Hijaubiru

Sabtu, 25 Agustus 2018

Dwelling (?)
Agustus 25, 20180 Comments

Hm... where to start, where to start?

Kemana aja, kok blog-nya kosong nggak ada update? Social media juga nggak begitu aktif kayaknya? Kenapa? Nggak nulis lagi? Atau nggak jalan-jalan lagi? Atau nggak baca lagi? Kemana aja?

Nggak kemana-mana, pun nggak sedang melakukan rencana besar yang revolusioner. So?

Life happened, that's why.
Or rather, it didn't. Whichever you think is fine.

In a world that never stops talking, silence is addictive. And when you find a 'place' which is quiet and comfortable and understands you in a way nobody does, it's almost as if you don't want to leave and want to dwell there forever.

Almost.

Reading Time:

Minggu, 20 Agustus 2017

Buku-Buku Perjalanan Agustinus Wibowo
Agustus 20, 20170 Comments


Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

TITIK NOL
Tahun terbit: Mei 2014 (cetakan 5)
Tebal: 552 halaman

SELIMUT DEBU
Tahun terbit: April 2013 (cetakan 4)
Tebal: 461 halaman

GARIS BATAS
Tahun terbit: 2011 (cetakan pertama)


Bila kita mencari buku tentang travelling yang berbeda dari buku-buku kebanyakan, sepertinya ketiga buku di atas bisa memuaskan keinginan itu.

Dewasa ini, travelling sudah jadi bagian dari tren 'kekinian'. Buku-buku tentang travelling pun kian marak di pasaran, mulai dari manual travelling, kumpulan catatan perjalanan, hingga novel-novel fiksi yang menyinggung topik ini. Rata-rata buku tentang jalan-jalan akan membahas tujuan perjalanan, pengalaman di sana, dan metode mencapainya, bahkan hingga rinci. Itinerary. Rata-rata cenderung deskriptif, meski beberapa memang ada yang penyampaiannya lebih puitis & melankolis, terutama bila itu novel. Namun, hanya sedikit yang menulis tentang pengalaman humanis dalam proses mencapai tempat tujuan.

Bila mencari buku yang seperti itu, saya rasa ketiga buku tulisan Agustinus Wibowo ini lebih dari layak untuk masuk hitungan. 

Sudah ada tiga buku yang ditulis pria ini. Lelaki yang juga wartawan Kompas ini menulis Titik Nol, Selimut Debu, dan Garis Batas, semuanya dilengkapi dengan foto-foto berwarna jepretannya sendiri. Kisah dalam buku-buku ini pernah dimuat pula di media Kompas beberapa tahun lalu. Bila ada yang penasaran tentang gambaran buku ini, mampir saja ke website penulisnya http://agustinuswibowo.com/.

Saya baru selesai baca dua di antaranya. Maka, yang saya bahas di sini hanya Titik Nol dan Selimut Debu aja ya. Garis Batasnya menyusul.


_________________________________


"Memberi arti pada perjalanan". Itu judul pengantar yang ada pada Titik Nol. Secara garis besar, buku ini berkisah tentang pengalaman penulis melintasi negara-negara Asia. Jangan salah, yang dikunjungi bukan negara-negara tersohor nan maju seperti Jepang, Korea, atau Singapura, melainkan negara-negara yang sedang berkembang. Berbekal mimpi menjadi petualang dunia, mencapai negeri-negeri jauh, Agustinus memulai perjalanannya dari Cina. Dari negeri tempatnya berkuliah itu, perlahan-lahan ia berpindah ke wilayah Tibet, lalu ke negara sekitarnya: Mongolia, Nepal, India, Pakistan, negeri-negeri atap dunia tempat rangkaian pegunungan tinggi dunia bersemayam. Dari sana ia menyusuri negeri-negeri Asia Tengah: negara-negara berakhiran -tan (Afghanistan, Uzbekistan, dan kawan-kawannya). Seluruh perjalanan ini ditempuhnya melalui jalan darat yang tentu relatif lebih ribet.

Hanya itu? Oh enggak. Perjalanan tidak selalu mulus. Ada kala ia harus menunggu angkutan berjam-jam di padang sepi yang jauh dari mana-mana, menumpang kendaraan pribadi, berjalan kaki sendirian berkilo-kilometer dengan medan yang tak selalu mulus (dan jalan yang tak senantiasa ada). Bukan hanya itu, ia harus merasakan yang rasanya ditampar penduduk lokal, dicurigai sebagai penyelundup, dicopet dan dirampok, dan berbagai pengalaman tidak mengenakkan lainnya.

Kok nelangsa sekali? Benar, penulis dituntut lihai dalam perjalannya, tak saklek, dan banyak akal menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak pernah termaktub di buku teks kuliahan maupun buku panduan travelling. Tak banyak buku travelling yang berani menyampaikan duka perjalanan yang dialami, tetapi peristiwa itu dituliskan di sini. 

Tentu tidak semua kisah-kisahnya menyedihkan, ada kehangatan dan eksotisme yang ditawarkan. Entah lewat kisah keramahan teman nemu-di-jalan, teman nemu-di-warung, atau warga lokal yang terlalu baik. Disampaikan pula budaya, mitos, kebiasaan, dan kisah-kisah masa lalu di tempat-tempat yang dilalui, menjadikan cerita lebih 'hidup'.


_________________________________

Bila Titik Nol menceritakan garis besar perjalanan penulis melintasi Asia, maka Selimut Debu menitikberatkan pada pengalamannya selama berada di negeri perang, Afghanistan. Siapa yang tak pernah mendengar tentang keganasan kota Karachi, Kandahar, atau kelompok Taliban? Negara yang tersohor akan perangnya yang tak habis-habis ini memiliki sisi-sisi menarik, unik, dan kaya yang tak banyak diketahui orang. Afghanistan ternyata tidak melulu tentang debu padang pasir, rentetan kalashnikov dan bom yang siap meledak sewaktu-waktu, Taliban, atau tempat yang terisolasi dan mengisolasi dari dunia global. Negara ini pernah jaya pada masanya, dahulu sekali ketika Jalur Sutra masih sering dilintasi. Ia memiliki gunung-gunung tinggi, lembah-lembah hijau, dan danau serta sungai deras berwarna biru terang. Ia juga memiliki mall mewah, hotel berbintang, bahkan bar.

Di balik negeri yang dipenuhi aroma perang dan kematian, kehidupan terus berjalan. Inilah yang diulik penulis. Masyarakat di sana beragam, mulai yang tertutup sekali hingga agak terbuka. Ada kisah kuno soal penyebaran agama Hindu dan Buddha yang pernah menjamah daerah yang sekarang mayoritas muslim ini. Ada cerita tentang minaret dan masjid yang pernah menjadi bukti kejayaannya di masa lampau, ada pula cerita yang di negara kita dianggap tabu tetapi ternyata di sana sudah jadi rahasia umum. Tak hanya nilai-nilai kemanusiaan dan aroma kepasrahan, kita pun bisa menemukan kebanggaan dan api semangat yang tersemat di dalam hati para warga Afghan, yang selama ini kita anggap tak lebih dari sekedar korban perang.


_________________________________

Bahasa yang digunakan pada buku-buku ini tepat dan bernas. Tak ada basa-basi, kalimat-kalimat penuh kiasan, atau penggambaran yang kadang malah membuat pembaca tak paham. Meski bahasa yang dipakai adalah bahasa baku khas koran, tapi saya rasa ceritanya tetap mengalir. 

Buku-buku ini tak selalu menceritakan kisah secara runtut. Alur yang digunakan pada Selimut Debu memang cenderung menggunakan alur maju bersetting sekitar tahun 2006, sedikit berbeda dengan Titik Nol yang beralur maju-mundur. Meskipun demikian, pada keduanya banyak ditemukan kisah-kisah lain yang berhubungan (misalnya mitos, sejarah, budaya) yang diselipkan di tengah-tengah cerita. Jangan kira selipan ini sedikit, kadang justru sisipan inilah yang porsinya lebih banyak. Awalnya, saya sedikit bingung dengan gaya ini karena kesannya melompat-lompat. Namun pada akhirnya terbiasa dan malah menikmati kisah-kisah sisipan bernilai tinggi tersebut, karena menurut saya inilah daya tarik utama buku ini dan yang membuatnya berbeda dengan buku travelling lainnya. Penulis tak hanya fokus pada tujuan dan itinerary belaka, tetapi lebih pada proses selama perjalanan dan orang-orang yang ditemui.

Buku ini mengajak kita melanglang buana ke belahan bumi yang jarang dijamah orang. Negara-negara yang dilalui bukanlah negara tujuan pariwisata yang sudah sangat maju. Namun itulah sisi lebihnya, yaitu menguak kisah tak terduga di balik negara-negara yang masih samar-samar di mata dunia. Negara-negara ini bukanlah tempat yang bisa dengan mudah kita cari infonya dari dunia maya, yang gampang ditemukan website pariwisata (atau badan pemerintah lain) resminya. Sebagian kita bahkan mungkin tidak tahu letak negara-negara ini, bahkan hanya pernah sekali mendengarnya zaman pelajaran Geografi di SD dulu, kemudian lupa selamanya. Buku travelling ini menuntun kita mengintip negara-negara yang masih berada di balik tirai, mengantarkan pada situasi di sana masa kini, dulu, bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.


_________________________________


Suka dan takjub! Itu reaksi saya saat selesai membaca Titik Nol, buku Agustinus Wibowo yang pertama saya beli. Titik Nol sebenarnya sudah saya incar beberapa bulan sebelumnya. Meski buku tersebut tak boleh dibuka segelnya saat di toko buku, saya tahu dari larik-larik gelap di sisinya bahwa buku ini menyajikan foto-foto berwarna. Jarang saya temukan buku travelling, dalam hal ini buku cerita (bukan manual  travelling), yang melengkapi ceritanya dengan gambar. Inilah yang membuat saya tertarik, selain tulisan 'best seller travel writing' pada cover-nya. Maklum, gambar berwarna pasti berimbas pada harga yang lebih tinggi. Karena alasan inilah, Titik Nol berusaha tidak saya gubris tiap kali melewatinya di toko buku, meski seringkali saya menimang dan menimbang, "Kapan ya, ini buku bisa terbeli?"

Suatu saat ketika melewati rak buku ini, saya teringat perkataan seseorang, "Kenapa kita sulit sekali menganggarkan uang untuk membeli buku? Kenapa terlalu banyak pertimbangan? Dengan enteng kita keluarkan uang untuk baju berharga sembilan puluh ribu, bahkan yang harganya di atas seratus. Lalu kenapa untuk buku, untuk ilmu dan investasi masa depan yang bisa diwariskan, kita terlalu berhitung?". Kurang lebih itu yang dikatakan penulis Asma Nadia di seminar yang saya hadiri beberapa bulan sebelumnya.

Kalimat itulah yang akhirnya memantapkan saya membawa Titik Nol ke kasir, meski saat itu harganya Rp125.000,00. 

Dan, kalimat itulah yang selalu saya dengungkan saat saya ragu dalam membeli buku. Meski kadang saya jadi kalap dan jadi memborong buku banyak-banyak, hehehe.

Ternyata tidak mengecewakan. Sangat amat tidak mengecewakan a.k.a sangat memuaskan. Jujur saya mulai bosan pada buku-buku travelling yang isinya kurang lebih sama, ya seperti yang disebut di atas: itinerary, tips dan trik, keindahan lokasi. Atau, novel yang menggunakan tema perjalanan atau luar negeri sebagai tempelan di cerita-cerita romantis tapi kata-katanya tidak romantis. Maka, buku-buku seperti Titik Nol dan Selimut Debu jadi semacam angin segar buat saya yang tetap ingin baca cerita perjalanan yang tak semu dan umum.

Selesai dengan Titik Nol, sejenak saya terlupa hingga pada awal 2017 lalu saya kembali mencari novel perjalanan lainnya. Browsing sana-sini, akhirnya saya teringat buku Agustinus Wibowo yang lain. Dimulailah perburuan itu, saya mencari Selimut Debu. 

Nihil.

Toko-toko buku mayor di Yogya sudah saya sambangi, tetapi stoknya selalu kosong. Ya sudah, coba dulu ke lain kota. Saya pun beralih ke Surabaya. Apes pula, toko-toko buku mayor langganan saya pun kosong. Seorang pramuniaga di salah satu toko berkata, "Terbitnya sudah agak lama ya? Wah maaf, kalau sudah lebih dari sekian tahun, biasanya sudah dikembalikan ke penerbit".

Saya tambah patah hati.

Berbekal pasrah, pergilah saya ke salah satu toko buku terbesar di Surabaya, yang kalau di toko ini buku itu tidak ada, maka bisa dipastikan buku tersebut sudah tidak beredar di Surabaya. Kembali saya menatap layar komputer toko, mencari. Tuh kan, Selimut Debu stoknya nol. Garis Batas tinggal satu, yang masih banyak adalah Titik Nol yang sepertinya memang lebih terkenal dan best seller  di antara ketiganya. Ya sudah, Selimut Debu tak ada, Garis Batas pun boleh juga.

"Kalau tinggal satu, biasanya sulit ditemukan bahkan sudah nggak ada, bahkan di gudang," kata si mas pramuniaga, tetapi tetap ia antarkan saya untuk mencari. Benar, hanya tumpukan buku berkover biru, Titik Nol, yang masih tersedia. Saya menghela napas kecewa sebelum saya melihat satu buku berkover hitam di antara lautan biru. 

Ternyata, jodoh memang tidak ke mana. Setelah dicari tentunya #eh. Buku itu bukan Garis Batas, tapi justru Selimut Debu. Hanya satu! Benar-benar tinggal satu! Setelahnya, di sisa waktu berkeliling toko, buku tersebut tak pernah saya lepaskan dari genggaman. Takut ada orang lain yang ngincar juga, hehe.

Kenapa saya keukeuh nyari buku ini? Simpel, ingin tahu tentang negara yang selalu dikabarkan berkonflik oleh seluruh media: Afganistan. Apa cerita di baliknya sama seperti yang kita dengar selama ini? Menilik dari Titik Nol, saya yakin Selimut Debu juga akan menuturkan cerita-cerita tak terduga yang tak terkover media. Dugaan itu tak meleset.

Untuk saya sendiri, Selimut Debu menawarkan kisah-kisah sejarah yang menarik dengan benang merahnya. Saat itu (curcol sedikit nih jadinya), saya sedang menggandrungi film Prince of Persia. Iya, saya tahu saya telat tujuh tahun menonton film ini. Saya pun baru benar-benar menonton film ini saat ditayangkan di TV. Terpikat pada ide ceritanya, saya pun mencari info soal film ini untuk memilah mana yang benar-benar ada dan mana yang fiksi.

Kisah Kekaisaran Persia, kota Alamut, Hassanssin, dan pegunungan Hindu Kush merupakan beberapa hal yang nyata adanya dan mereka turut diceritakan dalam Selimut Debu. Mengapa? Sebab Kekaisaran Persia dulu meliputi Afghanistan. Bicara soal sufisme, yang juga ada di Afghanistan, juga bersinggungan dengan Hassanssin (sumber inspirasi dari game terkenal Assassin Creed dan asal kata bahasa Inggris 'assassinate') dan kotanya, yaitu Alamut. Dan pegunungan Hindu Kush? Awalnya saya agak sangsi karena setting padang pasir di film tiba-tiba berubah menjadi pegunungan bersalju. Namun, tempat ini nyata adanya. Penamaan 'Hindu Kush' memiliki beberapa versi, salah satunya berarti 'pembunuh Hindu' karena banyak budak India yang dibawa ke Asia Tengah berabad lalu menjemput ajal di pegunungan ini lantaran tidak tahan suhu dingin yang menggigit. Siapa sangka Hindu pernah melintasi  Afghanistan? Bahkan, agama Buddha pernah berjaya di negara ini. Patung Buddha terbesar di dunia pernah ada di Afghanistan, sebelum hancur dibom oleh Taliban. 

Selimut Debu menceritakan kisah negeri di balik perang, kisah negara yang pernah jaya, cerita lawas para saudagar negeri padang pasir yang melintasi Jalur Sutra untuk mencapai Asia. Ini kisah tentang budaya dan desa yang tak tersentuh arus dunia, kisah tentang hijau lembah dan biru danau yang tersembunyi dari mata yang tak jeli mencari.



_________________________________



NB: salah satu buku perjalanan lain yang ada nilai human-nya yang saya temukan adalah Berjalan di Atas Cahaya tulisan Hanum Rais dan kawan-kawan. Kisah perjalanannya memang jauh lebih sedikit, tetapi setting luar negerinya benar-benar berhubungan dengan manusia dan bukan sekedar tempelan. 

Ada juga novel yang menceritakan tentang negara perang lain: Palestina. Novel ini berjudul Rinai, tulisan Sinta Yudisia. Bentuknya memang fiksi/novel, tapi penggambaran setting-nya amat detail dan nyata. Ceritanya bukan tentang perang-perangan juga, melainkan kisah humanis relawan-pengungsi dan banyak ilmu psikologinya. 

_________________________________



NB: ketika ke toko buku beberapa saat lalu, nemu Selimut Debu banyak di rak. Sepertinya sudah dicetak ulang, Garis Batas juga sudah. Jadi nggak perlu khawatir njelimet nyari, syukurlah :)
Reading Time:

Minggu, 16 April 2017

Satu Bulan di Kota 1000 Industri
April 16, 20170 Comments
Meskipun banyak pabrik tersebar di seluruh penjuru Jabodetabek, tetapi kota ini mendapat kehormatan diberi julukan tersebut. Terletak di barat Jakarta dan agak dekat dengan Gunung Salak, sebenarnya kota ini terbagi menjadi wilayah perkotaan dan kabupaten. Sudah tertebak? Benar, jawabannya adalah kota Tangerang.

Awal tahun ini, saya berkesempatan merasakan hidup di Tangerang selama sebulan. Pasalnya, saya mendapat tugas di salah satu wilayah tepi Tangerang yang sudah termasuk dalam Kabupaten Tangerang. Jadi kalau dibilang tinggal di kota Tangerang, ya nggak juga sih, hehe. Tapi pengalaman bepergian di salah satu kota Jabodetabek tercoret sudah dari wish list. Jadi, senang dong? 

Tidak juga. Saya mendapat penugasan di tempat ini karena tempat lain sudah penuh. Plus, ada tenggat waktu untuk tugas lain yang harus dikejar. Bila penugasan keluar kota ini tak kunjung dipenuhi, maka tugas lain akan ikut kacau-balau karena pengumpulannya mundur dan fokus saya jelas akan terpecah. Jadi, demi mengejar dateline, saya ambil saja kesempatan ini. Hitung-hitung menyelesaikan satu tugas dulu. Singkatnya: terpaksa.

Mana ada kebahagiaan yang muncul kalau di awalnya sudah terpaksa?

Kalau di akhir atau tengah-tengah perjalanan tiba-tiba 'tersadar' sehingga jadi ikhlas, itu lain soal.

Saya sudah mulai mengkalkulasi biaya hidup semenjak tahu sudah fix ditugaskan di sana. Biaya hidup di kota yang masih bertetangga Jakarta, meski sudah masuk Provinsi Banten, tentu tak murah. Bila dihitung, biaya makan sehari-hari dan biaya ngekos kira-kira satu setengah kali biaya hidup di kota tempat saya tinggal. Ongkos makan jelas membengkak karena saya jadi tak bisa masak (siapa sih yang mau bawa atau beli peralatan masak dan cuma dipakai sebulan? Repot sekaleee!). Untungnya, saya berdua dengan teman sehingga pengeluaran untuk ngekos bisa patungan.

Hari itu juga, teman saya langsung booking tiket bus. Karena berangkat dari Jogja, kami dikenai biaya Rp165.000,00 dengan menumpang bus Rosalia Indah. Perjalanan dimulai menjelang sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dan malam habis di perjalanan. Menurut perkiraan, kami akan sampai sekitar pukul tujuh di Tangerang. Namun, estimasi tinggal estimasi. Kejutan pertama: meskipun kami telat berangkat sejam, kami tiba di Tangerang tetap subuh, tepat pukul lima. Dan, hujan.

Saya dan rekan pun memutuskan menunggu di pool bus di Jl. Raya Serang hingga agak terang. Setelah itu, baru kami akan cari kos. Keinginan kami tentang kos nggak muluk-muluk: dekat dengan tempat kerja, sesuai budget, dan yang paling penting: bersih. Nggak perlu yang terlalu mewah, nggak perlu-perlu pula yang fasilitasnya lengkap. Toh kami bakal cuma numpang tidur, plus nyuci baju. Selebihnya, waktu pasti akan habis di kantor.

Rencana tinggal rencana. Tak ada yang cocok. Bila ada pun, sudah ada yang menyewa. Kondisinya juga tak sesuai dengan ekspektasi. Salah bila kami mengira kos di sini seperti kos-kosan di Surabaya atau Jogja. Kos, yang di wilayah ini disebut dengan kontrakan saya sih nyebutnya kontrakan petak merupakan satu kamar kosong dengan kamar mandi di dalam. Bingung juga kami pada awalnya, karena dalam pikiran kami, kontrakan itu ya rumah tinggal yang dikontrakkan, bukan kontrakan petak. Tak ada perabot satu pun karena penyewa biasanya adalah pekerja-pekerja yang akan tinggal lama, bahkan berkeluarga. Satu jam mencari, tak kunjung ada kontrakan petak yang cocok. Ojek yang berbaik hati mengantarkan kami keliling ngider-ngider sepertinya sudah capek dan menawarkan kontrakan milik temannya. Ya apa boleh buat, dari tadi tak ada yang cocok. Dengan kata lain, nggak ada yang cukup bersih. Oke, ngider lagi.

Tapi kelamaan jadi kami yang capek. Dengan pasrah, kami mengiyakan tawaran kontrakan terakhir. Lingkungan luar pintu bersih, dalam ruangan pun cukup bersih. Ada kandang unggas di belakang yang kadang baunya menguar ke depan karena si unggas dibiarkan berkeliaran. Kamar mandi? Sempit dan agak bersih. Kalau cuma 'agak bersih', kenapa dipilih? Karena ini yang paling mending dibandingkan kontrakan-kontrakan lain yang sudah disurvey. Dan kami yakin, yang lain paling juga 11-12 dengan ini, malah bisa jadi lebih kotor, ditilik dari lingkungan sekitarnya. 

Oke. Deal. Sudah dapat kosan.

Jadi, sudah tenang? Belum. Kosan kami jaraknya sekitar 1,5 km dari kantor. Yey, kejutan kedua! 

Sebenarnya kami sama-sama terbiasa jalan jauh, baik dengan beban secara harfiah maupun 'beban' pressing (saya suka naik gunung, rekan saya dulu anggota Paskibraka). Tapi yang cukup bikin kami shock, ini tiap hari! Dan dilakukan sebelum dan sesudah ngantor! Padahal sebelum kerja kan harus fresh sehingga nanti bisa mikir, dan sesudah kerja tentunya sudah capek ampun-ampunan. Dan kami kudu jalan? Yang bener aja!

Malam itu, kami menghitung-hitung anggaran untuk ongkos angkot selama sebulan. Sempat terpikir ngojek. Namun setelah dikalkulasi, tentu lebih tekor. Maka ngangkot pun jadi pilihan satu-satunya untuk memperpendek jarak jalan kaki. Ngangkotnya 500 meter, sisanya jalan.

"Nggak apa-apa, nanti juga kita biasa, dan akhirnya kita bisa jalan pulang-pergi," kami menghibur diri. 

Masih kaget dengan lingkungan, kami masih juga dibuat syok dengan kondisi dan situasi tempat kerja. Namun, yang ini masih bisa ditolerir. Namanya juga tempat kerja, pasti kultur dan kebiasaan antartempat berbeda-beda. Ngalir aja lah. Toh cuma sebulan, batin kami. Hitung-hitung buat nambah pengalaman.

Makan malam jadi salah satu pelipur lara (halah) di sela-sela kesibukan. Meski cuma makan di warung-warung pinggir jalan, tapi mencoba satu demi satu makanan 'pasaran' kami anggap petualangan kuliner tersendiri. Nasi uduk, nasi kuning, mie ayam, sate, ayam bakar, siomay, pecel lele, nasi campur, nasi padang. Makanan yang lumrah bukan? Namun, entah kenapa tetap excited mencoba meski sudah tahu rasanya pasti begitu-begitu saja. Mungkin kami memang kurang hiburan. Selain HP dan laptop, yang hanya bisa dibuka setelah pulang kerja, tak ada lagi pengalih perhatian dari rutinitas. Ya, kalau nyuci baju bisa disebut sebagai pengalih perhatian sih.

Maka kami pun mencari hiburan.

Akhir pekan merupakan saat yang paling kami nanti sejak minggu pertama. Pasalnya, hanya di hari itulah kami bisa refreshing, jalan-jalan, explore beragam tempat, plus melupakan sejenak rutinitas kantor yang terkesan monoton. Sebulan di Kota 1000 Industri, tak satu kali pun kami lewatkan tanpa jalan-jalan.


Pekan pertama
Sabtu siang, kami memutuskan pergi ke Citra Raya untuk nyari es durian. Hasil browsing semalaman memberi tahu bahwa ada satu kafe yang menyediakan beragam hidangan durian di sana. Setelah ngojek dan mengikuti petunjuk dari Google Maps, ndilalah kafenya nggak ada. 

"Udahlah, ke Eco Plaza aja," saran teman saya.

Dalam bayangannya, tempat itu ya plaza, mall luas dengan berbagai gerai. Tapi, hm..., melihat lokasinya yang ada di tengah perumahan (meski perumahan super besar) begini, saya kok jadi sangsi.

Benarlah keraguan saya. Tempat itu memang menyerupai mall, tapi hanya dengan beberapa gerai meski besar. Tidak salah memang kalau menyebutnya 'plaza' karena secara harfiah, istilah dari negeri Pizza itu dipakai untuk mendefinisikan suatu tempat luas yang digunakan orang-orang untuk berkumpul. Lantai satu terisi dengan semacam hypermart dan toko baju dengan tiga-empat kios-kios jajanan. Menurut saya, daya tarik utamanya ya yang di lantai dua, yaitu bioskop.

Rekan saya pun mengajak hengkang dengan betenya. Sisa siang itu kami habiskan dengan makan mie aceh dan sup durian di dua ruko berbeda yang terletak dekat dengan plaza.

Esoknya, hari Minggu, dia ngajak ke 'plaza beneran'. Meluncurlah kami selepas dhuhur ke arah Tangerang City Mall, yang biasa disebut Tangcit. Selama satu jam (plus ngetem), bus kota sederhana jurusan Kalideres, Jakbar, mengantarkan kami dari Jl. Raya Serang dengan ongkos 15 ribu. Pulangnya, kami naik bus yang sama dengan jurusan Balaraja/Bitung/Cikupa setelah menyeberang dari Tangcit.

Sebenarnya ada shuttle bus dari Citra Raya yang bisa mengantar sampai Tangcit dengan ongkos kira-kira Rp7.500,00. Namun, artinya kami harus ngangkot dulu ke halte di Citra demi bisa menaiki mobil berAC itu. Pulangnya juga. Dua kali jalan? Ogah.

Di Tangcit, teman saya nggak sedetik pun menampakkan wajah bete.


-Salah satu sudut Tangcit-


Pekan Kedua
Karena minggu kemarin sudah ke tempat beraroma modern, maka kali ini giliran saya yang request untuk ke tempat yang agak tua sedikit. Kota Tua Jakarta sudah jadi salah satu incaran sejak tahu saya ditugaskan di Jabodetabek. Meski tempat kami lebih ke selatan dan Kota Tua itu di pucuk utara, saya tetap keukeuh pergi ke sana. Salah satu jurus bujukan saya adalah ini, "Di sana tempat wisatanya nggak cuma satu. Kita bisa loncat dari satu tempat ke tempat lain, dan itu dekat! Plus, banyak tempat bagus buat spot foto."

Rekan saya mengiyakan. Yes! Kunjungan ke tempat historik ini sangat kami nikmati, meski di akhir perjalanan ada satu hal yang bikin dongkol karena miskalkulasi.
Selengkapnya di _________


-Sang Saka berkibar di salah satu gedung peninggalan era kolonial-


Pekan Ketiga
Awalnya, kami 'bertualang' ke lokasi ini karena stuck. Nggak ada lagi tempat wisata yang kami nilai cukup bagus dan cukup dekat. Syukurlah, ternyata rezeki nggak ke mana, anak bapak kos yang mendengar percakapan kami nyeletuk, "Kenapa nggak ke Danau Biru aja? Dekat, cuma di Tigaraksa".

Tigaraksa adalah kecamatan lain yang tidak jauh dari kosan. Setelah browsing sana-sini, kami putuskan melancong ke tempat yang disebut juga dengan julukan Danau Dua Warna ini.
Selengkapnya di _________


-Danau Biru Cisoka, dua danau berbeda warna yang letaknya tepat bersebelahan-


Pekan Keempat
Yang artinya pekan terakhir sebelum kami pulang. Jauh-jauh hari saya sudah mengajak untuk sekalian ke Bogor. Kenapa jauh banget? Dulu, setahun lalu, kami pernah ke Bogor. Namun, hanya ke pinggirannya untuk mengunjungi satu lembaga. Itu pun hanya selama lima jam. Kasihan dong rekan saya yang cuma sebentar dan belum melihat Bogor agak luas sedikit (saya sudah, karena setelah kunjungan lembaga itu saya berpisah dengan rombongan dan extend sendiri, hehehe).

Jadilah kami ke Bogor! Meski di akhir perjalanan, saat kembali ke Tangerang, kami harus rela mengantre tiket KRL selama sejam.


-Salah satu kantor lawas di dekat Kebun Raya Bogor yang sekarang digunakan sebagai kantor Balittanah. Terj: Laboratorium Agrogeologi & Penelitian Tanah-



-------000-------

Yep, itulah cerita 'pelancongan' kami sebulan di Kota 1000 Industri. Yah, meskipun jalan-jalannya ada yang nggak di kota itu sih. Tapi lumayan lah bisa jalan-jalan kesana-kemari, jadi duo traveler yang artinya karena cuma berdua maka dua-duanya harus bisa gerak cepat di situasi yang nggak ada di skenario kami, dan harus berani dan nekat meski itu artinya harus sama-sama manjat pagar setinggi dua meter demi ngejar angkot. 


NB: saya nggak bilang semua tempat di Tangerang kotor ya. Ada kok, dan saya kira banyak, lingkungan yang bersih di Tangerang. Cuma, saya kebetulan aja saya dapat tugas & tinggal di tempat yang agak kurang nyaman. Secara, kota besar mana sih yang nggak punya wilayah begini?
Reading Time:

Jumat, 27 November 2015

Makan Aman di Tempat Tak Dikenal
November 27, 20150 Comments
"Berapa harganya Bu?"

Di tempat-tempat tak dikenal: tempat asing, tempat yang baru pertama kali disingaahi, dan terutama tempat wisata, saya sering nanya ini ke ibu atau bapak penjual di warung, atau di tempat makan yang nggak mencantumkan harga di daftar menunya. Bukan apa -tapi kalau dibilang belum punya duit banyak, boleh juga sih, hehe-, tapi kita sebagai pembeli toh nggak mau dapet 'kejutan' setelah makan. Apa enaknya, saat perut udah kenyang, eh tiba-tiba disodori tagihan dengan harga yang nggak sesuai dengan makanan.

Sepiring nasi uduk, lima puluh ribu. Apa nggak syok? Mending kalau rasanya enak. Eh, jadi inget postingan teman tentang satu tempat makan di bilangan tepi pantai Jakarta, beberapaaaa waktu lalu.

Sebagai penggemar jalan-jalan yang (masih) berkantong tipis, hal ini tentu nggak luput dari perhitungan.

Tempat yang sering ngelonjakin harga yang pertama adalah terminal dan semacamnya. Teman saya pernah protes waktu makan mie ayam di terminal Solo. Mie ayamnya bukan mie ayam beneran, tapi mie instan biasa yang diberi beberapa potong kecil ayam. Harganya? Sepuluh ribu. "Ginian mah, di deket kosku cuma lima ribu!" cetusnya.

Tempat kedua? Tempat wisata. Emang nggak semuanya sih, tapi sebagian besar, iya. Jadi untuk amannya, mending tanya aja harganya sebelum beli. Apalagi kalau itu di warung. Bahkan di tempat wisata yang terpencil sekalipun, kadang saya masih nanya harga. Sebab, seseorang yang juga doyan jalan-jalan pernah 'berpesan', "Kalau tempat makan itu sepi, kemungkinannya ada dua: nggak enak atau kemahalan."

Tempat lainnya? Saya pengen nambahin kereta api, sebenarnya. Tapi sekarang kan sudah nggak ada lagi pedagang asongan di dalam kereta ekonomi,

Catatan: aman di dompet belum tentu aman di mulut. Belum tentu enak rasanya.

Untuk mengantisipasi hal ini, di tempat asing, saya biasa pesan menu standar. Nasi goreng. Atau mie rebus. Kalau nggak enak, seenggaknya masih terasa bawangnya. Kecuali di tempat-tempat yang menawarkan menu rada eksotis, maka saya rada berani bereksperimen. Apalagi kalau makanannya cuma ada di daerah itu. Kapan lagi nyobain di tempat asalnya? Contohnya, saat pesan ikan bakar di warung tepi pantai Krakal, Gunungkidul. Kapan lagi makan ikan fresh from the sea ditemani irama deburan ombak Laut Selatan? (Ikan itu pun, masih hasil patungan, hehehe). 

Atau kalau pengen tahu makanan di warung itu enak atau nggak, biasanya cirinya satu: satu warung (kecil) sedia aneka jenis masakan. Bisa jualan soto plus rawon plus bakso plus nasi goreng, dan semacamnya. Kenapa? Ya rasanya nggak percaya gitu, berbagai piranti penyedia berbagai makanan bisa muat di tempat sekecil itu. Dua jenis makanan aja, ada kalanya nggak enak. Pernah saya andok di gerobak dorong yang jualan tahu campur dan kikil. Eh lha kok, kuah kikilnya ternyata sama dengan kuah tahu campurnya. Oalaaah...

Pengalaman inilah yang bikin saya nyoret bakso dan mie ayam dari daftar makanan aman yang enak dimakan. Tak lain tak bukan, karena pernah nyobain dua makanan ini di 'warung gado-gado' dan rasanya tak dapat digambarkan. Soto pun sama aja. Di tiap daerah, sotonya ternyata beda-beda! Kalau di Surabaya soto itu kuahnya kuning berminyak, di Jawa Tengah kuahnya hampir bening mengalir. "Saya nggak pesen sup, saya pesen soto," bisik saya pada teman makan kali itu. Eh kok dia bilang, "Soto di sini ya begini. Kalo mau soto yang biasanya, sana cari soto Lamongan."

Dan kadang, apes itu memang sudah tersurat di takdir. Meski sudah pilah-pilih, kalau dapet yang harga atau rasanya nggak cocok, ya sudahlah. Makan aja. Hitung-hitung buat bahan bakar jalan-jalan lagi.



PS: harga dan rasa makanan biasanya memang berbanding terbalik. Tapi kalau memang sudah tersurat takdir (lagi), bisa aja kok keduanya seimbang. Harga cocok di doku, cita rasa pas di lidah.


PPS: nggak ada foto kali ini. Musim jalan-jalan masih bulan depan, Bung.


Reading Time:

Senin, 02 November 2015

Suroloyo, Menoreh
November 02, 20150 Comments
Spontan. Cuma butuh waktu kurang dari sepuluh detik untuk kami memutuskan rencana perjalanan ini. Saat itu, saya dan beberapa teman lagi asyik ngadem sambil sibuk memelototi gadget masing-masing ketika sebuah artikel jalan-jalan muncul di layar HP.

“Suroloyo itu mana ya?” tanya saya.
“Kulonprogo. Kenapa?”
“Enggak, ini muncul di artikel jalan-jalan.”
“Ke sana yuk?”
“Yuk.”

Akhir minggu itu juga, bersepuluh kami berangkat ke puncak Suroloyo. Tempat ini merupakan salah satu puncak yang ada di barisan Perbukitan Menoreh, kabupaten Kulonprogo, D. I. Yogyakarta. ‘Wah, ini kan bukit yang jadi judul komik Api di Bukit Menoreh yang tersohor itu’, pikir saya. Makin semangat (dan penasaran)lah saya. Apalagi dari review-review yang kami baca, tempat ini cocok buat ngejar sunrise. Beberapa malah menyebutkan kalau pemandangan siluet Borobudur yang terlihat dari sini nggak kalah dengan pemandangan dari Puthuk Setumbu. Tapi karena pada malas berangkat dini hari, kali ini mentari terbit bukan jadi tujuan utama kami. 05.30 WIB kami ngumpul, pukul 06.05 kami berangkat. Tak apalah, toh Borobudur tetap anggun dilihat meski bukan saat sunrise.

Kata Yuti, teman yang ngajak saya dengan spontan sekaligus guide kami kali ini, dari Jogja ke Suroloyo nggak makan waktu lama. Pagi itu, dengan kecepatan rata-rata ± 50 km/jam, dalam 1 jam kami sudah sampai di lingkup wilayah perbukitan Menoreh. Itu pun jalannya nyantai banget, banyak berhentinya, lagi. Entah isi bensin, isi angin ban, jajan di minimarket (karena kami nggak sempat sarapan, hiks).  Kalau soal rute, wah maaf, saya nggak tahu jalan persisnya. Tapi Yuti bilang, rute berangkat kami ini lewat Samigaluh. Dari Seyegan, Sleman, lurus terus ke barat.

Selewat Sleman, Perbukitan Menoreh belum juga kelihatan. Padahal normalnya sudah, kalau nggak ada kabut. Kawasan legendaris ini baru terlihat jelas saat motor kami melintas di atas jembatan Kali Progo.

Garis-garis biru yang menandai Perbukitan Menoreh mulai terlihat di kejauhan. Lapis-lapisnya dihiasi pepohonan yang meranggas di sana-sini, menguning belum tersentuh hujan. Melongok ke bawah jembatan, tampak Kali Progo yang meski menyisakan sedikit air, arusnya mengalir tenang. Yuti bercerita bahwa ketika Merapi erupsi beberapa tahun lalu, sungai inilah yang bertugas membawa material-material dari puncak gunung hingga mengendap di Laut Selatan. Jadi nggak heran kenapa sungai ini lebar banget. Bahkan dengan menyusutnya air dalam kondisi kemarau sekarang ini, alirannya tetap lebar, meski kedalaman airnya di bawah lutut orang dewasa.


Kali Progo, foto diambil saat perjalanan pulang


Penduduk lokal mencari ikan di sungai yang kini dangkal

Saya kira di pelancongan kali ini, ini satu-satunya pemandangan tepi jalan yang bisa bikin saya ternganga. Kenapa? Kawasan yang kami tuju merupakan perbukitan batu. Saya sudah nyiapin hati kalau-kalau nantinya pemandangan yang tersaji cuma bukit batu, gunung batu, atau tebing batu yang tandus.

Perkiraan saya nggak salah, tapi kesimpulan itu diambil terlalu cepat.

Pernah lihat, atau ingat, lukisan-lukisan pemandangan yang suka ada di pameran? Itu, lukisan yang gambarnya hamparan sawah yang luas. Di kanan-kirinya ada gubuk-gubuk petani kecil-kecil plus pohon-pohon kelapa. Latar belakang gunung melengkapi kanvas. Pernah? Saya kira, lukisan-lukisan itu cuma ada di imajinasi para pelukis yang saking pengennya lihat pemandangan seperti itu saking nggak ada, akhirnya menerjemahkan bayangannya pada karyanya.

Ternyata, lukisan seperti itu nyata ada. Di depan mata.

Paket sawah komplet dengan pohon kelapa dan bukit.
  
Ini pemandangan yang sering saya lihat semenjak kecil, di atas kanvas. Beranjak usia, saya nggak kunjung nemuin panorama beneran yang seperti ini. Eh ternyata memang belum jodoh. Akhirnya dipertemukan juga di perjalanan kali ini.

Selepas hamparan sawah, beberapa kilometer jalan lurus kemudian, terdapat perempatan dengan pos polisi di sebelah kanannya. Lurus, arahnya ke Samigaluh. Kanan, arahnya ke Sidoharjo. Keduanya sama-sama bisa mengarah ke Suroloyo. Kami ambil lurus karena Yuti hanya pernah lewat jalan lurus tersebut.

Jalan mulai menanjak memasuki perbukitan. Persneling motor hanya berpindah-pindah antara nomor dua atau satu supaya kuat melewati tanjakan demi tanjakan. Perumahan mulai jarang, meski toko-toko kelontong tetap dijumpai di beberapa rumah pinggir jalan. Sekali-dua, tampak galur sungai dengan batu-batu kalinya yang mendominasi di bawah jurang.

“Cuacanya mendung begini. Ntar di puncak, kelihatan pemandangan di bawah nggak ya?”

Yup, cuaca mendung. Salah satu ‘musuh’ kalau lagi bepergian, karena awan abu-abu itu bisa jadi isyarat turun hujan. Gara-gara mendung inilah kami akhirnya putar haluan. Puncak Suroloyo yang awalnya jadi tujuan pertama, jadi yang kedua. Rombongan memutuskan bahwa perhentian pertama adalah perkebunan teh di kawasan yang sama.

Dua puluh menit kemudian, setelah tanjakan demi tanjakan, sampai juga kami di perkebunan teh Nglinggo, Grojogan Watujonggol. Perkebunan ini, selain untuk kebun contoh, juga dirancang untuk wisata. Objek wisata ini dibentuk belum lama. Untuk masuk, kami cuma bayar Rp2.000,00 per motor sebagai biaya parkir. Nggak ada tarikan retribusi lain.

Ini memang kebun teh, tapi jangan bayangkan hamparan luas seperti foto-foto di National Geographic atau agrowisata kebun teh Batu Malang. Karena kebun contoh, maka ukurannya pun relatif lebih kecil sehingga hamparannya pun nggak terlalu luas. Belum lagi karena dikelilingi perbukitan batu, pandangan pun terasa kurang lapang.

Tapi, itu bukan berarti perjalanan kami kemari nggak worth it. Hamparan hijau teh yang menyegarkan, apalagi saat itu masih sepi, sangat-sangat mampu jadi pelepas penat. Terpikat histeria, kami berlarian ke sela-sela rimbun teh yang setinggi pinggang. Cuaca yang berubah cerah, cuma meninggalkan gerumbulan awan-awan kecil penghias langit biru terang. Angin sejuk semilir meniup pucuk-pucuk teh, menggoyangkan beberapa dahan-dahan kurus pepohonan wind barrier. Kelompok burung dan rombongan capung hilir-mudik terbang dari satu area ke area lain.



Teras-teras perkebunan teh



Hijau segar


Hutan pinus di bukit seberang








Burung dan kumpulan capung melintas tanpa aba-aba di depan mata



Bayangan gunung di kejauhan

Menurut saya, waktu paling cocok berkunjung ke kebun teh memang waktu pagi. Langit sudah terang, tapi tak cukup terik untuk memaksa kita memakai topi. Semakin pagi pula, semakin sejuk hawa yang didapat, dan semakin sepi pula hingga kita bebas berlarian kesana-kemari tanpa perlu malu dilihat pengunjung lain.

Pukul sembilan lebih, kami baru rela pergi. Saatnya bertolak ke Suroloyo.

Arah ke Suroloyo berarti kami harus balik kucing dulu. Di suatu pertigaan yang sebelumnya sudah kami lewati (alert: pertigaan ini jangan dijadikan pedoman karena ada banyak pertigaan), kami ambil arah ke kiri. Nggak perlu takut nyasar karena ada papan petunjuk arah. Percabangan jalan pun nggak terlalu banyak.

Kalau tadi persneling bisa gonta-ganti di nomor satu atau dua, maka kali ini nomor satu yang mayoritas dipakai. Jalan yang nanjaknya hingga 45 derajat, plus belokan yang suka muncul nggak kira-kira, bikin pengendara harus ekstra hati-hati kalau nggak mau nyasar ke jurang di tepi. Di jalur ini, kami sering menemui tanjakan, lalu belokan tajam yang nanjaknya juga nggak kira-kira. Mirip-mirip jalanan di Cangar, Batu Malang. Kalau nggak PD atau skill motornya belum mumpuni, mending disetiri teman lain yang PD dan mumpuni.

Di sepanjang jalan, selain pohon jati, sering ditemui pohon kakao atau pohon kopi. Ternyata, warga lokal juga produksi kopi Arabika. Di parkiran bawah Suroloyo, ada satu warung kopi Arabika.

kiri: buah kopi, kanan: bunga kopi


Kami sampai di parkiran kira-kira pukul sepuluh. Sebelumnya ada pos penjagaan untuk bayar tiket masuk. Motor dikenai biaya Rp1.000,00 dan per orang Rp3.000,00. Di parkiran, ada biaya parkir berkisar Rp1.000,00-Rp2.000,00, saya lupa.

Ternyata, ada tiga puncak di daerah ini. Dari satu puncak ke puncak lain lokasinya cukup dekat, tapi harus pakai motor karena dempor juga kalau jalan kaki naik-turun tanjakan. Karena nggak punya niat menjelajah, kami cukupkan naik ke Suroloyo aja. Suroloyo merupakan salah satu puncak paling terkenal, kemungkinan karena Sultan Agung Mataram dulu menerima petunjuk gaib di sini. Mungkin juga karena ini puncak tertinggi Perbukitan Menoreh.

Ada 286 anak tangga hingga ke puncak. Entahlah, saya nggak berniat ngecek karena napas pun sudah satu-satu mendaki anak tangga. Bukan berarti perjalanan naik ke atas sangat berat. Kalau niat, 5-10 menit juga sudah sampai. Tapi ini tangga, yang artinya jarak langkah kaki kita diatur tangga. Ukuran tangganya pun tak sama.



Napas yang diambil satu-satu mengantar kami ke suatu tanah lapang yang tak terlalu luas, titik tertinggi Perbukitan Menoreh, 1.019 mdpl. Ada satu bangunan kecil di satu pojok. Bau kemenyan menguar dari patung dewa di sudut bangunan itu. Kelopak-kelopak mawar bertebaran, sisa-sisa doa pengunjung.

Rangkaian Perbukitan Menoreh berkilo-kilometer jauhnya tampak seperti rantai. Antarbukit berbatas warna biru yang berbeda-beda. Jauh di bawah, perumahan, pedesaan, bahkan lurus jalan terlihat jelas. Bisa dibayangkan saat malam tiba, kerlap-kerlip lampu bakal jadi pemandangan yang wah.





Gradasi warna gugusan Perbukitan Menoreh

Gunung Merapi, Sindara, Sumbing, ataupun Merbabu memang tak terlihat karena tertutup kabut. Pun siluet Candi Borobudur. Tapi cukuplah rangkaian Menoreh jadi penghapus kecewa. Seenggaknya, kami jadi tahu wujud nyata setting serial komik legendaris Indonesia karya S.H. Mintardja itu, Api di Bukit Menoreh.
Reading Time: