Hijaubiru: Dunia Corat-Coret
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Februari 2022

Ketika Menulis Malah Nggak Bikin Happy
Februari 11, 2022 4 Comments


"Menulis itu, kan, harusnya dinikmati," ujar seseorang. "Bukan malah kayak ada tekanan dan dikejar-kejar."


Saya setuju itu. Apalagi, awalnya, saya menulis memang karena pengin numpahin imajinasi; pengin mengeluarkan yang nggak tertahankan di hati dan pikiran.


Saya juga ngerasa, kok, beda banget rasanya menulis dulu dan sekarang. Dulu, akhir SD hingga SMP, nulis rasanya lancar jayaaa. Nggak ada yang namanya writer's block, hilang mood, atau kehilangan kata-kata. Sehari 1.000 kata mah hayuk aja. Bahkan bisa lebih. Tapi sekarang? Hm...


Milih kalimat pembuka aja bisa 15 menit sendiri. Bulan kemarin bikin program 1 hari 1 tulisan berdasarkan prompt juga ternyata makan waktu paling nggak 30-45 menit buat bikin cerita superpendek sepanjang 2 halaman. Kalau nulis artikel apalagi, beuuh bisa macet berhari-hari. Nulis catatan perjalanan yang dulu sehari-dua hari bisa selesai (nulis doang, nggak termasuk ngumpulin data dll), sekarang bisa seminggu cuma baca-baca referensi aja. 


Daaaan, saya juga ngerasa, kok kayaknya lebih sering macetnya, ya? Kok lebih sering bingungnya ya? Kok lebih banyak porsi bingungnya daripada porsi hepi-hepi dan hati berasa plong kayak dulu? Kenapa saya nggak ngerasa sepuas dan sesenang dulu kalau nulis? Apa ini sisi gelap dan negatif dari menulis? (halah bahasane!)


Umm, no

Semakin dewasa, semakin banyak tulisan yang saya, atau kamu, baca. Artinya semakin banyak juga gaya tulisan yang saya lahap. Ada beberapa teori dan tips menulis juga yang coba saya praktikkan karena menurut saya bagus. 


"Lha ya ini! Karena pake teori dan tips! Makanya jadi lambat, makanya malah writer's block! Nulis ya nulis aja lah! Suka-suka!"


Memang iya. Kalau terlalu terpaku dan nggak tepat penggunaannya. Namun, ketika digunakan dengan pas, itu justru tools untuk memperbaiki tulisan. Okelah jujur emang ada rasa nggak nyaman ketika ada aturan yang harus diikuti. Misalnya, pemilihan diksi yang pas dan menggugah imajinasi dsb. Tapi, memang itu biar tulisannya bagus. Kalau nggak pakai itu, mungkin saya akan ngerasa los-plong kalau nulis, tapi tulisannya nggak akan enak dibaca. Nggak akan mengalir, nggak akan menang lomba, dan nggak cantik dipajang buat portofolio. 


Makanya ada penulis kondang yang sampai bilang, "Menulis itu sulit, tapi editing itu lebih sulit dan bikin males."


Kalau nulis asal ngeluarin kata emang 'gampang'. Yang susah kan emang bikin gimana biar tulisan itu berisi, enak dibaca, ngalir, dsb. 


Tekanan itu emang kerasa. Nyata. Makanya, saya berusaha mempraktikkan saran dari seseorang yang udah lama malang-melintang di dunia ini: tulis aja dulu, sebebas-bebasnya. Jangan pikirkan kalimat pertama, diksi, puitisasi, nilai yang mau dibagi, dsb. Tulis seperti kamu bicara. Tulis seperti kamu lagi nyeritain ke orang lewat lisan. Kalau semua sudah selesai, baru edit. Tata, ganti, bongkar, isi yang bolong, hapus bila perlu. Barulah di tahap ini kamu mikir kalimat pertama, adegan peralihan, dsb.


Beberapa kali tips ini saya pakai dan, ya... it works.


Dulu, saya pikir editing itu cuma cek PUEBI dan mindah kalimat/paragraf. Ternyata... milih diksi, bikin kalimat utama, ngatur 'ritme', itu juga termasuk editing. Oalaaah, pantes saya nulisnya jadi lama. Kirain, saya bukan penganut 'menulis sambil mengedit'. Eh ternyata malah pengikut sejak lama, wkwkwk.


Dan, gimana ya, kalau memang mau profesional atau semiprofesional, teori tips dll itu memang diperlukan demi kualitas tulisan. Jadi ya memang pasti ada tekanan. Tapi bukan berarti nggak bisa nulis hepi juga. Kalau sudah biasa, bisa jadi hepi, kok, karena udah melekat ke gaya menulis (yang ini testimoni penulis kondang, sih. Saya sendiri belum ngerasain, hehe). Atau kalau belum bisa, mungkin 2-langkah tadi bisa dicoba: tulis bebas, baru tata.


Sebab, menulis dan rasa lega selepas tulisan jadi 'ada' itu seperti dua sisi bulan: ada sisi gelap dan ada sisi terang, ada sensasi dikejar-kejar tapi juga ada sisi senangnya. Keduanya nggak bisa dipisahkan. Dan, dua-duanya sama-sama dibutuhkan demi si tulisan. 

Reading Time:

Rabu, 29 Desember 2021

Tentang Selingkung
Desember 29, 2021 2 Comments




Selingkung, yak. Bukan selingkuh. Jadi memang nggak salah ketik. 


Apa itu selingkung? Ada yang bilang gaya bahasa (dalam lingkungan tertentu), ada yang bilang gaya penulisan, dsb. Intinya sama: gaya penulisan/bahasa yang disepakati di lingkungan tertentu. Saya sendiri nggak tahu arti bakunya apa. Dengar istilah ini pun baru sekitar dua tahun belakangan. Emang kadang suka kudet soal ginian, haha.


Supaya lebih gampang, ini contohnya:

👉     Mana yang benar: Ramadan atau Ramadhan?

Kalau nurut KBBI, yang benar ‘Ramadan’. Namun, ada juga media besar dan terpercaya yang menulis ‘Ramadhan’ karena faktor pembaca yang mayoritas lebih suka bentuk mirip asli daripada transliterasi.

👉     Mana tanda elipsis (…) yang benar: “Tapi … itu salah!” atau “Tapi… itu salah!”

Kalau ngikutin PUEBI, maka yang benar adalah yang pertama. Namun, kenapa di banyak novel-novel bahkan penerbit mayor/besar, justru lebih banyak penulisan tipe kedua? Tempo juga pakai yang pertama (diceritakan oleh Ivan Lanin, maafkeun saya belum cek langsung).


Belakangan, saya baru tahu kalau selingkung ini bukan cuma soal ejaan dan tanda baca, tapi juga diksi. Seorang teman jurnalis pernah berkata bahwa salah satu surat kabar (cetak) nasional ada yang suka pakai kata-kata yang tidak baku supaya lebih luwes. Satu hal yang saya ingat adalah kata 'gerumbulan'/'gerumbul'. Waktu saya pakai kata ini di naskah feature, teman tsb bertanya, "Coba ini cek lagi, deh. Apa ada kata ini di KBBI?" Padahal, seingat saya, saya justru 'mengambil' kata ini dari koran tersebut. (Dan, di KBBI emang kata tsb nggak ada.)


Apakah salah? Bisa iya, bisa enggak. 

(Nah, ini lagi. Kalau nurut KBBI, ejaan yang benar itu 'enggak'. Tapi, banyak juga media besar/penerbit mayor yang pakai 'nggak'.)

Tergantung tempat/lingkungannya. Misal, kalau berdasarkan contoh di atas, ada wartawan Tempo yang nulis 'Ramadan' di sana, ya nggak salah. Kalau dia ganti tempat kerja di Republika dan tetap nulis kayak gitu, ya jadi salah karena mereka pakai 'dh'. 


Jadi, kayaknya, orang-orang yang udah paham soal selingkung cenderung nggak ambil pusing soal ini. Udah pada maklum kalau tiap tempat punya style nulis sendiri. Asal nggak kebablasan jauh dari pakem atau PUEBI. Perhatikan bahwa kata 'cenderung' saya garis bawahi karena inilah masalahnya.


Cenderung berarti sebagian besar. Artinya, toh ada juga orang yang memahami soal selingkung tapi tetap mempermasalahkan. Biasanya, soal diksi. Biasanya, perbedaan pendapat kayak gini ada di forum/grup/komunitas menulis. Jeleknya, biasanya, ini bakal dibahas dan dibedah habis-habisan di forum karena orang yang selingkungnya beda itu 'berbeda aliran/grup'.


I mean, ya udah sih. Lo udah tahu kalau ada selingkung. Hormatin aja kenapa. 


"Oh, tidak bisa, Ferguso. Cara dia salah dan dia bikin teman-temannya juga salah karena pakai cara dia."


Um, well, it depends. For some extent, yes, but...


Betul, ada selingkung yang salah banget karena nabrak aturan pol-polan. Tapi, ada juga yang cuma soal 'beda mazhab' a.k.a beda perspektif aja.

Langsung contoh aja biar nggak nggrambyang. 


Misal di komunitas F dibilang kalau terlalu banyak menggunakan -ku dan -nya itu nggak baik karena ada banyak pengulangan yang tidak perlu. Juga penggunaan -mu, itu, ini, dsb. Niatnya bagus: biar nggak boros kata dan memperjelas yang sudah jelas. Tapi, komunitas L nggak setuju karena bisa bikin kalimat jadi nggak lengkap secara struktur. Akibatnya, maknanya pun jadi nggak/kurang jelas. 


Alasan keduanya benar sehingga menurut saya, perselisihan ini masing-masing punya sisi positif dan negatif. Supaya gampang, kita pakai contoh aja, ya.


Contoh 1:

Aku mempercepat langkahku menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepalaku. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragamku agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.

Perhatikan, ada berapa -ku di sana?


Atau contoh 2 ini:

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-bajunya ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatunya. Ia benci sebenci-bencinya pada ayahnya yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliahnya.


Banyak banget, kan, partikel -ku dan -nya di sana. Beberapa bisa dihapus aja. Misal di contoh 1, 'langkahku' jadi 'langkah' karena di depan udah ada 'aku', jadi jelas dong itu langkah siapa. 'kepalaku' jadi 'kepala' karena ya kepala siapa lagi coba? Kecuali di paragraf sebelumnya diceritakan kalau dia jalan bareng temannya. Terus, 'seragamku' jadi 'seragam' aja karena ya seragam siapa lagi kalau bukan si aku? Masa mau ngebasin seragam gurunya?


Di contoh 2, partikel -nya kebanyakan. Sama, bisa dihilangkan aja. Di kalimat kedua, 'baju-bajunya' bisa jadi 'baju-baju' aja, 'sepatu-sepatu' juga. Kenapa? Karena di kalimat pertama udah jelas dia ngemasin barangnya, jadi kalau baju dan sepatu juga jelas punya Diana, dong? Kata 'benci sebenci-bencinya' mungkin bisa diganti 'sangat benci' dan semacamnya. 'Ayahnya' juga bisa dipotong jadi 'ayah' aja karena kalau ayah orang lain pasti dia nyebut nama toh (meski ini debatable, sih. Jadi 'ayahnya' juga gapapa). Kata 'kuliahnya' bisa dipotong jadi 'kuliah' aja karena kuliah siapa lagi yang bikin dia diusir kalau bukan dia sendiri?


Jadinya gini:

Aku mempercepat langkah menuju ruang guru. Hujan turun makin deras. Oleh karena itu, kuangkat tas ke atas kepala. Setengah menit kemudian, ruang guru sudah terlihat. Kukebasi seragam agar tidak meneteskan air dan membuat ruangan rapi itu jadi becek.


Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia benci sangat benci pada ayah(nya) yang mengusirnya hanya karena ia melalaikan kuliah.


Tetap bisa dipahami, kan?

Begitulah. Di pelajaran Bahasa Indonesia zaman sekolah, toh kita juga diajari untuk berbahasa/menulis efektif. 


Jadi, maksudnya bagus, kan? Biar nggak mubazir kata. 

Iya, dalam taraf tertentu. Masalah baru timbul saat ada penulis yang menghilangkan banyak sekali partikel -ku dan -nya, bahkan menghilangkan subjek, sehingga nggak jelas ini adegan siapa/tokoh mana yang melakukan. Ya terang aja, karena struktur kalimatnya jadi nggak lengkap. Soal inilah yang nggak disetujui oleh grup L. Dan, saya sepakat dalam kasus ini.


Kita pakai contoh paragraf Diana, ya:

Contoh 3

Diana mengemasi barang-barangnya yang tak banyak. Dengan penuh emosi, ia lemparkan baju-baju ke dalam boks. Begitu pun sepatu-sepatu. Ia sangat benci pada ayahnya yang mengusir hanya karena ia melalaikan kuliah.


Dengan asumsi bahwa dia sudah kebanyakan pakai -nya, penulis pun menghapus partikel ini. Apalagi di kalimat terakhir itu sudah ada satu -nya ('ayahnya'). Namun, apa ini bisa dibenarkan?


Menurut saya, enggak. Sebab jadi nggak jelas siapa yang diusir ayah meski pembaca bisa meraba-raba itu siapa. Tapi berasa nggak lengkap aja kalimatnya karena 'mengusir' biasa disertai objek. Mana ada, kan, kalimat kayak: ia mengusir. Titik. Wes. Beda kasus kalau: ia menyelam, ia makan, ia minum. Nggak pakai objek pun nggak perlu diperjelas. 


Kesalahan lain adalah menghilangkan subjek seperti aku, dia, dsb agar nggak ada pengulangan. Misal, contoh 4:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Aku tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, aku ingin berkas-berkas itu hancur sekalian.
 


Kalau partikel/subjeknya asal dihilangkan, jadi begini:

Contoh 5

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni. Tak peduli soal surat kontrak yang terserak di bawahnya. Biar saja kertas-kertas itu basah oleh bekas teh yang tercetak di pantat cangkir. Kalau bisa, ingin berkas-berkas itu hancur sekalian. 


Kalimatnya jadi agak aneh, kan? Oke lah, kalimat 1 dan 2 masih bisa nyambung. Namun, kalimat kedua ini nggak punya subjek (siapa yang nggak peduli? Aku? Atau dia? Atau mereka?). Kalau emang 'aku' mau dihilangkan, mungkin jadikan satu kalimat aja *cmiiw.

Jadi:

Kuletakkan cangkir di atas nakas mahoni, tak peduli soal ... dst

Kalimat terakhir juga jadi masalah. Siapa yang ingin berkas itu hancur sekalian? Aku? Dia? Mereka? Mungkin akan lebih pas kalau kalimatnya diganti aja daripada ngehapus subjek atau bagian yang signifikan. 


Inilah yang nggak disetujui oleh komunitas L. "Kenapa sih pakai ada 'mubazir -ku,  -nya, ini, itu'? Toh penulis-penulis besar nggak pakai cara ini juga karyanya tetep bagus". Di sisi lain, para anggota komunitas F pun keukeuh dengan alasan nggak mau mubazir kata dan "Biar nggak ngebosenin. Biar nggak berasa baca laporan atau textbook yang baku banget."

(NB: di dua komunitas ini sama-sama ada penulis besar dan sastrawan yang sering jadi 'panutan')


Kalau menurut kamu, mana yang benar?


Sebab menurut saya, ini kondisional.


Komunitas L betul: tanpa menghilangkan 'serangan' ini, banyak karya yang tetap bagus. Kalimat juga cenderung lebih utuh dan lebih jelas maknanya. Namun, bagaimana dengan penulis pemula?


Saya sering nemu tulisan yang masih mubazir kata. Biasanya, yang nulis memang pemula, baru nyemplung, atau jam terbangnya masih sedikit. Cari aja di platform-platform atau grup menulis di FB, apapun itu. Banyak! Nggak cuma soal 'serangan -ku -nya, ini, itu dsb' tapi juga kasus seperti 'naik ke atas, turun ke bawah, para murid-murid' dsb. Jangankan orang lain, lha wong saya aja dulu juga gitu, kok! 😁 (Sekarang juga masih sering kepeleset, sih, wkwkwk. Ingatkan saya kalau kelupaan, yak!)


Jadi, komunitas F juga betul. Menghilangkan 'serangan' ini bisa membantu. Dengan catatan: kalimatnya harus tetap utuh dan artinya jelas. Bukan malah kayak contoh 3 dan 5 yang bikin rancu. Kalau malah mbulet, mending pakai cara komunitas L aja, deh. Bikinlah kalimat yang artinya jelas dulu. Nanti baru modif macem-macem. 


Satu hal yang bikin saya nggak suka adalah: kok, ya, adaaa aja orang yang masih  ngebahas ini berkali-kali dan menganggap, "Cara grup lu tuh salah, cara gue yang bener!" padahal yang bersangkutan tahu soal selingkung. Kalau mau salah-salahan, gampangnya gini:

- cara F bagus buat pemula tapi jadi salah kalau kalimatnya jadi nggak jelas

- cara L bagus buat yang lebih pro dan paham seluk-beluk kalimat, tapi nggak bagus buat pemula karena berpotensi mubazir dan monoton.


So, tentu dua cara ini harus diajarkan dengan catatan tertentu. Nggak bisa ditelan bulat-bulat. Dan juga, jangan membenci bulat-bulat. Meskipun bahasa punya pakem sendiri, toh ia juga bisa luwes sekali. Namanya juga selingkung: style satu lingkungan/circle.


Dulu saya kira grup literasi berhaluan tertentu itu bisa lebih menghargai perbedaan dibandingkan grup literasi lainnya yang nilai-nilainya cenderung lebih kaku. Eh ternyata enggak juga. Sama aja. Sama-sama suka ngomongin kubu seberang. Di mana-mana orang kayak gini emang selalu ada, ya. Heran. Nggak bisa netral aja gitu? Kalian sama-sama berniat mendidik, lho. 


Oh betapa saya merindukan grup nulis yang rame tapi ramenya asik meski ada banyak 'aliran', bukan yang beda 'mazhab' udah berasa musuh begini. Ini 'cuma' soal selingkung, ya ampun. Bukan soal nilai-nilai internal yang dianut. 


Oke, perihal yang satu itu udah selesai, ya. Sekarang ada lagi ini: bikin selingkung sendiri karena menuruti selera pasar. Jadi standar 'kebenarannya' bukan lagi PUEBI atau bisa dipahami artinya, tapi disukai pembaca. Jadi, meski jelas-jelas salah, tetap dipakai karena pembacanya lebih suka.


Misalnya kalimat berikut:

"Eh...... Tapiii...... Aku nggak bisa........."

atau

Tidak,,, dia nggak mungkin setega itu padaku!!!!!!

Ada, sih, novel penerbit mayor yang pakai '?!' atau '!!!' tapi biasanya nggak sampai berderet kayak kereta gitu...


Jangan salah, banyak yang suka tulisan macam ini. Cek aja (lagi) di platform atau grup FB. Cek jumlah pembacanya dan kita mungkin bakal heran kok bisa peminatnya banyak. Biasanya, karena temanya relate sama pembaca sih. You know what lah. 


Ada juga kasus soal penulisan dialog dan narasi. Seorang acquintance (apa ya istilah yang tepat? Karena bukan teman/kolega. Kenalan, maybe?) pernah berkata, "Iya nih dialognya harus banyak. Soalnya ini kan buat platform online. Biar menarik. Kata mbak yang kemarin ngisi di webinarku tuh, gitu."


Oke, saya menghargai perbedaan pendapat. Tapi dalam hati, like, whaaaat? Saya tahu pembaca online lebih suka scanning dulu sebelum baca, tapi nggak gini juga, euy. Bosan juga kalau dialog sampai satu atau setengah halaman. Apalagi kalau dialognya nggak penting dan cuma basa-basi doang. 


Apapun 'wadah' tulisannya: online ataukah offline/cetak, grup FB ataukah W*ttp*d dan semacamnya, orang akan tetap mau baca kalau tulisan itu menarik. Terlepas dari dialognya banyak atau narasinya sedikit. 


Buktinya? Dee, Asma Nadia, dan beberapa penulis populer lainnya sudah mencoba masuk ke dunia penerbitan daring. Pembacanya? Banyak! Apa porsi dialognya dibanyakin (dan narasinya dikurangin) dibanding buku-buku cetak mereka? Enggak. Menurut saya, porsinya pas. 


Kalau kata Dee Lestari, "Dialog itu gas dan narasi itu rem". Dialog bisa mempercepat alur dan narasi berfungsi melambatkan jalan cerita. Kalau ceritanya digas terus, ya, nggak enak, dong. Orang ngebut juga butuh rem biar nggak nabrak-nabrak. Begitu pun kalau jalannya thimik-thimik, kapan nyampenya? Jadi baiknya memang: pas.


Tapi, bukan berarti yang punya gaya tulisan macam ini langsung dituding, "Lu salah!" Memang salah, tapi mungkin masih pemula? Atau belum tahu? Dibilangin lah pelan-pelan. Kalau kita ngotot, bisa aja dia juga ngotot dengan alasan beda selingkung/aliran itu tadi.


Huft.... mungkin karena inilah, komunitas nulis/literasi seakan-akan jadi terpecah-pecah berdasarkan 'aliran' dan penggemarnya. Orang yang suka karya model begitu ya masuk grup itu, bacanya itu-itu aja, karya dari penulis grup lain pokoke tidak sesuai (atau malah, jelek)! 


Selain ini, masih ada lagi (masih banyaaak sih sebenernya). Selingkung soal diksi. Tapi kayaknya post-nya kepanjangan kalau bahas ini juga, wkwkwk. Coba aja cari kata kunci 'prosa ungu'. Dia ini kayak pemilihan kata biar puitis gitu, tapi malah nggak jadi puitis. Prosa ungu ini sering banget dipakai terutama oleh penulis fiksi (dan saya sendiri kadang nggak sengaja make ini juga, LOL).


Kalau soal prosa ungu, biasanya komunitas-komunitas ini lebih kompak karena sama-sama nggak setuju. 


Kamu pernah dengar selingkung lainnya, nggak? Apa itu?


==============


Disclaimer: pic isn't mine. It's from Food Bloggers of Canada

NB i:

huruf F dan L sebagai inisial nama komunitas adalah huruf acak. Huruf depan di nama komunitasnya bukan itu 😁

NB ii:

karena tulisan ini lebih mirip curhat daripada tulisan serius maka bakal ditemukan banyak banget kesalahan tata kalimat dsb. Cara komunitas F dan L sama-sama saya campur di sini. Kesalahan yang mereka soroti juga bakal ada di sini, wkwkwk.


Reading Time:

Rabu, 30 Juni 2021

Platform & Komunitas Nulis, Kenapa Milih Itu?
Juni 30, 20210 Comments




“Kamu nulis di xxxx, kenapa nggak nulis di xyxy?”
 
Beberapa teman menyebutkan sejumlah platform kepenulisan, non-fiksi dan fiksi. Beberapa memang platform besar yang sudah banyak orang tahu. Platform lebih besar tentu berarti pembaca yang lebih banyak. Berarti juga, ‘mata-mata’ penerbit juga sudah terbiasa terjun ke sana untuk scouting naskah yang berpotensi dibukukan.
 
Jadi, kenapa lebih milih nulis di platform yang belum terlalu banyak orang tahu?
Dan, kenapa milih komunitas/grup belajar nulis tertentu?
Caution: ini tulisan bakal panjang karena ada curhatannya juga, wkwk
 
(1)
Salah satu alasannya justru itu: karena orangnya masih sedikit. Yaa sekarang sih nggak sedikit-sedikit amat, meski jumlah penggunanya masih kalah jauh dengan platform satunya yang lebih sohor. Namun, jumlah yang sedikit itu justru jadi peluang. Logikanya, kalau ada lebih sedikit orang lalu kemampuannya agak menonjol, maka peluang ‘dilirik’ lebih besar juga, kan? Beda kalau orangnya lebih banyak. Tentu bukan ‘agak’ lagi, tapi harus sangat menonjol.
 
(2)
Kedua, vibes-nya. Beberapa platform banyak mengusung tema percintaan sebagai trademark. Percintaan remaja, dewasa, hingga cerita stensilan. Tentu, nggak semuanya. Kisah yang bagus atau sarat makna juga banyak, baik yang bertema asmara ataupun bukan. Namun, seringkali views-nya kalah jauh dengan cerita-cerita di atas. Sayangnya, cerita-cerita bagus ini nggak masuk di menu Recommended platform ybs karena ya itu tadi... views-nya sedikit. Jadi pembaca yang mau nyari ya agak rumit.
 
Saya nggak masalah kalau cerita percintaan. Tapi letak masalahnya pada ini: substansi.
(Sok iyes banget, sih!
Emang! Hahaha.)
 
Saya suka novel roman. Jangankan yang berat kayak Pride and Prejudice, yang ringan macam Winter in Tokyo dsb-nya aja saya lahap. Lha emang pada dasarnya hopeless romantic (ups, ini sih trait di The Sims, hehe).
 
Beda Winter in Tokyo dkk dengan cerita cinta di platform ybs dkk adalah isinya. Di novel-novel tsb, meski poin utamanya tetap cerita cinta, yang diceritain nggak melulu soal asmara. Misalnya, ada nih cerita soal lokasi tertentu, kultur atau kebiasaan tertentu, konflik sosial tertentu, dll dsb yang larut ke alur cerita dan bukan tempelan. Bahkan, kerjaan tokohnya aja bisa jadi tambahan kisah.
 
Kalau di beberapa platform, maaf, klise. Topiknya nggak jauh-jauh dari kisah cinta cool CEO-bawahannya, dosen-mahasiswanya, atau malah sugar daddy. Atau perjodohan, pernikahan terpaksa, mencintai tapi tidak dicintai yang penuh tangisan bombay, abusive relationship yang ber-ending si tokoh laki-laki jatuh cinta dan tobat, dst.
 
‘Uniknya’, meski tokohnya CEO/dosen/the most eligible bachelor and exec, nggak ada cerita gitu lho soal kerjaannya, sedikiiit aja. 
Bahkan nggak jelas si CEO ini perusahaannya bergerak di bidang apa. Kalau rapat ya cuma dibilang meeting. Cuma diceritain dia masuk ruangan, menjelaskan (mbuh opo), terus direksi bilang “Saya suka, kita terima!”. Kayak tempelan gitu lho.  Pokoke CEO, tajir melintir, punya power. Misalnya nih, gawean si tokoh diganti jadi karyawan/staf biasa tapi tajir dari sononya, nggak bakal berefek banyak ke alur cerita.
 
Ada pula cerita-cerita yang mirip sinetron di TV atau akun gosip instagram. Bedanya cuma: ini bentuknya tulisan. Perselingkuhan, pelakor/pebinor, konflik menantu-mertua, konflik suami-istri, pernikahan dipaksa orang tua, rebutan pacar, dsb. Kadang dibumbui pesan agamis yang sayangnya cuma tempelan dan agamanya asal tafsir pulak! Biasanya yang ‘islami’ bertopik taaruf, pernikahan, dan poligami. Tapi, isi yang dibahas ya itu-itu aja. Klise, kayak udah template gitu. Cuma beda nama tokoh aja.
 
Jadi kasihan nggak sih sama yang Islam beneran, taaruf dengan benar, nyunnah beneran, dsb. Image-nya jadi gini amat di masyarakat. Padahal mereka yang beneran ini bisa seratus delapan puluh derajat sama tokoh yang diceritakan. Beda banget! Ya gini yang bikin image Islam (atau kelompok lainnya) amburadul: ulah oknum.
 
Oh, satu lagi. Fanfiction artis atau idol tapi dibikin cerita kasur. ‘Kasur’ ya, bukan lagi fanfiksi normal/sekadar selipan/sastra wangi, tapi betulan vulgar adegan per adegan tanpa cerita lain sama sekali. Jadi kasihan artis/idolnya nggak sih, dibikin fantasi liar begini. Satu lagi, soal fanfiksi artis ini juga mirip sama CEO-CEO-an tadi: profesi tempelan. Cuma dibilang ‘syuting, sibuk’. Lah terus? Misal si idol diganti bukan artis tapi orang berprofesi lain kayaknya nggak ngefek. Sama-sama sibuk juga toh?
 
Daaaan, cerita stensilan serta abusive relationship menjamur di sana. Dan ini laku abisss, views-nya banyak. Inget sinetron Zahra yang diprotes tayang beberapa waktu lalu karena nunjukin glorifikasi pernikahan di bawah umur? Cerita kayak gini bejibun, Bung!
 
Jadi ini: mulai dari background tokoh, setting, sampai konflik banyak yang tempelan. Nggak substansial (halah bahasane!). Plus, cerita seperti itu menjamur di sana. Ini sih yang paling bikin nggak setuju dan bikin nggak suka.
 
Kebetulan, platform yang saya masuki vibes-nya lebih ‘biasa’. Mayoritas cerita remaja dan dewasa muda/metropop (young adult). Cerita ‘dewasa’ tetap ada, tapi terbatas dan nggak vulgar banget. Cerita stensilan, saya belum pernah nemu sih. Semoga aja nggak ada. Dengar-dengar ada editor yang mengkurasi karya. Bukan kurasi yang serius gimana-gimana, cuma buat nyaring cerita yang nggak pantas aja. Cerita sarat makna juga ada, cerita sosio-kultural macam gaya Kompas/Jawa Pos ada.
 
Beberapa waktu lalu mereka nyelenggarain lomba cerpen bertema budaya (kalau nggak salah). Karena mayoritas young adult kan, saya pikir yang bakal menang ya yang vibes-nya metropop atau teenlit gitu. Ternyata enggak, dong. Baca cerpen pemenangnya bagai baca cerpen Kompas/JP.
 
To be noted, saya nggak bilang cerita bertema CEO, selingkuh, agamis, fanfiksi, dsb yg disebut di atas itu pasti jelek. No, nggak semuanya jelek. Yang bagus-bagus juga ada, saya pun pernah baca. Ada yang sampe bikin saya nangis, ada yang sampe bikin ngebatin, “Ini kudunya dinovelin aja, asik nih. Pasti laku nih”. Cuma mayoritas di platform-platform tsb ya pada retjeh gitu eksekusi ceritanya. Jadi bukan soal temanya, tapi lebih ke eksekusinya; isinya. 
 
Semoga itu cuma langkah awal aja, lalu ke depannya membaik dan penulisnya bisa bikin cerita dengan tema yang sama tapi lebih bagus.
 
 
(3)
Kelakuan anggotanya.
 
Seringkali kita cocok sama idenya, tapi orang-orang di sana nggak enak. Jadi cabut, deh. Iya, nggak? Banyak orang resign dari kantor yang gaji, benefit, dan visinya bagus karena ini. Grup nulis juga gitu.
 
Ini ‘grup’ nulis yang berhubungan sama platform nulis yang sudah dibahas, ya.
 
Duluuuu waktu tulis-menulis belum jadi se-anaksenja sekarang, sudah ada beberapa grup kepenulisan. Saya yang waktu itu masih ijo (eh sekarang juga masih sih. Kayaknya... hehe) dan cuma belajar nulis otodidak jadi suka mantengin grup. Soalnya, penjelasan di sana simpel dan aplikatif. Nggak terlalu banyak teori kebahasaan macam di kelas Bahasa Indonesia di sekolah (yang susah saya cerna, hehe).
 
Anggota grup-grup itu bervariasi. Ada yang sudah lihai nulis di media massa, ada yang sudah lihai aja tapi baru berani publish karyanya di grup doang, ada yang bener-bener baru nyemplung. Ada pula yang ikut simply karena suka baca aja, tapi nggak ikut nulis. It’s okay dan semuanya diterima dengan baik.
 
Semua anggota bebas mengomentari tulisan anggota lainnya. Kadang-kadang, founder platform tsb turut ngasih kritikan. Komentar dan kritik di sana ada yang halus, tapi nggak jarang pula pedas. Tapi, kritiknya memang fokus ke tulisan. Kalaupun bukan kritik, maka isinya adalah apresiasi. “Aku suka deh soalnya blablabla”, “Wah bagian ini keren nih”, dan komentar lainnya.
 
Seiring bertambahnya anggota yang kian membeludak, interaksi macam ini kian sedikit.
 
Ada naskah yang komentarnya banyak, tapi tulisannya cuma: “Next”, “Lanjut”, “Mana lanjutannya?”. Atau komentarnya malah menyoroti hal lain. Misal nih, tokoh dalam cerita dikisahkan berkonflik dengan iparnya. Maka komentar yang muncul semacam ini: “Iya nih ipar emang bisa jadi sumber masalah. Aku/tetanggaku/saudaraku sama iparnya juga blablabla” atau “Emang ya ipar nggak tahu diri. Mertuanya juga gitu. Memang keluarga pasangan itu harusnya cari yang beginibegitu”.
 
Begitu pun dalam tulisan non-fiksi. Kalau yang dibahas asuransi, nanti ada aja yang buka lapak soal halal-haram. Kalau yang dibahas vaksin, bakal ada yang ngomen anti-vax. Malah jadi curhat atau buka lapak sendiri. Forum di dalam forum. Kasihan si penulis (yang bener-bener pengin dibaca, bukan pengin tenar doang), tulisannya cuma jadi preambule doang buat obrolan lain.
 
Saya pernah ngasih komentar perbaikan seputar penulisan tanda baca dan PUEBI. Ada yang respon, “Halah gitu doang kok dipermasalahkan”. Halo? What? Ya saya bilang, kalau ini grup curhat (tulisannya memang cenderung opini) nggak bakalan saya komentarin tanda baca dll. Tapi kan ini grup literasi!
 
Ada juga platform yang komentatornya lebih ganas daripada penulisnya. Komentar macam ‘cerita lu jelek, cerita apaan nih, lanjutannya mana sih udah nunggu lama buruan dong!’ menjamur bak iklan pinjaman online. Kalau si penulis membela diri, maka balasan komennya akan lebih ganas lagi. Kadang pakai misuh dalam berbagai bahasa. Kadang, nggak cuma berhenti di komentar, si penyerang bakal buka semua data diri si penulis.
 
Jadi, yang dibedah bukan lagi tulisan, tapi personal.
 
Apalagi kalau yang dibahas adalah topik-topik tertentu yang sensitif. Isu politik, budaya, kelompok tertentu, dan agama hampir dijamin bakal banyak pelapak. Padahal, dulu juga tulisan macam ini sudah ada di grup-grup itu. Namun, reaksi anggota-anggota lebih adem. Kalau ada yang nggak setuju, ya dibalas pakai bahasa yang santun dan argumen yang baik. Kalaupun ada tulisan bertema demikian yang bahasanya ketara ‘memancing’, bakal di-report rame-rame biar tulisannya dihapus admin.
 
Sekarang enggak. Mungkin karena anggotanya udah banyak, adminnya juga kewalahan nyaring satu per satu. Akhirnya, tulisan alakadarnya yang bersifat ‘mancing’ pun membeludak. Anggota yang niatnya emang buat cari panggung dan bukan beneran nulis pun makin getol posting tulisan macam ini.
 
Pernah nemu status orang yang agak panjang, di medsos. Lalu ada orang lain yang komentar, “Mba share aja di (nama grup), insyaallah bakal banyak dukungan di sana.” – (ini perkataan asli ybs, nggak saya edit. Masih inget saking speechless-nya)
 
Lah, ini grup udah berubah jadi platform curhat rupanya.
 
Tulisan amburadul asal sensasional jadi laris manis. Grup kepenulisan udah berubah jadi medsos biasa.
 
Ada sebuah platform yang founder-nya buka suara. Dilihat dari analisis traffic, pengakses platform itu memang orang-orang segmen tertentu yang, kebetulan, sama dengan segmen tujuan sinetron dan akun hoax. Jadi ya nggak heran kalau sikap (mayoritas) anggotanya 11-12.
 
Padahal, saya suka sama tulisan founder-nya. Suka sama cara dia ngajarin nulis dulu, cocok sama pandangan menulisnya. Program-programnya sampai sekarang pun bagus. Tapi karena anggotanya reaktif gitu, saya milih pasif, lalu lama-kelamaan keluar. Sekarang saya cuma ikutan kalau si founder ada acara/seminar aja tanpa nyemplung juga di grupnya.
 
Seorang suhu dari grup lain memberi pencerahan soal segmen tertentu ini. Dia bilang, kita nggak bisa menyamaratakan tiap orang dan memaksa mereka jadi segmen yang seirama. Ada orang-orang yang ditakdirkan begitu sehingga pendekatan media untuk mereka berbeda pula. Sebab, kalau dipaksakan dengan media lain yang meski lebih berkualitas, pesannya nggak sampai dan nggak bakal efektif.
 
Ambil contoh penggemar sinetron dan semacamnya. Misal kita mau ngasih pesan terselip bahwa korupsi itu berbahaya, dilarang, dan merugikan orang banyak sehingga korupsi itu nggak boleh. Kalau sasaran orangnya seperti itu dan kita kasih macam film yang agak 'high level', mereka akan susah pahamnya. Mereka malah akan lebih paham kalau pesan itu ditayangkan lewat sinetron/sinema azab berisi kades yang meninggalnya susah karena nilep uang warga, misalnya.
 
Hal senada juga berlaku untuk segmen remaja penggemar artis tertentu atau K-pop.
 
Jadi, ya, mafhum kalau segmen pembaca di platform-platform pun beda-beda. Malah bisa jadi peluang untuk menggapai segmen tertentu lewat tulisan yang sesuai selera mereka.
 
Dan akhirnya, saya milih platform yang vibes-nya sesuai selera saya juga.
 
 
(4)
“Ada platform yang vibes dan segmennya sesuai selera kamu, kenapa nggak dimasukin, tapi malah nulis di blog?”
 
Pertama, emang nggak ambil banyak platform. Repot euy ngisinya. Lha wong blog aja jarang diisi, ini mau nambah banyak, wkwk.
 
Kedua, platform yang ditanyakan teman-teman itu ‘gede’. Saat itu. Dan kini, pamornya makin meredup. Ya masih aktif sih, tapi nggak se-hype dulu.
 
Kalau dilihat-lihat, platform tsb mirip-mirip sama medsos: ada masa kadaluwarsanya. Kayak era-era hype-nya FB, Twitter, dsb. Apa mereka sekarang nggak ada? Masih. Penggunanya juga masih banyak, tapi nggak segede dulu. Banyak yang migrasi. This might sound cliche, but I don’t want to 'just go with the flow'.
 
Ketiga, pertimbangan utama pakai blog adalah karena bisa diubah jadi web. Platform seperti blogspot dan wordpress bisa diubah jadi website berdomain .com dsb. Kalau H*pw**, M*d**m, dsb, setahu saya nggak bisa. Dan, website ini milik sendiri kan, jadi mau diubah sesuka kita juga bisa. Entah dimodif tampilannya atau mau pasang iklan biar dapet duit, dsb. Jadi lebih bebas dan lebih timeless aja meski era blogger & follow-follow-an blog udah lama usai.
 
 
(5)
“Kenapa nggak nulis buku? Udah lama kan nyemplung di kepenulisan. Emang nggak pengin?”
 
Kalau ditanya pengin, ya pengin. Penghobi nulis mana sih yang nggak seneng kalau tulisannya dibaca orang? Alhamdulillah kalau sampai disukai pembaca. Beberapa tulisan memang masuk ke sejumlah buku antologi. Tapi, kalau saya sendirian, ngerasa belum saatnya. Cukup testing the waters di blog, platform, medsos, dan lomba-lomba dulu. 

Why?
 
Simply karena emang belum mampu nulis bagus. Kalau dibandingin sama orang biasa yang nggak biasa nulis, ya emang bagus. Tapi kalau dicerna lebih dalam... Dibandingin aja deh sama temen-temen dekat di komunitas menulis, hasilnya masih di bawah. Jadi nanti dulu deh. Nanti, kalau kualitasnya udah agak naik. Sebab tulisan yang bagus itu adalah hak pembaca. Kalau pembaca kecewa sama tulisan, penulisnya juga bakal kecewa nggak, sih?
 
“Banyak lho yang baru nyemplung dan udah bikin buku.”
 
Ada penulis besar yang punya keyakinan bahwa semakin banyak orang menulis/menerbitkan buku itu lebih bagus. Artinya, tingkat literasi jadi lebih tinggi. Bahkan ada satu negara (lupa mana, kayaknya negara Balkan) yang presentase penerbitan bukunya hampir satu orang bikin satu buku. Itu bagus, karena minat bacanya juga tinggi.
 
Apalagi sekarang saat penerbit indie menjamur. Ini membantu penulis pemula banget. Soalnya nembus penerbit mayor atau media massa emang susah. Apalagi kalau belajar nulisnya masih ngerangkak. Butuh keberanian tersendiri buat soal terbit-terbitan ini.
 
Cuma sisi negatifnya adalah ada buku-buku yang nggak bagus yang bisa terbit. Ya karena proses penerbitan buku indie ini beda sama penerbit mayor. Tiap penerbit indie punya sistem yang beda. Ada yang tetap ada editor buat ngasih masukan, ada yang editornya cuma ngeditin saltik dll doang, ada juga yang langsung terima lalu terbit. Yang terakhir ini yang meresahkan. No quality control.
 
Saya pernah nemu novel begini. Udahlah kalimatnya kayak ditulis anak SD (sorry, but it’s true -- bahkan ada anak SD yang tulisannya lebih bagus dari ini), intronya panjang, tokohnya banyak, 3/4 bagian belum ada konfliknya, konfliknya ternyata langsung pembunuhan, terus endingnya selesai dalam 3 lembar A5. Like, whaaaat?  (untung murah!)
 
Gola Gong, penulis dan penggiat literasi, pernah bilang, “Penulis-penulis baru ini semangatnya tinggi. Itu baik. Tapi coba sesekali lemparkan naskah ke penerbit mayor atau media besar. Buat ngecek kualitas aja. Jangan buru-buru diterbitin. Semangat nulis tinggi, semangat nerbitin buku tinggi, itu bagus. Tapi kualitasnya juga harus bagus atau, paling nggak, meningkat.”

Jadi, jangan cuma terjebak euforia aja gitu.

Dee Lestari bahkan pernah bilang, "Yang menentukan langkah penulis itu bukan buku pertamanya, tapi buku keduanya".

Sebab, seringkali penulis, terutama pemula, terjebak suasana di buku pertama. Setelah buku pertama, lalu ngapain? Nulis apa lagi? Atau, sudah? Yang penting sudah pernah nerbitin buku dan tercatat di ISBN? (NB: soal ISBN dari penerbit, harap hati-hati. Sebab ada penerbit indie yang bilangnya ngurusin ISBN tapi ternyata enggak. Jadi cari penerbit indie yang terpercaya. Meski nggak semua buku kudu ber-ISBN sih. So, writer's choice)

Mungkin, ini salah satu sebab kenapa penulis dari background literasi atau kelompok tertentu kurang dikenal di kancah literasi nasional.  Dikenalnya ya orang-orang golongan itu aja sebab karyanya cuma berputar di circle itu-itu aja. Karena penerbitnya sejenis itu-itu aja, ditambah marketing yang begitu-begitu aja. Ya nggak salah sih, toh selera orang beda-beda. Cuma, kalau lebih dikenal, pesan kebaikan yang disampaikan bisa sampai ke lebih banyak orang. Kalau nggak dikenal, paling nggak pernah didengar di circle luar.
 
Mungkin ada yang nggak setuju dengan pendapat Gola Gong. Sebab, kalau nunggu ‘matang’, kapan mulainya? Saya sedikit nggak setuju juga sama beliau karena soal memulai ini. Tapi soal kualitas dan peningkatannya, setuju banget. Sebab, nggak bisa dipungkiri, salah satu tanda tulisan bagus adalah kalau dibaca, disukai, dan dipahami banyak orang.
 
Atau setidaknya, tulisan yang mudah dicerna orang lain.
(Dan saya masih tertatih-tatih soal ini.)
 
(Ya dari postingan ini aja kelihatan kan. Masih panjang banget, nggak efektif, dan mungkin bikin kamu yang baca jadi bingung, wkwkwk. Iya nggak sih?)
 

Reading Time: