Hijaubiru: CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2019

Tamansari: Bukan Sekadar Kolam Biasa
Juli 21, 20190 Comments

Kolam pemandian dan menara raja


Main ke Yogya (bukan Jogja ya, karena asal katanya ‘Ngayogyakarta’) tentu kurang afdhol rasanya kalau belum ke Keraton atau Malioboro. Mumpung sedang di pusat kota, kenapa nggak sekalian habisin semua tempat wisata di dekat sana? Toh jaraknya cukup dekat ditempuh jalan kaki. Dari banyak tempat, ada satu lokasi yang bisa jadi jujugan selanjutnya: Tamansari.

Bintang utama Tamansari adalah bekas kolam pemandian keluarga Kesultanan Yogya di zaman lalu, yang nama sebenarnya adalah Pasiraman Umbul Binangun (pasiraman=pemandian; umbul=sumber air; binangun=dari kata ‘bangun’, b. Jawa). Nama ‘Tamansari’ adalah kompleks peristirahatan yang meliputi kolam, danau-pulau buatan, dan bangunan-bangunan untuk kegiatan sehari-hari. Jadi, berbagai obyek wisata beserta perkampungannya saat ini, dulu merupakan satu kesatuan. Tak hanya itu, kompleks seluas 10 ha ini juga tidak kering seperti sekarang. Ada danau buatan yang mengelilingi beberapa bangunan di atas pulau buatan. Tak heran bila sekarang ditemukan banyak lorong bawah tanah.

Lorong bawah tanah di lingkungan ini bukan cuma berfungsi sebagai saluran air, tapi juga terowongan dari satu gedung ke gedung lain (sekarang sudah banyak yang runtuh). Terowongan ini pun bisa dipakai sebagai jalan pengungsian bila sewaktu-waktu ada serangan. Oleh karena itu selain sebagai tempat rekreasi, kompleks yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I ini juga bisa sebagai tempat perlindungan, seperti seyogyanya bangunan-bangunan penting zaman dulu.

Dari Keraton, tempat ini bisa ditempuh berjalan kaki kurang lebih 20 menit. Itu kalau jalan santai. Kalau jalan cepat dan kakinya panjang, bisalah 15 menit. Mau naik becak? Bisa juga. Biasanya harga yang dipatok sekitar Rp15.000,00. Kemarin sih teman saya nawar bisa dapat Rp10.000,00.

Dari jalan biasa ke Tamansari memasuki gang. Biasanya bahkan sebelum di mulut gang pun, kendaraan sudah mengular. Apalagi weekend dan hari libur. Beuh… Mau nggak padat? Monggo datang pagi sekalian dan di hari kerja.

Untungnya antrean loket nggak begitu panjang. Setelah beli tiket lima ribu perak per orang (atau enam ribu?), kami pun masuk ke kompleks kolam pemandian.

TAMANSARI, BUKAN SEKEDAR KOLAM BIASA
Sebelum memasuki pemandian, pengunjung akan disambut oleh gerbang yang sarat ukiran motif flora-fauna dengan beberapa sayap di sisinya. Gerbang ini merupakan pintu timur pemandian, Gedhong Gapura Panggung. Meskipun sekarang merupakan pintu masuk obyek wisata, sebenarnya gerbang ini adalah pintu belakang di masa lalu. Lalu, di mana pintu depannya? Nanti, akan kita temukan setelah keluar dari pasiraman.

Gedhong Gapura Panggung, pintu masuk pemandian
Tamansari kini

Begitu melewati gerbang, rasanya jadi sejuk melihat dua kolam yang terhampar di depan mata. Gimana nggak segar ngelihat air di mana-mana?

Ada dua kolam di area ini, yaitu Umbul Kawitan yang disediakan untuk putra-putri raja dan Umbul Pamuncar bagi para selir. Ada lagi kolam privat bagi raja yaitu Umbul Binangun, yang letaknya di sisi paling kiri (selatan), tapi nggak langsung terlihat karena tertutupi ruangan pribadi dan menara (namanya juga pribadi kan?)

Umbul Kawitan dan Umbul Pamuncar dipisahkan oleh jalan setapak dengan beberapa pot besar berisi tanaman hijau. Di sisi-sisi kolam tersedia terundak pendek yang terendam air. Terbersit bahwa di masa itu, para perempuan berjalan pelan-pelan dengan anggun meniti tangga pendek tersebut sebelum kemudian berenang ke tengah kolam. Macam di film-film lah. Namun, tentunya pengunjung dilarang bermain air di sini.

Bukan cuma kolam yang ada di bagian ini, tapi juga ruangan di sisi kanan (utara) dan sisi kiri (selatan) di bawah menara. Bagian utara digunakan untuk ruang ganti dan bersiap bagi para wanita, sedangkan ruangan di bawah menara diperuntukkan bagi sultan.

Kolam pemandian Tamansari: Umbul Kawitan & Pamuncar
Menurut penuturan bapak tour guide waktu itu, raja biasa duduk di dalam menara sembari melihat para wanita bermain air. Saat itu, raja akan menyiapkan sebuah kembang. Kembang itu kemudian ia lempar ke arah Umbul Pamuncar dan segera diperebutkan para selir. Selir yang berhasil mendapatkan bunga itu akan mendapat kesempatan menemani raja di kolam pribadi.

Bila diperhatikan, desain menara raja tidak hanya bercorak Jawa melainkan gabungan beberapa gaya yaitu Jawa, Eropa, dan Tiongkok. Arsitek pesanggrahan ini memang orang Portugis yang didatangkan dari Sulawesi, Demang Tegis (apa ini nama asli? Saya nggak tahu persis, tapi dulu ‘demang’ adalah gelar buat pemangku tertentu dan mungkin ‘Tegis’ dari kata ‘Portugis’?). Sementara, desainer lainnya yaitu Tumenggung Mangundipuro dikabarkan belajar arsitektur Eropa hingga ke Batavia. Corak ini bukan cuma dari menara saja, tapi dari keseluruhan bangunan kompleks ini.

Selepas menikmati birunya kolam, pengunjung diarahkan ke pintu keluar berupa gapura. Inilah pintu masuk Pasiraman Umbul Binangun di zaman dulu, Gedhong Gapura Hageng (hageng=ageng=besar, utama, bahasa Jawa). Ini karena pesanggrahan Tamansari dibangun menghadap barat, sedangkan pintu masuk loket wisata saat ini adalah pintu timur. Dulu, terdapat bangunan di depan gapura yang berfungsi sebagai tempat perjamuan.
    
SUMUR GUMILING DAN ATURAN TIGA DETIK
Keluar dari area Pasiraman dan belok ke arah kanan merupakan jalan ke Sumur Gumuling. Yang mana itu, apa bentuknya memang sumur? Bukan, struktur ini bukan sumur melainkan bangunan melingkar dengan panggung kotak yang menonjol di tengah-tengah. Panggung inilah yang biasanya jadi tempat swafoto.

Sebelum ke arah lokasi, sebenarnya ada sisa struktur lain di sebelah kanan, masuk gang. Kami ke sana karena mengira itu jalan ke lokasi sumur, ternyata bukan. Reruntuhan tersebut jelas merupakan sisa gedung. Maklum, Pesanggrahan Tamansari usianya sudah lebih dari dua setengah abad, plus Jogja beberapa kali diguncang gempa hebat.

Ada dinding tinggi di sebelah kanan dan posisinya lebih tinggi dari sekitar. Mungkin, inilah sisa puri Pulo Kenanga.

Puri yang paling tinggi dibanding bangunan lain ini dulu dipakai untuk tempat beristirahat plus berkegiatan seni, misalnya menari atau membatik. Dari sini juga bisa mellihat ke seantero pesanggrahan Tamansari. Maka nggak heran kalau tempat ini juga dipakai untuk tempat pengawasan bila musuh datang. Kenapa namanya ‘Kenanga’? Ya karena dulu banyak pohon bunga kenanga di sini.

Bangunan ini dulu berdiri di atas pulau buatan. Jadi, Pulo Kenanga dan Sumur Gumuling dulunya adalah gedung di tengah danau dan dikelilingi air. Demikian juga beberapa struktur lainnya. Jadi zaman dulu, bangsawan kesultanan harus naik perahu bila ke kompleks Tamansari.

Balik ke Sumur Gumuling. Letak bangunan bundar ini memang agak nyempil. Saat itu pun saya dan teman-teman sempat nyasar karena tak ada penandanya. Ada sih, peta Kampung Taman. Namun, peta itu nggak menunjukkan lokasi sumur secara detail, bahkan nggak ada posisi struktur-struktur kuno lainnya. Alih-alih, peta tersebut menunjukkan rumah-rumah penduduk secara rinci berikut nama kepala keluarganya. Mungkin peta itu dibuat supaya tamu penduduk nggak kebingungan nyari rumah yang akan dikunjungi. Setelah mbludhus ngawur, bertanya penduduk, dan nginthili (mengikuti) tour guide orang, sampailah kami di lokasi.

Pemusik bermain gitar dalam lorong yang ada di Tamansari (2017).
Pada 2019, yang tampil sudah satu grup lengkap.

Siapkan karcis sebelum masuk karena petugas akan meminta tiket masuk kolam tadi. Jadi, tiket untuk pemandian dan sumur jadi satu. Untuk memasuki struktur, kita harus melewati terowongan bawah tanah. Dulunya terowongan bawah ini tergenang sampai ke bagian terundak untuk naik ke panggung kotak. Orang bisa berwudu di situ sebelum shalat. Sumur Gumuling memang difungsikan sebagai masjid dulu. Ceruk yang ada di lantai kedua difungsikan sebagai mimbar bagi imam shalat. Jadi, kalau ada yang nanya, “Mana masjidnya?”, ya ini. Bentuknya memang beda dari masjid kebanyakan. Tapi jadi unik, kan?

Kalau pengin berswafoto di platform kotak itu, pastikan datang awal atau siapkan hati buat antre. Antrenya luar biasa lama karena tempatnya kecil, sempit, tapi banyak orang. Sebuah keistimewaan kalau berombongan banyak dan nyewa tour guide karena ia akan memastikan tamunya bisa berfoto di situ. Kami yang saat itu jalan-jalan sendiri serta pengunjung lain sampai diminta sembunyi di ceruk demi foto mereka.

Lorong lantai dua di Sumur Gumuling, selalu penuh orang

 Tapi jangan kuatir, lorong-lorong masjid ini juga menarik kok buat difoto. Lagi, itu pun kudu sabar nunggu orang lewat dan pintar cari timing dan angle buat nyembunyiin pengunjung lain. Seringkali gagal dapat hasil bagus karena tiba-tiba ada orang berseliwer. Sudah aba-aba satu… dua… tiga… yah ada orang, nggak jadi deh. Pengen foto bagus di sini? Bersiaplah hanya dalam waktu dua detik.

TEMPAT TIDUR ROYAL FAMILY
Selain pemandian dan Sumur Gumiling, sebenarnya masih banyak struktur kuno lain di Kampung Taman. Namun, bangunan-bangunan tersebut sudah tertutupi oleh padatnya perumahan. Priviledge lagi kalau sewa tour guide karena mereka bakal ngantar kita blusukan. Saya sampai kagum, kok bisa mereka hafal gang-gang yang njelimet ini. Kalau saya, mungkin bakal butuh waktu lebih lama kalau blusukan nyari bangunan-bangunan lawas itu sendiri. Atau malah nggak ketemu dan nyasar sekalian!

Bangunan lama kompleks Tamansari tersembunyi
 di antara rumah-rumah perkampungan

2015 dan 2017 lalu saya dan kawan-kawan memutuskan pakai jasa tour guide. Berapa? Seikhlasnya, beliau bilang. Tapi meski begitu, tetap kira-kira lah. Ya kali cuma ngasih dua puluh ribu!

Waktu itu kami diantar ke beberapa bangunan. Saking banyaknya ruangan dan namanya beda semua, saya sampai lupa ke mana saja. Yang jelas, salah satu ruangan yang kami sambangi adalah dapur dan kamar tidur raja beserta para istri. Para selir tidur di bangunan yang sama, sedangkan raja di bangunan lainnya.  

Gedung kuno dalam kompleks Tamansari

Bagaimana kondisi kamar tidur zaman dulu? Sebenarnya bentuk bangunan untuk istirahat di kompleks ini rata-rata sama, yaitu ruangan berjendela dengan beberapa struktur setinggi pinggang. Di situlah kasur dan karpet digelar. Selain itu juga bisa buat tempat penyimpanan barang atau meletakkan perkakas.

Di dalam bangunan yang sama, juga ada ruangan lain yang letaknya paling pojok. Ruangan ini paling beda karena ada terundak pendek yang di atasnya terdapat lubang. Inilah kakus zaman dulu! Di bawah lubang tersebut ada saluran air yang akan langsung membawa kotoran menuju sungai terdekat. Saluran yang dulu selalu mengalir itu sekarang sudah kering. Dari mana airnya? Ah, bapak pemandu tur menyebutkan nama sebuah sungai, tapi saya lupa namanya. Ruang itu juga ruang untuk bebersih yang dilengkapi wewangian. Jadi, toilet lawas pun aman dari bau dan tetap bersih. Bagaimana dengan kamar mandi kita di rumah?

-------------------------------
Selain wisata sejarah, Tamansari juga menyuguhkan wisata seni berupa batik lukis. Ada beberapa galeri yang bisa dikunjungi bila tertarik. Bahkan, tak jarang ketika mengelilingi kampung, akan kita temukan para seniman yang sedang bekerja di tepian gang.

Tamansari dan Kampung Taman merupakan saksi kemegahan di masa lalu. Meskipun beberapa bagian yang sudah runtuh dan tak lagi utuh, keanggunan dan kecantikannya tak lekang dimakan waktu, sama seperti namanya yang berarti taman yang ayu.



-------------------------------
Sumber:
-Bapak tour guide
-Pamflet dari loket karcis
-Wikipedia!
  https://in.wikipedia.org/wiki/Taman_Sari_(Yogyakarta)
- https://kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/13/tamansari  --- (ada peta Tamansari di sini)
Reading Time:

Minggu, 16 April 2017

Satu Bulan di Kota 1000 Industri
April 16, 20170 Comments
Meskipun banyak pabrik tersebar di seluruh penjuru Jabodetabek, tetapi kota ini mendapat kehormatan diberi julukan tersebut. Terletak di barat Jakarta dan agak dekat dengan Gunung Salak, sebenarnya kota ini terbagi menjadi wilayah perkotaan dan kabupaten. Sudah tertebak? Benar, jawabannya adalah kota Tangerang.

Awal tahun ini, saya berkesempatan merasakan hidup di Tangerang selama sebulan. Pasalnya, saya mendapat tugas di salah satu wilayah tepi Tangerang yang sudah termasuk dalam Kabupaten Tangerang. Jadi kalau dibilang tinggal di kota Tangerang, ya nggak juga sih, hehe. Tapi pengalaman bepergian di salah satu kota Jabodetabek tercoret sudah dari wish list. Jadi, senang dong? 

Tidak juga. Saya mendapat penugasan di tempat ini karena tempat lain sudah penuh. Plus, ada tenggat waktu untuk tugas lain yang harus dikejar. Bila penugasan keluar kota ini tak kunjung dipenuhi, maka tugas lain akan ikut kacau-balau karena pengumpulannya mundur dan fokus saya jelas akan terpecah. Jadi, demi mengejar dateline, saya ambil saja kesempatan ini. Hitung-hitung menyelesaikan satu tugas dulu. Singkatnya: terpaksa.

Mana ada kebahagiaan yang muncul kalau di awalnya sudah terpaksa?

Kalau di akhir atau tengah-tengah perjalanan tiba-tiba 'tersadar' sehingga jadi ikhlas, itu lain soal.

Saya sudah mulai mengkalkulasi biaya hidup semenjak tahu sudah fix ditugaskan di sana. Biaya hidup di kota yang masih bertetangga Jakarta, meski sudah masuk Provinsi Banten, tentu tak murah. Bila dihitung, biaya makan sehari-hari dan biaya ngekos kira-kira satu setengah kali biaya hidup di kota tempat saya tinggal. Ongkos makan jelas membengkak karena saya jadi tak bisa masak (siapa sih yang mau bawa atau beli peralatan masak dan cuma dipakai sebulan? Repot sekaleee!). Untungnya, saya berdua dengan teman sehingga pengeluaran untuk ngekos bisa patungan.

Hari itu juga, teman saya langsung booking tiket bus. Karena berangkat dari Jogja, kami dikenai biaya Rp165.000,00 dengan menumpang bus Rosalia Indah. Perjalanan dimulai menjelang sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dan malam habis di perjalanan. Menurut perkiraan, kami akan sampai sekitar pukul tujuh di Tangerang. Namun, estimasi tinggal estimasi. Kejutan pertama: meskipun kami telat berangkat sejam, kami tiba di Tangerang tetap subuh, tepat pukul lima. Dan, hujan.

Saya dan rekan pun memutuskan menunggu di pool bus di Jl. Raya Serang hingga agak terang. Setelah itu, baru kami akan cari kos. Keinginan kami tentang kos nggak muluk-muluk: dekat dengan tempat kerja, sesuai budget, dan yang paling penting: bersih. Nggak perlu yang terlalu mewah, nggak perlu-perlu pula yang fasilitasnya lengkap. Toh kami bakal cuma numpang tidur, plus nyuci baju. Selebihnya, waktu pasti akan habis di kantor.

Rencana tinggal rencana. Tak ada yang cocok. Bila ada pun, sudah ada yang menyewa. Kondisinya juga tak sesuai dengan ekspektasi. Salah bila kami mengira kos di sini seperti kos-kosan di Surabaya atau Jogja. Kos, yang di wilayah ini disebut dengan kontrakan saya sih nyebutnya kontrakan petak merupakan satu kamar kosong dengan kamar mandi di dalam. Bingung juga kami pada awalnya, karena dalam pikiran kami, kontrakan itu ya rumah tinggal yang dikontrakkan, bukan kontrakan petak. Tak ada perabot satu pun karena penyewa biasanya adalah pekerja-pekerja yang akan tinggal lama, bahkan berkeluarga. Satu jam mencari, tak kunjung ada kontrakan petak yang cocok. Ojek yang berbaik hati mengantarkan kami keliling ngider-ngider sepertinya sudah capek dan menawarkan kontrakan milik temannya. Ya apa boleh buat, dari tadi tak ada yang cocok. Dengan kata lain, nggak ada yang cukup bersih. Oke, ngider lagi.

Tapi kelamaan jadi kami yang capek. Dengan pasrah, kami mengiyakan tawaran kontrakan terakhir. Lingkungan luar pintu bersih, dalam ruangan pun cukup bersih. Ada kandang unggas di belakang yang kadang baunya menguar ke depan karena si unggas dibiarkan berkeliaran. Kamar mandi? Sempit dan agak bersih. Kalau cuma 'agak bersih', kenapa dipilih? Karena ini yang paling mending dibandingkan kontrakan-kontrakan lain yang sudah disurvey. Dan kami yakin, yang lain paling juga 11-12 dengan ini, malah bisa jadi lebih kotor, ditilik dari lingkungan sekitarnya. 

Oke. Deal. Sudah dapat kosan.

Jadi, sudah tenang? Belum. Kosan kami jaraknya sekitar 1,5 km dari kantor. Yey, kejutan kedua! 

Sebenarnya kami sama-sama terbiasa jalan jauh, baik dengan beban secara harfiah maupun 'beban' pressing (saya suka naik gunung, rekan saya dulu anggota Paskibraka). Tapi yang cukup bikin kami shock, ini tiap hari! Dan dilakukan sebelum dan sesudah ngantor! Padahal sebelum kerja kan harus fresh sehingga nanti bisa mikir, dan sesudah kerja tentunya sudah capek ampun-ampunan. Dan kami kudu jalan? Yang bener aja!

Malam itu, kami menghitung-hitung anggaran untuk ongkos angkot selama sebulan. Sempat terpikir ngojek. Namun setelah dikalkulasi, tentu lebih tekor. Maka ngangkot pun jadi pilihan satu-satunya untuk memperpendek jarak jalan kaki. Ngangkotnya 500 meter, sisanya jalan.

"Nggak apa-apa, nanti juga kita biasa, dan akhirnya kita bisa jalan pulang-pergi," kami menghibur diri. 

Masih kaget dengan lingkungan, kami masih juga dibuat syok dengan kondisi dan situasi tempat kerja. Namun, yang ini masih bisa ditolerir. Namanya juga tempat kerja, pasti kultur dan kebiasaan antartempat berbeda-beda. Ngalir aja lah. Toh cuma sebulan, batin kami. Hitung-hitung buat nambah pengalaman.

Makan malam jadi salah satu pelipur lara (halah) di sela-sela kesibukan. Meski cuma makan di warung-warung pinggir jalan, tapi mencoba satu demi satu makanan 'pasaran' kami anggap petualangan kuliner tersendiri. Nasi uduk, nasi kuning, mie ayam, sate, ayam bakar, siomay, pecel lele, nasi campur, nasi padang. Makanan yang lumrah bukan? Namun, entah kenapa tetap excited mencoba meski sudah tahu rasanya pasti begitu-begitu saja. Mungkin kami memang kurang hiburan. Selain HP dan laptop, yang hanya bisa dibuka setelah pulang kerja, tak ada lagi pengalih perhatian dari rutinitas. Ya, kalau nyuci baju bisa disebut sebagai pengalih perhatian sih.

Maka kami pun mencari hiburan.

Akhir pekan merupakan saat yang paling kami nanti sejak minggu pertama. Pasalnya, hanya di hari itulah kami bisa refreshing, jalan-jalan, explore beragam tempat, plus melupakan sejenak rutinitas kantor yang terkesan monoton. Sebulan di Kota 1000 Industri, tak satu kali pun kami lewatkan tanpa jalan-jalan.


Pekan pertama
Sabtu siang, kami memutuskan pergi ke Citra Raya untuk nyari es durian. Hasil browsing semalaman memberi tahu bahwa ada satu kafe yang menyediakan beragam hidangan durian di sana. Setelah ngojek dan mengikuti petunjuk dari Google Maps, ndilalah kafenya nggak ada. 

"Udahlah, ke Eco Plaza aja," saran teman saya.

Dalam bayangannya, tempat itu ya plaza, mall luas dengan berbagai gerai. Tapi, hm..., melihat lokasinya yang ada di tengah perumahan (meski perumahan super besar) begini, saya kok jadi sangsi.

Benarlah keraguan saya. Tempat itu memang menyerupai mall, tapi hanya dengan beberapa gerai meski besar. Tidak salah memang kalau menyebutnya 'plaza' karena secara harfiah, istilah dari negeri Pizza itu dipakai untuk mendefinisikan suatu tempat luas yang digunakan orang-orang untuk berkumpul. Lantai satu terisi dengan semacam hypermart dan toko baju dengan tiga-empat kios-kios jajanan. Menurut saya, daya tarik utamanya ya yang di lantai dua, yaitu bioskop.

Rekan saya pun mengajak hengkang dengan betenya. Sisa siang itu kami habiskan dengan makan mie aceh dan sup durian di dua ruko berbeda yang terletak dekat dengan plaza.

Esoknya, hari Minggu, dia ngajak ke 'plaza beneran'. Meluncurlah kami selepas dhuhur ke arah Tangerang City Mall, yang biasa disebut Tangcit. Selama satu jam (plus ngetem), bus kota sederhana jurusan Kalideres, Jakbar, mengantarkan kami dari Jl. Raya Serang dengan ongkos 15 ribu. Pulangnya, kami naik bus yang sama dengan jurusan Balaraja/Bitung/Cikupa setelah menyeberang dari Tangcit.

Sebenarnya ada shuttle bus dari Citra Raya yang bisa mengantar sampai Tangcit dengan ongkos kira-kira Rp7.500,00. Namun, artinya kami harus ngangkot dulu ke halte di Citra demi bisa menaiki mobil berAC itu. Pulangnya juga. Dua kali jalan? Ogah.

Di Tangcit, teman saya nggak sedetik pun menampakkan wajah bete.


-Salah satu sudut Tangcit-


Pekan Kedua
Karena minggu kemarin sudah ke tempat beraroma modern, maka kali ini giliran saya yang request untuk ke tempat yang agak tua sedikit. Kota Tua Jakarta sudah jadi salah satu incaran sejak tahu saya ditugaskan di Jabodetabek. Meski tempat kami lebih ke selatan dan Kota Tua itu di pucuk utara, saya tetap keukeuh pergi ke sana. Salah satu jurus bujukan saya adalah ini, "Di sana tempat wisatanya nggak cuma satu. Kita bisa loncat dari satu tempat ke tempat lain, dan itu dekat! Plus, banyak tempat bagus buat spot foto."

Rekan saya mengiyakan. Yes! Kunjungan ke tempat historik ini sangat kami nikmati, meski di akhir perjalanan ada satu hal yang bikin dongkol karena miskalkulasi.
Selengkapnya di _________


-Sang Saka berkibar di salah satu gedung peninggalan era kolonial-


Pekan Ketiga
Awalnya, kami 'bertualang' ke lokasi ini karena stuck. Nggak ada lagi tempat wisata yang kami nilai cukup bagus dan cukup dekat. Syukurlah, ternyata rezeki nggak ke mana, anak bapak kos yang mendengar percakapan kami nyeletuk, "Kenapa nggak ke Danau Biru aja? Dekat, cuma di Tigaraksa".

Tigaraksa adalah kecamatan lain yang tidak jauh dari kosan. Setelah browsing sana-sini, kami putuskan melancong ke tempat yang disebut juga dengan julukan Danau Dua Warna ini.
Selengkapnya di _________


-Danau Biru Cisoka, dua danau berbeda warna yang letaknya tepat bersebelahan-


Pekan Keempat
Yang artinya pekan terakhir sebelum kami pulang. Jauh-jauh hari saya sudah mengajak untuk sekalian ke Bogor. Kenapa jauh banget? Dulu, setahun lalu, kami pernah ke Bogor. Namun, hanya ke pinggirannya untuk mengunjungi satu lembaga. Itu pun hanya selama lima jam. Kasihan dong rekan saya yang cuma sebentar dan belum melihat Bogor agak luas sedikit (saya sudah, karena setelah kunjungan lembaga itu saya berpisah dengan rombongan dan extend sendiri, hehehe).

Jadilah kami ke Bogor! Meski di akhir perjalanan, saat kembali ke Tangerang, kami harus rela mengantre tiket KRL selama sejam.


-Salah satu kantor lawas di dekat Kebun Raya Bogor yang sekarang digunakan sebagai kantor Balittanah. Terj: Laboratorium Agrogeologi & Penelitian Tanah-



-------000-------

Yep, itulah cerita 'pelancongan' kami sebulan di Kota 1000 Industri. Yah, meskipun jalan-jalannya ada yang nggak di kota itu sih. Tapi lumayan lah bisa jalan-jalan kesana-kemari, jadi duo traveler yang artinya karena cuma berdua maka dua-duanya harus bisa gerak cepat di situasi yang nggak ada di skenario kami, dan harus berani dan nekat meski itu artinya harus sama-sama manjat pagar setinggi dua meter demi ngejar angkot. 


NB: saya nggak bilang semua tempat di Tangerang kotor ya. Ada kok, dan saya kira banyak, lingkungan yang bersih di Tangerang. Cuma, saya kebetulan aja saya dapat tugas & tinggal di tempat yang agak kurang nyaman. Secara, kota besar mana sih yang nggak punya wilayah begini?
Reading Time:

Kamis, 21 April 2011

Markas Keluarga: Rembang!
April 21, 20110 Comments
Bermula saat kabar itu sampai ke rumah.
"Mbak mau nikah! Di Rembang! Ayo ikut Bapak ke sana!"
Dan akhirnya karena suatu kemukjizatan yang dikabarkan melalui SMS ketua kelas bahwaaa besok libur, besok libur! *dance

Jumat, 25 Maret 2011
Paginya, langsung packing. Setelah nungguin bapak yang harus izin ke kantor dulu sambil leyeh-leyeh dan ngerjain PR yang pasti bakalan numpuk kalo ditinggal padahal harus dikumpulin pas besoknya setelah pulang dari Rembang, akhirnya pukul 10.00 WIB kami berangkat ke terminal Bungurasih.
Sampai di Bungurasih, alhamdulillah langsung nemu bus meskipun sempat di-pingpong orang. Udah nemu satu bus, disuruh cari bus lain aja. Tapi alhamdulillah nggak lama di-pingpongnya. Aanyway, bus yang kami tumpangi kali ini adalah bus dengan rute Surabaya-Semarang.
Di bus panas (iyalah!), apalagi dengan adanya penumpang yang bersesak-sesakan karena nggak dapat tempat duduk dan para pedagang yang mondar-mandir menjajakan dagangannya, belum lagi ada suara musik dangdut dengan CD player yang sudah mbrebet. Ngantuk, jelas! Bosen, banget! Pengen lompat dari bus, nggaklah!
Di sela hati yang nggremeng dan mata yang merem-melek menikmati permen jahe pedas, ada suara anak kecil yang lagi ngamen di bus. Aku nggak pernah denger lagunya, tapi begitu denger, langsung kerasa kalo liriknya sakiit banget. Kalo nggak salah gini:
Langit adalah atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Makanan yang dibuang orang di tempat sampah
Itu yang kami makan
Kolong jembatan adalah tempat berlindungku
Beginilah nasib menjadi seorang tunawisma
Langsung merinding dengernya. Langsung kepala ini noleh ke arah asal suara. Seorang anak laki-laki kira-kira kelas 4 SD berpostur gemuk pendek memakai baju yang sudah usang dan memakai topi merah memegang alat musiknya. Matanya menerawang. Aku lihat kulitnya hitam, pasti akibat panas matahari yang tiap hari menyengatnya. Anak seusia gitu, kok nggak sekolah ya? Pikiran itu sempat-sempatnya mampir di pikiranku. Lelet, kalo buat makan aja dia masih ngamen, gimana bisa dia bayar uang sekolah, hah???!!!!
Kelar dengan si anak kecil. Nggak merhatiin, tiba-tiba setelah bus berhenti di beberapa terminal, dia udah hilang.
Mata ini kembali melihat ke luar jendela (kegiatan dalam perjalanan yang paling mengasyikkan! :D). Panorama di luar jendela nggak bisa dibilang bagus sih, malah bisa dibilang biasa aja. Pemandangannya cuma rawa-rawa dengan banyak tambak. Iyalah, pemandangan apa yang aku harapkan? Ini pantura, Kawan! Pemandangan rawa bakau, laut, dan tambak adalah 'pemandangan wajib'.
FYI (For Your Information) aja, jalur Pantura adalah jalan yang awet sejak zaman kolonial Belanda. Pernah dengar jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibuat Belanda untuk memperlancar transportasi jika suatu saat terjadi perang? Yep, jalan itu adalah jalan yang sedang aku lalui ini, atau jalur Pantura. Jalan yang juga disebut dengan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) ini dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels. Pembangunan jalan yang berlangsung mulai 1808 dan selesai hanya dalam waktu setahun! Soalnya, Daendels emang dikenal sebagai pemimpin tangan besi. Nggak ehran banyak rakyat Indonesia yang tangannya ikut membangun jalan ini akhirnya mati sia-sia karena kesehatan dan kehidupannya ditelantarkan. Mereka dibiarin tidur di barak-barak kotor yang penuh dengan virus cacar dan penyakit mematikan lainnya. AKibatnya, yang meninggal dalam pembangunan jalan ini sekitar 12.000 orang (catatan Inggris). Tapi sebenernya sih pasti lebih dari itu. Jalan ini menghubungkan Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus- Rembang- Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.
FYI, konon karena tangan besinya (dan juga karena korupnya), Daendels akhirnya dipulangkan ke Belanda oleh Napoleon Bonaparte (waktu itu Belanda ada di bawah kekuasaan Perancis, Napoleon adalah kaisar Prancis) dan Gubernur Jenderalnya diganti dengan Jan Willem Jansens. Tapi karena Jansens tidak cakap, akhirnya Hindia Belanda berhasil dikuasai Inggris walau cuma sebentar.
Jadi ngomongin sejarah gini.
Akhirnya masuk Jawa Tengah juga. Di sini ada beberapa poin yang menarik perhatianku. Antara lain:
  • Nemu gunung di tengah jalan. Gunung ini nggak terlalu tinggi, tapi nggak tahu juga mengingat puncaknya tertutup kabut. Yang bikin ngeri adalah kemiringan gunung ini. Dilihat dari jauh pun orang tahu kalo gunung ini gradiennya bikin vertigo (hiperbolis mode: on)
  • Rada berhubungan dengan geografi nih. Di daerah Gresik, Tuban, dan seterusnya kan termasuk pegunungan kapur utara. Di daerah-daerah tersebut kita bisa nemuin tanah yang warnanya putih kayak kapur. Batu batanya aja warnanya putih. Selain warna putih, ada juga tanah yang warnanya merah. warna tanah yang merah banget (kecokelatan dikit) ini mengandung banyak Fe alias besi yang nyebabin tanahnya merah
  • Adanya pengerukan tebing di tepi laut. Gila, ngeruknya dalam banget! Mana tebingnya tingginya 5 meteran lebih. Kalo longsor, wassalam buat para kendaraan yang lewat. Soalnya kanan jalan udah laut.
  •  
  • Kragan, Kragan! Tempat ini bernilai sejarah lho! Waktu pertama kali datang ke Indonesia, tempat yang dijadikan sebagai tempat mendarat oleh Jepang salah satunya adalah Kragan (baru inget waktu diingetin bapak. Heran, yang barusan lulus sekolah  siapa?)
  • Ditunjukin rumah-rumah saudara yang berada pas di tepi jalan Pantura. Hehehe, suatu keunikan pribadi
Akhirnya, waktu ashar, sampai juga di sebuah tempat yang panas, sumuk, kayak Surabaya. Di sanalah bapak dan aku turun meloncat dari bus dan sampailah kami di.... depan alun-alun kota Rembang.
Walaupun di sebelah alun-alun ada Masjid Agung Rembang, emang pada dasarnya udah lapar (biasanya jam segini udah makan tiga kali, ini baru sekali :'( ), kami langsung cari makanan yang nyaman di lidah. Dan pilihan jatuh kepadaaa..... semangkuk bakso urat dan mie ayam serta segelas es teh yang dijual di tepi alun-alun. Kelaperan, langsung aja disikat. Yummoo! Sambil makan, lihat-lihat sekitar. Eh, ternyata di alun-alun ada pasar malam. Wuih, langsung semangat! Udah bertahun-tahun nggak lihat pasar malam.
Kelar makan, nyari penginapan. Alhamdulillah deket alun-alun ada penginapan kecil yang bagus. Kecil sih, tapi rindang, bersih, rapi. Habis sampai penginapan, istirahat sebentar (leyeh-leyeh, makan permen, mandi, lihat kartun), kelar maghrib kami pergi ke rumah pakdhe yang punya hajatan seperti sudah disebutkan di atas.
Suasana kota Rembang itu beda banget sama Surabaya. Alun-alun kota nggak seberapa rame meski ada pasar malam. Kalo di Surabaya, jalan di depan balai kota itu pasti ruame banget. Kalo di sini mah, sepi mamring. Jangankan kendaraan, orang yang lewat per menit aja bisa cuma 1-2 orang.
FYI aja lagi. Balai kota alias rumah dinas bupati Rembang yang letaknya nggak jauh dari hotel kami itu juga merupakan museum Kartini. Kenapa? Karena ibu kita, Kartini, yang merupakan orang Jepara itu pernah tinggal di rumdin kabupaten Rembang. Kartini mendapatkan seorang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang merupakan bupati Rembang saat itu. Di sekitar rumdin ini banyak banget sekolah-sekolah terutama SD. Aku ngitung, ada kali 6 SD di daerah situ. Juga, ada beberapa sekolah yang memakai nama Kartini.
Akhirnya setelah nyasar-nyasar nyari alamat, ketemu jugalah rumah pakdhe. Di sana kami ngobrol-ngobrol (bapak sih yang ngobrol), dikenalin ke saudara-saudara yang aku belum pernah lihat+ketemu seumur hidupku, dan ketemu sepupu yang udah lama nggak ketemu + tante yang juga dari Surabaya.
Udah ngerasa malem, mata udah mulai kriyep-kriyep, akhirnya kami minta izin untuk balik ke penginapan. Sampai di penginapan, ngunci pintu, cuci kaki-muka-tangan-darah (tuh kan jadi ngasal, maklum udah ngantuk), nyalain AC, tarik selimut, tiduuuurrr. Zzzz......

Sabtu, 26 Maret 2011
Bangun pagi langsung salat shubuh di mushalla sebelah kamar. Nggak dingin, soalnya kayak Surabaya suhunya. Cuma ya dimana-mana tetep sama aja, kalo shubuhan harus ngumpulin nyawa dulu satu-satu di atas kasur. Kalau udah genap, mulai berjalan zombie ke mushalla.
Kelar salat, balik ke kamar lagi. Bapak, seperti biasa, menonton berita pagi sedangkan anaknya ini sudah balik ke alam mimpi. Bangun-bangun, eh, udah jam tujuh. Mandi, sarapan, terus mulai kunjung-kunjung ke rumah saudara lagi (yay!).
Setelah nemenin bapak ngabisin rokok sambil jalan-jalan ke alun-alun dan akhirnya beli bubur, kami berjalan menuju pemberhentian pertama: rumah buliknya bapak alias mbahlikku. Nah, kalau yang ini pernah ketemu nih! Pernah ketemu di rumah eyang soalnya! Jadilah aku duduk manis mendengarkan obrolan bapak dan mbah yang sering berjalan ke masa lalu.
Setelah bapak puas ngobrol dengan mbah, kami beralih ke pemberhentian selanjutnya : rumah budhe. Di sana, sementara bapak ngobrol dengan budhe-pakdhe, aku asyik di samping rumah main sama kura-kura mbak sepupu.
Siang, setelah makan siang di rumah budhe dengan garang asem (makanan khas Jawa Tengah, semacam sup berbahan utama daging dan tulang sapi dengan kuah yang asam), aku nunut tidur di rumah budhe hingga waktu ashar. Selepas ashar, aku, mbak Rima (sepupu), dan tanteku pergi ke rumah pakdhe yang memiliki hajatan untuk upacara siraman.
Ternyata eh ternyata, kami sudah telat. Upacara siraman sudah selesai. Jadi kami cuma duduk dan ambil makanan. Di antara hidangan yang tersaji ada yang namanya nasi gandul, makanan khas Jawa Tengah. Kalau dilihat sekilas, nasi ini mirip rawon. Bahan utamanya sama, yaitu daging sapi atau jeroan sapi. Perbedaannya adalah di kuah dan rasanya. Kuah nasi gandul warnanya cokelat, beda dengan rawon yang hitam karena kluwek. Rasa nasi ini cukup unik. Awal-awal, rasanya manis. Namun di akhir rasa manis itu hilang berganti rasa pedas.
Kelar makan, aku dan mbak Rima pergi keluar, yaitu ke alun-alun. Ada pasar malam kan, jadi rame. Mbak Rima berencana buat ngajak aku ke sana, ya karena aku udah lama nggak lihat pasar malam lagi. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baruuu aja kami datang dan mbak baruuu aja milih-milih celana, hujan turun dengan derasnya sodara-sodara! Kami terpaksa ngiyup di lapak-lapak jualan bantal dan sprei.
Akhirnya karena sudah masuk waktu maghrib, kami nekat menerobos hujan dan lari-larian menuju Masjid Agung Rembang yang berada di dekat alun-alun. Wah, masjid ini gede deh. Warnanya putih dengan satu menara menjulang tinggi ke atas. Pilar-pilarnya gede-gede, banyak dan warnanya putih. Kalau kita masuk ke tempat salatnya, sekeliling langsung didominasi warna cokelat. Plafonnya dari kayu yang dipelitur indah dengan pilar-pilar warna cokelat yang bikin kesan klasik.

Selesai salat, kami balik ke rumah pakdhe. Di sana tinggal tante aja, sedang bapak sudah pulang ke hotel. Para sanak famili sudah mulai berkaraoke. Akhirnya mbak Rima pulang, tinggal aku dan tante. Karena hujan sudah berhenti (tuh kan, kalo aku jalan-jalan aja hujannya turun!), aku dan tante berinisiatif untuk jalan-jalan ke alun-alun lagi. Uh, belum puas tadi!
Kami ke sana jalan kaki. Rada ngeri soalnya ini malam minggu, di mana alun-alun dengan pasar malamnya pasti menjadi jujugan orang-orang sekota yang pengen bermalam minggu. Jadinya, jalan yang tadinya sepi mulai rame dengan deru sepeda motor. Belum lagi kalau ada yang gaya, sok jadi pembalap. Was wus!
Sampailah kami di alun-alun. Di sana banyak wahana yang sangat menarik perhatian bagi orang yang tidak pernah melihat pasar malam selama beberapa tahun terakhir (baca:aku). Ada perahu dengan bentuk hewan-hewanan yang mengapung di atas kolam besar. Ada biang lala, ada komidi putar, ada arum manis. Kami berkeliling dan mulai memotreti semua wahana itu sampai dilihatin orang-orang. Mungkin batin mereka, ndeso yek gak tau nontok pasar malam. Hehehe, biarinlah. Enjoy aja.
Tante mulai tertarik dengan barang-barang yang dijual di kios-kios pasar malam. Ada baju, cincin, gantungan kunci. Waktu tante milih-milih baju, sempat tertarik dengan salah satu kaos lengan panjang warna hijau dengan tudung. Tapi, buat apa beli barang di pasar malam yang notabene harganya lebih mahal dan bakalan menuhin tas kalau di Surabaya bisa beli?
Namun akhirnya aku membeli sesuatu juga. Ceritanya waktu lihat-lihat gantungan kunci. Lalu mataku terpaku pada sesuatu warna-warni yang harganya cuma ENAM RIBU RUPIAH padahal kalau asli harganya SERATUS DUA PULUH RIBU RUPIAH, yaitu alat tebing berupa snap dan carabiner. Iyalah harganya enam ribu, orang cuma bohong-bohongan kok, hehehe. Tapi akhirnya beli juga. Masa di Rembang nggak ada kenang-kenangan barang?
Puas keliling-keliling, kami pulang dengan becak. Aku ke hotel dan tante ke rumah budhe. Di hotel mendapati bapak sudah lelap. Akhirnya aku nonton TV sambil buka-buka sebuah buku yang bawa dari rumah dan mulai mengerjakan PR.

Minggu, 27 Maret 2011
Pagi-pagi udah keluar hotel untuk ke rumah mbak Rima dan jemput tante karena pengen jalan-jalan ke pantai Kartini. Ngobrol-ngrobrol sebentar, lalu berangkat. Tapi kaki kami ternyata berbelok dengan sendirinya di suatu gang untuk menuju rumah mbah buyut saya, yang dulu menjadi 'markas besar' keluarga. Di sana ngobrol-ngobrol juga. Ngomongin soal bagaimana rumah ini berubah sejak dari zaman penjajahan hingga sekarang, soal siapa aja dari saudara kami yang pernah tinggal di situ, hingga cerita merembet ke sejarah keluarga.
Lalu kami mulai mencari transpor ke pantai Kartini yang letaknya nggak jauh. Kami naik becak. Sekitar lima belas menit, udah sampe di pantai Kartini. Setelah bayar karcis Rp8.000,00 @orang, kami masuk dan langsung mencari sarapan. Sarapannya di tepi laut. Di meja berpayung warna orange. Dari situ kami bisa lihat langsung ke laut lepas. Di kejauhan terlihat batu-batu besar yang diletakkan sebagai pemecah ombak. Perahu-perahu nelayan berkumpul di suatu tempat meskipun ada juga yang sedang melaut.
Setelah makan (bakso panas + telur puyuh + mizone dingin), aku dan bapak menuju ke pantai sedangkan tante memilih tinggal di tempat. Langsung aja copot sandal, lipat celana, nyebur ke laut! Main ombak, main pasir, main air, asyik banget dah pokoknya! Maklum, baru pertama kali nyentuh air laut.
Yang lucu di sini adalah pasirnya. Pasirnya goyang. Maksudnya, kalau kita berdiri di atas pasir yang tergenang air, lama-lama kaki kita bakalan melesak masuk, tapi nggak dalam-dalam amat kok, paling cuma 3 cm-an aja. Terus setelah kaki kita angkat, kalau pasirnya kena ombak, bakal kelihatan goyang. Lucu dah!

Puas main air, kami kembali ke tante. Tapi di tengah jalan kaki kami berbelok ke arah kios penjual hamburger. Sambil menunggu pesanan datang, iseng-iseng aku lihat sandal yang tadi kena air laut. Basah deh, batinku. Eh, tapi kok, di sandalku banyak butir-butir putih halus? Apaan ya? Yang jelas nggak mungkin pasir karena pasir di pantai ini warnanya cokelat.
"Garam itu," kata bapak.
Iya ya, air laut kalau kena panas kan jadi garam. Nggak percaya, aku jilat sedikit jariku yang ada butir-butir putihnya. Mm....... Asin! Iya beneran garam nih!
Balik ke tempat tante (kasihan, dikacangin dari tadi). Kami lalu berencana untuk pulang. Tapi kaki bapak ternyata berbelok lagi ke kios penjual rujak dan kaki tante berbelok ke lapak penjual baju. Belok-belok aja nih kaki, murnya belum diseretin kali ya?
Kelar belanja, kami ke hotel, ambil barang bawaan, check out, lalu ke tempat mbak Rima. Tidur sebentar, mandi, lalu dengan becak, pergi ke resepsi mbak sepupu. Di sana, ketemu lagi dengan para saudara. Ngobrol-ngobrol. Yang paling mengesankan waktu bapak mengenalkan salah satu keponakannya, yaitu mas aku-lupa-namanya. Aku langsung meliriknya, eh ralat, melirik kamera model-model-punya-fotografer yang dibawanya. Hmm, mau.... kameranya.
Setelah resepsi, kami pulang ke tempat mbak Rima. Tidur sejenak, lalu bangun sorenya dan mandi serta salat, lalu dengan diantar ke terminal bus. Alhamdulillah, nggak nunggu lama udah dapat bus ke Surabaya. Yak! Perjalanan malam pun dimulai!
Nggak banyak yang bisa diceritakan dari perjalanan malam ini selain ngelihatin lampu-lampu yang kelap-kelip indah di kejauhan. Itu pun cuma sebentar, soalnya sepanjang perjalanan kerjaku cuma tidur doang. Tahu-tahu nyampe di terminal Bungurasih, naik taksi, nyampe di rumah, terus narik selimut di kasur sendiri.
Hhh.... Dimana-mana tempat ternyaman memang di rumah sendiri. Zzz......
Reading Time: