Hijaubiru

Minggu, 21 Juni 2015

Pride and Prejudice
Juni 21, 2015 6 Comments



Maunya sih dikasih judul 'My Confession part 2'. Pasalnya, inilah film yang saya sebut-sebut di postingan sebelumnya.

Saya agak susah meleleh sama film-film yang katanya romantis. Film-film bergenre roman yang saya download, terutama film Barat, hanya saya tonton dua-tiga kali, lalu detail ceritanya hilang dari ingatan. Kalau nasibnya lagi nggak beruntung, nontonnya di-skip berkali-kali, lalu kalau dinilai nggak menarik, langsung saya lempar ke Recycle Bin.

Bisa dibilang, satu-satunya film roman yang tetap tinggal di ingatan cuma satu: Titanic. Itu pun, mungkin, karena waktu itu saya belum banyak preferensi soal film roman (jadi sekarang sudah banyak? Nggak juga sih, hehehe).

Film apa sih?

Kawan yang suka baca, apalagi literatur klasik, begitu dengar satu kata aja, langsung bisa nebak film ini. Waktu saya posting status fb tentang film ini, salah satu teman pun langsung bisa menebak dengan menanggapi,



Yes, it is 'Pride and Prejudice'.

Got this from www.moviepostershop.com

Diadaptasi dari novel tulisan Jane Austen, film yang rilis 2005 ini disutradarai Joe Wright. Sebelum versi 2005, sebenernya novel ini sudah banyak diadaptasi jadi film. Yang paling terkenal adalah versi BBC mini series tahun 1995. Di mayoritas adaptasinya, film bersetting tahun 1800an. Tapi menurut IMDb, versi 2005 bersetting tahun 1797, tahun sang penulis menyelesaikan draft novelnya.

Gimana sih ceritanya, sebegitu romantisnyakah sampai saya putar empat kali berturut-turut dalam satu malam?

Ide ceritanya soal pandangan masyarakat Inggris pada umumnya saat itu. Bahwa gadis 'pekerjaan utamanya' adalah nyari suami dan nikah. Harus kalau bisa, suaminya yang pantas dalam hal status dan pemasukan (hm... nggak heran pas baca Sherlock Holmes sering ada kalimat, 'pemasukannya xxx pound per tahun'). Jadilah para gadis sibuk memikat gentleman ketika sudah cukup umur. Di masyarakat Inggris zaman lawas itu, juga ada semacam aturan tak terlisan tentang kasta. Bangsawan harus nikah sama bangsawan, orang kaya nikahin orang kaya, dan warga yang statusnya menengah ke bawah harus tahu diri.

Jadi, pantas kan kalau Mrs. Bennet, ibu dari keluarga bukan strata atas dan dari lima anak perempuan yang sudah cukup umur, nggak bosan-bosan mendorong gadis-gadisnya secepatnya nyari suami yang kaya? Lydia & Kitty Bennet, dua anak terakhir, nggak usah disuruh sudah nyari sendiri. Tapi Mary Bennet, sang anak tengah, malah terkesan plain karena kebanyakan baca dan nganggap bersosialisasi itu kurang penting. Jane Bennet yang berhati lembut, sedikit-sedikit masih mematuhi ibunya. Meski demikian toh Jane jatuh hati pada Mr. Bingley, seorang pemuda kaya, bukan karena melihat statusnya. Tapi Elizabeth (Lizzy) Bennet, mendeklarasikan bahwa ia tak akan, akan, pernah menikah hanya demi uang.

L-R: Lydia, Kitty, Elizabeth, Jane, Mary
 Picture was copied from http://socialwits.com/pride-and-prejudice-perfection-in-austen/

"Only the deepest love will persuade me into matrimony, which is why I will end up an old maid" - Elizabeth.

Elizabeth punya watak yang kontras dengan keempat saudarinya. Ia lebih keras dari yang lain, bicaranya terus terang, dan sikapnya independen. Maka ketika dalam suatu pesta ia bertemu dengan Mr. Darcy, gentleman kaya raya yang dianggap menghinanya, langsung aja Elizabeth mengetok palu kalau ia tidak menyukainya.

Description of Mr. Darcy, captured from the novel

L-R: Mr. Bingley, Mr. Darcy, Miss Caroline Bingley
Picture was printscreened

Namun entah kenapa, takdir selalu mempertemukan Lizzy (Elizabeth) dan Mr. Darcy. Entah ketika Lizzy menjenguk Jane yang jatuh sakit ketika mengunjungi kediaman Mr. Bingley, di pesta yang diadakan Mr. Bingley, bahkan ketika Lizzy mengunjungi rumah sahabatnya di Rosings (tempat ini jauh dari Longbourne, kediaman keluarga Bennet). Di kesempatan-kesempatan itu, keduanya banyak terlibat percakapan yang meski pendek-pendek tetapi penuh makna. Catat, makna di sini bukan cuma soal romantisme, tapi lebih dalam dari itu. Dari sinilah keduanya lebih mengenal.

Sosok sombong dan penuh kebanggan yang tidak disukai Lizzy ternyata merupakan sifat pemalu Mr. Darcy yang banyak disalahartikan. Darcy ternyata sangat, sangat baik. Orang yang dermawan dan ringan tangan, yang membantu Lizzy bahkan ketika Lizzy tak meminta bantuannya. Di sinilah letak 'prejudice' yang digaungkan. Bahwa Lizzy yang cerdas ternyata bisa salah menilai orang. Lalu di mana 'pride'-nya? Salah satunya ditampilkan saat Lizzy yang berharga diri tinggi menolak Mr. Darcy karena merasa dihinakan karena Darcy, yang juga juga bersifat demikian, lebih memilihnya dibandingkan strata mereka.


"I've fought against my better judgement, my family's expectation, the inferiority of your birth, my rank dan circumstance, all those things... but I'm willing to put them aside... and ask you to end my agony." - Mr. Darcy.

"I might as well enquire why, with so evident a design of insulting me, you chose to tell me that you liked me against your better judgement!" - Elizabeth.

Udah, gitu aja? Nggak ada konflik?

Konflik tentu ada. Lydia yang kawin lari, contohnya. Atau ketika Lady Catherine de Bourgh, bibi Darcy, datang malam-malam dan menginterogasi Lizzy soal hubungannya dengan Darcy. Atau, tentang Lizzy yang menolak lamaran Darcy dengan penuh emosi.

Tapi yang namanya kekuatan pemahaman ya, semua konflik dapat diselesaikan, akhirnya. Ketika mereka saling memahami benak masing-masing, maka apa yang sedang terjadi bisa lebih mudah dimengerti dan diatasi.

Sekilas lebih datar dibanding film-film roman lain yang penuh kejutan dan intrik, tapi film ini tetap memesona lewat gestur tubuh yang bicara dan percakapan-percakapan penuh makna.

Di luar konteks inti/ide cerita yang fundamental (yang baru saya pahami setelah baca beberapa review), film ini menyihir saya lewat setting-settingnya. Lewat musik-musik instrumentalnya yang begitu pas di adegan-adegan tertentu.

Lokasi syutingnya di pedesaan Inggris, lebih tempatnya di estate-estate klasik seperti Wilton House (Wiltshire), Basildon Park (Berkshire), Groombridge Place (Kent), dan Chatsworth House (Derbyshire). Arsitektur klasik  dari gedung-gedung lawas yang dipadu kecantikan khas pedesaan Inggris. Estate menawan yang dikelilingi padang rumput, hutan-hutan yang menjulang, dan sungai kecil yang gemericik. Bisa dibayangkan hidup di sana di zaman 1700-1800an?

Groombridge Place, Kent: rumah keluarga Bennet, Longbourne
Picture was copied from https://www.pinterest.com/pin/251146116689792456/

Basildon Park, Berkshire: kediaman Mr. & Miss Bingley, Netherfield
Picture was copied from http://www.nationaltrust.org.uk/basildon-park/

Stourhead Park: setting of the denied proposal
Picture was copied from http://www.greatbritishgardens.co.uk/england/item/stourhead-gardens.html

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://www.throapham-house.co.uk/throapham-house/things-to-do-2/heritage-and-museums/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://i2.wp.com/www.throapham-house.co.uk/wp-content/uploads/2012/04/DSC_0083.jpg
Chatsworth House: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Got this from: www.dmu.ac.uk

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://blog.luxuryproperty.com/chatsworth-house-luxury-destination-fit-for-a-duchess/292691346_0e690e3749/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak dalam kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from https://architecturebehindmovies.files.wordpress.com/2012/03/chatsworth_main_hallway.jpg

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: tampak dalam kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Dan pencahayaannya. Film ini terlihat lebih cerah dibandingkan film lain yang bersetting waktu yang sama karena cahayanya yang terang. Rata-rata film abad pertengahan yang pernah saya tonton kesannya selalu gloomy, mulai dari lingkungan sampai warna baju, dan akhirnya bikin saya nggak mood nonton (meskipun dilihat juga sampai akhir sih). Tapi Pride & Prejudice ini nggak. Biarpun warna bajunya mungkin nggak beda jauh, tapi kesannya lebih cerah. Sinar matahari di mana-mana.

Selain settingnya yang keren abis, musik-musik yang dimainkan juga mendukung adegan-adegannya. Music defines the moment, the atmosphere. Sepertinya, semakin banyak musiknya, semakin saya suka filmnya. Kenapa? Yah karena musik mendorong perasaan penonton, bikin penonton seakan merasakan apa yang dirasakan tokoh. Musik-musik yang dimainkan di sini musik instrumental, rata-rata biola atau piano, yang beberapa dibuat oleh Henry Purcell & dimainkan oleh Dario Marianelli, English Chamber Orchestra, dan Jean-Yves Thibaudet.

Dari segi tokoh? Jujur aja saya nggak begitu memperhatikan aspek ini. Tapi ketika saya rasa film itu bagus, rasa-rasanya akting pemerannya berarti bagus. Keira Knightley sebagai Elizabeth dan Matthew Macfadyen sebagai Mr. Darcy yang jadi tokoh utama rasanya perfect ketika memerankan Elizabeth yang lively dan Mr. Darcy yang lebih banyak diam dan merasa 'do not have the talent of conversing easily with people I've never met'.

Baru nonton setengah jalan, saya sudah terpesona. Tapi ketika sudah tiga perempat jalan, saya mulai khawatir. Apa pasal? Sejauh ini, tumben-tumbenan nggak ada adegan kissing atau (maaf) intercourse yang selalu jadi identitas khas film Barat. Sampai ketika adegan akhir, saya menarik nafas...

... lega, akhirnya. There are no such things in this film. At least in the British version. And I won't ever, ever, watch the American version.

Ketiadaan dua hal inilah yang bikin film ini bernilai plus-plus-plus di mata saya. Akhirnya, ketemu juga satu film Barat yang mendefinisikan perwujudan cinta di luar dua hal tersebut. Cukup melihat, memahami, dan sama-sama merasakan. Tanpa ada sentuhan sama sekali, kecuali ketika dansa. Baru tahu juga, setelah nonton BTS (Behind The Scene)nya, bahwa zaman itu pria dan wanita nggak saling berjabat tangan, tetapi cukup menundukkan kepala tanda hormat. One touch or one glance can be interpreted as a world to someone.

Gentle, simple, yet so sweet.

Trus gimana dengan novelnya? Apa versi 2005 ini sama?

Jujur, pas nulis ini, sepertiga bagian novelnya belum saya tamatkan. Tapi tentu ada bagian dari novel yang hilang atau diganti. Bukan masalah, karena saya rasa ide utama dan alur pokoknya tetap sama. Miniserinya, versi BBC, memang lebih mengikuti alur dan lebih mirip detailnya dibanding versi 2005 ini. Tapi toh itu miniseri, yang artinya banyak seri, yang artinya banyak waktu pula untuk membuatnya sesesuai mungkin dengan alur asli. Yang ini, versi movie, yang hanya punya waktu kurang lebih dua jam untuk merangkum semua kisah dan perasaan jadi satu dan harus bisa memancing emosi penonton. Jadi wajarlah kalau beda.

Dan satu lagi poin plus: bahasanya puitis. Pada beberapa kalimat sangat sopan, bahkan waktu menyampaikan kritik pedas sekalipun. Kalimat-kalimat yang digunakan pake kata-kata terpilih, kata-kata yang jarang digunakan di percakapan sehari-hari. Lumayan nambah vocab kan jadinya. Misalnya aja, ketika Darcy melamar Lizzy. Di film-film dewasa ini, mungkin ekspresi yang digunakan akan nggak jauh dari, "I love you, will you marry me?" dan semacamnya. Di Pride & Prejudice?

"Please do me the honour of accepting my hand." - Fitzwilliam Darcy (Mr. Darcy)

This movie trully bewitches me.

-----------------------
Cast:
  • Elizabeth Bennet − Keira Knightley
  • Mary Bennet − Talulah Riley
  • Jane Bennet − Rosamund Pike
  • Lydia Bennet − Jena Malone
  • Kitty Bennet − Carey Mulligan
  • Mr. Bennet − Donald Sutherland
  • Mrs. Bennet − Brenda Blethyn
  • Charlotte Lucas − Claudie Blakley
  • Mr. Bingley − Simon Woods
  • Caroline Bingley −  Kelly Reilly
  • Mr. Darcy − Matthew Macfadyen
  • Georgiana Darcy − Tamzin Merchant
  • Mr. Wickham − Rupert Friend
  • Mr. Collins − Tom Hollander
  • Lady Catherine de Bourgh −  Judi Dench
  • Miss de Bourgh − Rosamund Stephen
  • Colonel Fitzwilliam − Cornelius Booth
  • Mrs. Gardiner − Penelope Wilton
  • Mr. Gardiner − Peter Wight   

Songs:

  • Dawn pembukaan
  • Stars and Butterflies
  • The Living Sculptures of Pemberley − saat Lizzy melihat galeri patung di Pemberley
  • Meryton Townhall lagu dansa menyambut Bingley bersaudara
  • The Militia Marches In ketika para tentara memasuki kota
  • Georgiana lagu yang dimainkan Georgiana, juga lagu latar belakang ketika Bingley berlatih melamar
  • Arrival at Netherfield
  • A Postcard to Henry Purcell ketika Lizzy & Mr. Darcy berdansa. 
  • Liz on Top of The World ketika Lizzy berada di atas tebing
  • Leaving Netherfield saat Bingley & Darcy meninggalkan Netherfield. Buat saya, ini lagu paling sedih sepanjang film. Perhatikan aja mimik Mr. Bingley & Mr. Darcy yang lemes dan hopeless, sedangkan Miss Bingley penuh kemenangan.
  • Another Dance
  • The Secret Life of Daydreams
  • Darcy's Letter ketika Lizzy berlari di tengah hujan seusai dari gereja. Scene paling keren.
  • Can't Slow Down lagu dansa
  • Your Hands Are Cold  adegan di padang rumput subuh hari
  • Credits

Recommended!

1st picture is courtesy of the movie itself.
Reading Time:
My Confession
Juni 21, 20150 Comments
Not literally. Well, yes, a bit.

Sejak kecil, saya nggak begitu suka film. Pelarian saya, selalu dan selalu, adalah buku. Baru akhir-akhir ini aja, ketika teman-teman di sekre banyak ngomongin film yang ternyata asik juga sih−, saya baru mulai ngikutin.

Tapi ini bukan cerita tentang film baru. Ini cerita soal film lawas tahun 2005 yang bikin saya terpesona sampai malam itu saya tonton empat kali berturut-turut. Cerita soal filmnya ada di sini

Karena lagi gandrung, mulailah saya muter-muter youtube nyari behind the scene-nya. Alhasil, selain nemuin BTS, saya juga nemuin satu video kompilasi yang dibuat salah satu fans. Saya lihat potongan scene-nya, saya dengar lagunya, dan saya tersihir.

It bewitches me.

Lagunya Josh Groban ternyata (saya belum pernah dengerin lagu dia sih, meski dia kondang, ini pertama kalinya). Dan menurut metrolyrics.com, penulis lagunya Richard Marx, sodara-sodara! Pantes aja romantis abis. Judulnya? My Confession. Kalau dipikir-pikir, liriknya cocok sih sama filmnya, hehe.


MY CONFESSION

I have been blind, unwilling
To see the true love you're giving
I have ignored every blessing
I'm on my knees, confessing

That I feel myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

I have been wrong about you
Thought I was strong without you
For so long nothing could move me
For so long nothing could change me

Now I feel myself surrender each time I see your face
I am captured by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

You are the air that I breathe
You're the ground beneath my feet
When did I stop believing?

Cause I fell myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is falling into place
I can't hide, now here my confession
I can't hide, now here my confession

Kalau penasaran sama videonya, bisa dilihat di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=niUXP6UVMnE


Hint: to 'understand' it fully, look at the eyes. They 'talks'.
Reading Time:

Jumat, 19 Desember 2014

Padat-Kosong
Desember 19, 20140 Comments
Ini bukan pertama kalinya saya nge-random. Apa itu nge-random? Istilah kami saat masih suka nongkrong di Sekpa untuk kata 'gabut'.

Mungkin bedanya, sekarang gabutnya bukan gegara nggak ada kerjaan.

Quite the opposite, actually.

Yang namanya titik jenuh itu pasti ada, ya. Mau seberapa banyak, atau sedikit, kerjaan itu. "Ya gimana manajemen waktu aja. Gimana caranya supaya nggak jenuh", itu kata-kata yang sering saya dengar, SMA dulu.

Ah, jadi kangen orang-orang yang saling ngingetin itu. Bukan orang-orang ketika ada yang pergi, malah menghakimi. Tapi orang-orang yang ketika ada yang pergi, mencoba memahami.

*Sek ta, ngomong opo seh iki ket mau?

Oke.

Minggu tenang. Minggu tenang yang nggak tenang karena justru diisi beragam responsi. Dilanjutkan minggu UAS. Diseling dengan Mubes-Mubes dan pekan LPJ. 

Sejak sekolah menengah, kami dibiasakan untuk berorganisasi. Organisasi nggak harus berarti OSIS, BEM, Dema, Himpunan. Di kelas, di angkatan, pun, rasanya sudah organisasi. Good news is: we used to it. So campus' life wasn't quite make us shocked. Bad news is: I hate bureaucracy, administration, you name it.

Kalo LPJ-an, evaluasi, rapat kegiatan, masih bisa nahan. Tapi, Mubes, yang ngomongin pasal-pasal dan kawan-kawan, membedah kata per kata, nggak masuk ke kamus pribadi saya. Catat: kamus pribadi ya.

Jadi, gimana supaya nggak terjebak kebosanan. Sebenernya gampang: nggak usah dateng. Itu, kalo emang minta dikemplang. Berita baiknya, Mubes nggak cuma sehari, tapi dua-tiga hari. Nggak datang hari ini, datanglah esok hari.

Caution: don't try this in your life.

Selain hal kayak begitu, pelajaran adalah salah satu beban yang menghimpit kehidupan seluruh pelajar. Apalagi kalau musim ujian. Beda cerita kalau emang udah bisa, pelajaran adalah suatu kenikmatan. Berita buruk keduanya: ada satu pelajaran yang saya bener-bener nggak mudeng. Mengejar sendiri, masih berusaha. Belajar kelompok? Sudah. Lumayan sih, tapi nggak begitu efektif karena cuma sedikit yg bisa dibahas gegara keterbatasan waktu dan kemampuan bersama. Jadi? Ya wes, sinau ae terus. Bukankah penuntut ilmu sering berkata, "Kami mengejar ilmu. Nilai baru setelah itu"? Ya wes, sing penting mudheng sek.

Dengan kepadatan seperti itu, banyak yang penat. Jadilah kami, anak-anak yang sudah kebelet liburan ini, ngerencanain get-away ke tempat wisata terdekat.

Well, I hope the get-away plan will really happen. Can't wait to travel and have adventures with you guys.
Reading Time:

Minggu, 02 November 2014

Naik Gunung
November 02, 20140 Comments
Ini saya copy dari account fb Darwis Tere Liye


*Foto2 keren

Mendaki sebuah gunung bukan sebuah kebanggaan, Kawan
Karena kalau kita anggap pendakian gunung itu kebanggaan
Maka jangan lupa, penduduk setempat bahkan setiap hari
Setiap hari mencari kayu bakar, rotan, dan sebagainya di sana
Bahkan anak2 mereka pergi memancing ke atas danau di gunung
Berangkat pagi, pulang sore

Mengunjungi sebuah kota, New York, London, dsbgnya juga bukan prestasi
Karena kalau melanglang buana itu kita anggap prestasi
Maka jangan lupa, pengemis, gelandangan di sana setiap hari
Setiap hari mengemis dan menggelandang di jalanannya
Tidur di sudut2 kota, tempat kita baru saja ber-pose
Lantas kita bagikan di jejaring sosial

Kita tidak bicara berapa banyak gunung yang kita daki
Berapa lembar foto keren yang kita peroleh
Tapi berapa banyak pemahaman yang menetap di hati kita
Lantas menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi sekitar
Menyayangi alam, memahami kebesaran Tuhan
Berhenti bertingkah kekanakan
Itulah hakikat pendakian tersebut

Kita tidak bicara berapa banyak kota yang kita kunjungi
Berapa lembar foto hebat yang kita dapatkan
Tapi berapa banyak pelajaran yang tinggal di kepala kita
Lantas menjadi sumber kebermanfaatan bagi orang lain
Memahami keanekaragaman dan perbedaan
Berhenti sombong dan berlebihan
Itulah hakikat sebuah perjalanan

Lakukanlah perjalanan mengelilingi dunia, Kawan
Kunjungi tempat2 indah dan spesial
Bukan untuk dicatat, difoto lantas dipamerkan
Tapi simpel, perjalanan adalah perjalanan
Dia akan mendidik kita dengan lembut
Tentang banyak hal

*Tere Liye



Seseorang bilang pada saya, "Makin banyak orang naik gunung ya, sekarang. Naik gunung sekarang jadi lifestyle. Bahkan dianggap olah raga yang prestise. Dulu aja, dianggap orang gembel kurang kerjaan," cetusnya.


Saya bisa nangkap nada sinis dalam suaranya. Saya maklum. Pendaki pemula (dan turis) banyak yang nyampah sehingga gunung maupun pantai, salah satu nafas hidupnya, jadi kotor tak terkira (saya juga nggak suka sama yang sukanya hepi-hepi doang tapi nyampah begini). Apalagi, dia jadi anggota Pecinta Alam jauh sebelum naik gunung jadi tren. Dulu, organisasinya dianggap organisasi yang nggak guna. Kini setelah naik gunung booming, barulah teman-temannya berlomba-lomba menjelajah puncak-puncak, berfoto dan mengunggahnya di jejaring sosial.


Tapi, dia tidak demikian. Dia dan teman-temannya beda. Foto dokumentasi mereka simpan, tidak semuanya tersebar di dunia maya. Kenapa? Ya saya rasa, karena pemahaman lebih penting dalam sebuah perjalanan, seperti pada kutipan Tere-Liye di atas. Foto? Itu salah satu kenang-kenangan, katanya.


Pemahaman dan pendidikan. Saya akui, alam memang sering bikin lebih banyak belajar dan paham dibanding buku. Gara-gara naik gunung, mental terasah, apalagi menghadapi situasi-situasi tak terduga. Mendung dan hujan deras yang turun tiba-tiba, logistik yang harus dijaga supaya nggak dicuri kera liar, dan sebagainya. Termasuk mengamati detail alam sekitar.


Buat kasus saya, nggak sekali-dua hal ini jadi sangat membantu saat pelajaran. Geografi, Biologi, dan lain-lain. Yang paling dekat adalah saat ujian Klimatologi kemarin.



T= Teman, S=Saya

T: *ngelihatin saya yang lagi sibuk merapal hafalan Klimatologi. "Susah amat belajarnya."
S: "Iya nih, bahannya banyak, hafalan semua lagi."
T: "Kok dihafal? Emangnya kamu nggak dapet apa-apa pas naik gunung?"
S: "Maksudnya?"
T: "Kan, iklim itu ada di alam. Waktu naik gunung, kamu nggak merhatiin?"


Oh sial, iya juga. Kenapa nggak coba menghubungkan pelajaran dan fenomena yang pernah dilihat di lingkungan? Kan pahamnya lebih gampang!



Daaan, perkataan teman saya itu ada benarnya. Pada ujian Klimatologi, ada satu soal yang materinya sengaja nggak saya baca dan apesnya, disuruh ngejelasin sedetail-detailnya. Pertanyaannya tentang embun upas. Karena percuma saya coba cari di sisa-sisa ingatan hafalan, saya pun nyerah. Kemudian saya ingat, embun ini adalah embun yang banyak ditemukan di gunung pada kondisi tertentu. Mulailah pena bergerak, menulis semua yang saya tahu tentang embun upas. Tak apa, meski setahunya aja, tak dapat nilai sempurna, setidaknya nggak ditinggal kosong blong. Masih ada nilainya, hehehe.



Itu, cuma dalam hal pelajaran aja. Hal lain? Masih ada hal lain.



Memahami, memelajari. Bukan sekedar jalan-sampai-foto-pulang, atau sekedar hafalan textbook. Yang namanya foto dan hafalan bisa hilang, tapi memori dan pemahaman lebih susah pudar :)


Reading Time:
Renungan di Balik Setiap Sarapan
November 02, 20140 Comments
Kira-kira, sudah setahun lebih ini saya tinggal berlainan tempat dengan orang tua. Yep, ngekos di lain kota. Bukan apa-apa, tapi gegara tempat belajar saya yang sekarang jaraknya berpuluh kali jarak dari rumah ke sekolah saya yang dulu.

Ceritanya udah sebulan ini kami anak kos patungan beli kompor, gas, plus peralatan masak lain. Niatnya buat ngirit pengeluaran. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran makan di luar bisa dua kali (atau lebih) pengeluaran kalau masak sendiri. Jadilah tiap hari, hampir selalu ada suara 'ctek' kompor dinyalakan pertanda ada yang lagi pengen ngirit masak. Saya tanpa kecuali.

Dulunya saya pikir, wah, bakal asyik nih, masak bareng sekosan, terus makan bareng. Kan berasa di rumah. Dan pada awalnya, kami berniat untuk selalu masak untuk sarapan dan makan malam.

Pada awalnya lho.

Kenyataannya? Nggak. Kami masih sibuk dengan tugas masing-masing, hingga sering kali sehari makan di luar terus. Tapi alat-alat masak yang terpajang begitu menggelitik, hingga suatu pagi saya memutuskan untuk memasak sarapan.

Saat itu saya ada kelas jam sembilan. Artinya, setengah sembilan sudah harus berangkat. Artinya lagi, jam delapan sudah harus selesai makan, cuci piring, lalu harus berangkat mandi. Jam enam lebih sedikit, dengan agak ngantuk efek begadang, saya langsung ke dapur. Menu pagi ini simpel: nasi goreng sosis plus telur. Kelewat simpel malah, karena bumbunya pakai bumbu instan yang cuma ditambah ulekan bawang dan garam. Cuma satu porsi buat saya sendiri, lagi. Perkiraan saya, satu jam paling sudah selesai.


Dan... meleset. Karena jam terbang yang masih amat sangat rendah sekali, nasi goreng itu baru selesai jam delapan. Buru-buru deh dilahap. Tapi karena masih panas, acara makan yang biasanya cuma sepuluh menit, molor jadi dua puluh menit. Pukul 08.20 barulah saya mencelat ke kamar mandi.


Gila, batin saya, ini cuma sarapan sederhana satu porsi aja makan waktu gini lama. Gimana kalau ibu yang masak buat sarapan serumah? Belum lagi, kami semua harus berangkat jam enam. Gimana ibu nggak repot? Belum nyuci piring, nyuci baju, setrika, dan kawan-kawan?


Dulu, saya sering mengeluh dalam hati ketika mendapati menu sarapan. Ini lagi, ini lagi. Kalau nggak masakan keringan yang tinggal goreng, ya sisa masakan tadi malam yang dipanaskan. Selain sarapan sih, menunya selalu beragam. Pengen rasanya protes, bosan sama makanan yang itu-itu aja untuk sarapan. Tapi demi melihat ibu yang lagi sibuk bergerak kesana-kemari, lebih baik protes itu ditelan aja dulu.


Tapi sekarang, rasanya masuk akal. Lha wong saya aja yang masuk jam 9, bangun jam 6 buat masak begitu simpel aja masih ngantuk, cuma masak satu porsi, lagi. Apalah lagi ibu yang harus bangun jam 3, berangkat jam 6 untuk kerja, masakin buat orang serumah. Belum lagi bantuin tugas saya atau adik yang kerap belum selesai padahal ngerjainnya udah pake begadang. Pantas saja sarapan menunya selalu simpel, yang lekas matang, supaya bisa memburu waktu.


Mungkin sekali dalam hati, ibu juga ingin protes pada dirinya sendiri. Kasihan pada keluarga yang makan itu-itu saja tiap sarapan. Mungkin, ibu juga ingin menyiapkan masakan 'agak ribet' yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga memuaskan mulut-mulut yang melahap masakannya. Toh ada ibu lain, yang juga wanita karier, yang bisa menyiapkan masakan 'agak ribet' untuk sarapan. Tapi ibu mafhum, kami pun sadar, bahwa kapasitas tiap ibu berbeda meski mereka selalu memberi yang terbaik untuk keluarganya.


Dibandingkan dengan saya barusan? Ah, baru masak segitu saja, saya udah capek. Apalagi ibu. Baru sekali saja, saya sudah pontang-panting. Apalagi ibu yang sudah bertahun-tahun. Pasti jauh lebih letih.


Rasanya, tak pantas saya protes soal sarapan pada ibu.



Beberapa hasil 'eksperimen' saat di kos
Reading Time: