Hijaubiru

Minggu, 21 Juni 2015

My Confession
Juni 21, 20150 Comments
Not literally. Well, yes, a bit.

Sejak kecil, saya nggak begitu suka film. Pelarian saya, selalu dan selalu, adalah buku. Baru akhir-akhir ini aja, ketika teman-teman di sekre banyak ngomongin film yang ternyata asik juga sih−, saya baru mulai ngikutin.

Tapi ini bukan cerita tentang film baru. Ini cerita soal film lawas tahun 2005 yang bikin saya terpesona sampai malam itu saya tonton empat kali berturut-turut. Cerita soal filmnya ada di sini

Karena lagi gandrung, mulailah saya muter-muter youtube nyari behind the scene-nya. Alhasil, selain nemuin BTS, saya juga nemuin satu video kompilasi yang dibuat salah satu fans. Saya lihat potongan scene-nya, saya dengar lagunya, dan saya tersihir.

It bewitches me.

Lagunya Josh Groban ternyata (saya belum pernah dengerin lagu dia sih, meski dia kondang, ini pertama kalinya). Dan menurut metrolyrics.com, penulis lagunya Richard Marx, sodara-sodara! Pantes aja romantis abis. Judulnya? My Confession. Kalau dipikir-pikir, liriknya cocok sih sama filmnya, hehe.


MY CONFESSION

I have been blind, unwilling
To see the true love you're giving
I have ignored every blessing
I'm on my knees, confessing

That I feel myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

I have been wrong about you
Thought I was strong without you
For so long nothing could move me
For so long nothing could change me

Now I feel myself surrender each time I see your face
I am captured by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

You are the air that I breathe
You're the ground beneath my feet
When did I stop believing?

Cause I fell myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is falling into place
I can't hide, now here my confession
I can't hide, now here my confession

Kalau penasaran sama videonya, bisa dilihat di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=niUXP6UVMnE


Hint: to 'understand' it fully, look at the eyes. They 'talks'.
Reading Time:

Jumat, 19 Desember 2014

Padat-Kosong
Desember 19, 20140 Comments
Ini bukan pertama kalinya saya nge-random. Apa itu nge-random? Istilah kami saat masih suka nongkrong di Sekpa untuk kata 'gabut'.

Mungkin bedanya, sekarang gabutnya bukan gegara nggak ada kerjaan.

Quite the opposite, actually.

Yang namanya titik jenuh itu pasti ada, ya. Mau seberapa banyak, atau sedikit, kerjaan itu. "Ya gimana manajemen waktu aja. Gimana caranya supaya nggak jenuh", itu kata-kata yang sering saya dengar, SMA dulu.

Ah, jadi kangen orang-orang yang saling ngingetin itu. Bukan orang-orang ketika ada yang pergi, malah menghakimi. Tapi orang-orang yang ketika ada yang pergi, mencoba memahami.

*Sek ta, ngomong opo seh iki ket mau?

Oke.

Minggu tenang. Minggu tenang yang nggak tenang karena justru diisi beragam responsi. Dilanjutkan minggu UAS. Diseling dengan Mubes-Mubes dan pekan LPJ. 

Sejak sekolah menengah, kami dibiasakan untuk berorganisasi. Organisasi nggak harus berarti OSIS, BEM, Dema, Himpunan. Di kelas, di angkatan, pun, rasanya sudah organisasi. Good news is: we used to it. So campus' life wasn't quite make us shocked. Bad news is: I hate bureaucracy, administration, you name it.

Kalo LPJ-an, evaluasi, rapat kegiatan, masih bisa nahan. Tapi, Mubes, yang ngomongin pasal-pasal dan kawan-kawan, membedah kata per kata, nggak masuk ke kamus pribadi saya. Catat: kamus pribadi ya.

Jadi, gimana supaya nggak terjebak kebosanan. Sebenernya gampang: nggak usah dateng. Itu, kalo emang minta dikemplang. Berita baiknya, Mubes nggak cuma sehari, tapi dua-tiga hari. Nggak datang hari ini, datanglah esok hari.

Caution: don't try this in your life.

Selain hal kayak begitu, pelajaran adalah salah satu beban yang menghimpit kehidupan seluruh pelajar. Apalagi kalau musim ujian. Beda cerita kalau emang udah bisa, pelajaran adalah suatu kenikmatan. Berita buruk keduanya: ada satu pelajaran yang saya bener-bener nggak mudeng. Mengejar sendiri, masih berusaha. Belajar kelompok? Sudah. Lumayan sih, tapi nggak begitu efektif karena cuma sedikit yg bisa dibahas gegara keterbatasan waktu dan kemampuan bersama. Jadi? Ya wes, sinau ae terus. Bukankah penuntut ilmu sering berkata, "Kami mengejar ilmu. Nilai baru setelah itu"? Ya wes, sing penting mudheng sek.

Dengan kepadatan seperti itu, banyak yang penat. Jadilah kami, anak-anak yang sudah kebelet liburan ini, ngerencanain get-away ke tempat wisata terdekat.

Well, I hope the get-away plan will really happen. Can't wait to travel and have adventures with you guys.
Reading Time:

Minggu, 02 November 2014

Naik Gunung
November 02, 20140 Comments
Ini saya copy dari account fb Darwis Tere Liye


*Foto2 keren

Mendaki sebuah gunung bukan sebuah kebanggaan, Kawan
Karena kalau kita anggap pendakian gunung itu kebanggaan
Maka jangan lupa, penduduk setempat bahkan setiap hari
Setiap hari mencari kayu bakar, rotan, dan sebagainya di sana
Bahkan anak2 mereka pergi memancing ke atas danau di gunung
Berangkat pagi, pulang sore

Mengunjungi sebuah kota, New York, London, dsbgnya juga bukan prestasi
Karena kalau melanglang buana itu kita anggap prestasi
Maka jangan lupa, pengemis, gelandangan di sana setiap hari
Setiap hari mengemis dan menggelandang di jalanannya
Tidur di sudut2 kota, tempat kita baru saja ber-pose
Lantas kita bagikan di jejaring sosial

Kita tidak bicara berapa banyak gunung yang kita daki
Berapa lembar foto keren yang kita peroleh
Tapi berapa banyak pemahaman yang menetap di hati kita
Lantas menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi sekitar
Menyayangi alam, memahami kebesaran Tuhan
Berhenti bertingkah kekanakan
Itulah hakikat pendakian tersebut

Kita tidak bicara berapa banyak kota yang kita kunjungi
Berapa lembar foto hebat yang kita dapatkan
Tapi berapa banyak pelajaran yang tinggal di kepala kita
Lantas menjadi sumber kebermanfaatan bagi orang lain
Memahami keanekaragaman dan perbedaan
Berhenti sombong dan berlebihan
Itulah hakikat sebuah perjalanan

Lakukanlah perjalanan mengelilingi dunia, Kawan
Kunjungi tempat2 indah dan spesial
Bukan untuk dicatat, difoto lantas dipamerkan
Tapi simpel, perjalanan adalah perjalanan
Dia akan mendidik kita dengan lembut
Tentang banyak hal

*Tere Liye



Seseorang bilang pada saya, "Makin banyak orang naik gunung ya, sekarang. Naik gunung sekarang jadi lifestyle. Bahkan dianggap olah raga yang prestise. Dulu aja, dianggap orang gembel kurang kerjaan," cetusnya.


Saya bisa nangkap nada sinis dalam suaranya. Saya maklum. Pendaki pemula (dan turis) banyak yang nyampah sehingga gunung maupun pantai, salah satu nafas hidupnya, jadi kotor tak terkira (saya juga nggak suka sama yang sukanya hepi-hepi doang tapi nyampah begini). Apalagi, dia jadi anggota Pecinta Alam jauh sebelum naik gunung jadi tren. Dulu, organisasinya dianggap organisasi yang nggak guna. Kini setelah naik gunung booming, barulah teman-temannya berlomba-lomba menjelajah puncak-puncak, berfoto dan mengunggahnya di jejaring sosial.


Tapi, dia tidak demikian. Dia dan teman-temannya beda. Foto dokumentasi mereka simpan, tidak semuanya tersebar di dunia maya. Kenapa? Ya saya rasa, karena pemahaman lebih penting dalam sebuah perjalanan, seperti pada kutipan Tere-Liye di atas. Foto? Itu salah satu kenang-kenangan, katanya.


Pemahaman dan pendidikan. Saya akui, alam memang sering bikin lebih banyak belajar dan paham dibanding buku. Gara-gara naik gunung, mental terasah, apalagi menghadapi situasi-situasi tak terduga. Mendung dan hujan deras yang turun tiba-tiba, logistik yang harus dijaga supaya nggak dicuri kera liar, dan sebagainya. Termasuk mengamati detail alam sekitar.


Buat kasus saya, nggak sekali-dua hal ini jadi sangat membantu saat pelajaran. Geografi, Biologi, dan lain-lain. Yang paling dekat adalah saat ujian Klimatologi kemarin.



T= Teman, S=Saya

T: *ngelihatin saya yang lagi sibuk merapal hafalan Klimatologi. "Susah amat belajarnya."
S: "Iya nih, bahannya banyak, hafalan semua lagi."
T: "Kok dihafal? Emangnya kamu nggak dapet apa-apa pas naik gunung?"
S: "Maksudnya?"
T: "Kan, iklim itu ada di alam. Waktu naik gunung, kamu nggak merhatiin?"


Oh sial, iya juga. Kenapa nggak coba menghubungkan pelajaran dan fenomena yang pernah dilihat di lingkungan? Kan pahamnya lebih gampang!



Daaan, perkataan teman saya itu ada benarnya. Pada ujian Klimatologi, ada satu soal yang materinya sengaja nggak saya baca dan apesnya, disuruh ngejelasin sedetail-detailnya. Pertanyaannya tentang embun upas. Karena percuma saya coba cari di sisa-sisa ingatan hafalan, saya pun nyerah. Kemudian saya ingat, embun ini adalah embun yang banyak ditemukan di gunung pada kondisi tertentu. Mulailah pena bergerak, menulis semua yang saya tahu tentang embun upas. Tak apa, meski setahunya aja, tak dapat nilai sempurna, setidaknya nggak ditinggal kosong blong. Masih ada nilainya, hehehe.



Itu, cuma dalam hal pelajaran aja. Hal lain? Masih ada hal lain.



Memahami, memelajari. Bukan sekedar jalan-sampai-foto-pulang, atau sekedar hafalan textbook. Yang namanya foto dan hafalan bisa hilang, tapi memori dan pemahaman lebih susah pudar :)


Reading Time:
Renungan di Balik Setiap Sarapan
November 02, 20140 Comments
Kira-kira, sudah setahun lebih ini saya tinggal berlainan tempat dengan orang tua. Yep, ngekos di lain kota. Bukan apa-apa, tapi gegara tempat belajar saya yang sekarang jaraknya berpuluh kali jarak dari rumah ke sekolah saya yang dulu.

Ceritanya udah sebulan ini kami anak kos patungan beli kompor, gas, plus peralatan masak lain. Niatnya buat ngirit pengeluaran. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran makan di luar bisa dua kali (atau lebih) pengeluaran kalau masak sendiri. Jadilah tiap hari, hampir selalu ada suara 'ctek' kompor dinyalakan pertanda ada yang lagi pengen ngirit masak. Saya tanpa kecuali.

Dulunya saya pikir, wah, bakal asyik nih, masak bareng sekosan, terus makan bareng. Kan berasa di rumah. Dan pada awalnya, kami berniat untuk selalu masak untuk sarapan dan makan malam.

Pada awalnya lho.

Kenyataannya? Nggak. Kami masih sibuk dengan tugas masing-masing, hingga sering kali sehari makan di luar terus. Tapi alat-alat masak yang terpajang begitu menggelitik, hingga suatu pagi saya memutuskan untuk memasak sarapan.

Saat itu saya ada kelas jam sembilan. Artinya, setengah sembilan sudah harus berangkat. Artinya lagi, jam delapan sudah harus selesai makan, cuci piring, lalu harus berangkat mandi. Jam enam lebih sedikit, dengan agak ngantuk efek begadang, saya langsung ke dapur. Menu pagi ini simpel: nasi goreng sosis plus telur. Kelewat simpel malah, karena bumbunya pakai bumbu instan yang cuma ditambah ulekan bawang dan garam. Cuma satu porsi buat saya sendiri, lagi. Perkiraan saya, satu jam paling sudah selesai.


Dan... meleset. Karena jam terbang yang masih amat sangat rendah sekali, nasi goreng itu baru selesai jam delapan. Buru-buru deh dilahap. Tapi karena masih panas, acara makan yang biasanya cuma sepuluh menit, molor jadi dua puluh menit. Pukul 08.20 barulah saya mencelat ke kamar mandi.


Gila, batin saya, ini cuma sarapan sederhana satu porsi aja makan waktu gini lama. Gimana kalau ibu yang masak buat sarapan serumah? Belum lagi, kami semua harus berangkat jam enam. Gimana ibu nggak repot? Belum nyuci piring, nyuci baju, setrika, dan kawan-kawan?


Dulu, saya sering mengeluh dalam hati ketika mendapati menu sarapan. Ini lagi, ini lagi. Kalau nggak masakan keringan yang tinggal goreng, ya sisa masakan tadi malam yang dipanaskan. Selain sarapan sih, menunya selalu beragam. Pengen rasanya protes, bosan sama makanan yang itu-itu aja untuk sarapan. Tapi demi melihat ibu yang lagi sibuk bergerak kesana-kemari, lebih baik protes itu ditelan aja dulu.


Tapi sekarang, rasanya masuk akal. Lha wong saya aja yang masuk jam 9, bangun jam 6 buat masak begitu simpel aja masih ngantuk, cuma masak satu porsi, lagi. Apalah lagi ibu yang harus bangun jam 3, berangkat jam 6 untuk kerja, masakin buat orang serumah. Belum lagi bantuin tugas saya atau adik yang kerap belum selesai padahal ngerjainnya udah pake begadang. Pantas saja sarapan menunya selalu simpel, yang lekas matang, supaya bisa memburu waktu.


Mungkin sekali dalam hati, ibu juga ingin protes pada dirinya sendiri. Kasihan pada keluarga yang makan itu-itu saja tiap sarapan. Mungkin, ibu juga ingin menyiapkan masakan 'agak ribet' yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga memuaskan mulut-mulut yang melahap masakannya. Toh ada ibu lain, yang juga wanita karier, yang bisa menyiapkan masakan 'agak ribet' untuk sarapan. Tapi ibu mafhum, kami pun sadar, bahwa kapasitas tiap ibu berbeda meski mereka selalu memberi yang terbaik untuk keluarganya.


Dibandingkan dengan saya barusan? Ah, baru masak segitu saja, saya udah capek. Apalagi ibu. Baru sekali saja, saya sudah pontang-panting. Apalagi ibu yang sudah bertahun-tahun. Pasti jauh lebih letih.


Rasanya, tak pantas saya protes soal sarapan pada ibu.



Beberapa hasil 'eksperimen' saat di kos
Reading Time:
Nulis Lagi
November 02, 2014 2 Comments

Kalau saya, ditambahin satu lagi kali ya: Jalan-jalanlah, maka kita akan belajar memahami. Hehehe.

Akhirnyaaa sempat ngeblog juga setelah postingan terakhir bertanggal 7 Agustus (dua bulan lalu!). Ralat, bukan sempat sih. Kalo sempat ya, sebenernya sempat aja, cuma malesnya itu lho. Pulang, langsung istirahat. Boro-boro baca novel, textbook aja, cuma dibaca pas perlu doang.

Nah lho, terus apa hubungannya sama gambar di atas?

Jadi ceritanya, konon di usia muda belia seperti ini, pemuda-pemudi bakalan lebih aktif dan kritis. Kalau dilihat-lihat, iya sih. Posting-an status fb teman-teman temanya sudah berat, bukan cuma galau gegara tugas belum kelar atau apalah. Saking beratnya, sampe kadang saya lanjut scroll aja tanpa baca lebih lanjut gegara nggak mudeng, hehehe.

Karena lagi di usia kritis, maka mulai banyaklah teman saya yang bikin blog, nulis uneg-uneg tentang keadaan negeri ini. Mulai dari ngomentarin perilaku dewan yang dianggap nggak pantes, ngomongin double-standard antara rokok dan jenggot, hingga ngembangin ide dia tentang perkembangan masyarakat madani. Nggak jarang pula yang hobinya nulis proposal atau LKTI.

Batin saya berbisik, Wah gila, anak-anak keren banget bisa ngamatin hal sepelik itu. Dan saya ngelihat postingan di blog sendiri lalu membatin lagi, Wah beda amat sama ini blog. Yang mana isinya rata-rata cuma curhatan, buku, plus hal lain yang kelasnya jauh kurang serius dibanding tulisan teman-teman.

Tapi ya, emang ketertarikan orang kan beda-beda. Justru nggak bagus kalau semua orang nulis hal yang sama, sampai hal yang lain nggak terjamah. Awalnya sih sempat berpikir mahasiswa macam apa saya ini, yang sama sekali nggak tertarik mengkaji hal sosial macam itu, yang sering dijadikan ciri mahasiswa kritis. Tapi hei, kan ini bukannya nggak peduli atau nggak mau tahu, cuma nggak tertarik nulis begituan aja. Mungkin kalau saya nulis yang begituan, yang keluar adalah tulisan ngalor-ngidul yang saya sendiri nggak mudeng intinya.

Jadi, biarlah saya tetap nulis dengan tema begini aja. 
Reading Time:

Jumat, 08 Agustus 2014

Konco & Kolega
Agustus 08, 2014 3 Comments
Sebuah percakapan yang terdengar di mobil sepulang dari Gunung Ijen, yang kurang lebih begini:

“Kuliah iku hubungane luwih formal yo? Kon perlu mbedakno konco ambek kolega nek kon nang kuliah.”

“Kolega iku wong sing enak dan isok diajak kerjo bareng, nek konco iku wong sing isok kon ajak koyok ngene.”

“Iyo, nang kuliah aku durung nemu konco. Nemu kolega iyo. Nemu konco durung. Gak isok sing isok diajak koyok ngene: guyon, omong-omong nyantai.”


“Iyo, durung nemu.”

Saat ketika bisa ngomong ngalor-ngidul tanpa gontok-gontokan disela guyonan, itu konco.

Kawah Ijen, 5 Agustus 2014 Reunion


Picture was taken by a friend

Reading Time:

Kamis, 29 Mei 2014

Sepasang Kaki yang Lain
Mei 29, 20140 Comments
Bukan cari yang berdompet tebal
Atau yang ke mana-mana pakai land rover terbaru
Atau yang selalu jalan ke landmark-landmark terkenal

Tapi cari
Sepasang kaki lain yang mau berjalan bersama
Ke mana saja, bahkan ke pinggir kali sekalipun
Cuma cari
Sepasang telinga yang mau sabar mendengar
Kata hati, kata mulut, keluhan, kekhawatiran, kelelahan, kepanikan

Yang dicari
Yang mau get lost ke mana pun, kapan pun
Punya selera jalan yang sama

Sayangnya, baru nemu dua
Dan dua-duanya sama-sama di Surabaya
bukan di sini

Reading Time:

Minggu, 15 Desember 2013

Yearning
Desember 15, 2013 2 Comments
I

Miss

You,

Guys



Laser of Lasso
Smalapala of Smala

Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta - Gie

-----------------------------------------------------

Bhuhuhuhu, ceritanya habis buka film lawas: Gie. Dan seperti biasa, film ini sukses menyeret saya ke dalam suasana melankolis dan menenggelamkan ke memori-memori bareng sobat-sobat munggah gunung. Kalau sudah gitu, semua ingatan terbongkar sudah dan wajah-wajah teman 'serumah' selama tiga tahun pun ikut muncul ke permukaan.

Kalau udah gini, cuma bisa melan dan menikmati foto-foto yang kerasa lebih idup :')

Yes, you were right. Absolutely right. Those are the moments we're gonna miss. Well, I am, right now.

Both pictures were taken by friends.
Reading Time:
Edelweis Bukan Untukku
Desember 15, 20131 Comments
Bukan pula untukmu
Bukan untuk kita

Dia ada untuk dinikmati
Untuk dipandangi
Bukan untuk dicuri pulang

Edelweis yang dilindungi
Jangan kau bawa pergi


----------------------------------------------------------

Jadi, kalau di novel-novel, ada cowok yang katanya romantis sampe bela-belain bawain edelweis buat ceweknya, sebenernya dia nggak ngerti arti cinta. Jangan ditiru ya ;)
Reading Time:

Sabtu, 14 Desember 2013

Nikmati Momennya
Desember 14, 20130 Comments
Pernah ada suatu saat, ketika saya lagi baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, saya tercenung oleh kalimat ini:

"Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami." - kata Rinpoche pada Weiner, halaman 138.

Kami berhenti di kota terdekat, Wangdue. Yang mengejutkan, wisma tamunya bagus sekali. Saya duduk di teras, melihat ke bawah ke arah sungai yang airnya mengalir deras. Itu adalah pemandangan yang indah, dan secara naluriah saya meraih buku catatan dan kamera. Namun, saya berhenti. Kata-kata sang Rinpoche bergema di kepala saya. Alamilah. Anda perlu mengalami. Dia benar. Merekam kehidupan adalah pengganti yang buruk dari menjalaninya. Oleh karena itu, selama 20 menit berikutnya saya duduk di atas teras, mendengar deru sungai dan tidak melakukan apa pun. Benar-benar tidak melakukan apa pun. Tanpa buku catatan, kamera, atau perekam. Hanya saya dan kehidupan. - halaman 143.

Diri saya pun berkaca. Alhamdulillah, sudah berkali-kali saya memandangi lukisan menakjubkan milik alam. Gunung, bukit, laut, pantai, kilauan lampu kota. Apa yang sudah saya lakukan? Memotretnya. Ya, saya gila motret. Saya ingin keindahan itu tergambar jelas dalam foto dan bisa membuat saya seakan berada di sana ketika hanya melihatnya lewat layar gadget. Tapi ketika membaca kalimat di atas, saya pun bertanya, apa saya benar-benar menikmati momen tersebut?

Apa saya benar-benar menikmati momen tersebut, menghayati dengan khusyuk, menyimpannya di dalam hati dan memori, ataukah saya hanya memandanginya sekilas, takjub sementara, kemudian melupakan esensinya sembari asyik mengabadikan sana-sini lewat kamera? Dan saat kembali di rumah, saya hanya senang melihat fotonya, otak memutar ingatan ketika di sana namun hati berkata tidak ada memori?

Terus terang, saya lebih sering condong pada pilihan kedua. Ngelihat, senang, takjub, bilang, "Wooow, kereeeen!", dan . . . klik! Yang terjadi selanjutnya adalah bermesraan dengan kamera, bukan dengan yang ada di sekitar.

Kalau begitu, berarti pemandangan itu dekat di mata jauh di hati? Bisa dibilang begitu. 

Oleh karena itu, ketika kemarin saya berkesempatan ke beberapa pantai di Gunung Kidul, Yogya, dan sebuah kebun teh di kabupaten Batang, Jateng, saya pun membagi waktu menjadi dua sesi. Sesi pertama: datang, foto-foto. Sesi kedua: simpan kamera di saku, diam, nikmati sekeliling. Keduanya dalam satu waktu. Dengan demikian, foto dapet, memori hati pun dapet.

Susah, memang, mengingat kebiasaan yang selalu menggenggam kamera dan selalu tergoda jepret-jepret. Tapi dengan sedikit memaksakan diri, lumayan juga. Setelah merasa puas mengabadikan pemandangan lewat lensa, kamera saya simpan di saku lalu diam. Memandang. Menikmati. Meresapi.

Karena memori yang sesungguhnya tidak butuh tercetak di atas foto, tapi di dalam hati.

Pejuang kemerdekaan masa lalu tidak pernah memiliki fotonya yang sedang menenteng bedhil, berjuang heroik melawan penjajah. Tapi tanyakan pada mereka kisahnya, mereka akan lancar bertutur.

Memori di dalam hati.




Kebun teh di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah
Reading Time: