Satu Bulan di Kota 1000 Industri - Hijaubiru

Minggu, 16 April 2017

Satu Bulan di Kota 1000 Industri

Meskipun banyak pabrik tersebar di seluruh penjuru Jabodetabek, tetapi kota ini mendapat kehormatan diberi julukan tersebut. Terletak di barat Jakarta dan agak dekat dengan Gunung Salak, sebenarnya kota ini terbagi menjadi wilayah perkotaan dan kabupaten. Sudah tertebak? Benar, jawabannya adalah kota Tangerang.

Awal tahun ini, saya berkesempatan merasakan hidup di Tangerang selama sebulan. Pasalnya, saya mendapat tugas di salah satu wilayah tepi Tangerang yang sudah termasuk dalam Kabupaten Tangerang. Jadi kalau dibilang tinggal di kota Tangerang, ya nggak juga sih, hehe. Tapi pengalaman bepergian di salah satu kota Jabodetabek tercoret sudah dari wish list. Jadi, senang dong? 

Tidak juga. Saya mendapat penugasan di tempat ini karena tempat lain sudah penuh. Plus, ada tenggat waktu untuk tugas lain yang harus dikejar. Bila penugasan keluar kota ini tak kunjung dipenuhi, maka tugas lain akan ikut kacau-balau karena pengumpulannya mundur dan fokus saya jelas akan terpecah. Jadi, demi mengejar dateline, saya ambil saja kesempatan ini. Hitung-hitung menyelesaikan satu tugas dulu. Singkatnya: terpaksa.

Mana ada kebahagiaan yang muncul kalau di awalnya sudah terpaksa?

Kalau di akhir atau tengah-tengah perjalanan tiba-tiba 'tersadar' sehingga jadi ikhlas, itu lain soal.

Saya sudah mulai mengkalkulasi biaya hidup semenjak tahu sudah fix ditugaskan di sana. Biaya hidup di kota yang masih bertetangga Jakarta, meski sudah masuk Provinsi Banten, tentu tak murah. Bila dihitung, biaya makan sehari-hari dan biaya ngekos kira-kira satu setengah kali biaya hidup di kota tempat saya tinggal. Ongkos makan jelas membengkak karena saya jadi tak bisa masak (siapa sih yang mau bawa atau beli peralatan masak dan cuma dipakai sebulan? Repot sekaleee!). Untungnya, saya berdua dengan teman sehingga pengeluaran untuk ngekos bisa patungan.

Hari itu juga, teman saya langsung booking tiket bus. Karena berangkat dari Jogja, kami dikenai biaya Rp165.000,00 dengan menumpang bus Rosalia Indah. Perjalanan dimulai menjelang sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dan malam habis di perjalanan. Menurut perkiraan, kami akan sampai sekitar pukul tujuh di Tangerang. Namun, estimasi tinggal estimasi. Kejutan pertama: meskipun kami telat berangkat sejam, kami tiba di Tangerang tetap subuh, tepat pukul lima. Dan, hujan.

Saya dan rekan pun memutuskan menunggu di pool bus di Jl. Raya Serang hingga agak terang. Setelah itu, baru kami akan cari kos. Keinginan kami tentang kos nggak muluk-muluk: dekat dengan tempat kerja, sesuai budget, dan yang paling penting: bersih. Nggak perlu yang terlalu mewah, nggak perlu-perlu pula yang fasilitasnya lengkap. Toh kami bakal cuma numpang tidur, plus nyuci baju. Selebihnya, waktu pasti akan habis di kantor.

Rencana tinggal rencana. Tak ada yang cocok. Bila ada pun, sudah ada yang menyewa. Kondisinya juga tak sesuai dengan ekspektasi. Salah bila kami mengira kos di sini seperti kos-kosan di Surabaya atau Jogja. Kos, yang di wilayah ini disebut dengan kontrakan saya sih nyebutnya kontrakan petak merupakan satu kamar kosong dengan kamar mandi di dalam. Bingung juga kami pada awalnya, karena dalam pikiran kami, kontrakan itu ya rumah tinggal yang dikontrakkan, bukan kontrakan petak. Tak ada perabot satu pun karena penyewa biasanya adalah pekerja-pekerja yang akan tinggal lama, bahkan berkeluarga. Satu jam mencari, tak kunjung ada kontrakan petak yang cocok. Ojek yang berbaik hati mengantarkan kami keliling ngider-ngider sepertinya sudah capek dan menawarkan kontrakan milik temannya. Ya apa boleh buat, dari tadi tak ada yang cocok. Dengan kata lain, nggak ada yang cukup bersih. Oke, ngider lagi.

Tapi kelamaan jadi kami yang capek. Dengan pasrah, kami mengiyakan tawaran kontrakan terakhir. Lingkungan luar pintu bersih, dalam ruangan pun cukup bersih. Ada kandang unggas di belakang yang kadang baunya menguar ke depan karena si unggas dibiarkan berkeliaran. Kamar mandi? Sempit dan agak bersih. Kalau cuma 'agak bersih', kenapa dipilih? Karena ini yang paling mending dibandingkan kontrakan-kontrakan lain yang sudah disurvey. Dan kami yakin, yang lain paling juga 11-12 dengan ini, malah bisa jadi lebih kotor, ditilik dari lingkungan sekitarnya. 

Oke. Deal. Sudah dapat kosan.

Jadi, sudah tenang? Belum. Kosan kami jaraknya sekitar 1,5 km dari kantor. Yey, kejutan kedua! 

Sebenarnya kami sama-sama terbiasa jalan jauh, baik dengan beban secara harfiah maupun 'beban' pressing (saya suka naik gunung, rekan saya dulu anggota Paskibraka). Tapi yang cukup bikin kami shock, ini tiap hari! Dan dilakukan sebelum dan sesudah ngantor! Padahal sebelum kerja kan harus fresh sehingga nanti bisa mikir, dan sesudah kerja tentunya sudah capek ampun-ampunan. Dan kami kudu jalan? Yang bener aja!

Malam itu, kami menghitung-hitung anggaran untuk ongkos angkot selama sebulan. Sempat terpikir ngojek. Namun setelah dikalkulasi, tentu lebih tekor. Maka ngangkot pun jadi pilihan satu-satunya untuk memperpendek jarak jalan kaki. Ngangkotnya 500 meter, sisanya jalan.

"Nggak apa-apa, nanti juga kita biasa, dan akhirnya kita bisa jalan pulang-pergi," kami menghibur diri. 

Masih kaget dengan lingkungan, kami masih juga dibuat syok dengan kondisi dan situasi tempat kerja. Namun, yang ini masih bisa ditolerir. Namanya juga tempat kerja, pasti kultur dan kebiasaan antartempat berbeda-beda. Ngalir aja lah. Toh cuma sebulan, batin kami. Hitung-hitung buat nambah pengalaman.

Makan malam jadi salah satu pelipur lara (halah) di sela-sela kesibukan. Meski cuma makan di warung-warung pinggir jalan, tapi mencoba satu demi satu makanan 'pasaran' kami anggap petualangan kuliner tersendiri. Nasi uduk, nasi kuning, mie ayam, sate, ayam bakar, siomay, pecel lele, nasi campur, nasi padang. Makanan yang lumrah bukan? Namun, entah kenapa tetap excited mencoba meski sudah tahu rasanya pasti begitu-begitu saja. Mungkin kami memang kurang hiburan. Selain HP dan laptop, yang hanya bisa dibuka setelah pulang kerja, tak ada lagi pengalih perhatian dari rutinitas. Ya, kalau nyuci baju bisa disebut sebagai pengalih perhatian sih.

Maka kami pun mencari hiburan.

Akhir pekan merupakan saat yang paling kami nanti sejak minggu pertama. Pasalnya, hanya di hari itulah kami bisa refreshing, jalan-jalan, explore beragam tempat, plus melupakan sejenak rutinitas kantor yang terkesan monoton. Sebulan di Kota 1000 Industri, tak satu kali pun kami lewatkan tanpa jalan-jalan.


Pekan pertama
Sabtu siang, kami memutuskan pergi ke Citra Raya untuk nyari es durian. Hasil browsing semalaman memberi tahu bahwa ada satu kafe yang menyediakan beragam hidangan durian di sana. Setelah ngojek dan mengikuti petunjuk dari Google Maps, ndilalah kafenya nggak ada. 

"Udahlah, ke Eco Plaza aja," saran teman saya.

Dalam bayangannya, tempat itu ya plaza, mall luas dengan berbagai gerai. Tapi, hm..., melihat lokasinya yang ada di tengah perumahan (meski perumahan super besar) begini, saya kok jadi sangsi.

Benarlah keraguan saya. Tempat itu memang menyerupai mall, tapi hanya dengan beberapa gerai meski besar. Tidak salah memang kalau menyebutnya 'plaza' karena secara harfiah, istilah dari negeri Pizza itu dipakai untuk mendefinisikan suatu tempat luas yang digunakan orang-orang untuk berkumpul. Lantai satu terisi dengan semacam hypermart dan toko baju dengan tiga-empat kios-kios jajanan. Menurut saya, daya tarik utamanya ya yang di lantai dua, yaitu bioskop.

Rekan saya pun mengajak hengkang dengan betenya. Sisa siang itu kami habiskan dengan makan mie aceh dan sup durian di dua ruko berbeda yang terletak dekat dengan plaza.

Esoknya, hari Minggu, dia ngajak ke 'plaza beneran'. Meluncurlah kami selepas dhuhur ke arah Tangerang City Mall, yang biasa disebut Tangcit. Selama satu jam (plus ngetem), bus kota sederhana jurusan Kalideres, Jakbar, mengantarkan kami dari Jl. Raya Serang dengan ongkos 15 ribu. Pulangnya, kami naik bus yang sama dengan jurusan Balaraja/Bitung/Cikupa setelah menyeberang dari Tangcit.

Sebenarnya ada shuttle bus dari Citra Raya yang bisa mengantar sampai Tangcit dengan ongkos kira-kira Rp7.500,00. Namun, artinya kami harus ngangkot dulu ke halte di Citra demi bisa menaiki mobil berAC itu. Pulangnya juga. Dua kali jalan? Ogah.

Di Tangcit, teman saya nggak sedetik pun menampakkan wajah bete.


-Salah satu sudut Tangcit-


Pekan Kedua
Karena minggu kemarin sudah ke tempat beraroma modern, maka kali ini giliran saya yang request untuk ke tempat yang agak tua sedikit. Kota Tua Jakarta sudah jadi salah satu incaran sejak tahu saya ditugaskan di Jabodetabek. Meski tempat kami lebih ke selatan dan Kota Tua itu di pucuk utara, saya tetap keukeuh pergi ke sana. Salah satu jurus bujukan saya adalah ini, "Di sana tempat wisatanya nggak cuma satu. Kita bisa loncat dari satu tempat ke tempat lain, dan itu dekat! Plus, banyak tempat bagus buat spot foto."

Rekan saya mengiyakan. Yes! Kunjungan ke tempat historik ini sangat kami nikmati, meski di akhir perjalanan ada satu hal yang bikin dongkol karena miskalkulasi.
Selengkapnya di _________


-Sang Saka berkibar di salah satu gedung peninggalan era kolonial-


Pekan Ketiga
Awalnya, kami 'bertualang' ke lokasi ini karena stuck. Nggak ada lagi tempat wisata yang kami nilai cukup bagus dan cukup dekat. Syukurlah, ternyata rezeki nggak ke mana, anak bapak kos yang mendengar percakapan kami nyeletuk, "Kenapa nggak ke Danau Biru aja? Dekat, cuma di Tigaraksa".

Tigaraksa adalah kecamatan lain yang tidak jauh dari kosan. Setelah browsing sana-sini, kami putuskan melancong ke tempat yang disebut juga dengan julukan Danau Dua Warna ini.
Selengkapnya di _________


-Danau Biru Cisoka, dua danau berbeda warna yang letaknya tepat bersebelahan-


Pekan Keempat
Yang artinya pekan terakhir sebelum kami pulang. Jauh-jauh hari saya sudah mengajak untuk sekalian ke Bogor. Kenapa jauh banget? Dulu, setahun lalu, kami pernah ke Bogor. Namun, hanya ke pinggirannya untuk mengunjungi satu lembaga. Itu pun hanya selama lima jam. Kasihan dong rekan saya yang cuma sebentar dan belum melihat Bogor agak luas sedikit (saya sudah, karena setelah kunjungan lembaga itu saya berpisah dengan rombongan dan extend sendiri, hehehe).

Jadilah kami ke Bogor! Meski di akhir perjalanan, saat kembali ke Tangerang, kami harus rela mengantre tiket KRL selama sejam.


-Salah satu kantor lawas di dekat Kebun Raya Bogor yang sekarang digunakan sebagai kantor Balittanah. Terj: Laboratorium Agrogeologi & Penelitian Tanah-



-------000-------

Yep, itulah cerita 'pelancongan' kami sebulan di Kota 1000 Industri. Yah, meskipun jalan-jalannya ada yang nggak di kota itu sih. Tapi lumayan lah bisa jalan-jalan kesana-kemari, jadi duo traveler yang artinya karena cuma berdua maka dua-duanya harus bisa gerak cepat di situasi yang nggak ada di skenario kami, dan harus berani dan nekat meski itu artinya harus sama-sama manjat pagar setinggi dua meter demi ngejar angkot. 


NB: saya nggak bilang semua tempat di Tangerang kotor ya. Ada kok, dan saya kira banyak, lingkungan yang bersih di Tangerang. Cuma, saya kebetulan aja saya dapat tugas & tinggal di tempat yang agak kurang nyaman. Secara, kota besar mana sih yang nggak punya wilayah begini?

Tidak ada komentar: