Hijaubiru: Tentang Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Maret 2023

Different 'Explore'
Maret 19, 20230 Comments


Beberapa minggu belakangan, Instagram explore rasanya jadi tak semenarik dulu. 'Kebetulan' explore saya isinya mayoritas foto-foto lanskap/objek dan konten sejenis. Sekilas isinya masih sama dengan, katakanlah, satu-dua tahunan yang lalu. Tapi, rasanya beda aja.


Apakah foto-fotonya nggak keren? Menarik, kok. Foto yang muncul toh bervariasi. Lokasinya bervariasi, mulai dari di dalam negeri sampai luar negeri, dari tempat yang ikonik hingga yang pelosok. Objeknya jangan ditanya: gedung, pemandangan, reruntuhan, rumah orang, you name itTone warna dari yang gelap sampai terang banget, ada. Memang, nggak semua foto yang muncul adalah yang 'jarang'. Tempat atau potret yang ikonik tentu muncul lebih sering. Namun toh 'eksekusinya' nggak sama. 


Terus, kenapa jadi bosan kalau foto-fotonya bagus dan variatif?

Mungkin, justru karena terlalu sering lihat. Jadinya serasa, "Lu lagi, lu lagi."


Lihat foto sakura, "Ah sakura lagi." Padahal yang tadi sakura merah jambu, sekarang sakura putih. Lihat potret gunung, "Ah lokasi pengambilannya dari sini lagi." Padahal yang tadi diambil pas sunrise, yang ini dipotret saat malam. Dan, sebagainya.


Ini bikin keingat salah satu bagian di buku Geography of Bliss. Di sana dibilang kalau tingkat kebahagiaan pada manusia akan kembali di level sebelumnya bila ia terekspos kebahagiaan dalam waktu yang lama. Katakanlah, tingkat kebahagiaan seseorang konstan di angka 3. Lalu tiba-tiba ia diberi sesuatu yang membahagiakan (contohnya rezeki nomplok/cinta/lifestyle idaman/simply foto kesukaan seperti kasus saya), kebahagiaannya akan naik ke angka 8 atau mungkin 10. Namun, kalau ia dipapar sumber kebahagiaan ini dalam waktu cukup lama, ia akan merasa terbiasa. Kesenangan tadi nggak jadi suatu pemantik kembang api dalam hati, sehingga kebahagiaannya akan turun ke angka yang mirip seperti semula. 


Kenapa?

Ya karena udah terbiasa. Ketika ada suatu perubahan, manusia akan selalu merespons hal itu, baik dengan respons positif ataupun negatif. Tapi kalau perubahan itu dialami tiap hari, ya bukan perubahan lagi namanya, tapi rutinitas. And there's nothing new in a routine


Mungkin itu sebabnya beberapa hal yang dulunya terlihat sangat keren atau kelihatan sangat menantang, kini tak lagi semendebarkan seperti ketika dialami pertama kali. Berita buruknya adalah ini nggak cuma terjadi pada hal semacam barang, tapi juga pada hal yang lebih abstrak macam lifestyle atau perasaan. 


Dan, ini memang subjektif sekali. Hal yang kita anggap ngebosenin, bisa jadi oleh orang lain adalah hal yang exhilarating. Ketika pelesiran ke sebuah desa di kaki Gunung Arjuno, Jawa Timur, saya pernah ngobrol dengan seorang pemuda seusia. Ia warga lokal. Kami bertemu di sebuah warung dan ngobrol karena basa-basi aja.


"Enak, ya, di sini. Hawanya adem, udaranya seger. Pemandangannya bagus, lagi," ujar saya.

"Iya. Healing-nya tinggal ke belakang rumah udah ketemu gunung-hutan," selorohnya.

"Nggak perlu jauh-jauh motoran. Enak jadi nggak gampang bosan."

"Nggak juga, sering bosan juga karena tiap hari ketemunya ini. Saya malah pengin main ke kota sampeyan. Kayaknya lebih rame, lebih seru!"

Rupanya kami berkebalikan. Saya motoran berjam-jam demi lihat desa, dia berjam-jam motoran juga demi melihat kota. Sebab rutinitas kami berbeda; bosannya beda, kebahagiannya berbeda juga. Saya yang tiap hari ketemu keramaian, cari kebahagiaan dengan main ke kaki gunung yang lebih senyap. Dia yang tiap hari ketemu gunung, cari kebahagiaan dengan main ke kota yang penuh suara. 


Ya ini mirip sih sama yang pernah diceritain di sini (Euforia Kebaruan). 


Mungkin, kalau saya tinggal lama di desa, saya juga nggak akan menganggap kaki gunung itu semenarik dan setentram ini. Mungkin saya akan sama seperti mas tadi, yaitu weekend main ke kota yang lebih 'hidup'. Mungkin, kalau saya tinggal di tempat yang jadi tujuan wisata, saya juga bakal berasa biasa aja. Seuatu yang keren buat wisatawan, mungkin akan jadi hal yang biasa aja dan nggak bikin saya tertarik. 


Ini pernah kejadian beberapa kali pada saya dan teman. Teman saya adalah warga Yogya tulen. Saat di Yogya, kami main ke Sekaten, sebuah festival peringatan maulid Nabi Muhammad. Tanya-tanyalah saya soal beberapa hal. Teman saya menjawab nggak tahu.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya gimana, gini juga atau beda?"

"Hm... nggak tahu. Aku juga baru pertama kali ke Sekaten."

Kadang peristiwa yang berkebalikan juga terjadi, yaitu saat saya ditanyai teman gimana suasana di festival X atau lokasi Y yang ada di kota saya dan saya jawab nggak tahu karena belum pernah ke situ.


Ya, karena buat kami itu adalah 'sesuatu yang sehari-hari' sehingga nggak menarik lagi. Tapi toh tetap menarik buat orang lain. Dulu, saya sempat mengernyit kalau ada turis lokal ataupun bule yang berwisata ke kota saya. Ngapain? Apa yang dilihat? Gedung doang gini. Little did I know there's something interesting. Sisi sejarah, arsitektur, bahkan kebiasaan yang buat saya 'biasa aja' jadi terlihat menarik sampai bisa dijual sebagai package wisata.


Perspektif lain ini baru beneran bikin saya ngeh saat travelling beberapa saat lalu. Tempat wisatanya terkenal banget. Branding ke luar negerinya juga joss. Saat ngobrol dengan warga setempat, saya nyeletuk, "Bagus, ya, di sini. Unik. Ada filosofi dan sebagainya." Teman bicara saya yang warga setempat menanggapi, "Ah enggak, Kak. Biasa aja sebenernya."


Lha? Padahal saya ngerasa unik banget. Dan tentu unik juga buat orang lain sampai bisa 'dijual' ke turis lokal dan wisman. Tapi, oh, ada toh yang ngerasa ini nggak unik.


Betul juga. Karena untuknya sudah menjadi hal yang rutin, bukan cuma pertunjukan, tapi sudah mendarah-daging menjadi kebiasaan. Di sisi lain, saya atau wisatawan lain justru baru kali ini menemui hal kayak gini, sehingga nge-hype. Mungkin perasaannya mirip kayak saya waktu ngelihat ada turis main ke kota saya.


Barangkali itu sebabnya ada hal-hal spesial yang sebaiknya memang jarang ditemui. Ketika ditemui, jadi lebih terasa euforianya. Liburan atau travelling pun nggak akan terasa seasyik itu kalau liburan terus; butuh waktu untuk goleran aja nggak ngapa-ngapain. Atau Ramadan dan lebaran misalnya, terasa euforianya karena cuma sekali setahun. Selain capek juga ya puasa setahun penuh atau hari raya sebulan penuh. Lah, lebaran aja kadang paginya senang-senang, siangnya udah terasa keramaiannya berkurang. Malamnya udah lempeng aja kayak hari-hari biasanya.


Mungkin emang kadang perlu keluar dari kebiasaan supaya bisa dapat 'rasa' yang lain pula. Sesekali. Serupa dengan keluar dari bubble explore di Instagram supaya bisa lihat konten-konten jenis lain. 

Reading Time:

Jumat, 24 Februari 2023

Mengumpulkan Kepingan Detail Perjalanan
Februari 24, 20230 Comments


[ Sebetulnya, ini adalah secuplik tips tentang bikin detail catatan perjalanan (catper/travel notes) dengan cepat. Versi saya. Disclaimer: beberapa cara adalah ajaran dari orang/penulis lain atau pelatihan yang kemudian diatur gimana enaknya supaya saya nyaman mencatat dan menulis dengan metode itu. Dan ini konteksnya buat tulisan perjalanan, bukan vlog dan semacamnya.]


Banyak hal terjadi selama kita melakukan perjalanan. Untuk sebagian orang, travelling ya untuk dijalani dan dinikmati, plus didokumentasi dalam foto sebagai bukti. Bagi sebagian orang lainnya, jalan-jalan bisa menjadi bahan tulisan atau memoar tersendiri. Atau, simply pencatatan itinerary untuk diingat atau dibagi ke orang lain yang mungkin ingin menempuh perjalanan yang sama. Terutama untuk pejalan tipe kedua, jalan-jalan nggak hanya dinikmati aja, tapi juga dicermati.


Tapi, kan, banyak hal terjadi selama kita jalan-jalan. Gimana caranya kita mencatat/menulis itu semua?


Memang, nggak harus semuanya.

Kesalahan saya (dan juga kesalahan umum banyak penulis catper pemula, seperti yang dibilang penulis catper kawakan, Agustinus Wibowo) adalah menuliskan semua dengan detail. Mulai dari bangun pagi, mandi, sikat gigi, sarapan, dst. Padahal maksud detail itu adalah: rinci boleh, tapi hal yang penting-penting aja. Kalau nggak penting, buat apa ditulis? Apa pembaca mau ngabisin waktu buat baca hal yang berlarat-larat kayak ... 


Pemandangan itu sangat indah. Lautan luas terhampar di hadapan mata. Warnanya biru sejauh mata memandang. Pasir putih yang halus aku rasakan di bawah kaki. Rasanya nyaman sekali. Rasanya seperti sedang di-massage sembari menikmati belaian sutra superlembut yang tak kasat mata. Air pantainya pun jernih dan segar sekali. Rasanya seperti air murni yang dibawa langsung dari surga. Apalagi pemandangan di pucuk horizon sana ... dst. 


... gitu? Karena kalau berkaca dari diri sendiri, saat nyari review atau catper orang untuk survei lokasi pun saya biasanya scanning aja kalau nemu yang begini (meski kadang juga masih kepeleset nulis hal kayak gini, wkwk).


Apa deskripsi keindahan dan lokasi itu nggak penting atau nggak perlu ditulis? Penting! Asal nggak terlalu banyak. Kalau satu pemandangan digambarkan sampai tiga paragraf dengan isi yang mirip, kan bosan juga bacanya.

(Ini mirip dengan nulis fiksi, sih. Saat editing, bagian yang bertele-tele atau nggak berhubungan dengan plot ya dibuang karena menuh-menuhin dan nggak ngefek ke cerita. Apalagi kalau di cerpen yang jumlah halamannya lebih terbatas.)


Masalah kedua yang berkaitan dengan rincian: kekurangan bahan.

Ini juga sering terjadi sama saya. Rasanya, pengalaman di lokasi itu banyak, penuh, tumpah-tumpah. Namun begitu ditulis, lha, kok "isinya" cuma 1-2 paragraf aja. Sisanya entah deskripsi perasaan atau lokasi yang panjang sekali dan semacamnya. Kalau sudah gini, mau nggak mau memang harus riset untuk nambah bahan dan perspektif. Namun, lebih mudah lagi sebetulnya kalau kita kembangkan pengalaman di lokasi plus riset. Biasanya yang seperti ini menghasilkan tulisan yang lebih ‘nyambung’; lebih relate. Mungkin karena asal bahan tulisannya real time.


Lalu muncul masalah baru: ketika kita nggak mampu mengingat detail yang terjadi di perjalanan. Maklum, daya ingat manusia memang terbatas. Untuk itulah kertas diciptakan; untuk ditulisi hal-hal yang bisa dilupakan atau tak muat ditampung otak. Jadi, solusinya adalah ditulis? Iya dan enggak, karena ada beragam metode. Ini cara yang saya pakai di trip baru-baru ini:

1. tulis di buku/notes kecil, atau

2. ketik di catatan HP

3. catat dengan rinci, atau

4. catat garis besar atau kata kuncinya aja

5. rekam suara

6. foto/video.

Mari kita bahas satu-satu.


Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah jamak dilakukan. Pertama dapat ilmu ini waktu bergabung di ekskul Pecinta Alam. Ketika diklat, kami disuruh menulis catatan tentang hal-hal penting hari itu: apa aja yang dilakukan, ngapain dan ke mana aja, ada peristiwa tertentu atau enggak, dsb. Ketika naik gunung juga sama. Kami diminta mencatat jam-jam secara rinci, jarak tempuh pos X ke pos Y, kondisi medan, dsb.


Di zaman itu memang catatan begini sangat berarti karena bisa jadi panduan untuk pendakian selanjutnya. Gampangnya, kalau ada teman/adik kelas/klub pecinta alam lain yang mau naik gunung tsb, mereka bisa survei waktu dan medan ke orang yang pernah naik duluan. Selain tanya-tanya, cara lain, ya, lihat catatan perjalanan orang yang sudah pernah naik. Kalau sekarang, kayaknya info begini udah bejibun. Apalagi di jagad internet dan medsos. 


Penulisan jam, medan, dll, ini masih saya pakai sampai sekarang. Cuma, kalau dulu nyatat di buku, sekarang saya lebih suka nyatat di ponsel. Lebih cepat aja ngetiknya daripada nulis. Karena lebih cepat itu, jadi bisa ‘mengejar’ otak yang kadang baru mikir kejadian A, eh, udah lompat ke kejadian B.


Seringkali mikir lompat-lompat ini yang bikin malas nyatat karena kayaknya banyak banget yang perlu dicatat dan diingat kembali. Saya biasanya baru nulis lengkap kalau malam. Saat kegiatan sudah selesai semua, ketika sudah makan-ganti baju-siap tidur. Padahal itu jam capek-capeknya, kan. Kadang malah nggak jadi nulis karena langsung bablas ke alam mimpi.


Oleh karena itu, saya pakai cara keempat, yaitu catat garis besarnya. Cara ini saya pakai kalau sudah capek/malas ngetik panjang. Sejujurnya, ini cara baru saya pakai semingguan lalu. Mikirnya, “Daripada nggak ditulis, mending tetap nyatat tapi pendek-pendek.” Saya ketikkan kata kunci-kata kunci yang ketika dibaca ulang (harapannya) bisa membangkitkan ingatan detail tentang perjalanan. Kalaupun lupa lagi ngebahas apa, kata-kata tsb juga bisa bantu buat browsing sehingga voila, muncullah cerita yang nyambung.


Misalnya, waktu berkunjung ke desa adat Batak. Pemandu tur menjelaskan banyak hal soal perkakas adat. Maka ditulis: tongkat raja, anak kembar, relief jiwa, pohon. Dengan baca kata-kata ini, saya jadi ingat kalau raja Batak punya tongkat berelief ukiran wajah orang-orang. Raja Batak ini punya anak kembar yang kisah hidupnya miris hingga lengket di pohon.


Namun, sejujurnya cara ini termasuk last resort. Soalnya, kadang nggak semua hal yang kita temui di lokasi bisa ditemui di internet. Jadi browsing-nya rada ribet atau, bad news, nggak nemu. Apalagi kalau kata kuncinya keliru.


Tapi, kan, udah capek seharian jalan-jalan. Masa harus nulis detail, sih?

Untuk itulah ada cara kelima: rekam suara.

Cara ini juga baru kemarin saya pakai dengan total. Sebelum itu pernah, sih, ngerekam suara, tapi durasinya nggak lama. Soalnya, saya malu dan sungkan kalau ngerekam suara tapi ada orang lain yang satu ruangan, hahaha. Pernah saya ‘rekaman’ waktu teman sekamar lagi di kamar mandi. Atau kalau seruangan, ngerekamnya pelan banget kayak bisik-bisik.


Ngerekam suara lebih enak karena kita nggak capek nulis dan mikir. Ngomongnya kayak ngobrol sama teman biasa; ngalir aja kayak lagi curhat. Hanya saja ini ngomong sendiri. Alhamdulillah kalau teman dengar dan mau benerin/nambahin info. Tapi, sisi nggak enaknya adalah kita harus dengerin rekaman itu ketika pulang, kemudian mencatat ulang. Buat orang yang nggak telaten dengar dan lebih cepat baca, ini jadi salah satu cobaan tersendiri. Berasa kerja dua kali. Namun, saat hari-H dan di lokasi, memang jadi hemat energi.


Rekaman suara adalah cara paling final dan paling mudah buat nyatat catper. Cuma, ya, hati-hati aja supaya file-nya nggak keburu dihapus karena dianggap rekaman nggak penting. Untuk mempermudah, di awal rekaman bisa diomongin tuh tanggal dan lokasinya. Misal, “Halo, hari ini 20 Februari 2023, hari pertama trip ke Bandung.” Nge-record-nya sama kayak tulisan, yaitu bisa dibikin per hari atau per malam.


Nah, kalau lagi di jalan dan nggak mungkin nyatat atau ngerekam, gimana?

Misalnya, lagi naik gunung. Ngerekam, kan, butuh waktu. Padahal waktu rest saat hiking toh terbatas buat betul-betul rehat dan tarik napas. Nyatat pun jadi out of question dan kadang jamnya jadi diingat-ingat aja. Sebetulnya bisa aja diketik cepat di ponsel. Tulis aja jam, lokasi, dan medan kalau perlu. Tapi untuk itu pun kadang juga udah malas. Pun ketika malam, bisa jadi lupa detailnya karena kecapekan.


Untuk itulah ada cara keenam: foto/video. Foto tempat, spot yang penting, atau plang penanda. Kalau mau detail medan, fotolah kondisi jalan dan sekitarnya. Kalau mau lebih ringkas, videokan aja. Nggak perlu bagus, yang penting jelas, karena tujuannya untuk pencatatan. Beda cerita kalau mau bikin footage video, memang harus lebih dipikirkan.


Dulu, cara ini saya pakai kalau naik gunung dan capek. Banget. Apalagi kondisi hujan. Males banget ngetik. Ngeluarin HP aja risiko kebasahan. Maka jalan cepatnya adalah potret! Sampai pos 3 misalnya. Potret shelter atau plang posnya. Sampai pos/camp berikutnya juga sama, gitu terus. Saat sudah pulang atau lagi nge-camp dan mau nyusun catper, baru, deh, dilihat properties fotonya: diambil jam berapa, dilihat kondisi cuaca dari gambar kayak gimana, dsb. Baru ditulis ulang. 


Nggak cuma buat naik gunung, cara ini juga lumayan berguna di liburan non-hiking. Liburan kemarin, inilah cara yang saya pakai buat ngitung durasi perjalanan dari spot ke spot. Apalagi kalau bareng rombongan, kan, harus gerak cepat. Manalah mungkin nyatet-nyatet. Jadi begitu sampai tujuan selanjutnya, langsung potret aja apa yang ada di depan mata. Meski nggak ada ‘objek bagus’ sekalipun. Kan, memang buat penanda aja. Motret 'objek beneran'-nya nanti kalau udah di dalam.


Selain mengingat detail durasi dll, cara ini juga bisa dipakai saat lihat sesuatu di tengah perjalanan. Foto-foto yang dikumpulkan bisa dilihat lagi sebagai pengingat saat kita mulai menulis. "Oh, waktu itu di lokasi X ternyata aku lihat ada kejadian Y." Cara ini bisa memperbanyak isi tulisan, sebab yang ditulis nggak cuma deskripsi pemandangan dkk tapi juga peristiwa dan rasa yang terjadi ketika sedang di lokasi.


Ini cara mengumpulkan detail tulisan. Sebenarnya metode-metode di atas juga sudah umum banget. Katakanlah lewat story Instagram/Facebook, vlog, dsb. Hanya saja kalau saya, story dsb itu cuma sekelebat sehingga detailnya masih kurang tercatat. Dan mungkin karena saya mau ‘alihkan’ bahan itu dalam bentuk tulisan kemudian. Namun kalau memang nyaman pakai video dsb dan nggak suka nulis atau mau liburan aja tanpa perlu nyatat macam-macam, ya, mangga aja karena toh hobi dan preferensi orang beda-beda. Kita nggak harus mengambil jalan yang sama. Sebab, apa yang enjoy kita nikmati emang beda-beda.


=====

Ngomong-ngomong, 

kalau diperhatikan, di sini pakai kata "travelling" (dobel L). Ejaan yang betul "travelling" atau "traveling", sih? Dua-duanya benar. Bedanya, dobel L untuk ejaan ala British English dan satu L untuk American English.

 

 

 

Photo credit: wallpaperflare.com

Reading Time:

Jumat, 13 Januari 2023

Lone Tree si Perintis
Januari 13, 20230 Comments



Pohon di atas mencuri perhatian saya. Di padang pasir Bromo yang begitu luas, ia tumbuh sendirian; tunggal. Tanpa teman. Di dekatnya hanya ada rerumputan dan alang-alang. Pohon serupa berjarak beberapa puluh (atau ratus?) meter jauhnya.


Kenapa pohon di sini sedikit banget? 

Bukannya ini area pegunungan, yang seyogyanya punya banyak pohon? Apalagi tempat ini dikelilingi hutan-hutan berpohon tinggi, ya hutan yang dilalui pengunjung sebelum turun ke Lautan Pasir. Namun, mengapa justru “cuma” rumput-rumputan yang ada, kontras dengan hutan yang dilewati?


[ Sebelum itu, disclaimer: ada banyak padang rumput hijau di beberapa sisi, contohnya di Bukit Teletubbies. Begitu juga dengan pohon. Tapi, saya bahas yang sisi ini aja: sisi yang minim pohon dan didominasi rumput/semak. ]


Sebetulnya bukan hal aneh kalau Lautan Pasir ini minim pohon dan justru didominasi rumput serta ilalang. Sebab, area ini terletak dekat dengan kawah gunung berapi, apalagi masih aktif. Gunung berapi aktif kadang memuntahkan material super panas ke area di sekitarnya. Logikanya, dengan suhu yang sangat tinggi, kecil kemungkinan ada makhluk yang bisa hidup di tanah itu.


“Tapi, kan, tanah/pasirnya sudah nggak panas?”

True, tapi, selain suhu, ada banyak hal yang bikin tanaman nggak mudah tumbuh. Jenis tanah dan ketersediaan zat hara/air, misalnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti itu belum tentu tersedia di lingkungan yang cukup ekstrem. Akibatnya, nggak sembarang tumbuhan bisa tumbuh di sana. Mayoritas tumbuhan yang bisa ditemui hanyalah rumput, ilalang, atau semak. Mereka yang bisa hidup di lingkungan ekstrem inilah yang disebut dengan tumbuhan perintis (pioneer plant).


Mereka disebut perintis karena merekalah yang pertama ada dan menghuni tempat-tempat yang terhitung ekstrem. Merekalah jenis-jenis yang tahan lingkungan keras dan survive di sana. Keberadaan tumbuhan perintis bikin tempat-tempat yang ekstrem perlahan-lahan menjadi “layak huni” bagi makhluk hidup lainnya (ataupun sesama tumbuhan yang nggak sekuat mereka).hb 


Sebenarnya, organisme perintis nggak cuma tumbuhan. Makhluk yang pertama-tama merintis tentu makhluk yang sama yang dulu membuat bumi jadi layak huni seperti sekarang; makhluk bernyawa yang ditengarai muncul paling pertama ketika bumi terbentuk: organisme bersel satu. Contohnya bakteri. Setelah ada bakteri dan sejenisnya, pelan-pelan muncul makhluk primitif bersel banyak, menyusul kemudian jenis lumut, lalu tumbuhan, lalu hewan dan manusia.


Makhluk hidup paling sederhana muncul lebih dulu, disusul makhluk hidup lebih kompleks kemudian. 


Gimana bisa organisme bikin lingkungan jadi lebih habitable buat organisme lain?

Mudahnya, dengan menghasilkan sesuatu yang “bisa dimakan” organisme lain. Alurnya begini: “gizi” di lingkungan ekstrem hanya bisa dimakan mikrobia. Setelah dimakan, gizi ini berubah jadi zat lain yang hanya bisa dimakan (misalnya) lumut. Nanti sama aja, lumut bakal menghasilkan zat yang bisa dimakan tumbuhan, dst.


Mirip rantai makanan gitulah. Kalau ingat istilah zaman sekolah, di pelajaran IPA atau Biologi, inilah contoh nyata suksesi secara ekologi. 


Zat yang dihasilkan tadi nggak cuma untuk dimakan, tapi juga bisa membuat lingkungan yang keras menjadi cukup “lunak”. Dengan lingkungan yang lebih enak, tentu makhluk hidup juga lebih suka (dan bisa) hidup di sana. 


Mirip dengan tempat-tempat ekstrem yang sekarang ada, seperti di area Bromo tadi. Bila diperhatikan, area yang mendekati puncak tampak gundul. Hanya ada pasir di sana. Kadang diseling sejumput rumput yang tampak kering. Agak ke bawah, ke tempat yang lebih “layak huni”, rumput-rumput ini mulai banyak terhampar, kadang diselingi semak-semak. Kemudian ada pohon-pohon tunggal seperti pada foto.



Pohon pada foto—jika benar tumbuh sendiri dan bukan sengaja ditanam—termasuk tumbuhan perintis. Jenisnya adalah salah satu yang bisa survive di Lautan Pasir, bersama dengan rumput dan semak lain. 


Kenapa bisa menarik perhatian, kan, cuma pohon?

Mungkin ini personal. Dari segi foto, objek tunggal di antara padang bisa lebih eye-catching. Dari segi tumbuhan, kemampuan bertahannya menarik. Kalau cuma rumput dan sejenisnya, mungkin saya akan ngerasa biasa aja. Secara struktur sel mereka lebih sederhana. Pohon punya struktur yang lebih rumit. Biasanya yang rumit-rumit gini kebutuhannya juga rumit. Jadi, ketika dia punya kebutuhan yang ribet tapi bisa hidup di lingkungan yang super sederhana, tentu dia punya keistimewaan tersendiri.


Ibarat kagum ngelihat orang yang akhirnya sukses setelah berjuang merangkak dari bawah banget tanpa punya priviledge apa-apa. 


Meski, ya, pohon tadi bukan berarti tanpa priviledge juga. Makhluk-makhluk penghuni tempat ekstrem ini biasanya justru punya mekanisme tubuh khusus yang bikin mereka bisa survive


Ketika di lokasi, saya nggak begitu memperhatikan itu pohon jenis apa. Kalau menilik dari foto dan fotonya diperbesar, kayaknya tipe daunnya mirip tumbuhan jenis Leguminosa (?)(* CMIIW). Kalau betul jenisnya itu, nggak heran, sebab banyak jenis Leguminosa yang jadi tumbuhan perintis. Contoh Leguminosa paling umum, ya, kacang-kacangan. Contoh lain kayak kembang merak, lamtoro (petai cina), atau saga.


Leguminosa kondang dengan kemampuannya mengikat nitrogen. Nitrogen yang sudah “diikat” bisa meningkatkan kesuburan tanah. Kalau tanah yang tadinya nggak subur berubah jadi subur, bakal lebih banyak tumbuhan yang bisa hidup di sana. Ini konsepnya sama dengan zat yang dihasilkan dan dimakan (bak rantai makanan) tadi.


Kalau ngelihat beberapa gunung lain, pemandangan puncaknya punya pola yang mirip. Hanya ada sedikit kehidupan di puncak. Pernah pergi ke dekat kawah gunung berapi atau hiking ke puncak gunung yang cukup tinggi? Coba perhatikan bagian puncaknya. Dari jauh, gunung-gunung itu memang kelihatan hijau banget; asri banget. Namun, ketika sampai di titik teratas, hanya rumput atau semak di seantero mata memandang. Kadang, ada 1-2 pohon. Tak banyak. 


Mungkin karena tanahnya minim nutrisi. Mungkin karena suhunya ekstrem. Mungkin karena anginnya kencang sehingga bikin pohon gampang roboh dan rebah. Dan banyak faktor “mungkin” lainnya.


[ Puncak yang punya banyak pohon tinggi, at least yang saya tahu, adalah puncak di Gunung Argopuro. Padahal, ketinggiannya sudah lebih dari 3.000 mdpl, sedangkan gunung-gunung lain yang tingginya cuma >1.500 atau 2.000-an mdpl puncaknya gundul tanpa pohon; cuma rumput. Jadi penasaran kenapa bisa beda gitu. Faktor geografisnya mungkin? ]


Bahkan, di beberapa gunung, puncaknya blas tanpa tumbuhan sama sekali. Hanya ada pasir dan kerikil plus bebatuan. Bahkan, beberapa ratus meter sebelum puncak pun sudah nggak tampak hijau-hijauan. Biasanya yang begini ditemukan di gunung yang masih aktif, contohnya Semeru.


Kenapa gitu?

Gunung yang masih aktif bakal memuntahkan material ke daerah sekitarnya. Daerah yang kena muntahan panas, berat, dan beraneka ragam ini akan terus dihantam oleh material baru. Dihantam terus-menerus kayak gitu, tumbuhan mana yang bisa hidup? Lha wong tanahnya aja hancur begitu. 


Kecuali mikrobia atau lumut. Itu pun, nggak semua jenis mikrobia bisa hidup. Cuma jenis tertentu aja yang biasanya termasuk ekstremofil alias bisa hidup di tempat-tempat ekstrem yang nggak masuk akal macam kawah panas bergejolak atau dasar laut terdalam.  


Reading Time:

Jumat, 28 Oktober 2022

Antisipasi Kemping Tepi Kali
Oktober 28, 20220 Comments


Kemping di tepi sungai memang asyik. Dan terlihat estetik. Suasana sejuk hutan dan sungai berpadu, membuat white noise berupa gemericik suara air dan kersik daun di pepohonan. Belum lagi kalau ada cuitan burung-burung kecil saat pagi atau cericit hewan atau serangga malam. Beuh…. Kalau kata teman, “Syahdu bener.”

 

Mau camping ataupun glamping (glamorous campingistilah untuk penginapan full fasilitas yang didesain bak suasana kemping dengan tenda dsb) di tepi sungai sebenarnya sah-sah aja. Pun, dengan penginapan yang menyediakan glamping pas di sisi sungai, hanya berjarak <3 meter (bahkan ada yang persis di pinggir), saya rasa pengelolanya pasti sudah memperhitungkan segala risiko. Cuma, kalau saya pribadi, emang rada nggak tenang kalau mendirikan tenda persis di samping sungai. Terutama kalau musim hujan.

 

Alasan utama adalah keamanan. Di musim hujan, badan air seperti sungai, danau, dsb bakal menerima tambahan air. Dari hujan, of course. Selain itu, debit air juga bisa meningkat karena kiriman dari hulu. Inilah yang berisiko.

 

Di gunung, sungai-sungai yang nampaknya kecil itu terhubung dengan sumber air di bagian yang lebih tinggi. Yang kadang terjadi adalah di sungai bagian bawah nggak hujan, tapi di hulu/sumber ternyata hujan deras. Akibatnya, debit air di sana pun meningkat dan bikin alirannya tambah deras. Namanya juga aliran pasti akan mengalir ke bawah. Ya, ke sungai yang nggak kena hujan tadi.

 

Bila hujan sangat deras, aliran itu bisa menjadi air bah. Meluber ke mana-mana, termasuk ke tepian sungai. Selain membawa air, aliran yang sangat deras juga bisa saja turut membawa lumpur, pasir, bahkan batuan besar. Oleh karena itu, bila mengunjungi air terjun saat musim hujan, hendaknya lebih berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan air terjun atau berlama-lama berada di bawahnya. Takutnya ada kiriman banjir dari atas itu.

 

Lalu, apa hubungannya banjir kiriman tadi dan kemping?

Selama ini yang saya tahu adalah disarankan mendirikan tenda tidak terlalu dekat dengan sumber air. Paling tidak, di jarak aman atau jarak perkiraan luberan air. Kalau tempatnya nggak datar, lebih baik karena kita bisa mendirikan tenda di tempat yang lebih tinggi dari permukaan sungai. (Ini setahu saya aja. Kalau ternyata ada update lain soal keamanan nge-camp di tepi sungai, saya belum tahu. Let me know if you know, pls). Ya untuk mengantisipasi kalau tiba-tiba banjir tadi. Kan, nggak enak kalau lagi nyenyak tidur kemudian tiba-tiba basah. Atau, yang lebih bahaya, ikut kebawa aliran.

 

Sungai yang kelihatannya sangat dangkal atau bahkan kering pun belum tentu jaminan aman. Berkaca dari pengalaman, saya dan teman-teman pernah menemukan sebuah jalur yang awalnya kami kira jalur pendakian (karena nggak ada rumput tumbuh di garis itu). Eh, sesaat kemudian hujan turun. Nggak deras (di tempat kami). Namun, dalam hitungan menit, jalur itu menjadi sangat becek dan berlumpur kemudian nampak aliran air di sana. Kecil, nggak sampai merendam sepatu kami. Tapi, itu sudah menjadi alarm.

 

Kami segera naik dan mencari jalan lain karena baru kami sadari bahwa jalan tadi sesungguhnya bukan trek pendakian, tapi jalur air. Tadinya nampak kering karena nggak ada hujan. Tapi begitu hujan turun, aliran air dengan cepat terbentuk. Bukan tak mungkin bahwa jalur tadi aslinya merupakan sungai, tapi saat itu sedang kering. Saat kami sudah naik dan berjalan agak jauh, terlihat bahwa aliran air di jalur tadi sudah bertambah. Kira-kira sudah seperempat paha.

 

Memang secepat itu berubahnya. Bukan dalam hitungan jam, cukup menit. Bahkan dalam beberapa kasus, cukup detik.

 

Alasan lain mengapa disarankan mendirikan tenda tak terlalu dekat dengan sungai adalah untuk menghindari kontak dengan hewan liar. Baik yang buas ataupun tidak. Sebab, hewan-hewan biasa turun ke sungai untuk minum atau berburu. Apalagi saat malam. Apalagi bila badan airnya adalah sumber air, bukan lagi sungai/danau, yang merupakan sumber air minum bagi satwa di daerah itu dalam radius entah berapa kilometer. Jadi, hewan kalau minum, ya ke sana. Oleh karena itu, beberapa tempat sighting hewan yang pernah dilaporkan salah satunya adalah di badan ataupun sumber air. (*cmiiw)

 

Kalau tempat yang memang sudah didesain untuk glamping atau camping ground, kayaknya nggak bakal ada risiko hewan ini buas ini. Beda kalau memang di hutan atau gunung.


Gimana dengan foto kayak di atas, yang di tepi kali pas?

Mungkin ada beberapa, pun tempat glamping. Namun, ada juga yang menyeret tenda hingga ke tepi sungai/danau hanya saat sesi foto. Buat properti. 


=============


Picture credit: Joshua Sukoff on Unsplash

Reading Time:

Jumat, 07 Oktober 2022

Sudut-Sudut yang Bercerita
Oktober 07, 2022 2 Comments

- Salah satu bekas kantung pertahanan di area benteng - 

Untai-untai daun hijau muda merambati permukaan seluruh dinding rapat-rapat bak kelambu. Rimbun. Bunga-bunga liar berwarna merah muda melapisi sela-selanya. Sekilas, bangunan itu tampak seperti bangunan terbengkalai biasa. Kalau bukan dari info yang sudah didapat sebelumnya, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tembok-tembok di tepi pantai Kota Surabaya ini adalah bekas benteng pertempuran saat Perang Dunia II.


Bangunan yang berbentuk seperti dinding itu adalah Benteng Kedung Cowek. Letaknya tak jauh dari Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Jawa dan Madura itu bahkan terlihat jelas dari area ini. Namun, berbeda dengan jembatan yang jelas ramai dan terawat, bangunan-bangunan Benteng Kedung Cowek jauh lebih sepi dari suara dan aktivitas manusia. Siang itu, hanya terdengar debur ombak Selat Madura dan cericit burung yang bersarang di pohon-pohon tinggi yang akarnya menembus dinding benteng.


Di sini, sekitar 7-8 dekade lalu, pasukan Jepang merangsek masuk ke Indonesia. Surabaya jadi salah satu titik pendaratan mereka. Untuk mempertahankan posisi di Jawa bagian timur, Belanda pun membentuk kantung-kantung pertahanan di pinggir pantai untuk menghalau armada laut Jepang. Salah satunya, ya, Benteng Kedung Cowek ini.


- Salah satu pojok benteng yang dirambati bunga liar. 
Bentengnya sampai nggak kelihatan -

Jika dilihat sekilas, Benteng Kedung Cowek tak ubahnya bangunan terbengkalai lainnya yang banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Bangunan-bangunan semacam ini di Surabaya sebetulnya tak hanya satu-dua. Bila kita tahu di mana mencari, ada saja bangunan atau struktur bersejarah yang terselip di tengah ingar-bingar kota.


Namun, tak semua bangunan bernilai sejarah itu tidak terawat. Banyak pula gedung lawas yang tetap berdiri kokoh dan tampak cantik. Banyak dari bangunan itu yang menjadi cagar budaya dan dirawat oleh dinas kota, tapi tak sedikit juga yang merupakan milik pribadi dan masih dipergunakan hingga kini.


Hal yang agak mencengangkan adalah ketika menyadari bahwa sesuatu yang sering kita jumpai, mungkin setiap hari kita lewati, ternyata menyimpan cerita berusia ratusan tahun. Gang-gang yang berada di area Kramat Gantung, misalnya. Gang yang berada tak jauh dari pusat kota ini ternyata menyimpan sejarah yang lebih tua daripada balai kota atau gubernuran, yaitu kisah Surabaya semenjak zaman Majapahit, saat kota pelabuhan ini masih memiliki keraton.


Kini, mungkin jarang yang menyangka bahwa gang-gang padat penduduk ini dulunya adalah tempat para bangsawan Surabaya hidup: makan, mandi, kerja, bercengkerama dengan keluarga dan tamu jauh, termasuk menyelenggarakan upacara/adat keraton seperti keraton-keraton yang sekarang masih eksis. Well, saya sendiri juga kaget begitu tahu bahwa jalan yang saya sering saya lewati dan saya abaikan (karena ya cuma lewat doang) ternyata eks keraton Surabaya.


Untuk ukuran kota metropolitan yang dikenal tidak memiliki jejak 'kekeratonan' seperti Surabaya, hal ini adalah sesuatu yang mengundang dengung kagum. Seenggaknya bagi saya, hehe. Akan beda kesannya bila sejarah kebangsawanan ini saya saksikan di kota yang terkenal memiliki keraton (dan sistem pemerintahan keraton), misalnya Yogya atau Solo. Di dua kota ini, nuansa keraton begitu lekat, sedangkan di Surabaya justru sebaliknya.


Terasa jauh karena bekas-bekasnya sudah tiada, mungkin sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang sudah berganti bangunan modern.  Namun, di saat yang sama juga terasa dekat karena tahu bahwa area yang kita lewati setiap hari ternyata punya sejarah panjang.


Dekat, tapi masa itu terasa jauh.

Jauh, tapi area/bangunannya masih bisa disentuh tangan.


- Salah satu bangunan di area Keraton Surabaya.
Bak pintu ke masa lalu -

Akan beda cerita bila sejarahnya berkisah soal situasi di lokasi saat era kolonial. Bangunan dari era ini masih banyak yang berdiri tegak, terutama di pusat kota. Atau, sejarah era kemerdekaan misalnya. Seperti bangunan Benteng Kedung Cowek tadi. Mungkin karena masanya lebih dekat dan bangunannya juga masih ada.


Apapun itu, di balik gedung-gedung tinggi yang gemerlap dan jalan-jalan besar yang kadang bikin orang luar kebingungan, Surabaya masih menyimpan berjilid-jilid cerita. Mungkin bahkan sejak masa pra-Majapahit ketika kota ini masih disebut Ujunggaluh. Detail kisah-kisah itu terselip di gang-gang kecil, tanah dan bangunan terbengkalai, di sudut sebuah lapangan golf, atau tempat-tempat nyempil lain yang bahkan banyak warga Surabaya pun juga nggak tahu.


Maka, kalau memang suka sejarah, asik rasanya jalan-jalan sambil ngelihatin bangunan lawas yang kita tahu ceritanya. Sering ada komunitas sejarah yang jalan-jalan begini. Ada juga layanan walking tour dari beberapa penyedia jasa pariwisata. Ada guide yang bakal menjelaskan sejarah tempat-tempat yang kita sambangi. 


Buat orang dalam kota yang pengin jalan-jalan dengan nuansa berbeda atau pengin jalan-jalan tapi nggak bisa keluar kota/punya sedikit waktu aja, walking tour sebetulnya bisa jadi salah satu opsi travelling. Jadi nggak melulu refreshing ke mall atau apalah yang biasa jadi jujugan main pada umumnya. Apalagi kemarin waktu pembatasan perpindahan antarkota diperketat ketika kasus Covid-19 lagi meradang, jalan-jalan dalam kota sendiri pun bisa jadi opsi refreshing (dengan tetap patuh protokol kesehatan tentunya). Plus, ini jalan-jalan yang budget friendly banget. Biayanya di bawah IDR 100k bahkan di bawah 50k. Paling membengkak kalau ternyata di tengah jalan pengin jajan atau beli minum.


Nggak cuma di Surabaya, di beberapa kota lain, acara (atau tur) jalan kaki semacam ini juga ada. Umumnya memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, atau Semarang. Namun, kadang ada juga yang mengadakan di kota lain. Apalagi dari komunitas pencinta sejarah lokal daerah tsb. Saya kurang tahu kalau di luar Jawa, mungkin di kota besarnya juga ada. Mungkin ada yang punya infonya? Siapa tahu kapan-kapan ke sana, jadi bisa walking tour juga, hehe.


"Eh, terus soal Benteng Kedung Cowek sama Keraton Surabaya sejarahnya sebenernya gimana?"


Stay tuned. Rencananya bakal dipos dalam waktu dekat. Mungkin pekan depan, mungkin pekan depannya lagi. Who knows, hehe. Nyari referensi dulu biar rada lengkap. Atau yang udah telanjur penasaran, bisa lihat sneak peek-nya di highlight IG. 


 


======================



Sedikit cerita (slash curhat? Wkwk)

Tulisan ini seharusnya dipos di platform lain karena saya berencana ikut lomba nulis kategori non-fiksi. Udah jadi, nih, kerangkanya. Tinggal eksekusi nulisnya aja. Eh, ternyata … waktu ngecek SnK lagi ... alpa ngelihat kalau kategori non-fiksi syaratnya min 20.000 karakter 😭 Kirain cuma sepanjang artikel biasa huhuhu.


Padahal udah ancang-ancang pengin ikut sejak Agustus dan udah rencana pakai topik ini. Mana DL-nya tinggal hitungan hari. Ya sudahlah, dipos di sini dulu aja. Toh tulisannya belum ‘matang’ juga. Siapa tahu bakal ada kompetisi sejenis kapan-kapan. Mungkin bisa buat tabungan, nanti tinggal dipoles dan nambah ini-itu sedikit lagi. Maybe.




Reading Time: