Hijaubiru

Minggu, 17 April 2011

Kisah Inspirasi
April 17, 20110 Comments
Tenang aja, cerita yang sangat bagus ini sumbernya bukan dari saya, tapi dari beberapa kakak kelas dan seorang alumni yang memang memiliki segudang cerita motivasi. Cerita ini untuk semua orang. Khususnya untuk orang yang lagi down karena masalah kehidupannya segunung.

1. Kisah Sebuah Pedang
Tahu gimana pembuatan pedang pada umumnya kan? Untuk jadi sebuah pedang yang bagus, tajam, dan kuat, besi itu harus ditempa berkali-kali. Dilebur, dipanaskan, ditempa, dilipat, dipanaskan lagi, ditemoa lagi, begitu seterusnya. Jadi kesimpulannya, kalau kita mau menjadi  orang yang berkualitas bagus, ya memang begitulah cara-Nya untuk membuat kita kuat. Dalam kehidupan, kita harus ditempa dengan keras, dipanaskan dengan bara api sangat panas. Kalau kita nggak mau digituin, ya, gimana bisa kita mau jadi kayak pedang yang keras dan tajam?

2. Membangun Jembatan
Di suatu desa terdapat sebuah sungai yang lebar dan besar. Untuk mencapai daratan di seberangnya, diperlukan sebuah jembatan yang sangat kuat karena arus sungai tersebut sangatlah deras. Akhirnya, diadakanlah sebuah sayembara. Siapa yang bisa membuat sebuah jembatan yang kuat untuk dilintasi, dialah pemenangnya. (*Catatan: jembatan terbuat dari kayu).
Semua orang sudah mencobanya. Namun, tidak ada yang bisa kukuh sampai akhir. Ada sebuah jembatan yang saat dilintasi mobil, ambruk. Ada yang bisa dilintasi truk, tapi hanya bertahan satu hari saja. Bahkan ada yang ambruk saat dilewati hanya satu manusia saja.
Saat semua penduduk desa sudah pesimis, duh, percuma ah, nggak bisa bikin jembatan yang kuat nih, nyerah aja deh, seorang pemuda terlihat sangat bersemangat dan berkata, "Saya bisa membuatnya!"
Jadilah pemuda tersebut mulai membuat sebuah jembatan yang sesuai dengan rancangannya. Seluruh penduduk desa pun membantunya. Dalam beberapa hari, pekerjaan itu pun rampung. Dan apa yang terjadi? Tidak hanya truk yang bisa melewatinya! Trailer, kontainer-kontainer, bisa melewatinya. Bahkan jembatan tersebut awet.
Suatu saat, pemuda tersebut ditanya oleh penduduk yang penasaran. Bagaimana membuat jembatan yang begitu kuat? Apa rahasianya? Dan pemuda itu menjawab, "Saya memakai kayu dari pepohonan yang berada di atas gunung. Mengapa? Karena merekalah yang pertama kali merasakan dinginnya air saat hujan. Merekalah yang pertama kali merasakan kuatnya angin saat badai. Merekalah yang pertama merasakan takutnya mendengar gelegar petir. Karena itu, akar-akar mereka akan terbiasa mencengkeram tanah dengan erat. Anda tahu kan, kalau merekalah yang menahan tanah agar tidak erosi? Mengapa saya tidak menggunakan pepohonan di lereng? Karena mereka tidak merasakan apa yang pohon-pohon di atas rasakan. Itulah perbedaan kekuatan mereka. Amat beda kan?"

3. Pertarungan 3 Angin
Alkisah ada 3 jenis angin. Yaitu angin bohorok, angin tornado, dan angin topan. Di sisi sebuah hutan yang lain, ada sebuah pohon kelapa dengan seekor monyet yang bertengger di atasnya. Ketiga angin ini iseng-iseng melakukan pertandingan. Siapa yang bisa menjatuhkan monyet itu dari pohon kelapa, dialah yang menang.
"Aku duluan yaa," kata angin topan. Dan angin topan langsung menghempas seisi hutan, mendekati si monyet. Namun monyet itu ternyata mempererat pegangannya pada pohon kelapa. Angin bohorok mencoba lebih keras, namun tidak mempan.
"Udah deh, kamu tuh nggak kuat. Lihat aku nih!" kata angin bohorok dan langsung melesat. Angin bohorok menghancurkan segalanya. Rumah, perkebunan kopi, perkebunan teh, dan lain-lain. Tapi sang monyet malah bergeming. Ia malah lebih mempererat pegangannya pada pohon kelapa.
"Ah, cupu! Makanya, lihat nih, angin tornado! Angin paling kuat sedunia!". Angin tornado langsung bergerak menuju si monyet. Kali ini dampaknya lebih dahsyat. Bukan hanya rumah dan perkebunan yang terlempar, gedung-gedung pencakar langit rusak, hancur. Rumah-rumah beterbangan, mobil-mobil melayang di udara. Angin berbentuk corong dari langit itu menghancurkan segala yang dilewatinya. Tapi apa? Sang monyet malah lebih, lebih mempererat pelukannya pada pohon kelapa, seakan tidak mau melepaskan begitu saja, seakan pohon kelapa itu adalah hidupnya. Dia sudah mengalami dua angin kuat terdahulu, dia sedikit banyak sudah tahu medan, maka kali ini dia lebih tahu dan siap menghadapi gempuran.
Berjam-jam angin tornado yang mengklain sebagai angin paling kuat sedunia itu mencoba, tapi gagal. Sang monyet masih ada di atas pohon.
"Gila ya! Tambah kuat aja pegangannya!" umpat salah satu angin.
Tiba-tiba datanglah angin sepoi-sepoi. Dia berkata, "Aku nyoba ya. Siapa tahu bisa".
Ketiga angin terdahulu langsung ngakak abis. "Lha kita aja nggak bisa, apalagi kamu yang kecepatannya cuma beberapa meter per detik, ha? Nggak mungkin, nggak mungkin!"
"Lhoo, aku kan mau nyoba. Ya? Ya? Nyoba doang kok!" pinta angin sepoi-sepoi. Permintaannya akhirnya diluluskan walaupun ketiga angin yang lain masih sakit perut karena kebanyakan ketawa.
Datanglah angin sepoi-sepoi pada si monyet. Whus whuss, angin itu bergerak, mendesau lembut. Dibelai angin, si monyet akhirnya tertidur. Dia meloloskan pelukannya pada pohon kelapa, dan.... bluk, dia pun terjatuh.
Angin sepoi-sepoi tersenyum-senyum, ketiga angin melongo abis.

Intinya sih: ujian itu ada untuk menguatkan kita. Kadang ujian itu emang gede (diibaratkan ketiga angin). Saat itu, apa yang kita butuhkan? Tak lain adalah pegangan alias iman yang kuat. Tapi ada juga ujian yang saking kecilnya kita anggap enteng dan akhirnya kita malah terjatuh di lubang kecil tersebut (diibaratkan angin sepoi-sepoi)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya pernah baca sebuah ungkapan puisi (lupa baca di mana). Tapi isinya bagus banget. Kalau nggak salah (ya bener, hehehe) isinya gini (dengan sedikit revisi):
 Yakinlah
Bahwa Dia memberimu ujian
Karena Dia ingin membuatmu kuat
Yakinlah
Bahwa Dia akan memberimu yang kau butuhkan
Bukan yang kau inginkan
Yakinlah
Percayalah
Bahwa Dia memberimu hujan
Karena Dia ingin dirimu mendapat pelangi

Reading Time:

Jumat, 15 April 2011

Dia yang Memberi
April 15, 20110 Comments
Pernah lihat orang kaya infak uang 10 juta? Itu biasa. Tapi pernah lihat seorang tukang becak menyumbang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah)? Pernah? Bahkan pernahkah kita melihat seorang pejabat menyumbang sebesar itu?
Kisah ini dimulai di Cina. Kisah seorang lelaki tua renta pengayuh becak, yang karena sebuah peristiwa yang hinggap di pelupuk matanya yang sudah keriput, bisa mendorongnya untuk mengayuh lebih keras dan memberikan sebagian besar hasil pekerjaannya untuk sebuah yayasan.
Bai Fang Li, seorang lelaki pengayuh becak yang sudah tua. Perawakannya kecil dan kurus, tidak perkasa. Bahkan bisa dilihat bahwa dia cukup ringkih. Namun semangatnya tetap membara demi menghidupi para yatim-piatu yang hidup di sebuah yayasan. Dia bekerja mulai jam 6 pagi hingga pukul 8 malam.
Para pelanggan sangat menyukai Bai Fang Li karena ia merupakan pribadi yang ramah dan murah senyum. Ia juga tidak pernah mematok berapa uang yang harus dibayarkan padanya atas kerjanya mengayuh becak. Tapi itulah sebabnya mengapa para penumpangnya memberinya upah lebih. Sifat rendah hati selalu memberi feedback yang sama, bukan? Allah maha adil.
Suatu hari, dia melihat seorang anak kecil yang membantu seorang ibu membawakan belanjaannya. Bai Fang Li sering melihat anak tersebut mengangkatkan belanjaan. Anak itu terlihat kesulitan mengangkat barang bawaan tersebut. Namun ia tetap bersemangat mengangkat bawang. Saat ibu itu memberikan beberapa koin recehan, anak itu tampak senang sekali. Setelah mengangkatkan barang bawaan ibu tersebut, anak itu lalu pergi ke tempat sampah dan mengorek-ngorek isinya. Menemukan sebuah roti lalu memakannya.
Bai Fang Li merasa kasihan dengan anak tersebut dan membagi manakannya dengan anak itu. Saat Bai Fang Li bertanya pada anak itu, mengapa ia tidak membeli makanan dengan uang yang didapatnya, padahal uang pendapatannya cukup untuk memberi makanan yang cukup, anak itu menjawab, "Uang itu untuk makan kedua adik saya". Dan saat ditanya di mana orang tuanya, anak itu menjawab, "Orang tua saya pemulung. Sejak mereka pergi memulung beberapa saat yang lalu, mereka tidak pernah kembali".
Bai Fang Li lalu pergi ke rumah anak yang bernama Wang Fing tersebut. Bai Fang Li makin nelangsa saat melihat kedua ading Wang Fing yang berusia 5 dan 4 tahun yang memakai pakaian kurus kering dan compang-camping. Tidak mengherankan, mengingat mereka sudah ditinggal kedua orang tuanya yang pemulung. Apalagi para tetangga mereka juga tidak bisa membantu karena mereka juga hidup dalam kekurangan.
Bani Fang Li lalu memasukkan ketiga anak kasihan tersebut ke sebuah yayasan. Saat itu Bai Fang Li berkata bahwa setiap hari dia akan mengantarkan penghasilannya ke yayasan tersebut untuk menghidupi anak-anak yatim piatu di situ.
Sebagai akibat, Bai Fang Li hidup dengan sederhana. Dia tinggal di sebuah gubuk tua yang disewanya per hari di sebuah lingkungan para pengemis dan pemulung. Gubuk itu hanya terdiri atas satu ruangan sempit. Hanya ada sebuah tikar tua yang robek-robek sebagai kasurnya, sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Sebagai alat makannya ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dan sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, (lampu templok, bukan LAMPU LISTRIK).
Dari penghasilannya mengayuh becak, sebenarnya Bai Fang Li bisa hidup dengan layak. Namun dia lebih memilih untuk memberikan penghasilannya kepada sebuah yayasan sosial di Tianjin untuk menghidupi anak-anak yatim-piatu.

Di ambang usianya yang ke-90 tahun, Bai Fang Li datang ke yayasan tersebut sambil menangis. Dia berkata, "Saya sudah tua, saya sudah tak bisa mengayuh becak lagi," katanya sambil berurai air mata lalu memberikan seluruh tabungannya senilai sekitar 650 ribu rupiah kepada yayasan tersebut.
Bai Fang Li meninggal pada usia 93 tahun. Akhir hidup seorang pria yang mengayuh becak dan memberikan penghasilannya selama dua puluh tahun kepada sebuah yayasan, sedang dia sendiri hanya mengambil secukupnya untuk sewa gubuk, membeli makanan berupa dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya.

Semoga bisa menjadi hikmah bagi kita. Kalau seorang tukang becak yang hidup kekurangan saja bisa berbuat semulia itu, bagaimana dengan kita yang mampu?
Reading Time:

Kamis, 07 April 2011

Angin, Cemara, Bambu
April 07, 20110 Comments
Pernah cuma kepikiran nih. Waktu itu ada setan yang tiba-tiba lewat terus ngebisikin, "Udah, lo nggak bisa apa-apa! Lo gak bakalan sukses, dah! Noh, liat sono. Temen-temen lo udah sukses. Lo? Apaan? Kagak ada apa-apanya!". Nah, langsung deh ini otak langsung memerintahkan kadar semangat dalam tubuh jadi nol (nggak sih, nggak sampe nol. Supaya dramatis aja kesannya. Hehehe).
Seperti orang down pada normalnya, aku langsung analisa. Ini anak-anak makan apa sih kok bisa sukses kaya' gitu? Dan hasil analisa menunjukkan kalau jalanku dan jalan mereka beda. Dan otakku langsung memerintahkan diriku untuk mengikuti cara mereka. Tapi setelah beberapa hari, baru aku ngerti kalau ternyata jalan orang beda-beda. Dan muncullah satu quote:
Tiap orang memiliki jalannya sendiri
Kamu indah dengan jalanmu
Terus sambil bikin puisi, mikir-mikir lagi. Dan muncullah analogi berikut. Analogi angin, cemara, dan bambu.
Angin adalah jalan orang sedangkan bambu dan cemara adalah diriku sendiri.  Kalau aku jadi cemara, yang mau mengikuti jalan orang lain padahal jalan itu nggak cocok buatku, akhirnya aku akan semakin doyong dan miring. Emang kelihatannya sih kuat. Lihat aja cemara, kelihatan kuat kan? Tapi pada akhirnya aku bakalan doyong, miring, dan akhirnya ambruk.
Sedangkan kalau aku jadi bambu, meskipun kelihatan rapuh, tapi dia mau konsisten pegang jalan dia sendiri dan bersungguh-sungguh. Dan akhirnya, dia tetap berdiri tegak. Nggak doyong, nggak miring, dan nggak ambruk kecuali emang dia waktunya ambruk. Bahkan, dia sempat-sempatnya nyimpan air.
Jadi, buat apa jadi cemara kalau berakhir nelangsa sedangkan kita bisa memilih jadi bambu yang konsisten dalam waktu?














Reading Time:

Jumat, 11 Maret 2011

Lindri Land Rock XXI
Maret 11, 20111 Comments
Kegiatan outdoor lagi! Yay!
Pikiran saya langsung melesat kemana-mana saat mendengar bahwa akan diadakan lomba lintas alam pada Februari ini. Lindri Land Rock, lomba yang diadakan setiap tahun pada 14 Februari untuk memeringati ulang tahun mbak Vinas Valentine Lindri Sahputri yang jatuh pada hari kasih sayang itu diadakan di Tulungagung, kota mbak Lindri berasal. Pada tahun ini, Lindri Land Rock yang ke-21 diadakan pada 13 Februari 2011 diadakan di desa Sendang, Argowilis, Tulungagung, kawasan gunung Wilis.
Mendengar kata gunung, apalagi lomba lintas alam, membuat mata saya udah ijo duluan.

Sabtu, 12 Februari 2011
Pagi itu, sudah diinstruksikan bahwa para peserta harus kumpul jam 8 pagi di sekolah. Tapi dasar saya lelet, saya baru datang pukul setengah sembilan. Setelah segala persiapan beres, kami berlimabelas (saya, Ica, Fandi, Nauval, Cholis, Vinca, mbak Gita, mbak Nuri, mbak Ima, mbak Lisa, mas Wisnu, mas Vicky, mas Emer, mas Gez, mas Anwur) pun berangkat ke stasiun terdekat, stasiun Gubeng, dengan . . . berjalan kaki.
Setelah membeli tiket, kami menunggu di peron. Wik, saya baru pertama kali ini masuk stasiun kereta api. Ternyata stasiun Gubeng gede juga ya.

Di tengah-tengah penantian itu, datanglah senior, yaitu mas Tahu yang ternyata ikut ke Tulungagung. Setelah itu, datang pula mbak Prompti dan seorang laki-laki yang belakangan diketahui bernama mas Alge, yang ternyata juga ikut ke Tulungagung.
Menurut tiket, kereta akan datang pukul 11.15 WIB. Untung alhamdulillah, jam karet kereta yang sejak awal sudah saya pikirkan ternyata tidak ada. Kereta datang pas pukul 11.15 WIB. Kami langsung naik dan mencari-cari gerbong yang sekiranya cukup untuk kami. Kami bertujuhbelas mendapat satu gerbong untuk kami. Di dalam perjalanan, kami mengisi waktu dengan ngobrol-ngobrol.
Karena ini perjalanan pertama saya dengan kereta, maka saya selalu menelengkan kepala ke arah jendela untuk mendapatkan pemandangan di luar. Tapi meskipun rada asyik (dan rada melodramatis), pemandangan di luar cenderung monoton. Kalau nggak sawah, kebun, ya pemukiman. Akhirnya saya pun bosan dan mengalihkan pandangan ke mbak Lisa yang sedang asyik bermain Plants vs Zombie di laptopnya.
......................
Di stasiun Kertosono, kami makan siang dengan pecel dan salat jama'-qasar dhuhur-ashar. Setelah shalat, kami melanjutkan obrolan. Saya yang sedianya tidur, akhirnya karena kereta sudah ramai, tidak bisa tidur. Gimana nggak ramai, di tiap stasiun pasti ada yang naik. Dan kalau diperhatikan, rata-rata yang naik itu:
-bawa carrier atau,
-pake celana kargo atau,
-pake celana doreng atau,
-bawa lambang organisasi pecinta alamnya atau,
-tampang-tampan para pecinta alam yang sangar atau,
-paket combo kelimanya.
Jadi kami bisa langsung simpulkan, bahwa tujuan mereka juga Tulungagung, untuk mengikuti LLR (Lindri Land Rock) XXI ini.
Jadi, para pecinta alam berkumpul di satu gerbong. Jadi, gerbong tempat kami berada rame banget karena para anak PA itu saling bicara dengan kerasnya. Apalagi kalau sudah ngobrol bareng satu gerbong, wuah, rame banget. Apalagi, karena waktu itu ada yang 'ngomporin' buat selalu ngobrol: seorang mbak-mbak berjilbab yang sangat supel, saking supelnya sampe semua orang di dalam gerbong diajak kenalan.
Aaanyway..........
Sampailah kami di stasiun tujuan dan langsung disambut hujan deras begitu keluar dari kereta. Kami memang sebelumnya sudah tahu bahwa di Tulungagung sedang hujan dari SMS mas Eko. Hal inilah yang sempat membuat saya downdy karena berpikir, "Wah, lomba lintas alam pas hujan-hujan, pasti berisiko nih". Negative thinking duluan.
Setelah turun, kami menuju bagian depan stasiun. Menunggu oom Putut (koordinator Surabaya). Lalu kami berjalan ke terminal untuk mencari kol yang akan mengantarkan kami sampai ke lokasi lomba. Lumayanlah, ngelurusin kaki setelah berjam-jam duduk kelipet di kereta. Walau jaraknya lumayan jauh, sehingga saya dan Ica menganggap ini adalah 'try out' untuk Lindri.
Sampai di terminal, sudah banyak para peserta Lindri yang sudah antre. Rombongan saya pun akhirnya mendapat kol dan berangkat urutan dua dari terakhir. Udah lama nunggu, di kol pun masih bersesak-sesakan ria. Tapi untungnya pemandangan yang ada di luar cukup menghibur. Pemandangan udah nggak kayak di kereta yang melulu sawah polos dan pemukiman, tapi ada sawah dengan latar belakang langit warna lembayung jingga, ada sawah dengan background gunung, ada rumah-rumah khas pedesaan, ada jalan sepi dengan pepohonan rimbun di kiri-kanan jalan. Waaah, keren sekaleee!

Maghrib kami sampai di lapangan basecamp. Kami langsung daftar ulang, mendirikan dome, lalu shalat di mushalla dekat lapangan, makan malam, dan akhirnya tidur untuk menghemat energi.
Eh, kelupaan. Karena lapangan tempat basecamp tidak cukup untuk peserta yang bejibun, maka ada peserta yang dititipkan di rumah penduduk. Jadi rumah penduduk itu jadi semacam 'hotel'-nya gitu. Melongo saya melihat bendera-bendera PA yang jauh lebih gede daripada bendera kami. Apalagi nama-namanya pun.... suangar-suangar, hehehe.
Pukul 23.00 WIB kami dibangunkan untuk mempersiapkan peralatan. Dengan mata merem-melek, saya menyiapkan alat-alat seperti senter, ponco, baterai ganti, dll.

Pukul dua belas kurang, semua peserta sudah berkumpul. Ayah mbak Lindri membuka lomba ini dengan kata pengantar. Setelah itu, pukul dua belas lebih sedikit, para peserta dipersilahkan berangkat. Urutan keberangkatan dimulai dari individu putri, nomor urut 1-100. Karena saya nomor 11...(lupa), maka saya berangkat kloter kedua.

Minggu, 13 Februari 2011
Medan awal berupa jalan berbatu dengan rumah-rumah penduduk di sekelilingnya yang pelan-pelan menjadi jalan tanah yang licin. Medannya lumayan menantang bagi saya, karena pada dasarnya udah licin ditambah medannya berbatu naik-turun.
Dan dasar sial! Baru jalan dikit aja, senter saya udah error. Cahayanya mendrip-mendrip. Karena masalah senter inilah, saya akhirnya tertinggal dari Ica. Dan di tepi sebuah sungai, senter saya mati,ti,ti,ti. Mampus. Di tepi sebuah sungai kecil saya langsung berhenti dan mengganti baterai. Sempat deg-degan juga ditegur seorang panitia, "Senternya mati, Mbak?". Haduh, kalau peralatan sudah error gini, gelar juara jelas sudah lepas. Karena syarat lomba ini adalah peralatan harus lengkap dan benar. Jika tidak, maka didiskualifikasi.
Setelah ganti baterai, saya melanjutkan berjalan berbarengan dengan kloter tiga. Saya jadi kepalanya, sempat bingung nyari jalan. Takut kalau kesasar. Benarlah, saat melewati sebuah sawah dengan terasering, saya jalan terus. Padahal harusnya belok kanan. Untung, kloter dua ternyata nyasar juga. Jadi saya bisa ambil waktu yang lebih cepat daripada mereka buat puter balik, hehehe.
Melewati kayu yang difungsikan sebagai jembatan dengan sungai yang mengalir deras di bawahnya, saya sedikit takut. Jadi ya, jalannya pelan-pelan. Alhamdulillah, kelar melewati sungai, saya bertemu dengan Ica. Akhirnya kami berjalan bersama-sama sepanjang perjalanan.
Nah, masalahnya, saya dan Ica sama-sama mbambet-nya. Jadilah sepanjang perjalanan udah nggak kehitung berapa kali kami break down sampai kesalip oleh mas Vicky dan mas Wisnu. Bahkan rombongan mbak GIta, mbak Ima, dan mbak Nuri menyalip kami. (Tapi versi resminya, kami emang sengaja nunggu yang lain :D *membela diri*).
Akhirnya, entah pukul berapa, sekitar pukul tiga gitu, kami sampai di pos 1. Setelah memasukkan 'kupon', kami break down (again). Di sana bertemu dengan rombongan mbak Gita, mbak Ima, dan mbak Nuri. Setelah itu, kami berjalan bersama-sama sepanjang perjalanan.
Medan selanjutnya alhamdulillah tidak begitu sulit. Hanya licin dan sedikit becek. Tapi gradiennya oke-oke aja kok, alhamdulillah nggak gitu ngeri.
Nah, bersama dengan rombongan mbak-mbak ini, kami menyadari bahwa kami sama-sama mbambet (hehehe, maaf ya Mbaaak). Beberapa kali kami break down. Bahkan sempat-sempatnya saya tidur telentang menghadap langit hitam penuh gemintang saat break down di dekat pepohonan, hehehe. Habis, udaranya sejuk, pemandangannya bagus (meskipun cuma siluet doang, tapi kuerennya subhanallah!), kenapa nggak dinikmati? Jarang-jarang lho, dapat pemandangan kayak gini.
Sampai di pos 2, hari sudah shubuh. Kami menunaikan shalat shubuh dan wudhu dengan bekal air di botol kami. Hadech, dingiiiin betuuuul! Udah pada dasarnya emang udah tambah dingin, bersentuhan dengan air?
Kelar shalat shubuh. Kami melanjutkan perjalanan. Tapi...oh...ada antrean panjang di depan. Setelah tanya ke peserta lain, ternyata di depan ada SATU tali tambang untuk menyeberang jurang. SATU tali tambang dan dipake sekitar LIMA RIBU orang. Pantesan lama.  Akhirnya, karena kami nggak sabar nunggu mulai jam 5 sampai jam 6 (itu masih lumayan, mas WIsnu udah nunggu dari jam 3 sampe jam 5), kami mengikuti banyak peserta yang memilih mengambil jalur sendiri menuju seberang jurang, tidak menggunakan tali. Babat jurang, hwehehe.
Nah, setelah babat jurang ini, kami menyeberangi beberapa sungai. Keren sih, sungainya. Jernih banget dengan batu-batu besar hitam tersembul dari dasarnya. Alhamdulillah juga nggak dalam. Tapi ya tetep aja, namanya sungai di hulu, alirannya deres banget. Udah ketar-ketir aja takut kintir. Makanya tiap nyeberang sungai,  para mbak selalu membantu saya (terima kasih banyaaak!!!)
Setelah melewati beberapa sungai itulah, kami menyadari bahwa rombongan mas Anwur, mas Emer, dan mas Gez sudah berada di belakang kami. Wah, kami nggak mau kalah dong! Saya dan Ica langsung salip sana salip sini demi membalap ketiga orang dengan kategori beregu putra itu. Tanpa sadar, kami meninggalkan mbak-mbak kami (maaf :( ). Tapi karena pada dasarnya saya dan Ica baik hati *pembelaan diri :P*, maka kami mempersilahkan rombongan para lelaki itu menyalip kami.
Kelar dengan medan hutan, kami memasuki persawahan dengan perkampungan. Pemandangan terasering, sawah, irigasi, sungai kecil, jembatan kayu, menjadi pemandangan wajib di setiap meter medan ini. Kembali, kami harus menyeberangi sungai-sungai. Untunglah, di beberapa sungai, sudah tersedia jembatan. Dan di beberapa sungai lainnya yang tidak ada jembatan, saya dan Ica asyik bermain air. Tapi ya gitu, di beberapa medan, licinnya nggak ketulungan dan gradiennya miring banget. Jadinya sering 'ski tanah' alias jatuh kepeleset.
Kelar dengan persawahan, kami sampai di pos 3 dan mulai menelusuri medan hutan Di hutan ini, ada beberapa jenis tanaman yang terlihat disadap. Hipotesa saya dan Ica sih, itu karet. Kami juga menemukan beberapa buah pinus yang jatuh. Wah, kok ada hutan konifer di Indonesia ya? Padahal kata guru Geografi saya, hutan konifer hanya ada di negara 4 musim.
Kelar dengan hutan, kembali memasuki area persawahan (tanpa perkampungan). Melewati beberapa sungai dan irigasi. Nah, di tepi irigasi nih, ada peristiwa lucu.
Jadi ceritanya ada beberapa pohon kelapa di tepi jalan yang kami lalui. Beberapa peserta yang sudah ndewo berhenti dan meminum airnya. Nah, tepat di samping pohon kelapa, ada sebuah tanaman setinggi 1 meter yang buahnya hijau-hijau kecil bulat seperti kacang polong. Nah, karena saya nggak tau nama tumbuhan ini, saya bertanya pada  Ica, "Eh, Ca, itu tumbuhan apa ya? Kok lucu gitu, ijo-ijo bulet". Dan seorang peserta laki-laki seumuran saya di belakang saya yang sebelumnya sudah berkenalan dengan saya menjawab, "Itu pohon kelapa, Mbak". Saya langsung diem, gondok. Aduh Mas, saya juga tahu itu kelapa. Jangan karena saya orang kota, saya dikira nggak tahu kelapa. Miskom. Misunderstanding. Blah. Isin pol.
Di depan gang keluar sudah ada mas Vicky dan mas .... (lupa). Saya berjalan duluan meninggalkan Ica menuju basecamp. Meskipun teman, ini lomba. Setelah sampai di lapangan, saya menuju dome. Di sana sudah ada beberapa senior yang sepertinya datang tadi malam atau tadi pagi.
"Lho, kon lapo mrene?" tanya seorang senior.
"Lha, lak wes mari?" tanya saya nggak ngerti.
"Yo nang panitia kono lho! Njupuk-o sertifikat dhisik, cek dicatet jenengmu! Rono!"
Saya menuju meja panitia. Menyerahkan nomor, mendapat sertifikat, dan balik ke dome. Di dome, dipersilahkan minum susu sapi perah satu botol Aqua gede (tapi nggak saya habiskan semuanya ya).
Setelah itu, saya dan Ica mandi di rumah penduduk, sarapan, dan meng-GJ ria sambil menunggu rombongan Fandi, Cholis, dan Nauval datang. Heran, kami mengestimasi mereka datang sebelum saya dan Ica, tapi mereka baru datang pukul sebelas karena...macet (wah, baru tahu saya, di hutan ada macet segala). Mereka mengatakan kalau sejak awal start memang sudah macet, dan kemacetan di tali tambang menambah kemacetan.
Setelah semua sudah mandi, sarapan, packing, kami berangkat ke stasiun dengan kol. Sampai di Surabaya maghrib, dan itung-itungan urunan di luar stasiun sambil ndelosor. Setelah itu jalan kaki ke sekolah dengan mengenakan ponco karena saat itu lagi hujan. Jadilah perjalanan pulang kali ini kami namai 'City Land Rock'. :D

Reading Time:

Rabu, 09 Maret 2011

5Cm
Maret 09, 2011 2 Comments
Akhirnyaaa, setelah berbulan-bulan berburu ke toko-toko buku, sampe ngidam dan kebawa mimpi, akhirnyaaa, saya menemukan novel yang sudah saya incar selama ini : 5Cm-nya Donny Dhirgantoro! Yay! Hore! *dance*

Buku yang bercerita tentang perjalanan enam anak manusia ke Mahameru ini bener-bener memikat hati saya sejak pertam saya baca resensinya. Berawal dari googling dengan keyword 'novel pendakian' awal-awal bergabung dengan organisasi PA dulu, terus ada novel 5Cm, baca resensi, jatuh hati, berburu sampe frustasi (karena gak nemu-nemu), dan akhirnyaa saya menemukan novel ini juga! *dance*
.......... Rodok lebay, maaf :P
Cerita ini berawal dari segerombolan 'Power Rangers' yaitu Genta (cenderung sebagai leader), Ian (gajah bledug ungu dari Dufan), Arial (orang yang lived by the rule), Zafran (sang 'penyair'), dan Riani (satu-satunya cucu Hawa di gerombolan ini). Berawal dari 5 orang yang bareng terus dari SMA, kuliah, dan mendekati kerja, lalu karena mereka bosan berada dalam lingkaran yang itu-itu aja, maka mereka memutuskan berpisah 3 bulan dari gerombolan ini. Setelah 3 bulan, mereka berjanji akan bertemu di suatu tempat yang amaaat spesial!
3 bulan berlalu. Kelima orang sudah memiliki hidupnya masing-masing. Berbagai prestasi hidup sudah ditempuh. Genta dan Riani berhasil dalam karirnya, Ian berhasil lulus, Arial berhasil dapet cewek, dan Zafran .... entahlah, nggak tahu.
Pada bulan Agustus, mereka bertemu di Stasiun Senen dan memulai perjalanan ke ..... Mahameru! (wik! Pengen, pengen, pengen!)
yang bikin imajinasi saya melayang-layang adalah saat membaca bab-bab tentang perjalanan mereka. Mulai dari senja di Cirebon, dini hari di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta, bagaimana kereta api Matarmaja melewati hutan jati, semua orang yang dibikin mangap di Ranu Pane, Ranu Kumbolo, dan bagaimana pemandangan silih berganti di sepanjang perjalanan, dan keindahan panorama Indonesia lainnya yang bikin speechless dan bikin saya pengen ke Mahameru.
Yang paling 'ngena' adalah saat mereka berbicara tentang kehidupan. Bagaimana manusia di kota hidup di gua kesenangan yang semu, bagaimana ada orang yang berani mencari tantangan dengan keluar dari gua, bagaimana ibu tua dari Jogja masih berjualan pada pagi dini hari dan dikit yang beli jualannya dan dia berjualan tanpa alas kaki, bagaimana mas Suhartono Gembul dengan logat medoknya bercerita tentang suporter bola Indonesia, dan yang paling ngena adalah saat Ian nggak sadar dan Arial nggak kuat.
Inget kejadian yang menimpa Arial, inget kejadian yang pernah saya alami waktu pendakian perdana ke Penanggungan. Kata-kata Arial dan Genta mirip banget. Berikut (eh, tapi nggak mirip-mirip banget yah, intinya aja sih yang sama. Maaf, lagi gak lihat bukunya):
Arial : "Gue... turun aja ya. Nggak kuat."
Genta : "Enggak!!! Apa-apaan lo!!!!"
Mereka udah naik jauh banget itu. Dan Arial mau turun ke camp di Arcopodo gara-gara nggak kuat. Mirip banget sama kejadian nyata, di mana kalo ada salah satu pendaki dari suatu rombongan yang nggak kuat, maka yang lain akan menyemangati. Di alam, siapa pun bisa jadi saudara. Yang nggak kenal aja kalo ketemu di hutan udah serasa rekan sendiri (soalnya di hutan nggak bisa ketemu homo sapiens lain), apalagi yang udah kenal kayak keluarga sendiri.
Saling menyemangati, saling membantu dan menolong walau nggak kenal, dan saling pengertian dan bisa merasakan yang orang lain rasakan. Semoga semua itu tetap ada di diri para pecinta alam. Karena, kalau individual, yah, orang kan nggak bisa menhadapi alam sendirian.

Banyak yang bilang buku ini bagus (yah, emang bagus). Mayoritas orang akan bilang mereka kagum dengan cara penulis a.k.a mas Dhonny Dirgantoro membangkitkan semangat untuk percaya bahwa setiap orang bisa melakukan apa yang ia mau asal ia punya niat kuat.
"Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu... jangan menempel. Biarkan...."
"Dia..."
"Menggantung..."
"Mengambang..."
"5 centimeter... di depan kening kamu." 
Tapi selain itu, yang bikin saya lebih kagum adalah bagaimana penulis novel ini bisa begitu berani. Berani?
Yap, kalau diperhatikan, banyak banget kan obrolan ngalor-ngidul ala anak muda yang temanya loncat-loncat di novel ini. Katakanlah saat ngomongin filsafat, trus tebak-tebakan garing. Beda sama novel kebanyakan, yang, katakanlah temanya cinta-cintaan. Segala percakapan, gerak-gerik pelaku, pasti semuanya masih mengarah ke tema yang diangkat. Nah, inilah yang saya suka! Penulis bisa menyisipkan pesan-pesan dalam percakapan ngalor ngidul tadi. Sekaligus, menyisipkan adegan kosong seperti tebak-tebakan garing, yang pada kenyataannya memang sering terjadi di percakapan anak muda.

Aaanyway, selain novel, 5Cm juga udah dibuat versi komiknya sekitar 2011 yang lalu. Selain itu, pada 12.12.12 nanti, film 5Cm juga bakalan tayang di bioskop-bioskop seantero Indonesia. Cihuuyyy!!
Reading Time:

Rabu, 16 Februari 2011

Pendakian Pertama : Penanggungan!
Februari 16, 2011 4 Comments
Tanggal 21 Januari 2011 lalu, saya bersama rekan-rekan dari SMALAPALA mengadakan pendakian ke Penanggungan. Yah, kegiatan pendakian perdana awal tahun bagi SMALAPALA. Rencananya, pendakian ke gunung berketinggian 1659 dpl ini hanya selama dua hari, yaitu sampai Sabtu, 22 Januari 2011. Namun apa daya, ternyata rencana itu mbleset dan perjalanan kami pun diperpanjang sampai hari Minggu, 23 Januari 2011.

Jumat, 21 Januari 2011

Rencananya kami berangkat setelah maghrib. Tapi entah kenapa jamnya berubah menjadi setelah ashar. Pukul 14.00 WIB saya baru sadar saya mendapat SMS dari salah seorang rekan yang intinya saya harus segera ke sekretariat PA karena kami akan segera berangkat selepas ashar. Wuah, kaget dong! Karena saat itu saya masih ada di masjid sekolah buat pengajian rutin. Segera setelah pengajian selesai, saya langsung shalat ashar lalu ngabur ke sekretariat.
 Setelah ngabur ke sekretariat, bersama teman-teman yang satu angkatan, saya ngabur ke kantin dulu. Ngisi perut. Di sana bertemu Cugos dan temannya. Dan Cugos bilang dia mau ikut! Yay, bertambah satu deh peserta pendakian kali ini. Setelah makan dan memastikan barang-barang bawaan kami beres, kami membantu Cugos mengumpulkan barang bawaannya sedangkan dia sendiri pulang mengambil baju.
 Setelah menggelar upacara pembukaan pendakian, dan ditutup dengan tangis-tangisan dengan teman yang tidak boleh ikut, akhirnya kami pun berangkat pukul 16.30 WIB dengan mobil mas Momon. Berdesak-desakan berdelapan orang di dalam mobil ialah : mbak Nurma, saya, Cugos, Echa, Nishock, Cholis, Afi, dan mas Momon. Sedangkan yang lain (mas Wisnu, mas Vicky, mbak Lisa, mbak Novita, mas Eko, mas Cempi, mas Gales) mengendarai motor. Di dalam perjalanan, kami tiduuurrrr (kami yang ada di mobil maksudnya), membiarkan mas Momon dalam kesendiriannya menyetir mobil.
 Selepas isya kami akhirnya sampai di perkampungan kaki gunung Penanggungan. Di sana kami mengisi perut di warung yang sudah menjadi langganan SMALAPALA-PALAWIJA kalau bertandang ke Penanggungan, yaitu warung Mak Ti. Salat, makan, lalu kami tancap gas menuju ke pos Jolotundo.
 Sampai di pos Jolotundo, kami menyiapkan barang bawaan, mengecek senter dan lain lain, dibariskan, lalu kami saling menumpukan lengan, membentuk bundar lingkaran, dan berdoa berbarengan demi keselamatan perjalanan (saya baru nyadar bahwa kalimat di paragraf ini membentuk rima a-a-a-a). Pukul 22.10 WIB, bertigabelas (tanpa mas Gales), perjalanan pun dimulai!
Alhamdulillah, jalannya nggak sulit. Yah emang ada beberapa bagian yang licin, tapi alhamdulillah semua itu bisa diatasi. Jalannya juga nggak curam, jadi bisa nyantai jalannya. Karena jalannya nyantai, saya manfaatkan keadaan ini buat ngelihat-lihat pemandangan sekitar. Sekitaran emang gelap. Tapi kalau saya lihat ke atas, subhanallah, yang ada langit biru gelap dihiasi lingkaran besar bulan yang sedang purnama, dengan siluet hitam pepohonan yang menjulang tinggi ke langit. Woaah, keren banget dah! Sampe speechless saya, ternyata pemandangan yang selama ini cuma bisa saya lihat lewat hasil googling-an, sekarang bisa saya lihat dengan mata kepala sendiri!
 Tapi tiba-tiba terjadi musibah. Kaki mbak Novi sakit dan nggak bisa dipakai jalan. Jadilah kami break down sejenak. Memijit-mijit kaki mbak Novi, menenangkannya, dan memberi kata-kata penyemangat. Akhirnya mbak Novi pun berjalan kembali. Namun selang beberapa meter, kaki mbak Novi kembali error. Begitu seterusnya sampai satu yang paling parah, mbak Novi udah ngerasa nggak bisa, sampai ditawari mas Cempi buat bikin dome di situ, sampai hampir disuruh balik oleh mas Eko, sampai Cugos merelakan diri buat jadi sandaran mbak Novi selama perjalanan, dan sampai-sampai yang lainnya, alhamdulillah akhirnya mbak Novi mau melanjutkan perjalanan. Biarlah kaki error, semangat yang menggerakkan bagian tubuh yang lain untuk maju.
 Cobaan kedua. Jalur Jolotundo ini katanya emang jalur ‘mistis’. Saya nggak tahu maksudnya mistis apaan, cuma emang rada ngeri karena jarang dilalui orang sehingga jalur-jalur yang terbentuk mulai hilang. Contohnya nih, waktu kami ngikuti sebuah jalur, eh, tiba-tiba di tengah jalan jalur itu putus, tiada jejak. Setelah beberapa orang mengecek ke depan, barulah ditemukan sambungannya. Jalur putus ini bukan hanya disebabkan oleh jarangnya orang yang melewatinya aja, namun juga karena hutan ini vegetasinya cepat. Kata mas Cempi, kalau tahun ini kita bikin jalur trus tahun depan kita ke sini, insyaallah yang namanya jalur yang kita buat udah nggak ada lagi karena udah ditutupi pepohonan dan semak-semak.
 Beberapa kali kami sempat kehilangan jalur sama sekali. Dicari ke depan, nggak ada terusannya. Akhirnya mbak-mas kelas 11 melakukan ormed (orientasi medan, mencari arah yang benar lewat peta dengan menghitung sudut dan lain-lain). Setelah ketemu arahnya, mas Vicky bergantian dengan Afi membuka jalur.
Perjalanan begitu terus. Mastiin arah, buka jalur, jalan, mastiin arah lagi, buka jalur lagi, jalan lagi. Tapi percaya deh, asyiiik banget! Soalnya pengalaman kita bertambah. Ilmu kita juga bertambah, yaitu penerapan ormed dalam perjalanan yang sesungguhnya. Dan tentunya koleksi pemandangan kita bertambah. Begitu posisi kami udah agak tinggi, lampu-lampu kota di kejauhan pun terlihat. Warna-warni. Kelap-kelip. Kuereeeen!!!!

Sabtu, 22 Januari 2011

 Pukul 02.30 WIB, dini hari, kami sampai di sebuah kompleks candi (gunung Penanggungan ini penuh dengan puluhan candi yang dibangun zaman Majapahit). Di situlah kami mendirikan dome karena ternyata perjalanan ke puncak masih jauh dan kami, kelas 10 yang masih pemula, sudah tepar setepar-teparnya. Ngantuk. Pengennya cepat pake jaket tebal terus merangsek masuk ke dalam dome dan tidur pulasss.
 Nah, bertambah satu ilmu lagi nih. Yaitu mendirikan dome. Karena saya dan teman-teman yang pernah tergabung dalam Pramuka sudah lama tidak mendirikan dome (saya terakhir mendirikan dome waktu kelas 5 SD), akhirnya kami harus mereka-reka dibantu mbak-mas kelas 11.
 Dome pun jadi. Barang bawaan ditata. Kami pun bersiap-siap untuk tidur. Dome yang baru saja kami bangun khusus diperuntukkan para perempuan. Sedang yang cowok tidur di luar, baik dengan matras ataupun sleeping bag. Para senior (mas Cempi dan mas Eko) tidur di dome mereka. Yang ndewi adalah mbak Lisa. Mbak Lisa nggak tidur di dalam dome cewek, tapi malah nggak tidur dan duduk di luar.
 Sudah, sudah, ayo tidur...... Zzzzz......
 Subuh kami bangun. Setelah salat shubuh ditemani udara yang dingin kayak masuk di dalam kulkas, kami membuat sarapan. Mie rebus dan kopi cukup membuat ngiler (inget, ini di gunung. Makanan sederhana itu sudah enak banget. Ke jurang aja dah, kalo pengen sarapan pizza. Kecuali emang bawa). Setelah sarapan, melipat dome, packing, ormed sebentar, dan pukul 07.30 WIB akhirnya kami tancap gas menuju puncak.
Selama perjalanan merupakan saat-saat kami melihat layar lebar dibentangkan di depan kami, lalu ditampilkan pemandangan yang berbeda setiap slide-nya. Yah, perjalanan pagi itu memang kayak begitu. Setiap beberapa ratus meter, pemandangan di kanan-kiri kami selalu berganti. Ada monyet liar sedang bergelantungan, suara anjing hutan, menemukan sarang lebah segede carrier di atas pohon, menemukan candi dan cand i lagi, menemukan sebuah pohon yang buahnya seperti ceri tapi warnanya seperti jambu air, melewati Kali Mati (sungai yang sudah tidak dialiri air), memandang gunung sebelah yang tebingnya terlihat dan membuat kami berpikiran untuk rock climbing di situ, naik-turunnya medan berbatu dan berkarang. Hingga akhirnyaa.... sampailah kami di puncak. Allahuakbar!

 Di bawah kami, terdapat sebuah tanah datar yang menyerupai lapangan. Ternyata, lapangan itu dulunya adalah kawah gunung Penanggungan. Setelah berfoto sejenak, kami menuju ke sebuah gua kecil di sisi kawah. Rencananya, di situlah kami bakalan nge-camp.


 Setelah menaruh barang-barang, kami menuju sisi puncak Penanggungan yang tertinggi, yaitu puncak jalur Tamiajeng. Di sana, kami melakukan salat jama’-qashar dhuhur-ashar. Anginnya, duh, bikin beku badan. Ponco yang kami gunakan sebagai sajadah harus ditindih batu besar supaya nggak kebat-kebit. Buat yang cewek, harus memegang mukenanya kuat-kuat supaya mukenanya nggak terbang. Nah, saat kami sedang khusyuk-khusyuknya shalat, hujan rintik-rintik pun turun. Waktu kami sudah selesai shalat dan akan kembali ke gua, hujan pun sudah turun dengan lebatnya.
 Sampai di depan gua, 2 dome sudah berdiri. Tas-tas segera kami taruh di sisi-sisi dome agar dome tidak diterbangkan angin. Habis, anginnya ngeri. Kenceng banget, kayak angin ribut. Setelah mengamankan barang bawaan, kami pun bisa duduk dengan tenang di dome dan makan pilus.
 Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Saat saya menyadari bahwa air hujan masuk ke dalam dome lewat bawah tenda, juga lewat bagian dome yang tidak tertutup cover, kami semua baru nyadar bahwa kami belum membuat parit di sekeliling dome. Susah payah mengamankan bagian tengah dome, pada akhirnya kami ngungsi juga ke gua. Barang bawaan yang tidak boleh basah dan sekiranya kami butuhkan nantinya, kami keluarkan dari dalam carrier dan kami letakkan di ujung gua berukuran 3x3 meter itu.



 Sempat down juga kena badai. Ini pendakian pertama, dan langsung kena badai. Dengan santainya senior bilang, “Kalian waktu diklat nggak hujan toh? Nah, sekarang ini hujan. Supaya kalian juga ngerasain, hujan di alam itu gimana”. Iya, deh, Mas.
 Kami makan siang di gua . Makan siang yang udah dingin karena udah matang daritadi itu mengisi perut kami yang keroncongan dan kedinginan. Setelah makan siang, kami mengisi waktu dengan saling bercerita. Kakak kelas bercerita tentang diklat mereka, senior bercerita tentang pendakian-pendakian mereka, dan kami mendengarkan dengan antusias. Kami juga saling menjaga agar di antara kami tidak ada yang tidur. Soalnya, baju kami basah. Mana udara dingin. Kalau tidur, bisa-bisa kena hypothermia (penyakit badan beku karena kedinginan. Kalau kebablasan, bisa menyebabkan kematian). Karena kalau manusia tidur, panas tubuhnya akan lepas. Akhirnya badannya dingin, tambah dingin, beku, dan pada akhirnya meninggal. Dalam beberapa kejadian, bisa menyebabkan cuma beberapa bagian tubuh aja yang beku. Itu aja bagian tubuhnya harus diamputasi supaya nggak merembet ke bagian tubuh yang lain.
 Back to the topic.
 Menjelang maghrib badai selesai. Beberapa kakak kelas dan senior keluar gua untuk mengamankan barang-barang. Meskipun badainya udah selesai, tapi dinginnya, wah, freezing! Saya cuma mengeluarkan sebagian lengan keluar gua, dan bulu-bulu halus saya langsung berdiri. Akhirnya setelah beberapa saat, saya memberanikan diri keluar gua. Yang lain akhirnya juga keluar, pergi ke bagian yang lebih tinggi untuk mencari sinyal. Wuih, dari ketinggian, lampu kota yang kelap-kelip kelihatan lebih indah dari permata (ceile...).


 Pukul 20.00 WIB, karena beberapa teman harus pulang secepatnya, kami pun akhirnya bersiap-siap. Packing, melipat dome, dan lain-lain. Pukul 21.20 WIB kami sudah siap untuk turun gunung.


Minggu, 23 Januari 2011
 Kami turun melalui jalur Tamiajeng. Jalurnya lebih cepat, katanya, tapi lebih curam. Jalannya berbatu-batu dan berkarang-karang. Kami sudah ngantuk. Bahkan ada beberapa orang yang jalan sambil tidur (dan hebatnya, mereka tidak jatuh ataupun cedera. Yah, kalau jatuh ada sih. Maksudnya, tidak cedera saat jatuh). Jarak antar orang rasanya semakin jauh, kecuali orang-orang yang jalannya cepat. Berkali-kali break down dan break up untuk menunggu orang yang berjalan di belakang. Beberapa orang sudah kelihatan downdy. Tidak terkecuali saya, yang baru beberapa ratus meter turun dari puncak aja sudah ‘digampar’ batu di lutut dan kepala saya. Belum jatuh-jatuh kalau jalannya licin atau curam. Mata pun rasanya udah dikantongi terigu satu ton dan pengennya buka dome aja.
 Pfiuh, rasanya lega banget waktu mas Vicky bilang, “Ayo, makadamnya seratus meter lagi!”. Wah, mata saya langsung berbinar dan bersinar, otak saya rasanya fresh, rasanya jalan udah semangat lagi. Akhirnya, saat kami sudah mendekati perkampungan, jalannya mulai landai dan berubah makadam (jalan berbatu). Melewati beberapa ladang tebu, jagung, dan rumah tak dihuni, akhirnya sampailah kami di jalan beraspal. Shalat shubuh yang udah lama lewat, lalu melanjutkan perjalanan ke warung Mak Ti.
Kami mandi dan sarapan. Sarapan viking, kalau saya bilang. Sarapan banyak-banyak, karena udah dua hari nggak ketemu nasi dengan lauk yang wah. Meneladani kakak-kakak kelas yang begitu turun gunung langsung minum soda, saya dan satu angkatan pun langsung memesan es mega mendung (sueger!). Tapi kalau kami hanya memesan satu gelas, kakak kelas memesan dua gelas! Kalau kata mas Momon, kami pasti lega karena sudah kembali ke peradaban.
Setelah badan sudah bersih dan perut sudah diisi, kami pulang ke Surabaya. Di sekolah, langsung menggelar upacara penutupan. Pendakian pun berakhir.
Reading Time: