rangga sambil menunjukkan kotak berisi obat herbal.

Hanum pun buru-buru membaca surat Marion untuk Fatma. Terbata-bata ia mengeja saat tahu bahwa paket obat herbal itu untuk Ayse. Ayse yang masih seusia SD, Ayse yang periang, Ayse yang menanyakan kenapa tante Hanum nggak pake jilbab, Ayse yang kukuh mengenakan jilbab meski sang guru memintanya mencopot saja agar tidak di-bully, Ayse yang ternyata mengidap kanker!

----------------------------------------------------------------

Keren, pake banget. Kemegahan Eropa, mulai dari kecantikan alam hingga keklasikan budayanya, tergambar di sini. Dengan nafas Islam tentunya. Permasalahan-permasalahan yang disajikan memicu pertanyaan: permasalahan klasik muslim di Eropa. Beberapa dijelaskan dengan gamblang, beberapa lagi (menurut saya) tidak dijelaskan. Seperti pada pertanyaan Stefan jika Allah tidak ada atau saat sang profesor bingung karena Rangga enggan mangkir shalat Jumat. Tapi kalau dijelaskan, mungkin durasi filmnya bakalan nggak cukup, hehehe. Tapi di film, ada kok adegan yang menayangkan Hanum dan Rangga konsultasi ke imam masjid, meski percakapannya nggak disuarakan.

Film disajikan dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Percakapan yang banyak (apalagi dengan pemain Indonesia) dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Seperti percakapan Hanum dengan Fatma-Ayse, Rangga dengan Stefan-Khan-Marja. 

Adegannya terkesan alami, nggak dibuat-buat atau didramatisasi (mungkin karena emang kisah nyata ya). Seperti saat Hanum marah karena merasa agamanya diejek, kebimbangan Rangga, ataupun hubungan Hanum-Rangga yang normal. Tahu kan, biasanya di film-film kan suami-istri mesra banget. Lah, di sini, normal banget: ya ketawa, ya ngambek, ya mesra juga tentunya. Dan makanannya! Dalam film-film yang setting-nya di Barat, seringkali makanannya adalah makanan Barat pula. Di sini, pasangan Hanum-Rangga kelihatan Indonesia banget. Makan pake tangan, lauknya krupuk dan ikan asin. Mahasiswa di perantauan banget lah, yang justru bikin alami karena mana ada sih mahasiswa perantauan yang tiap hari makan fine-dining (kecuali emang kaya).

Film ini mirip, kalo nggak bisa dibilang persis, dengan yang ada di novel. Namun, di beberapa bagian memang ada yang dimodifikasi. Seperti adegan-adegan Rangga dan terutama ending yang mellow banget, yang nggak saya rasakan saat baca novelnya. Kalau baca novelnya, kita dapet substansinya, maka kalau lihat filmnya, saya dapet substansi plus feel-nya.

----------------------------------------------------------------

Pemeran:
Acha Septriasa sebagai Hanum Rais
Abimana Aryasatya sebagai Rangga Almahendra
Raline Shah sebagai Fatma Pasha
Geccha Tavvara sebagai Ayse
Dewi Sandra sebagai Marion
Nino Fernandez sebagai Stefan
Alex Abbad sebagai Khan
Marissa Nasution sebagai Marja
Dian Pelangi sebagai Latife (teman Fatma)
Hanum Rais sebagai Ezra (teman Fatma)

Sutradara:
Guntur Soeharjanto

Soundtrack:
Cahaya di Langit Itu - Fatin Shidqia Lubis

FYI, film berlanjut ke Part 2. Belum tahu kapan rilisnya.
Reading Time:

Jumat, 24 Mei 2013

Sherlock Holmes: Serial TV
Mei 24, 20130 Comments



Postingan kali ini masih berhubungan dengan postingan sebelumnya. Masih berbau-bau detektif London yang tersohor itu, Sherlock Holmes. Lha terus, apa bedanya? Ya bedanya, kalau di postingan ini saya membahas selentingan kabar antara Holmes dan Irene Adler, maka di posting yang ini saya akan bahas tentang Sherlock Holmes yang difilmkan dan tayang di TV.

Tayang di TV? Yup. Sekarang, kisah Sherlock Holmes nggak cuma difilmin di layar lebar aja. Cerita ini sudah dibuat versi serialnya. Jadi, tayang di TV pada hari-hari tertentu. Macam sinetron gitu (cuma ceritanya beda banget sama sinetron kebanyakan, anyway). Sayangnya, serial ini cuma tayang di BBC Channel, Inggris.

Penonton yang baru pertama kali ngelihat serialnya mungkin kaget, “Kok gini? Nggak bau-bau abad pertengahan sama sekali?”. Iya, memang. Dalam seri TV, kisah Sherlock Holmes memang sengaja diadaptasi dalam bentuk modern. Jadi, kalau di novel Watson nulis memoar kisah-kisah petualangan mereka, maka di seri TV, Watson menulisnya dalam bentuk blog. Kalau di novel, detektif konsultan ini bakal sering naik kereta kuda (yang zaman itu keberadaannya mirip ojek, gampang ditemuin di jalan-jalan), maka di seri TV, Holmes akan naik taksi. Dan banyak perbedaan lainnya (yang emang dibuat gitu).

Lha trus, ceritanya jadi beda dong?

Prinsip cerita tetap sama dengan novel. Hanya, memang ada perbedaan-perbedaan. Misalnya: dalam novel, Holmes dianggap meninggal akibat jatuh dari air terjun. Di seri TV, Holmes meninggal karena jatuh dari atap gedung. Kadang ada juga perbedaan gede, yang sejatinya nggak ada di novel seperti penambahan tokoh yang aslinya nggak ada di novel seperti Molly Hooper (analis di Barts) atau Donovan (polisi yang sensi abis pada Holmes). Hal ini merupakan kreativitas produser (karena dibikin semirip apapun, kalau setting waktunya udah beda, pasti butuh pendekatan beda kan?).

Meski kadang terdapat perbedaan besar, seri TV ini tetap worth it. Bukan karena banyak perbedaan dengan versi asli, lalu jadi ngebosenin. Nggak. Seri TV ini tetap aja menarik. Coba deh, ditengok dulu di youtube.

Holmes versi seri TV ini sudah tayang di BBC Channel sejak Juli 2010. Sejauh ini, sudah ada enam judul yang tayang hingga 2012. Untuk 2013,  kayaknya sih masih proses produksi karena di mbahWiki belum ada tanggal mulai tayangnya. Enam judul itu antara lain:
  1. A Study In Pink (2010)
  2. The Blind Banker (2010)
  3. The Great Game (2010)
  4. A Scandal In Belgravia (2012) -berdasarkan kisah A Scandal In Bohemia
  5. The Hounds of Baskerville (2012)
  6. The Reichenbach Fall (2012)

Untuk judul pertama, kelima, dan keenam, diadaptasi dari kisah berjudul sama. Namun, untuk judul kedua dan ketiga, saya belum menemukan kisah aslinya. Ada yang tahu?

Di awal postingan, saya bilang bahwa Watson menulis blog sebagai ganti memoar. Uniknya, blog ini benar-benar ada di dunia maya di alamat http://www.johnwatsonblog.co.uk/. Nggak itu aja, blog Holmes pun ada di http://www.thescienceofdeduction.co.uk/.


Pemeran:
Benedict Cumberbatch sebagai Sherlock Holmes
Mark Gatiss sebagai Mycroft Holmes
Martin Freeman sebagai John Watson
Una Stubbs sebagai Mrs. Hudson
Louise Brealey sebagai Molly Hooper
Rupert Graves sebagai Detective Inspector Lestrade
Andrew Scott sebagai James Moriarty
Vinette Robinson sebagai Sergeant Sally Donovan

Muncul di The Blind Banker:
Zoe Telford sebagai Sarah
Gemma Chan sebagai Soo Lin Yao
Al Weaver sebagai Andy Galbraith
Dan Percival sebagai Eddie Van Coon
Paul Chequer sebagai Detective Inspector Dimmock
Howard Goggins sebagai Brian Lukis
Olivia Poulet sebagai Amanda

Muncul di The Hounds of Baskervilles:
Russel Tovey sebagai Henry Knight
Amelia Bullmore sebagai Dr. Stapleton
Clive Mantle sebagai Dr. Frankland
Sasha Behar sebagai  Dr. Mortimer

Muncul di A Scandal in Belgravia:
Lara Pulver sebagai Irene Adler

Executive Producer: Mark Gatiss, Steven Moffat, Sue Vertue, Beryl Vertue.
Reading Time:

Senin, 20 Mei 2013

Sherlock Holmes: Irene Adler
Mei 20, 20130 Comments
Setahun yang lalu, saya menemukan sebuah buku berjudul Sherlock Holmes: The Game of Passion. Di bawahnya ada tambahan tulisan: Kisah Cinta Sherlock Holmes & Irene Adler.

Sumber gambar: dokumen pribadi

Hm... Kisah cinta? Sherlock Holmes?

Untuk manusia dingin yang selalu berpegang pada nalar, yang pernah berkata, "I've always assume that love is a dangerous disadvantage", hal ini nyaris nggak mungkin.

Tapi, bagaimana dengan Irene Adler?

Irene Adler hanya muncul sekali di dalam kumpulan cerita Holmes, yang ditulis Watson, pada Skandal di Bohemia. Sedangkan dalam kasus lain, hanya disebutkan namanya tanpa ikut muncul, yaitu dalam Kasus Identitas, Petualangan Carbuncle Biru, Misteri Lima Biji Jeruk, dan Penghormatan Terakhir.

Dalam Skandal di Bohemia, Holmes diminta mengambil sebuah potret. Potret tersebut adalah potret sang klien, raja Bohemia, dengan seorang wanita, Irene Adler. Raja tersebut akan menikah dan ia tak ingin masa lalunya sebagai kekasih Adler terungkap, mengingat skandal itu bisa berakibat buruk pada negaranya.

Holmes pun berencana mengambil potret itu dengan menyamar. Ia menyamar sebagai seorang pendeta yang melindungi miss Adler dari sebuah kerusuhan kecil (yang sudah direncakannya). Holmes akan pura-pura terluka sehingga dibawa ke dalam rumah sang primadona. Di sana, Holmes akan mulai mencari di mana potret itu disimpan dengan taktiknya sendiri.

Siasat berhasil. Holmes berhasil mengetahui tempatnya dan segera kembali ke Baker Street. Esoknya, ia kembali ke rumah tersebut bersama raja Bohemia dan Watson. Betapa terkejutnya Holmes saat pelayan mengatakan ia sudah menantikan Holmes dan menyampaikan bahwa nyonyanya, Irene Adler, sudah meninggalkan Inggris bersama suaminya, Godfrey Norton, yang baru dinikahinya kemarin (Holmes yang saat itu memata-matai menjadi saksi nikah mereka). Holmes kaget, tentu saja, bahwa rencananya bisa diketahui dengan pasti oleh seorang perempuan, makhluk yang ia anggap sentimentil. 

Irene Adler sudah pergi dengan suaminya. Kasus ditutup. Sang raja bersedia memberikan apa saja untuk Holmes. Tapi alih-alih meminta hadiah mahal, Holmes hanya meminta foto Irene Adler. Permintaan yang, tentu saja, langsung diluluskan oleh raja.

Di sini, Watson menambahkan bahwa Holmes terkesan akan kecerdasan wanita itu. Bukan mencintainya. Tertarik, ya. Tapi tertarik dalam artian berbeda, tertarik dalam artian tertarik akan kecerdasannya menebak rencana Holmes.

Itu, dalam buku ciptaan Sir Arthur Conan Doyle.

Namun, dalam sebuah episode yang ditayangkan BBC Channel, tampaknya Holmes memang dibuat seakan-akan menyukai Irene Adler. Entah maksud aslinya, tapi menurut saya kesan yang ditampilkan begitu. Mulai dari raut wajah Holmes saat tahu bahwa Irene Adler tidak meninggal hingga Holmes yang rela pergi ke Karachi untuk menyelamatkan Adler yang hendak dipenggal kawanan teroris (cerita dalam novel asli dan serial di BBC Channel memiliki banyak perbedaan, meski prinsipnya diusahakan sama). Meskipun terlihat bahwa Holmes sangat berusaha menyembunyikannya. Bahkan, John Watson dan Molly Hooper pun sempat curiga akan perasaan Holmes. Ya, tapi, siapa sih yang bisa nebak perasaan dingin begitu?

"He's Sherlock. How will we ever know what goes on in that funny old head?", kata Mrs. Hudson saat Watson mengungkapkan kecurigaannya (dalam seri BBC).

Untuk seorang yang pernah bilang (dalam serial TV, lagi) pada Irene Adler:
"I imagine John Watson thinks love is a mistery to me but the chemistry is incredibly simple and very destructive"
dan
"I've always assumed that love is a dangerous disadvantage. Thanks for the final proof"
cukup membingungkan apa Holmes benar-benar memiliki chemistry dengan Irene Adler (dalam serial) atau tidak.

Jadi, kesimpulan saya sendiri:
Dalam novel, Holmes hanya tertarik pada kecerdasan miss Adler.
Dalam serial BBC, mungkin Holmes tertarik dalam arti ketertarikan lawan jenis.


Reading Time:

Sabtu, 26 Januari 2013

5 Cm - Mulai dari Novel, Komik, Hingga Film
Januari 26, 20130 Comments

Ada yang sudah nonton filmnya? Gimana tanggapannya? Ada yang sudah baca komiknya? Atau, ada yang sudah khatam novelnya?

gambar diambil dari www.google.com

Film yang premiere pada 12-12-2012 ini dikatakan sukses karena dalam seminggu pertama, penontonnya sudah membludak. Nggak heran sih, soalnya settingnya emang keren. Berlokasi langsung di gunung Semeru, film ini menayangkan keeksotisan dan keindahan alam Semeru. Mulai dari Ranu Pani, Ranu Kumbolo, Oro-Oro Ombo, Kalimati, Arcapada, sampai puncak tertinggi Jawa: Mahameru, 3676 meter dpl (pernah saya post di http://hijaubiru-hijaubiru.blogspot.com/2011_10_01_archive.html).

Kalau kata beberapa orang nih, biasanya lihat film itu lebih nggak enak daripada baca novelnya. Apa pasal? Karena dalam novel, kita bisa berimajinasi. Kita bisa membayangkan wajah, gestur, dan tingkah tokoh-tokoh sesuai dengan yang kita tangkap dan inginkan. Setting-nya pun, sesuai imajinasi kita. Kalau di film sesuai ekspektasi a.k.a seindah yang di novel, sih, nggak apa ya. Kalau nggak? Kecewa dong penontooon!

gambar diambil dari www.google.com

Terus, film 5 Cm ini gimana? Sesuai ekspektasikah?

Secara keseluruhan, film ini sama dengan novelnya. Mulai dari kejadian, setting, sampai percakapan pun ada yang persis plek seperti di novel. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang nggak ada. Seperti kejadian Finding Ian yang diceritakan lengkap di novel, di film hanya dibicarakan di mobil. Atau obrolan-obrolan random lima Power Rangers ini, juga nggak ditampilkan di film (kalau ditampilin, mungkin durasi filmnya bisa-bisa lebih panjang dua kali lipat, mengingat banyaknya obrolan random-nya). Hal besar yang nggak ada adalah nggak diceritakannya mas Gembul (sopir angkot di Tumpang) dan Deniek dkk. Nggak ada adegan kenalan dengan Deniek, Deniek nyeritain temannya yang meninggal, ataupun ketemu Adrian di puncak.

Oh iya, ada lagi sih satu perbedaannya. Kalau di novel kan diceritain kalau Riani nikah sama Zafran, Genta sama Citra (sobat kerjanya Riani), Deniek sama Arinda, dan Ian sama bunda Happy, di film beda. Riani tetap sama Zafran, Ian sama Happy (di film, yang jadi istrinya Ian Happy Salma beneran!). Namun Genta dan Arinda masih sendiri. Kalau di film, naga-naganya sih Genta nanti tertarik sama Arinda.

Overall, lumayan miriplah sama novelnya. Oh iya, yang penasaran gimana Genta ‘nembak’ Riani (kan di novel cuma dinarasikan aja tuh, nggak ada percakapannya), di film ini ada adegan tembak-tembakannya. Jadi pembaca sudah nggak penasaran lagi, “Gimana sih Genta bilangnya ke Riani? Apa langsung bilang ‘I love you, Ni’, atau Genta mengungkapkan dengan bahasa puisi, atau Genta nyebur dulu basah-basahan di Ranu Kumbolo terus dandan ala pesut ancol kayak Ian, makanya Riani lebih milih Kahlil Zafran daripada ‘Si Sempurna’, Genta?”. Hehehe.

Personally, saya lebih suka novel daripada filmnya. Sorry to say, tapi yang bikin filmnya meledak adalah karena setting lokasinya di Semeru. Inti ceritanya masih berasa mirip dengan film-film lain bertema cinta dan persahabatan. Bedanya cuma ini dibalut pendakian, yang notabene konsep yang lumayan baru dan fresh. Tapi selain itu, yang lain biasa aja. Saya masih tetap agak aneh saat ada kata-kata atau adegan, yang beberapa sebenernya memang ada di novel, tapi difilmkan juga. Terlalu... dramatisasi, mungkin? Ya sama aja kayak film percintaan/persahabatan lain lah. Ada adegan yang kayaknya sweet atau melankolis banget, tapi sebenernya rada cringe

Menurut saya sih emang ini poin lebihnya novel dibanding film: bisa lebih bebas eksplor dengan meminimalisasi cringe itu tadi, seaneh apapun adegannya. Dan, durasi film kan emang pendek ya, jadi kalau diisi dengan hal yang 'biasa', jadinya jelek. Film butuh sesuatu biar 'nendang'. Sayangnya, satu-satunya hal yang menurut saya 'nendang' banget di film 5 Cm ini adalah lagu dan shot lanskap Semeru, bukan alur ceritanya. 

Ada beberapa detail yang agak mengganggu juga. Antara lain:
- Jeans
ada beberapa dari mereka yang mendaki pakai celana jeans. Padahal, para pendaki tahu bahwa jeans adalah salah satu bawahan paling dihindari kalau hiking karena udahlah berat kalau basah, susah kering, juga kalah ringan dibanding celana kain biasa. Jadi menuh-menuhin carrier dan bikin berat yang nggak perlu.
- Minta air ke pendaki lain
Maaf, ini manajemen air & pendakiannya gimana ya? Bisa-bisanya kehabisan air padahal di Ranu Kumbolo ada danau air tawar luas banget? Bukannya nggak boleh minta. Pendaki mana sih yang bakal nolak dimintain tolong, apalagi kalo ada pendaki lain emang kepepet? Tapi ya gitu, manage you and your team first, dude.
- Mendaki nenteng barang
Jaket pink Riani emang cantik, tapi lebih baik kalau itu jaket nggak ditenteng sepanjang pendakian. Lagian kenapa harus ditenteng kalau bisa dimasukin carrier atau diikat di pinggang, misalnya. Ini bukan soal preferensi dan kenyamanan aja, tapi juga tentang keamanan.
Ini lebih ke pilihan personal, sih. Saya emang termasuk orang yang semua barang sebisa mungkin masuk carrier sehingga tangan bisa bebas. Karena, ya naudzubillahi min dzalik, kalau misal ada apa-apa, tangan bisa bebas meraih buat jadi penyangga. Misalnya, kepeleset atau pijakan kaki nggak sterk, maka tangan yang nggak memegang apa-apa bisa nyaut akar pohon buat pegangan. Satu-satunya barang yang saya setujui dipegang tangan selama pendakian cuma trek pole. Itu pun kalau butuh banget. 

Kalau film 5 Cm  agak sama dengan novelnya, agak beda lagi dengan komiknya. Oh ya, 5 Cm ada komiknya? Ada dong! Tapi nggak tahu keluaran tahun berapa. 2012 kemarin saya ngider-ngider di toko buku online entah kenapa nggak nemu-nemu juga.

Balik, balik. Apa komiknya mirip dengan novelnya?

gambar diambil dari www.google.com

Beberapa peristiwa inti masih ada. Namun karena ini komik, banyak buangeet peristiwa yang dipotong. Jadinya, baca komik kayak baca intinya doang: lima Power Rangers terpisah, bertemu, pendakian, selesai. Pendakiannya nggak seseru seperti yang di film maupun novel. Seingat saya, nggak ada adegan Ian kejedug batu. Cuma ada gambar kelima anak manusia ini berjuang begitu keras demi mencapai puncak. Buat orang yang sudah baca novelnya, komik ini rasanya kurang greget.
Reading Time:
Habibie-Ainun
Januari 26, 20130 Comments

Judul: Habibie & Ainun
Sutradara: Faozan Rizal
Produser: Dharmoo Punjabi & Manoj Punjabi
Produksi: MD PIctures
Tanggal rilis: 20 Desember 2012
Durasi: 118 menit
Bahasa: Indonesia & Jerman

Rudy Habibie diseret begitu saja oleh gurunya ke sebuah ruang kelas.
“Mana Ainun?” sang guru bertanya pada sesisi kelas.
Tak lama, sosok Ainun yang masih SMA muncul.
“Ainun, kenapa langit berwarna biru?” sang guru melontarkan pertanyaan. Ainun menjawab dengan lancar. “Kalian memang jodoh. Cuma kalian yang bisa menjawab pertanyaan itu.”

“Kamu jelek, gendut, item, kayak gula jawa!” cela Habibie pada Ainun, saat ditantang kedua kawannya apakah ia berani pada Ainun.

Tak dinyana, bertahun setelah kejadian itu, keduanya bertemu lagi. Namun, keduanya sudah bukan remaja lagi. Habibie sudah menjadi seorang mahasiswa teknik di Jerman, sedang Ainun sudah menjadi dokter. Keduanya tak sengaja bertemu saat ibu Habibie memintanya mengunjungi keluarga Ainun untuk bersilaturrahmi. Saat itulah Habibie melihat Ainun menjahit.
“Eh, ternyata gula jawa bisa jadi gula pasir,” seloroh Habibie.

Itulah sepotong intro dari film produksi Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi ini. Merasa familiar dengan dua tokoh di atas? Tidak heran. Karena film yang dibuat berdasarkan sebuah buku tulisan Habibie sendiri ini memang menceritakan wakil presiden ketiga Indonesia,  B.J. Habibie, dan istrinya, Ainun. Mulai dari pertemuan pertama keduanya, peristiwa keduanya bertemu lagi, hingga keduanya berakhir di pelaminan lalu melanjutkan hidup bersama di Jerman, diceritakan dengan apik dalam film ini.

Film ini memang menceritakan kisah cinta abadi Habibie dan Ainun. Kisah romantis yang ‘elite’, yang tidak dibumbui dengan tangis-tangisan, gangguan pihak ketiga, dan sejuta problema asmara lain. Namun sebuah kisah abadi, cinta yang bukan cuma “makan tuh cinta” tapi cinta yang membutuhkan keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, dan saling menguatkan.

Perjalanan keduanya memang tidak mudah. Habibie tidak ‘ujug-ujug’ sukses lalu menjadi presiden nusantara. Tidak. Setelah menikah, keduanya harus bertahan hidup di Jerman. Entah berapa tahun hidup dalam sebuah flat kecil. Entah berapa lama Ainun harus menunggu suaminya pulang dari bekerja. Entah bagaimana kuatnya Habibie menahan lelah dan dingin yang menggigit saat pulang dari kantor namun tidak memiliki cukup uang, sehingga harus pulang berjalan kaki dan sepatunya sobek. Ia tambal sepatunya dengan kertas-kertas kerjanya yang masih juga dipilah-pilahnya di tengah salju, padahal cuaca sangat menggigit. Bagaimana Ainun bisa kuat hidup di negeri orang sendirian, dalam keadaan hamil. Bagaimana Habibie bisa bertahan terus mencari formula baru, padahal orang-orang Jerman meragukannya.
“Kamu tahu pasien yang baru masuk? Ia dari Indonesia. Di mana itu?”
“Ia orang Asia.”
“Apa dia bisa membuat rel sekuat itu? Kereta api di negaranya saja impor dari kita.”

Tapi apa masalah menggunung itu merontokkan semangat hidup keduanya, merapuhkan ikatan mereka? Tidak. Bagaimana bisa? Karena keduanya ikhlas. Keduanya sadar bahwa hidup yang mereka pilih tidaklah mudah. Pasangan muda ini saling menguatkan, saling menghangatkan saat yang lain terlihat muram.
“Terowongan itu panjang, gelap.”
“Saya akan bawa kamu ke cahaya itu.”

Selain menyuguhkan romantisme, film ini juga menunjukkan bahwa semangat bisa mengalahkan semua rintangan. Berbekal mimpi, Habibie toh akhirnya bisa membuat pabrik pesawat terbang di Indonesia. Membuat terbang bangsanya setelah surat permohonannya ditolak beberapa tahun sebelumnya.
Percakapan dua orang wartawan di sebuah toilet.
 “Pesawat Amerikanya ditembaki, tapi tetap lewat. Terus datang pesawat Indonesia. Tapi nggak perlu ditembak.”
“Lho, kenapa?”
“Nggak ditembak, nanti juga jatuh sendiri.”
Pintu toilet terbuka. Keduanya sontak terdiam. Sang insinyur yang dibicarakan keluar dari toilet sebelah, melangkah dengan santai. Tanpa tatapan marah, tanpa wajah mencela.

Setelah mimpinya membuatkan Indonesia pesawat sudah terwujud, semua belumlah mudah. Ia harus meninggalkan Ainun dan kedua anaknya di Jerman, karena Ainun sudah terlanjur bekerja di Jerman. Belum lagi cobaan-cobaan lain seperti Habibie yang disogok seorang pengusaha agar memenangkan tender. Atau, saat ia didekati seorang suruhan pejabat tinggi. Semuanya ditolaknya, ia berpegang pada prinsip yang tak banyak orang memegangnya: jujur. Meskipun ia diancam karena yang ditolaknya adalah orang dekat presiden, Habibie tetap teguh.
“Terima kasih atas peringatannya.”

Adegan penerbangan pertama pesawat N250 merupakan adegan yang paling menggugah, menurut saya. Hanggar dikondisikan sedemikian rupa. Semua orang tampak sibuk mempersiapkan penerbangan perdana ciptaan anak bangsa. Pegawai-pegawai berseragam putih dengan tulisan merah ‘N-250 First Flight’ berlalu-lalang. Sebuah pesawat biru telah siap dia hanggar. Kemudian sebuah film dokumenter penerbangan perdana diputar. Benar-benar film dokumenter. Penerbangan yang asli, rekaman langkah awal anak bangsa yang asli. Tampak presiden Soeharto menyaksikan. Ternyata orang Indonesia sebenarnya bisa, kalau mau. Buktinya? Pesawat Gatotkaca ini buktinya!


Tahun berselang, Habibie sudah menjadi wakil presiden. Tugasnya makin berat. Apalagi ketika ia diangkat menjadi presiden. Presiden yang kurang tidur lantaran tiap malam harus membaca buku-buku referensi kenegaraan.
“Tidak bisa. Harus diselesaikan malam ini juga.”
Sampai Ainun marah karena suaminya kurang tidur. Ainun yang mengkhawatirkan kesehatan suaminya,  yang selalu mengontrol obat-obatan suaminya, memarahi Habibie. Tapi tanggapan Habibie? Ia diam, lalu menuruti Ainun. Mengapa ia tak marah sekalian? Toh ia presiden. Tapi ia memang tetap rendah hati, low profile.

Film ditutup dengan mundurnya Habibie dari kursi kepresidenan. Telah menyelesaikan tugas, ia berencana berwisata dengan Ainun. Namun ternyata Ainun sedang sakit, sakit yang tak pernah ia ceritakan pada Habibie. Rencana wisata batal. Ainun segera dibawa ke Jerman untuk operasi karena kanker ovariumnya sudah sangat berbahaya.

Habibie tetap setia menunggui  Ainun yang sedang sakit. Membantunya berwudhu, mengimaminya salat berjamaah dengan anak-anaknya yang sudah dewasa, terus-terusan berjaga di depan bangsal steril tempat Ainun dirawat. Dan meskipun dokter menyatakan sudah tak ada harapan, meski sahabat dekat Ainun menyarankannya mulai mempersiapkan pemakaman, Habibie yakin, tetap yakin, amat yakin, kalau Ainun masih kuat. Bahwa Ainun masih bisa bertahan.
Habibie: “Pemakaman? Siapa yang mati? Ainun?”
Arlis     : “Harus berapa kali lagi Ainun dioperasi?”
Habibie: “Seperlunya. Sampai sembuh!”

Hingga Ainun meninggal, Habibie tidak pernah melupakan cinta pertamanya itu. Hal ini ditayangkan di akhir film. Habibie menuju rumah orang tua Ainun. Dengan gerak-gerik yang sama seperti ketika ia pertama kali datang ke sana. Memperhatikan foto-foto keluarga Ainun di dinding, yang sekarang sudah bertambah dengan fotonya bersama Ainun. Mengamatinya satu-satu. Kemudian seperti deja vu, ia mendengar bunyi mesin jahit. Ia melongok dari balik dinding. Dilihatnya sebuah sosok yang pernah ia lihat.
“Ainun?”
Ainun menoleh. Wajahnya, gerak-geriknya, persis seperti ketika Habibie bertemu dengannya dulu. Habibie teringat pertemuan pertamanya dengan Ainun di rumah itu.
“Gula pasirku...”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ketika mimpi berbenturan dengan kenyataan, manakah yang akan menang?

Setidaknya itulah yang saya tangkap dari film ini. Selain sisi romantismenya yang digarap dengan sangat halus dan menyentuh, menurut saya film ini patut diacungi dua jempol dari caranya menampakkan nasionalisme.

Bahwa kehidupan pernikahan tak selalu mulus seperti cerita Cinderella atau Bawang Putih yang ‘dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya’. Di sini diperlihatkan bahwa yang namanya orang kalau sudah sayang (“frekuensinya sama”, kata Habibie dalam film), memang tak cuma mengatasnamakan sayang. Harus ada konsekuensinya. Pahit-manis diarungi bersama. Saling pengertian, saling menguatkan. Ikhlas. Sabar.

Mimpi. Tema yang sedang marak dibicarakan di buku-buku motivasi dewasa ini. Habibie bermimpi, namun tak cuma bermimpi. Ia juga bekerja demi mewujudkan mimpinya. Menyarankan idenya, bekerja sampai malam, tetap cuek meski orang-orang berkata pesawat buatannya akan jatuh. Dan ketika idenya ditolak petinggi Indonesia saat itu, ia tidak menyerah. Ia tidak serta merta meninggalkan mimpinya. Tetap ia pelihara, hingga ketika kesempatan itu datang, ia masih bermimpi.

Dan nasionalisme. Mengapa orang pandai seperti Habibie mau-mau saja balik ke Indonesia yang saat itu sedang bergolak? Bukannya lebih enak tetap di Jerman? Hidup terjamin, aman, tentram, dan orang-orang di sana sudah percaya padanya. Bukan seperti bangsanya yang saat itu meremehkannya. Alasannya cuma satu: “Bayangkan, Ainun! Pesawat untuk sarana transportasi. Menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Menghidupkan ekonominya. Negeri ini akan menjadi negeri yang mandiri!” secara garis besar, itulah kalimat yang sempat saya tangkap. Karena Habibie ingin membangun negerinya. Prinsipnya teguh. Ia tak melihat uang (sudah disogok berkali-kali, bergeming. Diancam pun cuek). Prinsip yang, ampun dah, susah banget ditemukan sekarang.

Ada sebuah kalimat yang sangat membekas dalam film ini. Habibie mengucapkannya saat ia menilik pabrik pesawatnya, usai ia meninggalkan kursi kepresidenan. Ia mendapati pabrik itu sepi. Tak ada orang, tak ada aktivitas. Pabriknya mati. (Sebenarnya kalimat ini adalah lanjutan kalimat yang saya sebutkan pada paragraf di atas.)

“Saya percaya bangsa ini bisa. Tapi, mereka tidak mau percaya.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pemeran:
  • Reza Rahadian: B.J. Habibie
  • Esa Sigit: Habibie remaja
  • Bunga Citra Lestari: Ainun
  • Marsha Natika: Ainun remaja
  • Ratna Riantiarno: R.A. Tuti Marini Puspowardojo (ibu Habibie)
  • Bayu Oktara: Fanny Habibir
  • Vitta Mariana Barazza: Arlies (sahabat Ainun)
  • Radytia Argoebie: Thareq Kemal Habibie
  • Mike Lucock: Ilham Akbar Habibie
  • Tio Pakusadewo: Soeharto


Soundtrack: Cinta Sejati, ditulis oleh Melly Goeslow, dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari.
Reading Time:

Kamis, 08 Desember 2011

Gie
Desember 08, 20110 Comments
Mau review film lagi nih. Setelah kemarin-kemarin bosan bukain video-video yang sudah sering saya tonton mulai dari Doraemon, Conan, film action, komedi, sampai drama, kebetulan ada teman nawarin film baru. Filmnya sudah agak lamaan sih, tapi tetap bikin saya penasaran dan akhirnya nonton juga. Apa sih, istimewanya film ini sampai bisa dapat tiga penghargaan sekalisgus dalam ajang Festival Film Indonesia 2005: Film Terbaik, Aktor Terbaik, dan Penata Sinematografi Terbaik.


Gie. Soe Hok Gie.
Para Pecinta Alam di nusantara pasti sudah nggak asing dengan nama ini. Ya, almarhum adalah salah satu pendiri Mapala UI. Almarhum? Ya, karena Soe Hok Gie sudah meninggal pada 16 Desember 1969 di titik tertinggi Jawa, puncak Semeru.
Film ini tidak mengisahkan pendakian-pendakian yang dilakukan Gie dan kawan-kawan (cuma ditampilkan cuplikan--cuplikannya saja), namun lebih kepada perjalanan hidup Gie. Gie dilahirkan sebagai seorang Tionghoa pada 17 Desember 1942 dalam keluarga yang 'biasa-biasa saja'. Sejak kecil, Gie telah menunjukkan sikap kritisnya. Dalam film, hal ini ditunjukkan dalam salah satu adegan debat dengan gurunya tentang sastra. Karena terlalu kritis, akhirnya Gie pun tidak naik kelas. Dia protes kepada gurunya. Protes kepada orang tuanya. Ia minta pindah sekolah. Ia yakin ia tidak naik karena sering berdebat dengan gurunya, akhirnya nilainya dikurangi. Dia yakin dia bisa, karena dia memang banyak membaca.
Akhirnya Gie pun pindah ke sekolah lain. Di sini pun dia masih tetap kritis. Namun gurunya tidak keberatan, malahan kagum dan senang pada siswa yang rajin dan kritis seperti Gie.
Gie pun memasuki bangku kuliah. Dia menuntut ilmu di Fakultas Sastra UI. Di sana, dia menemukan banyak sahabat. Seperti Herman Lantang, Ira yang cerdas dan juga sering menemaninya naik gunung, Jaka, atau Denny yang kocak.
Namun seiring berjalannya waktu, keadaan mulai berubah. Gie yang sejak kecil peka terhadap kesulitan rakyat kecil, semakin tidak suka saat mulai memahami permainan politik Indonesia. Gara-gara permainan 'orang besar', rakyat jadi makin tertindas. Apalagi saat parpol-parpol mulai menggunakan mahasiswa. Jadilah para mahasiswa terbagi-bagi menurut parpol yang mereka dukung. Mulailah Gie menyuarakan ketidaksukaannya melalui media-media.
Tidak semua orang menyukai Gie karena sikap kritisnya. Bahkan Jaka, teman Gie yang dulu akrab dengan Gie, sekarang malah memusuhi Gie. Di samping banyak orang yang mencoba menjegalnya, banyak pula yang memperebutkan Gie agar masuk ke dalam golongan mereka. Namun Gie menolak. Dia netral.
Puncak film ini adalah saat reformasi mahasiswa pertama di Indonesia: 1966. Ribuan mahasiswa berjaket almamater turun ke jalan untuk memprotes pemerintahan. Mereka menuntut Soekarno mundur dan PKI dibubarkan.
Film diakhiri dengan Denny yang memberikan surat titipan Gie sebelum ke Semeru pada Ira. Denny sekaligus memberitahukan bahwa ada kabar buruk dari Semeru. Ditampilkan pula sosok Gie yang duduk di savanna sendirian, menikmati alam. Seakan terlempar ke masa lalu, Gie bertemu dengan teman masa kecilnya, Han. Mereka lalu kembali ke masa kecil, ketika mereka bermain di laut. Di ketinggian, Gie melihat laut di kejauhan.
_________________________________________________________________________________

Film ini diangkat dari kisah hidup Soe Hok Gie sendiri. Bahkan, kisahnya pun diambil dari buku yang ditulisnya, Catatan Seorang Demonstran. Namun, kisah ini ditambahi sedikit. Misalnya saja Han, teman Gie yang diperlakukan buruk oleh tantenya dan akhirnya masuk ke dalam PKI, merupakan gabungan dari dua teman Gie asli, yakni Djin Hok dan Effendi. Kisah cinta dengan Sinta pun, juga merupakan tambahan 'benang merah' yang diselipkan dalam film.
Overall, film ini baguslah. Bisa dijadikan sebagai alternatif kalau kita lagi pengen tema yang serius. Bisa dianggap sebagai 'kebangkitan' dari krisis ide film di Indonesia.

Kalau ada yang mau soundtrack-nya, yang saya tahu cuma ini:
1. 'Cahaya Bulan - Octa' bisa di-download di:
2. 'Gie' bisa di-download di:
3. 'Donna-Donna' bisa di-download di:

Sutradara : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana
Penulis : Riri Riza
Aktor/aktris:
#Nicholas Saputra
#Wulan Guritno
#Indra Birowo
#Lukman Sardi
#Sita Nursanti
#Thomas Nawilis
#Jonathan Mulia
#Christian Audy
#Donny Alamsyah
#Robby Tumewu
#Tutie Kirana
#Gino Korompis
#Surya Saputra
#Happy Salma

Sumber:wikipedia.org
Reading Time:

Kamis, 20 Oktober 2011

Endless Love
Oktober 20, 20110 Comments
                                                                                                                                                                                                                                                                   














Judul       : Endless Love
Produksi : Korea, 

Semaleman habis begadang lihat film (dibela-belain meski besoknya ujian :P). Film biasa sih. Bisa dibilang sinetron. Ceritanya juga sinetron. Tapi ini versi Korea. Tapi yang namanya sinetron tetap aja sinetron.
Sebenarnya ceritanya standar, sama seperti sinetron-sinetron Indonesia lainnya: anak yang ketukar terus waktu sudah gede ketemu terus . . . ya . . . gitu deh.
Tapi yang bikin saya suka, konfliknya nggak bejibun kayak sinetron Indonesia. Nggak seperti sinetron Indonesia yang habis masalah A selesai, datang masalah B, terus masalah C, dst. Ini fokusnya cuma satu, tu, tu, meski ada variasi dikit.
Hal lain yang bikin saya suka sama drama ini adalah setting dan lagunya. Settingnya di alam semua. Ada yang di pedesaan, kota kecil di kaki bukit, sawah-sawah, sungai, pantai. Pokoknya yang hijau-hijau nyegerin mata gitu deh! Meski ada beberapa setting yang malah di perkampungan kumuh di tepi laut. Tapi ya tetep aja bagus! :D
Dan lagunya! Lagunya yang mellow bikin suasana mendukung buat para penonton bermewek-mewek ria. Lagu itu antara lain: Reason, Gi Do, Sen Sing Chi, dan satu lagu klasik yaitu Romance. Kalo mau download, klik http://search.4shared.com/q/1/ost%20endless%20love.
Sekarang ke ceritanya.
Tersebutlah ada sebuah keluarga kaya yang memiliki 2 anak, sang kakak, Joon Suh (laki-laki), dan sang adik, Eun Suh (perempuan). Dua kakak-beradik ini rukun banget. Kedua oraang tuanya tentu aja seneng anaknya rukun begitu.
Mereka tinggal di sebuah rumah yang asri di sebuah kota kecil di kaki bukit. Sekolah mereka pun harus melewati sawah dan sungai. Tidak jarang, kakak-beradik itu berhenti di suatu tempat untuk bermain bersama.
Konflik dimulai saat Eun Suh mengalami kecelakaan saat pulang sekolah (tertubruk truk saat naik sepeda). Eun Suh pun masuk rumah sakit dan harus dioperasi. Dia butuh transfusi darah. Tapi ternyata, setelah dicek, golongan darah Eun Suh adalah B. Sedang orang tuanya keduanya O. Setelah dicek ke rumah sakit tempat bersalin dulu, ternyata benar tertukar.
Orang tuanya berusaha menyembunyikan kenyataan ini. Bahkan kakaknya yang tidak sengaja tahu pun menyembunyikannya. Bahkan mereka berencana untuk pindah ke Amerika agar masalah ini dianggap selesai saja.
Tapi tidak.
Shin Ae, rival Eun Suh di sekolah, yang merupakan anak kandung orang tua Eun Suh, bertengkar dengan ibunya (ibu kandung Eun Suh). Dilanda emosi, ibu itu pun membeberkan semuanya. Akhirnya, Shin Ae pergi ke rumah Eun Suh.
Bagian ini nih yang bikin mewek-mewek. Satu keluarga kaya itu baru saja pulang dari piknik saat menemukan Shin Ae duduk di halaman rumah mereka. Dengan berlinang air mata, Shin Ae bertanya apakah dia anak kandung keluarga itu. Dan menuding Eun Suh bukan anak kandung keluarga tersebut.
Eun Suh langsung saja berlari menghilang. Joon Suh langsung mengejarnya. Akhirnya setelah susah payah mencari, dia menemukan Eun Suh dan membawanya pulang.
Eun Suh yang awalnya bagai putri sekolah pun nasibnya berubah. Dia yang seorang ketua kelas, yang sering membawa bekal enak ke sekolah untuk dibagi-bagikan ke teman-temannya, sekarang dipandang sebagai orang lain oleh teman-temannya. Sebaliknya, Shin Ae mulai mengambil pengaruh, memanfaatkan kejadian yang menimpa mereka. Akhirnya, cuma satu orang dari sekian teman yang tetap menemani Eun Suh.

Ternyata sahabat sejati datang justru bukan di waktu senang, justru waktu kita lagi susah.

Sejak saat itu, hidup Eun Suh tak lagi sama. Apalagi Shin Ae sering mengejeknya di sekolah. Bahkan, Eun Suh dibawanya ke rumah lamanya, untuk tinggal bersama ibu lamanya (ibu kandung Eun Suh).
Tapi kedua orang tua Eun Suh masih sayang pada anak mereka. Mereka tidak meminta Eun Suh tinggal bersama ibu kandungnya. Tapi Eun Suh memang anak yang baik hati, dia memilih tinggal bersama ibu kandungnya dan meninggalkan keluarga kaya itu.
Pun saat ibu lamanya meminta dia turut ke Amerika agar hidupnya terjamin (ibu kandung Eun Suh kehidupannya tidak memadai), dia tetap memilih tinggal bersama ibu kandungnya. Hidupnya tidak akan memadai, memang, tapi dia punya hati.
Adegan lain yang bikin saya nangis tersedu-sedu adalah saat diabsen, ibu guru memberitahu bahwa Shin Ae sekeluarga hari itu pindah ke Amerika. Eun Suh langsung keluar kelas dan berlari ke rumah lamanya. Sayangnya, dia tidak bisa mengejar mobil keluarganya yang sudah berjalan cepat.
Dia berkali-kali memanggil kakaknya....
Dia sangat menyayangi kakaknya....

------------------------------------------------------------------------------

Berpuluh tahun berlalu. Semua telah beranjak dewasa. Eun Suh bekerja di sebuah hotel, dengan seorang tamu menyebalkan yang juga anak pemilik hotel bernama Tae Suhk (laki-laki). Sementara itu, Joon Suh sudah pulang dari Amerika untuk mencari Eun Suh. Dia ingin memberitahu adik kesayangannya itu bahwa dia akan bertunangan dengan Yumi.
Adegan yang bikin mewek lagi:  pertemuan Joon Suh dan Eun Suh kembali.
:'( :'( :'(
Nah, mulai dari sini cerita menjadi agak njelimet karena konflik sedikit bertambah. Tapi fokus masalah tetap pada Eun Suh. Mulai dari Tae Suhk yang keterlaluan mengerjainya sampai dia dipecat, tinggalnya dia di studio Joon Suh yang menyebabkan Yumi cemburu, hingga hadirnya Shin Ae yang tidak menginginkan Eun Suh melihat kedua orang tua lamanya.

Nah, bagaimana kelanjutannya?
Saya nggak tahu, saya belum tamat nonton.
Yang jelas, kalau orang bertipe kepribadian melankolis nonton ini, siapkan tisu!
Reading Time: