Hijaubiru

Jumat, 07 Oktober 2022

Sudut-Sudut yang Bercerita
Oktober 07, 2022 2 Comments

- Salah satu bekas kantung pertahanan di area benteng - 

Untai-untai daun hijau muda merambati permukaan seluruh dinding rapat-rapat bak kelambu. Rimbun. Bunga-bunga liar berwarna merah muda melapisi sela-selanya. Sekilas, bangunan itu tampak seperti bangunan terbengkalai biasa. Kalau bukan dari info yang sudah didapat sebelumnya, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tembok-tembok di tepi pantai Kota Surabaya ini adalah bekas benteng pertempuran saat Perang Dunia II.


Bangunan yang berbentuk seperti dinding itu adalah Benteng Kedung Cowek. Letaknya tak jauh dari Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Jawa dan Madura itu bahkan terlihat jelas dari area ini. Namun, berbeda dengan jembatan yang jelas ramai dan terawat, bangunan-bangunan Benteng Kedung Cowek jauh lebih sepi dari suara dan aktivitas manusia. Siang itu, hanya terdengar debur ombak Selat Madura dan cericit burung yang bersarang di pohon-pohon tinggi yang akarnya menembus dinding benteng.


Di sini, sekitar 7-8 dekade lalu, pasukan Jepang merangsek masuk ke Indonesia. Surabaya jadi salah satu titik pendaratan mereka. Untuk mempertahankan posisi di Jawa bagian timur, Belanda pun membentuk kantung-kantung pertahanan di pinggir pantai untuk menghalau armada laut Jepang. Salah satunya, ya, Benteng Kedung Cowek ini.


- Salah satu pojok benteng yang dirambati bunga liar. 
Bentengnya sampai nggak kelihatan -

Jika dilihat sekilas, Benteng Kedung Cowek tak ubahnya bangunan terbengkalai lainnya yang banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Bangunan-bangunan semacam ini di Surabaya sebetulnya tak hanya satu-dua. Bila kita tahu di mana mencari, ada saja bangunan atau struktur bersejarah yang terselip di tengah ingar-bingar kota.


Namun, tak semua bangunan bernilai sejarah itu tidak terawat. Banyak pula gedung lawas yang tetap berdiri kokoh dan tampak cantik. Banyak dari bangunan itu yang menjadi cagar budaya dan dirawat oleh dinas kota, tapi tak sedikit juga yang merupakan milik pribadi dan masih dipergunakan hingga kini.


Hal yang agak mencengangkan adalah ketika menyadari bahwa sesuatu yang sering kita jumpai, mungkin setiap hari kita lewati, ternyata menyimpan cerita berusia ratusan tahun. Gang-gang yang berada di area Kramat Gantung, misalnya. Gang yang berada tak jauh dari pusat kota ini ternyata menyimpan sejarah yang lebih tua daripada balai kota atau gubernuran, yaitu kisah Surabaya semenjak zaman Majapahit, saat kota pelabuhan ini masih memiliki keraton.


Kini, mungkin jarang yang menyangka bahwa gang-gang padat penduduk ini dulunya adalah tempat para bangsawan Surabaya hidup: makan, mandi, kerja, bercengkerama dengan keluarga dan tamu jauh, termasuk menyelenggarakan upacara/adat keraton seperti keraton-keraton yang sekarang masih eksis. Well, saya sendiri juga kaget begitu tahu bahwa jalan yang saya sering saya lewati dan saya abaikan (karena ya cuma lewat doang) ternyata eks keraton Surabaya.


Untuk ukuran kota metropolitan yang dikenal tidak memiliki jejak 'kekeratonan' seperti Surabaya, hal ini adalah sesuatu yang mengundang dengung kagum. Seenggaknya bagi saya, hehe. Akan beda kesannya bila sejarah kebangsawanan ini saya saksikan di kota yang terkenal memiliki keraton (dan sistem pemerintahan keraton), misalnya Yogya atau Solo. Di dua kota ini, nuansa keraton begitu lekat, sedangkan di Surabaya justru sebaliknya.


Terasa jauh karena bekas-bekasnya sudah tiada, mungkin sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang sudah berganti bangunan modern.  Namun, di saat yang sama juga terasa dekat karena tahu bahwa area yang kita lewati setiap hari ternyata punya sejarah panjang.


Dekat, tapi masa itu terasa jauh.

Jauh, tapi area/bangunannya masih bisa disentuh tangan.


- Salah satu bangunan di area Keraton Surabaya.
Bak pintu ke masa lalu -

Akan beda cerita bila sejarahnya berkisah soal situasi di lokasi saat era kolonial. Bangunan dari era ini masih banyak yang berdiri tegak, terutama di pusat kota. Atau, sejarah era kemerdekaan misalnya. Seperti bangunan Benteng Kedung Cowek tadi. Mungkin karena masanya lebih dekat dan bangunannya juga masih ada.


Apapun itu, di balik gedung-gedung tinggi yang gemerlap dan jalan-jalan besar yang kadang bikin orang luar kebingungan, Surabaya masih menyimpan berjilid-jilid cerita. Mungkin bahkan sejak masa pra-Majapahit ketika kota ini masih disebut Ujunggaluh. Detail kisah-kisah itu terselip di gang-gang kecil, tanah dan bangunan terbengkalai, di sudut sebuah lapangan golf, atau tempat-tempat nyempil lain yang bahkan banyak warga Surabaya pun juga nggak tahu.


Maka, kalau memang suka sejarah, asik rasanya jalan-jalan sambil ngelihatin bangunan lawas yang kita tahu ceritanya. Sering ada komunitas sejarah yang jalan-jalan begini. Ada juga layanan walking tour dari beberapa penyedia jasa pariwisata. Ada guide yang bakal menjelaskan sejarah tempat-tempat yang kita sambangi. 


Buat orang dalam kota yang pengin jalan-jalan dengan nuansa berbeda atau pengin jalan-jalan tapi nggak bisa keluar kota/punya sedikit waktu aja, walking tour sebetulnya bisa jadi salah satu opsi travelling. Jadi nggak melulu refreshing ke mall atau apalah yang biasa jadi jujugan main pada umumnya. Apalagi kemarin waktu pembatasan perpindahan antarkota diperketat ketika kasus Covid-19 lagi meradang, jalan-jalan dalam kota sendiri pun bisa jadi opsi refreshing (dengan tetap patuh protokol kesehatan tentunya). Plus, ini jalan-jalan yang budget friendly banget. Biayanya di bawah IDR 100k bahkan di bawah 50k. Paling membengkak kalau ternyata di tengah jalan pengin jajan atau beli minum.


Nggak cuma di Surabaya, di beberapa kota lain, acara (atau tur) jalan kaki semacam ini juga ada. Umumnya memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, atau Semarang. Namun, kadang ada juga yang mengadakan di kota lain. Apalagi dari komunitas pencinta sejarah lokal daerah tsb. Saya kurang tahu kalau di luar Jawa, mungkin di kota besarnya juga ada. Mungkin ada yang punya infonya? Siapa tahu kapan-kapan ke sana, jadi bisa walking tour juga, hehe.


"Eh, terus soal Benteng Kedung Cowek sama Keraton Surabaya sejarahnya sebenernya gimana?"


Stay tuned. Rencananya bakal dipos dalam waktu dekat. Mungkin pekan depan, mungkin pekan depannya lagi. Who knows, hehe. Nyari referensi dulu biar rada lengkap. Atau yang udah telanjur penasaran, bisa lihat sneak peek-nya di highlight IG. 


 


======================



Sedikit cerita (slash curhat? Wkwk)

Tulisan ini seharusnya dipos di platform lain karena saya berencana ikut lomba nulis kategori non-fiksi. Udah jadi, nih, kerangkanya. Tinggal eksekusi nulisnya aja. Eh, ternyata … waktu ngecek SnK lagi ... alpa ngelihat kalau kategori non-fiksi syaratnya min 20.000 karakter 😭 Kirain cuma sepanjang artikel biasa huhuhu.


Padahal udah ancang-ancang pengin ikut sejak Agustus dan udah rencana pakai topik ini. Mana DL-nya tinggal hitungan hari. Ya sudahlah, dipos di sini dulu aja. Toh tulisannya belum ‘matang’ juga. Siapa tahu bakal ada kompetisi sejenis kapan-kapan. Mungkin bisa buat tabungan, nanti tinggal dipoles dan nambah ini-itu sedikit lagi. Maybe.




Reading Time:

Jumat, 23 September 2022

September 21, 1945
September 23, 2022 4 Comments


Mumpung masih sama-sama September. 


Pernah kenal dengan gambar di atas? Atau justru langsung pengen nangis waktu lihat gambar di atas? Waktu lihat post di atas di story salah seorang teman, rasanya saya pengin memekik, "Kok kamu tega ngingetin soal ini. Di-post pagi-pagi, lagi!" 


Gambar di atas merupakan potongan adegan dari film animasi Grave of Fireflies (Hotaru no Haka). Meski film lawas banget, film besutan Studio Ghibli ini tetap sukses bikin penontonnya menangis tersedu-sedu. Film ini ber-setting di Negeri Matahari Terbit, ketika kekaisaran itu sedang mengalami perang dunia. Tepatnya, waktu mereka sedang dibombardir balik Amerika Serikat. Film ini sebetulnya merupakan adaptasi dari cerpen semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka[1]. 


Grave of Firelies bukan bercerita soal perang itu sendiri, tapi tentang hidup-hidup rakyat biasa yang terimbas perang. Tokoh utama film ini, seorang kakak lelaki dan adik perempuannya yang masih kecil, terpaksa kehilangan orang tua dan rumah karena perang. Nggak cuma ending, sepanjang adegan di film ini semuanya bikin nyesek dan nangis. 


Kali ini, saya nggak ngomongin soal isi cerita atau review filmnya. Tulisan kali ini lebih ngebahas tentang refleksi perang buat manusia non-militer. 


Film-film bertema militer sudah lama beredar. Bahkan film action yang bukan reka ulang kejadian masa lalu, juga bejibun. Sebutlah film-film Hollywood, antara lain seri Delta Force, dsb. Yang digambarkan di film itu adalah betapa kerennya action mereka (ya emang keren, sih), betapa rasanya bangga kalau berhasil menyelesaikan misi, betapa rasanya senang karena misi sudah selesai.


Tapi, apa betul begitu rasanya perang?

Yang kita lihat di film itu adalah serdadu yang hoki; yang berhasil menyelesaikan misi dan tetap hidup. Atau malah pasukan elit yang skill-nya memang di atas rata-rata. Tapi, berapa tentara biasa yang mati dan keluarga yang kehilangan sosok ayah/anak/suami/saudara? POV penuh rasa bangga itu akan berubah signifikan bila dilihat dari kacamata warga sipil. Grave of Fireflies menyinggung hal itu dari kacamata sepasang anak kecil.


Betapa adegan perang yang terlihat gagah, diiringi musik dengan beat berdentum, berubah jadi alarm penuh tanda bahaya di mata sepasang kakak beradik yang usianya masih kurang dari 12 tahun itu. Apalagi mereka kehilangan orang tua dan rumah. Maka hal seperti kelaparan, mencari tempat tinggal, terpaksa mencuri demi bisa makan, adalah hal yang harus mereka hadapi. Dan, hal-hal ini juga terjadi betulan pada manusia di masa perang. Mungkin, malah terjadi pada leluhur atau tetangga leluhur kita, dulu. 


Lupakan sekolah dan pendidikan. Mendapatkan kebutuhan primer seperti pangan dan papan saja susahnya minta ampun. Maka pendidikan jadi salah satu barang mewah waktu itu. Tak heran zaman dulu banyak orang yang buta huruf. Buat apa? Yang penting bisa bertahan hidup dulu. (Meski dalam beberapa kondisi, tidak buta huruf bisa juga sangat menolong untuk tetap hidup. Bisa ngelamar jadi pegawai di kantor pemerintahan, misalnya.)


Dalam Grave of Fireflies, hal-hal yang lumrah dilakukan anak kecil menjadi sesuatu yang super mewah. Permen? Duh, sekaleng harus dieman-eman bener biar nggak cepat habis. Sebab, jajan mereka ya cuma itu. Anak kecil juga nggak bisa pakai baju yang lucu-lucu kayak balita zaman sekarang saat mereka keluar main sore. Sehelai baju harus betul-betul dijaga supaya nggak sobek. Nggak apa-apa warnanya sudah luntur, yang penting masih bisa terpakai. Mainan? Buku? Lupakan seri-seri mainan dan buku mahal nan edukatif zaman sekarang. Sebuah ranting, bola usang, dan lahan depan sungai sudah harus cukup jadi bahan permainan. 


Bukan cuma barang atau materi, bahkan kebersamaan pun menjadi suatukemewahan. Berbanding terbalik dengan perpisahan yang telah jadi satu hal yang umum.


Seseorang pernah berkata bahwa nasib kakak-beradik dalam film nggak akan sesusah itu kalau saja si kakak mau bekerja mencari nafkah, seperti anak-anak lain seusianya yang juga bekerja. Itu ada betulnya, sebab di zaman tersebut, anak-anak memang sudah bekerja. Bahkan ada segolongan balita yang sudah dipekerjakan. Hal itu memang menjadi miris bila dibandingkan dengan standar sekarang.


Namun, saya pribadi tetap nggak sreg bila anak-anak, apalagi di bawah usia legal, sudah harus bekerja. Dan, bekerjanya bukan sekadar buat nambah uang jajan, tapi betul-betul untuk hidup. Saya tahu bahwa hal itu merupakan sesuatu yang di masa tersebut. Bahkan harus dilakukan kalau mau tetap hidup. Tapi, apa 'sesuatu yang harus' itu selalu manusiawi? Anak-anak, bekerja?


"Kan, zaman perang. Beda, dong."

That's the exact point. Perang membuat semua yang lumrah dan normal menjadi ekstrem. Sesimpel leisurely playing menjadi satu kemewahan. Suatu kebutuhan dasar yang wajar berubah jadi satu hal yang sulit didapatkan. Hal yang normal adalah suatu hal yang tidak normal, vice versa


Perang beda dengan penggambaran di film-film. Nggak semua orang ikut merasakan kemenangan. Nggak semua pihak bisa merasakan euforia kebanggaan dan kekerenan setelah bom dilempar dan si tokoh utama melenggang macho dengan kobaran api sebagai background


Justru banyak pihak yang terdampak adalah warga sipil yang nggak tahu apa-apa, nggak ikut apa-apa, tapi kena imbasnya. Warga sipil yang simply pengin hidup biasa-biasa aja. Kisah-kisah miris yang terjadi pada kelompok rentan, apalagi. Dan kisah-kisah itu masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, meski jumlahnya menurun jauh bila dibandingkan dengan waktu PD I atau PD II.


Tapi, rasa sakit tetap rasa sakit meski yang merasakan hanya sedikit.

Kehilangan tetaplah kehilangan meski hanya terjadi pada sebagian orang.

Kita, yang alhamdulillah tidak mengalaminya, tak punya hak untuk berkata, "Halah cuma gitu doang."


Betul bahwa perang adalah masalah politik. Akan selalu ada unsur politis. Tapi itu hendaknya nggak menghalangi kita untuk berempati pada sesama. Apalagi pada manusia yang nggak tahu apa-apa tapi tetap kena imbasnya akibat pilihan politik para pentolan negara.


Karena pada akhirnya mereka hanyalah rakyat biasa.

Seperti kita.

Bila kita saja tak sanggup membayangkan hal yang sama terjadi pada kita atau keluarga atau para sahabat dan teman dekat atau tetangga, maka mari bertenggang rasa. Atau setidaknya, tak usah mencela.




==================


Yang sering muncul di kisah atau diajarkan di sekolah adalah perang 'permukaannya' aja. Kalau kita gali sedikit lebih dalam, ugh, it was more gruesome. (Apalagi kalo gali sampai dalam banget.) Sampai kadang dibikin bingung sebab semua pihak jadi abu-abu. Dan pada akhirnya berkesimpulan, "Oalah... menungso, menungso..."






Reading Time:

Jumat, 16 September 2022

Ketika Travelling Kembali, Apa yang Berganti?
September 16, 2022 4 Comments




Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula sebagian orang harus menahan diri untuk tidak bepergian tanpa keperluan yang mendesak, karena wabah. Keinginan untuk jalan-jalan tentunya bukan sesuatu yang urgen sehingga harus ditahan. Saya tahan. Selama itu pula saya nggak pergi travelling ke luar kota.


Perjalanan kereta api atau bus yang biasanya saya jabani, paling tidak enam bulan sekali, sama sekali tiada. Keinginan jalan-jalan syukurnya bisa terpuaskan dengan motoran dalam kota saja, tanpa mampir kecuali isi bensin. Jalan-jalannya pun sendirian atau hanya dengan segelintir orang yang sehari-harinya memang berkontak dengan saya.


Ketika gelombang Covid mereda akhir tahun lalu, setelah berhitung, barulah saya mulai travelling ke luar kota. Itu pun masih dengan syarat yang saya buat strict: pakai kendaraan pribadi, hanya dengan orang serumah, dan nggak pergi ke tempat yang banyak orang. Saat itu, kami hanya berhenti dua kali: untuk salat dhuhur dan makan. Sengaja kami cari resto sepi yang punya area outdoor


Alhamdulillah wabah Covid-19 sudah mereda tahun ini. Jauh, jauh lebih mereda dibanding tahun lalu. Tahu bahwa situasi sudah relatif aman (tapi tetap tidak abai), seorang sahabat memberanikan diri mengajak saya travelling luar kota dengan kendaraan umum. And, we were to stay overnight.


Setelah rundingan bikin itinerary, kami berdua sepakat untuk mbolang lagi. Kali ini dengan kereta api. Perjalanan waktu itu juga berupa open trip, yang artinya kami bakal satu mobil dengan beberapa orang yang tak kami kenal dan dari daerah lain. Apalagi, malamnya ternyata kami harus menginap. Di hostel, lagi. Bukan hotel yang lebih privat, tapi hostel yang sekamar diisi banyak orang. (Pengalaman nginap di hostel pernah saya bahas di sini)


Ternyata, dua tahun hidup dalam kondisi wabah mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan saya, termasuk dalam travelling. Mungkin style travelling juga berubah. Apa aja?



🏷️  Bawaan lebih banyak 

Saya nggak suka bawa barang terlalu banyak saat travelling. Dompet, HP, dan jaket adalah barang yang wajib dibawa. Sisanya opsional. Bermalam sehari? Tinggal tambah sehelai kaus dan deodoran. Barang lain bisa dibeli on the spot, kalau perlu. Satu tas pinggang udah cukup banget menampung semua kebutuhan.


Saat kemarin itu, saya cukup kaget karena ransel saya penuh. 'Ini cuma travelling 1D1N, lho. Kok penuh banget?' batin saya. 


Saya bongkar lagi. Ada tambahan barang rupanya. Sabun cair, hand sanitizer, setumpuk obat, buku bacaan, segepok roti, powerbank, dan charger HP. Selain sabun dan obat, barang-barang lain sebetulnya jarang atau nggak pernah saya bawa sebelumnya.


Dulu, saya nggak pernah bawa dan pakai hand sanitizer. Saya cuma pakai alkohol saat di lab, itu pun hanya sebelum/sesudah pegang sampel. Kalau mau makan atau minum ya cuci tangan biasa. Belum tentu pakai sabun dan jelas nggak cuci selama minimal 20 detik. Sekarang, mau keluar jauh atau dekat, botol mungil berisi etanol 70% selalu tersedia di saku.


Obat, selalu saya bawa. Jaga-jaga barangkali masuk angin atau mabuk darat di jalan, setidaknya bisa membantu tanpa perlu gupuh cari apotek. Buku genre fotografi saya bawa karena jalan-jalan ini sekalian hunting foto. Rencananya, itu buku bakal dibaca malam menjelang tidur. Namun, ending-nya nggak kebaca karena udah capek duluan. Zonk!


Powerbank dan charger cukup jarang saya bawa karena jarang pakai ponsel saat travelling, kecuali buka peta atau motret. Sayang, daripada utak-atik ponsel, lebih enjoy lihat dan ngamati lingkungan sekitar atau sekadar ngobrol dengan rekan seperjalanan/warga setempat. Kali ini, keduanya harus saya bawa karena ada rencana merekam video timelapse dengan ponsel yang, tentu aja, bakal ngabisin baterai. (Dan bener, dong, timelapse 10 menit langsung habis 10-15% kalau nggak salah).


Roti? Entah kesambet apa saya bawa ini. Ransum ini saya bawa buat jaga-jaga kalau di lokasi nggak ada warung yang jual makanan (tujuan kami cukup jauh dari mana-mana). Tapi kok ya bawa sebanyak itu!


Well, dua tahun tanpa travelling bikin insting light-travel  saya jadi aus rupanya. Bahkan, sobat saya pun merasakan perbedaan itu.

"Kok kamu sekarang jadi lebih ribet daripada aku?" katanya. 😄



🏷️ Lebih jaga jarak dengan orang lain 

Orang lain di sini adalah orang yang bukan rekan serombongan/orang yang nggak kami kenal. Mudahnya, orang yang kenal di jalan. Tahu lah, kalau travelling gitu kan ketemu banyak orang. Banyak yang cari travel-buddy juga. 


Mungkin ini efek physical distancing. Berusaha menjaga supaya kita nggak tertular orang lain dan kita nggak menulari orang lain. Apalagi, kalau kita (saya) datang dari kota besar menuju kota/desa yang lebih kecil. Kota/desa kecil itu tentu relatif lebih bebas wabah daripada kita (saya) yang dari kota besar. Biasanya penularan kayak gitu emang dari faktor luar, kan?


Masker terus terpasang. Di dalam kamar hostel juga tetap digunakan (meski penghuni lain copot masker). Apalagi ini kamar penghuninya bukan cuma WNI, tapi juga WNA. Dan waktu itu kasus Covid-19 dan cacar monyet di luar negeri agak naik kurvanya. Masker baru saya lepas ketika sudah masuk bilik pribadi. Di tempat terbuka pun, kami usahakan mask always on. Kecuali di tempat terbuka yang minim orang (atau, ketika mau difoto). 


Gimana jaga jaraknya? Apa nggak ngobrol sama sekali?

Oh, tentu aja tetap ngobrol. Jaga jarak nggak berarti kita judes dan ansos. Cuma jarak waktu ngobrol agak jauh aja, lebih dari jarak sopan. Apalagi kalau tempatnya sempit macam di kamar. Interaksinya ya tetap kayak dulu, sebelum wabah. 



🏷️  Skincare 

This is unexpected

Bahkan ketika hiking pun, paling pol saya cuma bawa tabir surya, sabun cuci muka, plus pelembap bibir. Itu pun biar kulit dan bibir nggak ngelupas seperti lapisan tomat setelah diblansir; kebutuhan basic yang cowok juga butuh. Itu pun, kalau lupa ya wes nggak jadi pakai, meski dibawa. 


Kemarin ini, bertambah beberapa skincare yang saya bawa. Ada kali ketambahan 2-3 botol lain. Ngapain? Ini imbas akibat setahun terakhir wajah saya rajin disambangi jerawat. Supaya doi nggak makin rajin ngapelin, jadilah terpaksa bawa beberapa krim dan obat. Apakah terpakai? Kepakai, sih, tapi nggak serutin yang seharusnya hahahah. Mana sempaaat. Lagian kalau dipikir-pikir absen sehari harusnya nggak apa-apa, kan. Kenapa waktu itu bela-belain bawa, ya? Nambah berat iya, dipakai enggak. Wkwkwk.



🏷️  Botol minum: antara termos dan zero waste 

Ini juga salah satu ke-riweuh-an waktu travelling kemarin. Bisa-bisanya kepikiran bawa dua botol minum! Tepatnya satu botol volume 1L dan satu termos kecil. Keduanya berisi air putih. Rencananya, ketika sampai di lokasi, termos itu akan saya isi kopi panas. 


Soal termos ini agak lucu (dan konyol). Saya dan sobat memang sengaja barengan bawa termos karena spot tujuan yang kami tuju memang terkenal dingin. Termos ini bakal berguna banget kalau pengin nyeruput minuman hangat. Namun, ada maksud lain juga. Saya sengaja bawa termos untuk ... properti foto.


Astaga. 


Rencananya, sih, pengin bikin shoot ala-ala adventure. Tahu lah, macam foto cangkir bushcraft dengan asap mengepul  dan latar belakang rangkaian gunung. Atau foto diri dengan separuh wajah tertutup cangkir dan background alam. One of the most mainstream travel aesthetic photos. (Tapi keren, hahaha)


Kayaknya pengaruh medsos sudah mulai merasuki kami, LOL. Padahal sebelum-sebelumnya, mana pernah kami peduli soal ginian. Living in the moment is our motto. Yang penting ada 2-3 foto diri dan barengan. Peduli amat itu foto aesthetic atau enggak.


Jadi apakah foto itu berhasil diambil?

Enggak! 😅 We were too immersed in the moment to care about those flasks. Pemandangannya terlalu cantik sampai kami lupa kalau bela-belain bawa termos. Astaga (lagi) ....


Gimana dengan nasib botol 1L-nya? Oh, jelas terpakai. Meski akhirnya tetap beli minum lagi karena mana cukup air putih satu liter buat dua hari.


Inspirasi bawa botol itu datang setelah beberapa saat ngikuti tulisan soal wisata minim sampah a.k.a zero waste adventure. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya nggak pernah bawa botol minum (selain kalau hiking) adalah kita dengan gampangnya bisa beli air mineral botolan. Toh, saya selalu butuh lebih dari satu botol sehingga percuma juga bawa botol sendiri karena ending-nya pasti beli juga.


Namun, setelah dipikir-pikir ulang, kayaknya nggak ada ruginya kalau dicoba dulu, toh? Beberapa kali travelling kecil-kecilan ke tempat yang dekat, kebetulan menyempatkan bawa botol kecil. Lumayan jadi nggak perlu berhenti buat cari minum. Karena 'percobaan kecil' itu berhasil, maka kali ini saya coba aplikasikan ke perjalanan yang agak panjang.


Memang, sih, 1L itu kurang. Dan bila kita melancong berhari-hari, pasti ada barang yang kita beli dan sampah yang kita hasilkan. Sampah wisatawan adalah salah satu faktor penting yang nggak semua daerah wisata bisa menyelesaikan. Kejauhan kalau saya ngomongin soal zero waste trip karena toh saya belum bisa aplikasikan menyeluruh. Bahkan mungkin ada yang mikir, "Cuma ngurangin satu botol/satu lembar bungkus doang, apa efeknya?" Meski bakal ada juga yang menyanggah, "Satu botol/lembar kalau banyak orang, bisa jadi setumpukan juga." Again, kejauhan emang, karena zero waste trip ini selain butuh akal dan perencanaan juga butuh modal. Cuma, mungkin berawal dari penasaran, lama-lama beneran bisa? Meski lama. Who knows ....




Hm ... apa lagi, ya? Kayaknya masih ada satu hal lagi, soal kereta. Tapi rasanya masih kabur dan hablur sampai saya juga nggak bisa pegang benang utamanya. Nanti, deh, ditambahin kalau udah jelas, hehe. 


Yang jelas adalah ada kemungkinan kebiasaan-kebiasaan baru ini yang akan terus terbawa dan memang ingin saya bawa. Lebih peduli soal kebersihan (tangan terutama), misalnya. Yang jelas, ketambahan barang bawaan yang nggak perlu bukan salah satunya, haha.


Yah, pandemi global eemang mengubah segalanya. Tanpa pandemi pun perubahan gaya hidup akan tetap terjadi, meski mungkin lebih lambat dan nggak drastis. Memilah mana perubahan yang baik diteruskan dan layak ditinggalkan, itu tergantung kitanya.



Reading Time:

Senin, 29 Agustus 2022

Trawas Tipis-Tipis
Agustus 29, 2022 2 Comments

 We can let July just be July 

Let the sun hang in the sky 

Clear your mind of all the things you’re waiting on 

- July (Later On), Lily Williams 


Juli lalu pas banget lagi butuh ‘clear my mind’. Salah satunya dengan cara… yes, you guess it right, jalan-jalan! Buat saya, jalan-jalan nggak harus travelling yang jauh banget atau berhari-hari. Kalau kerja/sekolah kan susah yak cari libur. Jadi, cari yang dekat (atau lumayan dekat) aja. 


Gimana kalau pengin wisata alam, tapi tinggal di perkotaan yang jauh dari gunung-sawah-dkk? Surabaya misalnya. Buat yang tinggal di Kota Pahlawan dan sekitarnya, wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Pasuruan, Mojokerto, dkk, biasa jadi opsi liburan. Sejak dulu kala~


“Gimana kalau cuma punya waktu libur sehari, apa keburu? Apalagi kalau pengin jalan-jalan yang low budget.”


Bisa aja; tergantung lokasi tujuan, berapa lokasi tujuan, dan makan apa. Ada daerah-daerah yang banyak menyajikan wisata dan tempat makan low budget. Atau bisa pakai trik ini: minimalkan tujuan. Satu-dua aja cukup. Dan, jadikan perjalanan ke tujuan juga sebagai travelling. Cuci mata gitu lah. Kalau ke area pegunungan, pemandangan pinggir jalan pun biasanya udah oke punya.


Waktu itu, karena cuma punya waktu satu hari dan nggak bisa jauh-jauh, saya memilih jalan ke Trawas dan cangkruk santai di sana. Kalau nanti ada sisa waktu mungkin bisa lah main ke tempat lain yang masih berlokasi di Kab. Mojokerto itu. Motor jadi pilihan transportasi (karena bisanya ya itu, haha).   


Motor juga jadi salah satu alasan milih main ke Trawas. Udah agak lama nggak nyetir di tempat berbukit-bukit dan agak jauh bikin saya rada nggak PD. Paling enggak, jalan ke Trawas bisa ditempuh lewat rute yang agak landai. Jaraknya pun nggak terlalu jauh; sekitar dua jam motoran santai.


💡Jadi buat orang yang jarang nyetir jauh atau berkendara ke daerah bergunung-gunung (kayak saya, hehe), kira-kira nggak begitu berat dan nggak kaget medan lah.


Kami berangkat pukul tujuh dari arah Surabaya. Agak siang sebenarnya, karena udara jalanan lebih segar (standar perkotaan, ya) kalau berangkat agak pagi. Berboncengan kami jalan terus lewat Ahmad Yani membelah Sidoarjo yang tumben-tumbenan nggak macet. 


Perjalanan menuju Trawas dari arah Surabaya sebenarnya bisa dicapai lewat tol. Namun karena kami pakai sepeda motor, jadi lewat jalan biasa. Lewat jalan raya ini pun bisa lebih cepat bila melintas via Porong. Jalannya juga tinggal lurus aja. Cuma karena saya cari rute yang lebih sepi (thus, bisa lebih cepet ketemu ijonya sawah dan kebun), saya berbelok dan mencapainya lewat Tulangan, lalu tembus Krembung.



『 TOELANGAN DAN KREMBOON

“Bukannya itu jalannya rame?”

Iya, di beberapa titik. Paling enggak relatif lebih nggak padat daripada jalur Porong. Bisa lewat kebun tebu dan desa yang masih asri juga. Buat yang demen sejarah, mungkin juga bakal tertarik karena ngelewati pabrik gula Tulangan dan Krembung yang sudah tersohor sejak zaman Belanda (ejaan lama: Toelangan, Kremboong). Pabrik inilah yang jadi cikal bakal PTPN di Jawa Timur. 


Meski nggak bisa masuk ke pabrik, kita bisa lihat tampak luar dari pabrik gula abad 19 ini. Bentuknya khas bangunan lawas yang tinggi besar dan terkesan gagah meski di beberapa bagian nampak retak dan usang digerus zaman. Di antara lautan motor dan manusia yang modern, bangunan dengan arsitektur yang jelas lawas itu menjadi kontras.


Saya lupa tepatnya di sebelah mana, tapi di jalan dekat pabrik masih tersisa rel yang dulu dilewati oleh lori. Lori adalah kereta pengangkut tebu. Gerobak-gerobak ini riuh mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diolah menjadi gula sejak lebih dari seabad lalu. Kini, rel dan lorinya sudah lama ‘pensiun’. 


Lanjut ke rute….


Selepas dari Krembung, roda bergulir ke arah Jalan Raya Trawas-Mojosari. Inilah jalan yang terhubung dengan Trawas, tapi relatif landai. Bukan berarti jalannya nggak nanjak/bertikungan, tapi mendingan lah daripada lewat jalan kecil yang, meski asik, tapi lebih curam (buat saya). Di tepi jalan raya mulai muncul gerumbul pucuk-pucuk pinus. Dari balik pepohonan tinggi ini, Gunung Welirang muncul-sembunyi bak sedang petak umpet. Udara yang mulai sejuk menembus kaos tangan dan menelusup ke kulit.


Lewat dari jalan raya dan belok kiri memasuki area Kecamatan Trawas, jalan mulai lebih naik-turun. Pas lewat sini, nggak berhenti bismillah terus sambil deg-degan karena udah lama nggak bawa motor ke daerah begini, hehe. 


Tujuan pertama kami adalah: tempat makan. Lapar, euy. Kebetulan berangkat tadi belum sarapan. Dan, ini sudah pukul setengah sepuluh. Kok lama? Karena sempat balik kucing (STNK ketinggalan, LOL) dan faktor utama ya sebab saya nyetirnya nyantai; pelan. Sambil lihat pemandangan di kiri-kanan. 



『 GARTENHUTTE 



Kami rehat di Gartenhütte, salah satu tempat makan yang menurut teman saya lagi happening. Selain konsepnya yang dibuat mirip Western barn, resto ini juga terkenal karena view-nya yang langsung menghadap terasering luas. Di akhir pekan, jangan datang mendekati jam makan siang. Rame! Jangankan bisa milih tempat duduk, dapat tempat aja nggak bisa dapat. Restonya sampai nolak-nolak pengunjung karena penuh. 


Apa kemarin setengah sepuluh udah rame? Lumayan. Meski nggak bisa dapat tempat yang view-nya strategis, tapi masih bisa milih tempat lah. 


Antrean pun bisa mengular tanpa kami sadar. Waktu pertama antre, kami berdiri nggak jauh dari ‘rumah’ tempat kasir. Eh, waktu keluar, udah panjang aja sampai hampir ke tempat makan. Padahal kami ngantre paling 10 menitan. Saat pergi ke sana lagi beberapa pekan kemudian, saya minta teman langsung antre begitu kami datang. Sementara, saya bertugas parkir kemudian. Antrean yang mengular pun kembali terulang; setelah kami pesan.


Sistem di sini adalah datang langsung antre. Antre-pesan-bayar-dapat nomor meja-pilih tempat duduk. Menunya cukup variatif dan ramah di kantung. Sekitar 10-20 ribuan aja. Heran juga saya. Biasanya resto aesthetic gini kan rate-nya paling nggak 20 ribu ke atas. Oh ya, menu itu bisa dilihat di website mereka.


Terasering yang bisa dilihat dari resto

Sepertinya belakangan ini memang tempat makan yang mengusung konsep menyajikan view estetis pedesaan makin menjamur. Kayaknya duluuu masih jarang banget yang kayak gini, di sini. Resto ya resto aja, kafe ya tempat ngopi aja. Sekarang, warung pinggir jalan pun didekor ala cottage Barat.


Di area sekitar Gartenhütte pun ada banyak resto cukup besar yang bertema mirip. Tempat-tempat makan didesain serupa barn atau bergaya rustic. Tentunya barn (lumbung padi) dan rustic ala Eropa/Barat, bukan rustic-nya Indonesia. Emang bagus, sih, gayanya. Berasa lihat rustic wedding board yang seliweran di Pinterest. Tapi, lebih simpel. 


Dan, daerah Selotapak ini kayaknya emang punya terasering cukup banyak. Pemandangannya juga cantik dan strategis sebab gunung-gunung di sekitarnya kelihatan jelas sampai puncak. Dan, kini, lanskap ini jadi daya tarik tersendiri bagi makin banyak orang.


Makanan mulai diantar satu per satu sekitar 10-15 menit kemudian. Jadi salut sama manajemennya. Padahal pengunjung lagi banyak dan lokasi duduknya nyebar pula.


Mie spesial Garten. Warna mienya macam-macam.
Saya pilih yang warna hitam gegara penasaran sama penampakannya

“Menunya masakan Barat?”

Enggak, kok. Meski namanya berbahasa Jerman (literally berarti ‘pondok taman’), menunya Indonesia banget. Kalau minumannya ya standar resto kayak biasanya. Pilihannya banyak. Kabarnya ada kopi lokal juga, tapi sayang belum sempat nyoba. 


“Gimana review Gartenhutte soal makanannya?”

Enak. Bukan yang enak banget, tapi tetap enak. Sesuai lah sama harganya. Porsinya juga pas; nggak terlalu banyak atau sedikit. Mantap/enggak rasa masakan mungkin tergantung menu. Soalnya, waktu saya pesan mie Garten, berasa enak banget di lidah dan pengin nambah. Namun, di lain kesempatan, nasi goreng merahnya hambar. Hanya asin, bumbunya kurang. (Atau beda hari, beda orang yang masak, jadi beda rasa? Entah.)


Overall camilannya biasa aja. Rasanya sama dengan camilan di pedagang-pedagang snack umumnya. Cuma, kalau bisa camilan ini segera dimakan soalnya anginnya kenceng; bikin makanan cepat dingin. Ya gimana nggak kenceng wong sekitaran langsung lembah, jadi nggak ada penghalang angin. Saran aja, kalau pesan camilan, nanti aja setelah makanan utama habis daripada dingin duluan. Kalau sambil nongkrong, nunggu snack datang 10 menitan pun jadi nggak terasa. 


Rumah pohon yang dikelilingi bambu, di belakang resto.
Suara gesekan daunnya yang ditiup angin bikin suasana makin sejuk


👉Tips buat yang nggak kuat angin:

mending tetap pakai jaket atau pilih tempat yang nggak ngadep langsung ke terasering. Ya meskipun anginnya masih kerasa, tapi nggak kenceng-kenceng banget. Khawatir nggak dapat view bagus? Jangan khawatir, kamu bisa bebas jalan-jalan ke sisi lain tanpa ganggu pengunjung yang duduk di situ, kok. Areanya cukup luas.


Kalau pengin makan dengan suasana yang lebih outdoor lagi, bisa juga piknik di tenda dome yang terletak di atas resto. Kita bisa sewa (bayar 25k kalau nggak salah) buat makan doang. Kalau mau nginap juga bisa dengan reservasi dulu. Info dari teman yang pernah kemping di sana, disediakan sleeping bag, alas/kasur tipis, dan listrik. Pun tersedia sewa alat bebakaran buat nge-grill.


Kami nongkrong di sini hingga tengah hari. Meski udah lewat dhuhur, nggak terasa panas. Iyalah lha wong di gunung, adem terusss. Anginnya semilir bikin ngantuk. 



NEXT PITSTOP(S) 


  
Mosque with a view.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat sejuta umat kalau mau istirahat dari perjalanan panjang: masjid. Selain buat shalat, tampaknya banyak orang setuju kalau ini salah satu tempat paling multifungsi: ibadah bisa, selonjoran (bahkan leyeh-leyeh sebentar) bisa, cuci muka/mandi juga bisa.


Kami berhenti di satu masjid di kampung tak jauh dari Gartenhütte. Entah apa namanya. Masjid ini tampak baru dengan dinding putih bersih yang makin kinclong diterpa matahari siang bolong. Untungnya, air yang mengalir dari kran wudhu segar banget pas kena kulit. Fresh from mata air pegunungan, kayaknya. Kontras banget dengan terik panas di luar.


Selain hawa di dalam masjid yang adem dan bikin pengin tidur, masjid yang diapit ladang jagung dan perkampungan ini punya pemandangan cantik. Di sisi kiri terlihat hijaunya Gunung Penanggungan, sedangkan di kanan perbukitan lereng Gunung Arjuno-Welirang tampak kebiru-biruan. Sayangnya pegunungan itu sedang tertutup awan. Kalau di sana cerah, wah, kiri-kanan bakal luas banget arah pandang ke pegunungan. 


Kelar shalat sekaligus istirahat di sana, motor kembali melaju. Kalau tadi kami datang dari arah barat Penanggungan, maka kali ini kami berencana pulang lewat sisi timurnya. Muter lebih jauh, dong? Iya. Namanya juga lagi jalan-jalan, hehe. Muterin lingkar Penanggungan.


Unexpected panorama: sungai kecil dan pegunungan
di pinggir jalan. Memang bukan spot wisata, tapi cantik bgt!

Kami sengaja melintas di jalan desa meski waktu tempuh jadi lebih lama. Biasanya, jalan yang begini punya lanskap lebih apik dan masih alami. Memang nggak seteratur kalau dibuat taman atau kafe, tapi ketidakteraturan itu justru bikin panorama jadi elok natural.


Ada terasering tempat bibit-bibit padi hijau pupus berjajar. Waktu noleh ke sisi jalan, eh ada sungai kecil yang airnya gemericik (meski agak hilir kemudian banyak sampah). Ada lahan kosong yang dipenuhi ilalang liar berbunga lembayung; selaras corak langit di latar belakang yang mulai senja.  Ketemu ladang ubi jalar yang tanahnya disela batu-batu hitam sebesar mobil mini. Itu batu gede banget, dari mana asalnya, ya? Aktivitas vulkanik Penanggungan zaman dulu kala atau gimana?


And many more.



WARUNG TENGAH HUTAN 

Hutan dan sungai kecil di lembah bawah

Jalan yang dilewati kali ini berbeda dengan Raya Trawas yang relatif landai. Memang di sini ada beberapa bagian yang landai, tapi ada juga sejumlah titik yang tanjakan-turunannya agak curam, plus belokan tajam. Seorang warga setempat berdiri di bahu jalan. Ia mengarahkan kendaraan agar lebih hati-hati sebab ada jurang menganga di kiri-kanan.


Sekeliling jalur dekat jurang ini memang dikelilingi hutan, jadi agak gelap tertutup rerimbunan. Hawa sore di sini, meski nggak menggigit, tetap lebih dingin karena tertutup kanopi pohon-pohon tinggi. Di tengah jalur hutan yang jauh dari kampung inilah terdapat sebuah warung.


Warung tersebut agak masuk ke pepohonan. Kalau bukan karena tulisan 'PARKIR' yang ditulis besar-besar, kayaknya saya nggak bakal ngeh kalau ada kedai gubuk di sini. Daripada sebagai tempat nongkrong, kayaknya tempat ini lebih cocok disebut rest area sederhana. Mampir ke sini pun sebenarnya waktu itu nggak terencana. 


Warung di sini beneran cuma sebiji. Itu doang. Sekelilingnya pohon pinus, jati, dan entah pohon apa lagi. Yang jelas, mereka tinggi-tinggi banget. Pohon tua mungkin, walau nggak tahu berapa umurnya. Tempat duduk di sini dari bilah-bilah bambu kasar yang ditancapkan gitu aja. Menunya? Makanan dan minuman instan.


Tapi bukan berarti di sini jelek. Kalau definisi jelek adalah nggak tertata seperti taman atau layaknya tempat makan, mungkin iya. Yang bagus di sini menurut saya yaitu suasananya yang emang ‘hutan banget’ dan gemercik kali kecil di kejauhan. Tempat ini emang sederhana, tapi buat orang yang kangen masuk hutan tapi belum kesampaian main ke hutan atau orang yang pengin tahu hutan itu kayak apa tanpa masuk terlalu jauh, lingkungan sekitar warung ini bisa jadi opsi.


  
Bunga-bunga liar di sekitar lokasi. Ki: kipait/kembang bulan/
Mexican sunflower (Tithonia diversifolia). Ka: ketul (Bidens alba).
Masih ada beberapa bunga liar lain yang cantik, tapi nggak kefoto


Setelah rehat sejenak di sini, roda motor kembali berputar. Udah makin sore dan harusnya kami udah separuh perjalanan pulang.



『 2nd AND LAST SPOT: RANU MANDURO 

  
Danau kecil dan bunga liar. Para pemuda lokal
memancing ikan di sini. Di background tampak G. Penanggungan

Sebenarnya waktu berkunjung kami ke sini kurang tepat. Kami baru sampai sekitar setengah lima. Matahari sudah miring sekali ke ufuk; langit sudah merah muda. Tapi lumayan lah masih terang.


Ada penduduk yang berjaga di jalan masuk lokasi ini. Tarifnya lima ribu per orang. Oh ya, waktu sudah masuk kampung, jalannya agak beda dengan rute Google Maps. Peta menunjuk ke kiri, sedangkan penanda lokal mengarahkan untuk lurus. Saya ngikut yang penanda lokal. (Local sign is the best!)


Ranu Manduro, meski namanya 'ranu' yang berarti danau, sebetulnya adalah lahan bekas tambang. Tambang sirtu tepatnya. Kabarnya nama 'ranu' disematkan karena lubang-lubang dalam bekas galian itu menjadi danau ketika terisi air hujan. 


Tempat inilah yang sempat terkenal banget beberapa tahun lalu. Foto-foto trio danau-gunung-hamparan rumput hijau tersebar di dunia maya. Namun, karena kami berkunjung di bulan Juli yang sudah kemarau, rumput-rumput itu sudah berubah warna jadi kuning atau abu-abu kering.


Ranu. Kemarau.


Perbedaan musim pun membuat seantero ranu memancarkan suasana lain. Entah efek cahaya merah mentari senja atau bukan, dinding-dinding berbatu terkesan lebih kaku dan gersang. Alang-alang tinggi terasa kasar saat disentuh tangan. Udara di sini memang nggak panas, malah cenderung sejuk karena sudah senja, tapi hawanya kering.


Setelah melalui jalan tanah berkerikil yang bikin ban gampang selip, kami menjumpai danau pertama. Mungkin lebih cocok disebut kolam karena ukurannya kira-kira cuma seluas separuh lapangan futsal. Beberapa pemuda lokal duduk santai di pinggirannya. Di tangan mereka tergenggam joran pancing.


Wah, ada ikannya, toh

Menilik isi bungkusan transparan yang dibawa mas-mas itu waktu mereka pulang, kayaknya emang ada. 


Kami nggak lanjut masuk lebih dalam karena khawatir kemalaman. Kalau lihat foto dan video orang-orang, kayaknya makin masuk bakal makin gede kolam-kolamnya. Lebih luas juga pandangan sampai kelihatan Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya. Tapi cukup lah kami cuci mata di sini aja. 


Pukul lima lebih kami keluar dari kawasan. Di horison sana, matahari bulat merah sudah siap menghilang. 


Langit (hampir) merah jambu



==========================================================


📑 IN SHORT 

  •  Pengeluaran (2 orang 1 motor): ±150k
    ±100k makan di Gartenhutt (lebih dari 4 menu. Buat berdua asli kenyang, bahkan bisa nyisa). Di warung ±15k. Sisanya bensin dll. 
  • Durasi: 1 hari. 2 tujuan utama. Start jam 07.00-19.00.
    Perjalanan Surabaya-Trawas kalau santai sekitar 2 jam.
  • Cek cuaca!
    Kalau pengin dapat pemandangan 'bersih' yang minim kabut, cek cuaca sebelum mutusin berangkat. Kemarau sekalipun. Setelah Juli, saya balik lagi ke Trawas dan dapat kabut + hujan deras. 
    


==========================================================




*Oh yaa, yang sempat baca postingan digital journaling di sini, separuh dari teks ini diketik via HP, lho (seneng banget akhirnya bisa nulis panjang via ponsel, nggak cuma mainan doang, wkwkw)


Reading Time:

Jumat, 19 Agustus 2022

Photograph
Agustus 19, 20220 Comments

 I realised something when I post a photograph on my social media, today. Several people gave it likes. The number of people was more than the usual. How so?


The picture was the answer. It was not very good from a photography perspective, but the object was quite majestic. And, it was one of few good photos I took in that location. 


In short, I chose one of the best picture. It was chosen from tons of shots I took. Those good shots were only one-tenth of the total. What about the rest? A real mess.


So what's the point?

My point was people always like something at the peak point. If I were to release a less beautiful photo, the likes wouldn't skyrocket that much.


The same thing happened with life: we, people, love it when it looks good. Either from the perspective of the society or ourselves. Everybody loves an amazing result, a success story, and so on. But how many also loves the failures, the bleeding work that didn't bear fruit? Those failures story that stayed a failure, not a successful ones. Like those messy, blurry, noisy pictures I took. Well, I don't even like them and I was the one who created them.


"Everyone loves a highlight reel but not the behind-the-scenes."

(It actually is 'don't compare your behind-the-scenes with someone else's highlight reel')


That was the blinds of life (pun intended, LOL), I suppose.


But there was another 'blind spot' I realised later.

In fact, I don't think that particular picture was beautiful. It was cropped, kinda blurry, and I couldn't put my finger on its light adjustment. I just thought, "I want to post a landscape pic today and this is just a story so it will disappear in 24h and won't 'dirty' my feed so let's get on with it."


I considered the picture was rather ... unsatisfactory.


The boom was that people actually liked it. Me? Not so much.


Maybe I took it too far by saying this and it shouldn't be this deep, but: sometimes what we think as bad thing or not a standard might be actually good than what we think of them. Perhaps we were just too perfectionist. Maybe we were just too hard on ourselves. Selling ourselves short. I don't know.


Maybe?

Reading Time: