Hijaubiru

Senin, 31 Desember 2018

Re: RambleBabble
Desember 31, 20180 Comments



 PATAH HATI DI 1 JANUARI
 1 Januari 

Tahun Masehi belum jalan sehari, tapi udah patah hati aja?
Mungkin tepatnya bukan patah hati tapi nrimo, setelah sebelumnya menyadari. 

Kalau dilihat-lihat, ada kali dua bulan lebih nggak blogging. Nulis masih tetap jalan, cuma ya itu, disimpan sendiri. Dan nulisnya bukan yang 'lumayan serius', tapi lebih ke 'yang penting nulis' meski nggak tahu juga juntrungannya ke mana, haha. Nah, untuk 'mengobati' perkara tulis-menulis ini, Januari ini saya berpikir untuk menulis rutin.

Garis bawahi kata 'berpikir' karena artinya masih mikir-mikir, belum fix mau realisasi. 

Momennya, rasa-rasanya, tepat. Awal tahun, saat ketika resolusi hidup diluncurkan (meski saya nggak bikin resolusi). Pun karena awal tahun, kelihatannya sedang marak kegiatan menulis bareng secara online. Jadi ada temannya. Desember kemarin, saya mikir untuk ikut salah satu kegiatan nulis rutin 30 hari.

So, kenapa nggak jadi?
Iya, saya masih maju-mundur mau ikutan. Sebab ketika menilik ke belakang, saat ikut event semacam beberapa-hari-menulis lainnya, saya menyadari satu hal: saya nggak bisa nulis tiap hari. Apalagi kalau temanya berubah-ubah (termasuk tema bebas). Bisa sih, tapi tanpa 'arah tulisan' yang jelas, tulisan yang saya buat akan ke mana-mana. Bagus untuk eksplorasi, kurang bagus untuk meningkatkan kapasitas diri. Kelihatannya saya lebih bisa fokus kalau nulis di hari tertentu aja. Plus, lebih bisa fokus karena memang udah ada planning tulisan apa yang ingin dibuat di bulan apa. Dan tulisan ini nggak bisa terus ditulis tiap hari karena di sela-sela itu ada proses browsing referensi, eksplor memori, dsb.

Kalau diperhatikan, ini sama dengan memabca. Saya juga nggak bisa baca buku yang sama setiap hari secara mencicil (kecuali non-fiksi atau yang seperti textbook). Lebih 'bisa masuk otak' kalau sekali duduk. Maka, saya memang nggak membaca setiap hari, hanya di hari-hari tertentu aja.

Itu alasan pertama. Apa alasan kedua?
Karena nggak lain nggak bukan, saya akhirnya mengakui ke diri sendiri bahwa ingin ikut event supaya dapat traffic. Udah bukan berita baru bahwa di medsos, Instagram misalnya, tulisan di feed lebih jarang dilirik daripada postingan sekilas di story. Padahal, nulis panjang kan enakan di feed. Maka salah satu cara menggaet pembaca salah satunya adalah ikut suatu event supaya tulisan kita terbaca atau ke-notice oleh peserta kegiatan itu. 

Long story short, salah satu motivasi ikutan beberapa-hari-menulis adalah: menggaet pengunjung/pembaca baru. Ini nggak salah, tentu saja. Toh cara ini juga dipakai oleh para penggiat literasi atau komunitas hobi untuk menularkan semangat ke orang lain. Hanya saja, kali ini, buat saya, kok rasanya saya lebih condong ikut nulis bareng karena motivasi ini daripada motivasi pure ingin nulisnya. 

And it bothers me. That I care more about numbers than the writing process and the passage itself. 

Saya pun menyadari bahwa kalau saya ikut event, kayaknya nggak akan optimal hasilnya. Ini saya, bukan orang lain. Ada orang yang justru bisa optimal dan skill-nya naik dengan cara ini. 

Akhirnya, setelah mengakui bahwa fokus saya sudah berubah, saya memutuskan untuk kembali ke latihan nulis mandiri aja. Dengan catatan, meski 'jalan sendiri' harus tetap ngikut planning yang sudah dibuat kemarin-kemarin.

Yah semoga aja. 
 HAL YANG TIDAK BIASA 
 25 Agustus 


Saat sesuatu sering dirasakan tiap hari, rasanya jadi biasa aja. Sespesial apa pun itu. Namun saat hal itu ditinggalkan atau udah nggak dilakukan, rasanya istimewa dan kesempatan emas banget.

Itulah yang sejenak saya rasakan waktu ngelihat poster workshop dan pameran beberapa hari lalu. Dari foto-fotonya, pameran ini keren dan 'gue banget'. Sayang lokasinya di provinsi yang agak jauh. Dan ada workshop juga di pameran ini. Workshopnya menarik karena merancang sebuah alat Sains sederhana yang DIY (Do-It-Yourself).

Let's say alat ini adalah mikroskop. Yup, workshopnya adalah bikin mikroskop portable DIY. Memang hasil pengamatannya nggak sebagus mikroskop 'betulan' macam di lab, tapi lumayan buat yang baru kenal mikroskop atau membangkitkan semangat ilmiah ke orang yang nggak pernah bersinggungan. Di beberapa daerah lain, mikroskop kayak gini juga digunakan buat pembelajaran di daerah terpencil yang susah akses dan minim sarpras.

Yang terbesit adalah, "Kenapa lo seneng/pengin bikin mikroskop sederhana? Kan, dulu lo sering pegang mikroskop 'beneran'," bisik hati saya.

Iya, saking seringnya sampai mata ini capek banget kalau pengamatan dan berharap acara selanjutnya pakai alat lain aja, asal bukan mikroskop. Dulu paling nggak seminggu sekali lah pegang mikroskop. Kalau lagi hectic ya hampir tiap hari. Sekarang? Karena itu alat milik kampus, begitu lulus ya udah nggak pegang lagi.

Dulu rasanya biasa aja.
Sekarang rasanya pengin mengulang.
Bahkan jika itu dengan sesuatu yang agak mirip aja, bukan dengan aslinya.

Ya mungkin gitu kali cara kerja kenangan, ya? Sweetens old memories. Membuat hal yang biasa jadi nggak biasa.

Dan ini juga berlaku di kenangan lainnya. Kenangan masa kecil, misalnya. Atau kenangan zaman sekolah. Atau memori saat tinggal di kota lain. Memori lewat sebuah jalan aja, bisa membangkitkan rentetan kenangan yang lebih panjang dari panjang jalan itu sendiri. Dah macam lagu lawas "Sepanjang Jalan Kenangan", hehe.


 PERSPEKTIF YANG BERBEDA 
 4 Agustus 

Siapa yang udah nonton film Oppenheimer? Film yang membahas soal salah satu sosok pengembang bom atom ini 'petjah' di bioskop-bioskop. Topik bom nuklir sendiri sudah menarik, apalagi kalau ngelihat efeknya yang bisa menghentikan Perang Dunia II. 

Tapi di sini saya nggak bahas si bapak atau nge-review filmnya. Di sini saya pengin ngomong soal bom atom dari dua perspektif: dari yang ngejatuhin dan yang nerima.

Ini muncul karena di dunia maya, pada orang Indonesia pun, kesannya bom atom itu 'wah'; keren. Ya emang sih. Kalau dari sisi Fisika, pembahasannya memang keren banget (meskipun saya nggak ngerti dalem-dalem banget, wkwk). Dan, kalau dibuat bom, efeknya memang sedahsyat itu. Bayangin aja, sesuatu yang cuma sepanjang tiga meter, daya ledaknya bisa ngancurin satu kota.

Di sisi lain, efek bom ini juga ngerusak banget. Dua hari ke depan, tanggal 6 Agustus, bom ini meluluhlantakkan Hiroshima 78 tahun yang lalu. Tiga hari setelahnya, Nagasaki. Dua pemboman yang punya efek rantai dan sangat mempengaruhi proses kemerdekaan negara kita sepekan setelahnya.

Oke, soal perspektif. 
Hal ini sebenarnya saya temukan beberapa tahun lalu di sebuah meme page. Terkesan main-main dan guyon, tapi memang bener banget. Kurang lebih isinya gini:

Kenapa radiasi di Jepang bisa melahirkan sosok monster seperti Gozilla, sedangkan di dunia barat/Amerika Serikat, radiasi justru memunculkan sosok super macam superhero?

 

Mungkin ini berhubungan dengan perspektif yang diambil. Radiasi, bagi orang Jepang, adalah luka dan penderitaan seperti radiasi nuklir bom yang menimpa mereka. Radiasi, bagi orang Amerika, adalah kemenangan dunia yang mereka dapatkan setelah menjatuhkan bom nuklir.

 

Karena itu, radiasi bagi orang Jepang melahirkan monster mengerikan karena metafora dari penderitaan yang mengerikan. Bagi orang Amerika sebaliknya, itulah yang melahirkan sosok pahlawan keren simbol dari kemenangan di PD II. 



Well... ada benarnya.

Sebelumnya, disclaimer dulu. Di tulisan ini saya nggak membela siapa-siapa: Jepang ataupun AS. Kenapa? Karena nggak ada siapa penjahat-orang baik antara keduanya. Ini perang, Bung. Semua pihak adalah sosok abu-abu; punya salah dan juga punya kebaikan. Tulisan ini tidak mendukung pihak mana pun; dibuat semata soal perspektif karena dari sudut pandang saya yang suka nulis fiksi, ini unik.


Kenapa soal perspektif ini unik dari segi fiksi?
Karena cerita bisa beda seratus delapan puluh derajat. Contoh: dalam dongeng si Kancil. Kita tentu tahu kalau si Kancil ini nakal sekali. Dia mencuri timun pak tani berkali-kali hingga rugi. Siapa antagonis atau sosok jahat di sini? Tentu Kancil. 
Namun apa jadinya jika ada penjelasan atau side story dengan perspektif berbeda? Misalnya, diceritakan bahwa si Kancil terpaksa mencuri di kebun pak tani karena hutannya sudah habis, dibabat oleh pak tani dan kawanannya. Sekarang, siapa yang jadi antagonis? Pak Tani, bukan?

Soal perspektif ini menarik.
Saya sendiri baru tertarik waktu nemu sebuah cerita yang mengisahkan backstory suatu sosok antagonis. Setelah dijabarkan, wah, ternyata si antagonis ini kasihan sekali. Beda dengan si Kancil, di kasus ini dia tetap salah, sih. Tapi bikin saya jadi nggak segitunya nge-judge dia.

Ini seirama dengan persoalan radiasi tadi. Tergantung dari sudut pandang siapa, cerita yang dibuat bisa sama sekali berbeda. Dan nggak cuma variasi cerita, bahkan memunculkan empat pada tokoh lewat backstory dan perspektif, bisa menarik banget untuk penulis dan mengaduk emosi banget buat pembaca.

Ah ya, ini juga gara-gara saya nemu sebuah webkomik. Di blurb sudah disebutkan, sih, tapi artist dan penulisnya piawai banget mengaduk emosi pembaca. Awal baca di awal-awal bab, ditunjukkan sikap tokoh yang nyebelin (cuma karena saya udah baca blurb dan spoiler jadi tahu kenapa dia berbuat begini). Kalau yang nggak tahu, bisa berasa sebal sama tokoh utamanya. Waktu saya baca dengan 'melepas' pengetahuan dari spoiler pun berasa sebalnya. Nah, waktu cerita sudah masuk ke backstory, wuaahh, pengin nangis rasanya. Sedih banget, ternyata ini semua cuma miskom dan fitnah dari si antagonis (yang di awal 'seolah' jadi protagonis). 

Well, inilah 'keindahan' perspektif. 
Banyak sisi, banyak cerita, beragam pendapat dan perasaan.
Sama halnya dengan kehidupan.
Sebagai reminder buat saya sendiri supaya nggak terlalu men-judge orang atau percaya apa kata orang. Sebab, bisa aja setelah tahu info dari pihak lain, eh ternyata beda banget kisahnya. 


Begitulah.


 SEPAKAT UNTUK SEPAKET 
-circa Maret/April-

Hari ini nggak sengaja baca ini di status seseorang. Dan menurut pengalaman pribadi, memang benar adanya.

Sesungguhnya dan sebetulnya, beberapa tahun terakhir ini saya kurang banget baca buku. Kebiasaan membaca menurun drastis. Ada kali turunnya lebih dari separuh. Kalau dulu 1 buku bisa selesai maks 3 hari (padahal disambi kuliah dll), sekarang 1 buku 1 bulan aja sudah alhamdulilah. 

Ini buku apa saja, ya. Baik buku lama atau buku baru, baik fiksi atau non-fiksi. 

"Apa yang mau dituangkan dari teko kalau isi tekonya aja nggak ada?
Apa yang mau ditulis kalau bacaannya minim?"

Ya gimana mau nulis kalau nggak ada 'bahan'.
Bahan di sini lebih ke, apa ya, gabungan bahan+keterampilan, rasanya. Sebab kalau bahan biasa, ya, sesedikit apapun pasti bisa ditulis. Lain hal soal tulisan itu bagus/tidak, bermutu/tidak, mudah dipahami/tidak, dsb.

"Lho kan selama ini kamu tetap nulis?"
Iya. Memang. Namun bila diperhatikan, ada perbedaan cukup mencolok antara tulisan-yang-dibuat-saat-banyak-baca dan tulisan-yang-dibuat-saat-minim-baca. Mari kita singkat jadi pra dan pasca saja.

Satu hal yang paling mencolok, menurut saya, adalah kosakatanya. Memang, kalau dilihat dari teknik dan komposisi, tulisan saya era pasca lebih tertata. Tekniknya ada dan runtut rapi. Namun, variasi katanya itu-itu aja. Bukan berarti era pra pakai diksi indah puitis slash prosa ungu, nggak sampai situ, tapi kata-katanya lebih variatif. Dan misal pun kata yang dipakai variasinya cuma sedikit, tapi peletakannya lebih lihai dan halus. Di sisi lain, tulisan pasca ini sudahlah variasinya sedikit, kadang meski sudah buka KBBI atau Thesaurus pun rasanya masih kaku saat dibaca.

Kenapa bisa gitu?
Soal kosakata, jelas dari membaca. Kalau sering atau banyak baca kan bakal banyak tuh kosakata yang terserap tak sengaja. Akhirnya kalau nulis pun kebawa. Mirip dengan cara kita belajar bicara.

Selain itu, rasa-rasanya tulisan pasca secara teknik memang lebih baik, tapi secara feeling terasa jauh lebih kaku. Tulisan pra, meski tekniknya amburadul, terasa lebih ngalir dan enak dibaca.

Apa hubungannya dengan sering membaca?
Namanya feeling, jadi kebiasaan ya. Karena jarang baca, feeling tentang tulisan pun hilang. Jadinya 'nada' tulisan cenderung monoton atau mengikuti teknik saja. Padahal kalau patuh teknik tok tanpa pengembangan ya itu: jadi saklek, akhirnya tulisan terasa kaku. Apalagi kalau soal fiksi atau non-fiksi naratif.

Jadi ya gitu deh. Harus banyakin baca supaya tulisan makin baik dan kian baik. Karena ya itu tadi: membaca dan menulis itu sepaket. Bacaan dan kebiasaan membaca yang baik punya peluang lebih tinggi untuk menghasilkan tulisan yang baik juga karena biasa 'terpapar' standar yang baik.


NB: maafkeun bila banyak typo dan kata yang nggak dimiring/tebal. Nggak biasa posting lewat HP jadi kagok, haha.








WHEN THE EARTHQUAKE HIT 
 11 Februari 


Beberapa hari ini banyak berseliweran kabar tentang gempa Turki Senin lalu. Ya gimana nggak rame, gempanya sengeri itu dan korbannya sebanyak itu. Di antara banyak video yang tersebar di media sosial, ada satu yang paling ngena buat saya. Video itu nggak menampakkan foto korban dalam keadaan yg gimana-gimana, atau rekaman bangunan tinggi yang ambruk seketika, atau isak-tangis para survivor. Video itu berisi kompilasi anjing-anjing pelacak beserta tim relawan mereka dari berbagai penjuru bumi.

Video itu tanpa suara. Hanya kompilasi foto dan beberapa video. Yang ada hanya lagu Michael Jackson berjudul "Heal The World". 

Heal the world
Make it better place
For you and for me and the entire human race~

Buat yang pernah dengar, pasti tahu kalau ini lagu mellow banget. MJ emang nyiptain lagu ini buat galang dana untuk salah satu organisasi kemanusiaan. Dan, mungkin karena pada dasarnya saya suka anjing dan hewan-hewan (meski masih takut-takut kalo megang), jadi efek mellow-nya lebih terasa.

Itu video bener-bener bikin nangis di detik ketiga. Apa ya, ngelihat survivor dan volunteer di lokasi bencana aja rasanya udah nyesek nggak tega. Ini lagi ditambah dengan anjing pelacak. Meski untuk beberapa orang tampang mereka rada seram, tapi nggak tahu kenapa, saat itu pandangan mata mereka kayak... polos. Kayak nggak tahu apa-apa. Kayak nggak paham kalau ini situasi siaga. Kayak anak kecil.

Saya nggak tahu apa anjing bisa mikir sejauh itu, tapi yang bikin dada sesak adalah ketika makhluk dengan pandangan polos itu ikut kerja keras nyari para korban gempa, keluar-masuk runtuhan mempertaruhkan nyawa, bahkan kadang harus dihibur relawan manusia supaya nggak down karena udah nyari lama-lama tapi nggak nemu penyintas. 

Bukan berarti mereka lebih baik dari relawan manusia, enggak. Relawan manusia juga sama baiknya. Yang bikin hati trenyuh adalah sebab makhluk ini nggak punya akal budi setinggi manusia. Kalau manusia, yang memang punya akal-budi dan empati, maklumlah kalau menolong sesama atau makhluk hidup lainnya karena kalau enggak ya justru dipertanyakan kemanusiaannya. Tapi ini... they're dogs, animals. Pikiran mereka mungkin nggak sampai pada skema penyelamatan serumit manusia, tapi hewan ini punya empati dan rasa kemanusiaan juga. 

Kalau ada yang bilang bahwa anjing adalah hewan paling setia, saya akan percaya.

**

Mungkin kombinasi itu dan bencana. A disaster was always a weak spot. Selalu ada cerita-cerita, kejadian-kejadian, yang bikin nggregel saat bencana alam. Sesimpel koala yang nggak mau lepas meluk relawan yang ngasih dia minum saat kebakaran hutan masif Australia beberapa tahun lalu, sudah bikin hati tertoreh nggak keruan. So, yes, a disaster was always a—my—weak spot. 

Wrote a short story about a natural disaster a looong time ago (mt eruption). Berakhir naskahnya ditinggal karena nggak kuat waktu riset. Meski yang dibaca adalah berita-berita hard news, kadang nyempil juga beberapa feature yang asli bikin nangis berderai-derai. Apalagi kalau ada video reportase yang nggak sengaja kelihat dan isinya... ya begitulah. Setelah fokus dan konflik cerpen diganti yang lebih light, baru bisa lanjut. Tapi itu pun kembali nggak kuat lalu naskah ditinggal begitu saja. Ada, sih, satu-dua naskah tentang ini yang kelar. Tapi pakai pendekatan berbeda dan isinya pun nggak sama. 

**

Kalau dengar dan lihat pengalaman teman-teman yang volunteer bencana, selalu terpukau dengan semangat mbak-mbak dan mas-mas di sana. Apalagi yang terjun misidan tengah malam/dini hari masih kerja. Kejadian hari/malam ini, besok sudah stand by siap diberangkatkan. Yang mantau laporan di grup jadi kayak... ya, mbrebes mili lagi :')

Mungkin ini perbedaan 'dunia'. Di jurusan yang numbuhin bakteri butuh kesabaran dan nunggu berhari-hari, berbanding terbalik dengan sikon gawat-darurat bencana alam yang every hour-every second counts. Everything has to be precise tapi gercep abis. 

**

Some of my social-media mutuals are from Turkey. We don't know each other. We simply followed each other because we have the same interest in photography.

These days some of them posted stories about the condition in their country. Some of them didn't. I'm wondering how those people are doing now. I hope they're safe. 

It was like Covid wave all over, 1-2 years back. At the start of 2020, I gained a lot of mutuals due to the same interest, photography. Maybe it was the restriction that made them pursue their hobby since there weren't enough activities to occupy their time and hobby was good for stress relief. But when the Covid wave hit different continents, I realised that some of these accounts were no longer post their shots anymore. Even until now.

And I was left wondering, what happen to them now?
Are they
- simply busy with their life, or
- lost interest in photography, or
- gone?

I prayed that it was the first two. 




 PERIODE 
 9 Desember 


Tak terasa, sudah Desember lagi.
Beberapa minggu ke depan, sudah berganti tahun baru lagi.

Entah ini saya saja atau memang ritme waktu selama tiga tahun ini berubah sekali. Dulu rasanya perubahan tahun ya 2015-2016-2017. Plus, meski aktivitasnya nggak signifikan-signifikan amat, terasa ada betul perubahan hidup. Entah itu positif atau negatif. Sekarang, rasanya seperti 2019-2020-2023. Tak terasa 'tiba-tiba' sudah lompat empat tahun aja. Padahal, kalau ditilik lagi, justru lebih banyak perubahan yang terjadi pada periode ini dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kenapa, ya?

Padahal, kalau dibandingkan dengan durasi anak sekolah, tiga tahun berarti sudah lulus SMP/SMA. Kalau anak SD, dari yang tadinya piyik yang belum tahu apa-apa, sudah mulai bongsor badannya di kelas 3. 

Nah ini?

Orang bilang, waktu akan berjalan lambat bila kita nggak ngapa-ngapain. Diam saja. Nah, rentang waktu ini kan justru banyak orang yang aktivitas di rumah aja (lebih santai) karena pandemi. Kenapa rasanya justru berjalan lebih cepat daripada kalau aktivitas di luar rumah seperti dulu?

Dan, kenapa saya mesti merasa bahwa there must be something of significance that happened, at least for me? Memangnya kenapa kalau semua berjalan datar-datar saja? Bukankah sekarang lagi rame-ramenya digalakkan hidup tenang saja, nggak seperti dikejar setan?

Sejujurnya saya juga nggak tahu, haha. Rasanya hidup dalam kedataran tapi diam-diam juga dikejar target 'seharusnya sudah begini-begitu' itu sama seperti orang yang lagi berusaha kalem dan stay cool tapi dalam hati sudah panik. Mirip karakter film yang tampak luar hidupnya 'gitu-gitu aja' tapi tiap malam kebangun atau ngelindur karena mimpi buruk. 

Well, that's... life, I guess. Always oh-so-dynamic. 
Hari ini saya ngerasa kalau tahun-tahun berlalu terlalu cepat, tapi ada kalanya mungkin nanti saya akan ngerasa hari-hari terasa lambat. Seperti tahun-tahun yang sudah-sudah. 



 Jemawa 
 9 September 

  1. a kl angkuh; congkak
  2. a kl suka mencampuri perkara orang lain

Seseorang yang saya kenal, meninggal kemarin. Meski belum tergolong sepuh, beliau memang sudah sangat berumur. Beliau tidak punya anak, tidak menikah. Orang tuanya sudah lama meninggal. Saudara-saudaranya yang menguburkan dan mengurus penguburannya kemarin.

Sayangnya, mungkin karena masyarakat kita hobi sekali membicarakan hal yang tidak sepatutnya diobrolkan, ada saja yang membahas soal hidup almarhum. Oh, tentu saja soal beliau yang tidak berkeluarga. 

"Coba kalau dia menikah. Sakit pasti ada yang jagain. Meninggal gini juga pasti diurusin anak-istrinya. Didoain anak-anaknya. Karena enggak, ya... jadi saudara-saudaranya yang ngurusin."

Kalau ini rapat anggota dewan, saya sudah walk out aja. Sayangnya ini kumpul-kumpul biasa. Kalau saya lebih tua, pengin rasanya negur aja. Sayangnya saya juga jauh lebih muda, jadi cuma bisa mencoba mengalihkan pembicaraan.

Apa, ya... berasa, ini orangnya udah meninggal, lho. Ya udahlah. Memangnya kenapa kalau dia nggak menikah sampai meninggal? Apa itu aib? Apa itu jaminan nggak masuk surga? Kan, enggak. 

Toh proses pemakamannya diurus dengan baik juga. Yang ngurus juga keluarga, meski bukan 'idealnya anak-istri' seperti yang oknum tsb maksud. (Selanjutnya kita sebut saja oknum yang suka ngomong ngawur ini sebagai pak X)

Kalau boleh blak-blakan rasanya pengin bilang,
"Emangnya kalau orang berkeluarga pasti meninggalnya diurusin dengan baik?"
Ada orang yang berkeluarga dan keluarganya justru ribut soal pemakamannya.

"Apa kalau sudah berkeluarga pasti dirawat saat sakit?"
Ada orang yang berkeluarga dan pasangan/anaknya nggak peduli saat ia sakit keras. Hingga orang ini meninggal. Apa nggak lebih nelangsa itu yg sakit?

"Apa kalau punya anak pasti didoakan?"
Oh belum tentu. Tergantung anaknya: biasa berdoa atau enggak. 
Ada juga orang yang anaknya banyak tapi anak-anaknya bahkan nggak berdoa/ibadah sekadarnya.

"Kok kamu bisa ngomong gitu?"
Kebetulan karena saya pernah ketemu orang-orang seperti ini di dunia nyata adanya. Ada, dekat di sekitar kita.

Well, pasangan menikah/berkeluarga pun bukan jaminan hidup enak. Hidup dunia-akhirat maksudnya. Bukan pula jaminan otomatis sudah sakinah mawaddah wa rahmah. Banyak yang justru kebalikannya.

Bahkan yang sudah ikhtiar berkeluarga a.k.a sudah menikah aja masih punya kemungkinan nggak memiliki anak, kan? Tapi itu juga bukan lantas jadi penilaian bahwa mereka bukan orang baik, yang dianggap Yang Kuasa nggak pantas punya anak. Toh, sorry to say, banyak juga orang yang sudah punya pasangan/anak tapi sebetulnya belum siap atau bahkan nggak pantas jadi pasangan/orang tua.

Dan, takdir itu kan suka surprise. Nggak terduga. Keluarga saya ada yang menikah bertahun-tahun, rukun. Karena nggak dikaruniai anak, mereka adopsi anak angkat. Keluarga ini juga rukun hingga si anak dewasa. Qadarullah si anak malah meninggal duluan daripada orang tuanya. 

Nah lho, kalau kayak gini gimana?
Kalau menurut standar pak X, ini keluarga udah ideal. Mereka: 
- sudah menikah, punya pasangan yang ngerawat kalau sakit
- sudah punya anak, ada orang yang bakal doain dan ngurus kalau meninggal
Tapi, nyatanya?
Percayalah, meski keluarga ini rukun-rukun aja, orang-orang semacam pak X akan selalu menemukan celah kekurangan yang bikin mereka bilang, "Lha soalnya mereka nggak gini...."

Mungkin memang sudah sifat manusia kalau sebagian akan merasa jemawa kalau sudah punya sesuatu yang life goals (karier, rumah, pasangan, anak, harta) dan mengerdilkan manusia lainnya karena nggak memiliki goals-goals itu. Merasa besar dan lebih berharga, lebih sukses, dan merasa orang lain "sebetulnya pasti bisa punya juga kalau berusaha" atau "makanya dong begini-begitu biar lebih begini lebih begitu."

Orang-orang seperti itu mungkin lupa bahwa kadang usaha bisa mengkhianati hasil (at least di dunia). Lupa kalau takdirNya-lah yang jadi penentu akhir. Mengabaikan fakta bahwa nggak semua manusia yang hidup di dunia ini jalannya 'lurus-lurus saja' sesuai standar sosial masyarakat kita (yang standarnya perlu dikaji ulang itu).

Bekerja, punya karier, menikah, punya anak, memang mendatangkan rasa bahagia. Dan akan tetap menjadi bahagia bila dijaga baik-baik. Hal-hal itu bisa menjadi nelangsa bahkan prahara bila privilege itu bisa digunakan seenaknya saja. Makanya di Qur'an disebut bahwa harta dan anak-pasangan bisa jadi fitnah di hari akhir nanti, kan?

Balik ke soal tadi. Berkeluarga itu baik. Tapi nggak berkeluarga kan juga bukan lantas  otomatis nggak baik.

"Tapi menikah itu sunnah Rasul. Biar umat Islam banyak."
Betul. Tapi jangan lupa juga kalau Rasulullah pernah berkata bahwa umatnya di akhir zaman akan menjadi buih: banyak tapi pada nggak penting, nggak baik.

Coba, pernah nggak, ya, orang macam pak X berpikir, "Keluargaku ini termasuk yang buih atau bukan, ya?"
Atau sesimpel mengecek apa hubungannya dengan keluarga baik-baik dan rukun saja. Because last I checked, the condition was quite the contrary.

Saya bukan antipati pada orang berkeluarga. Enggak. Saya pun punya rencana berkeluarga. Saya cuma nggak suka pada orang yang merasa hebat semata-mata karena ia memiliki hal-hal yang orang lain tak punya. Apalagi kalau hal-hal itu adalah wilayah prerogatif Yang Maha Kuasa. Itu, kalau bukan jemawa, apa coba namanya?

Apapun takdir yang didapatkan seseorang, bukankah sejatinya dua sisi mata pedang? Bisa jadi takdir baik atau buruk tergantung orangnya. Dan, perhitungan baik/buruk itu bukan sepenuhnya di dunia, sebagian besar malah di akhirat sana. Jadi, pantaskah bagi manusia untuk merasa lebih baik dari manusia lainnya, secara terang-terangan pula?





Wandering Bookstores 
  5 Agustus  )

Two weeks ago, I went to a bookstore which I frequently visited before the pandemic. The visit was unplanned, pure coincidence. I'd just finished watching a movie when suddenly I longed to walk down the wood-smelled bookshelves.

I missed the soft music playing from the central speaker.
I missed the feeling of touching each unique book spine.
I wanted to inspect books one by one.
I yearned for its specific ambience.

I entered the bookstore and found that not many things had changed from back then. But, these fews alteration itself was quite big. 

I mean, the interior design was the same: pale brown, wood, bookshelves everywhere. The white tags were attached to its top. The employee's uniform was still black. But some book cathegories were removed. They were put inside another cathegory now. Maybe not many people wrote that genre now.

I found out that some books weren't published anymore. It was a picture, colourful, story books which I adored so much when I was a teenager. It seems published by a distinguished global publisher isn't a permanent guarantee it to continue to be published. 

It seems that the stationery and art shelves replaced some book sections too. Hobby-books section such as cooking, knitting, photography, and others were significantly diminished. The collection wasn't so complete compared to few years ago, too. The pandemic recession really hit any business, huh. Including books-related ones.

Because I felt that the book collection wasn't as complete, I moved to another bookstore the next day. The biggest in town. Thankfully this one still had more varieties. I spend a few hours poring over books and every shelf (except the school-related ones, heheheh).

Among few bookstores I frequented (and some of them coincidentally were considered as the biggest in the city), I felt like there was some significant but subtle changes. I can't quite point it out, but clearly there was some changes. The atmospheres weren't as cheerful as it were, the 'colour' became bleaker. It looked like I visited a vintage or old forgotten bookstores when in fact it was quite modern.

Was it only for bookstores in my city or it happened in yours too? 




 3th Period 
 24 Jun   )

Ngerasa nggak, kalau baru pertama memulai sesuatu, rasanya tuh semangat banget? Rasa-rasanya selalu ada energi dan malah nggak mau berhenti. Tapi, seiring waktu, semangat ini makin berkurang hingga 'sesuatu' ini bukan jadi perhatian utama lagi, malah bisa justru nggembosin semangat atau malah terlupakan sama sekali.

Mirip-mirip lah sama euforia tahun baru. Atau euforia baru masuk sekolah/kantor baru. Atau waktu masih hijau di organisasi baru. Atau waktu memulai hubungan baru dengan seseorang, mau itu pasangan atau teman. 

Kayak, semakin lama, charm-nya semakin pudar. Istilah yang sering dipakai di organisasi adalah 'seleksi alam'. Siapa yang bisa konsisten atau tinggal, dialah yang lolos seleksi.

Kalau dirasain, 'seleksi alam' ini nggak cuma berlaku buat hal di atas aja, tapi juga buat kebiasaan diri sendiri.

Personally, aku pernah beberapa kali nyoba challenge 30 hari. Tahu, kan? 30 hari menulis, 30 hari membaca, 30 hari olah raga, dan challenge lainnya. Kalau ada laporan atau grupnya nih, bakal kelihatan kalau seminggu pertama itu animonya tinggi banget. Hampir semua melakukan aktivitas itu. Bahkan, nggak sekadar melakukan, banyak juga yang melakukan melebihi target. Misal target minimal baca 10 halaman, dia bakal baca 100 halaman.

Namun, animo ini bakal menurun seiring waktu. Seminggu kedua, antusiasmenya nggak bakal serame pekan pertama. Udah ada beberapa yang mutung. Tapi, masih tinggi. Minggu ketiga, nah, ini yang menurutku jadi titik kritis. Udah mulai ada yang ngilang. Kemudian, minggu keempat adalah saat penentuan: lolos 'seleksi alam' atau enggak.

Pekan ini adalah pekan ketiga aku light workout. Durasinya nggak lama, paling 15 menitan. Frekuensinya pun cuma 2-3 kali seminggu. Minggu ketiga ini, 'hipotesis'-ku soal masa kritis tadi kayaknya terbukti.

Minggu pertama, bisa workout seminggu 3x dong. Sesuai jadwal.

Minggu kedua, mulai nggak nurut jadwal. Ada hari yang harusnya workout tapi enggak. Jadi diganti hari lain, tapi dengan porsi yang sesuai hari itu. Pekan ini cuma 2x.

Minggu ketiga; minggu ini. Udah sampe Kamis (kemarin) tapi aku belum workout sama sekali. Akhirnya sambil ngantuk-ngantuk memaksakan diri buat jalan kaki aja. Hari ini, yang harusnya workout pagi, malah kelewat. Akhirnya ganti sore. Nggak tahu nih Sabtu atau Minggu bakal workout lagi atau enggak. Harusnya sih, iya. Tapi ya... we'll see.

And we'll see whether next week I'll keep persevere or not. 


 Barat Kota 
  17 Juni   )

Ada yang berubah ketika kendaraan melaju ke barat kota. Ada hal berbeda yang membuat saya seperti terlempar ke kota lain; atau di dimensi lain.

Pohon-pohon tinggi dengan tajuk melebar itu sudah makin kurus sekarang. Rantingnya tak menyembulkan kelopak oranye menyala seperti terakhir saya ingat. Danau kampung yang dulu asri sudah berubah makin sempit di sisi-sisinya; pendangkalan. Masih disisip dengan warung-warung yang menjamur di kanan-kiri. Lalu lintas yang relatif sepi dan cuaca yang lebih sejuk telah berubah seratus delapan puluh derajat.

Apa yang dulu saya kira sebagai tempat pelarian dan spot tersembunyi kini sudah tak seterbatas itu lagi. 

Kalau dihitung-hitung, rasanya memang sudah lama sekali. Sepuluh, lima belas tahun? Satu-satu setengah dekade bukan waktu yang sebentar. Anak yang saat itu baru lahir pun kini sudah masuk bangku SMA. Sudah selawas itu ternyata kenangan yang saya simpan.

Melihat tempat favorit berubah memang menimbulkan melankoli. Ada sedih karena jadi tak seasri dulu. Tapi sekilas terbersit pula pikiran, "Wah, daerah ini jadi lebih maju dan hidup." Harus diakui, di masa-masa itu, daerah ini termasuk area yang masih 'rumbut' dan lebih tertinggal daripada sisi-sisi kota lainnya.

Seseorang berkata, saat kita bernostalgia, kita cenderung terjebak dalam dua kemungkinan: menonjolkan memori yang indah dan mengecilkan memori yang buruk atau sebaliknya. 

Bila ditanya, apa mau kembali ke masa lalu 'tempat' kita bernostalgia, kemungkinan akan banyak yang menjawab, "Iya, mau." Tapi apa kita sungguh-sungguh mau? Masa lalu yang mana yang mau kita ulangi? Apa itu masa lalu sesungguhnya lengkap dengan kejelekan dan keburukan yang kita abaikan karena ada secuil memori indah, atau masa lalu yang penuh fantasi kita sendiri tapi mengabaikan kejadian-kejadian lainnya?

(2 paragraf terakhir disitir dari buku Agustinus Wibowo)

 Bosan 
 18 Maret  )


Waktu nulis ini, jujur aja lagi bosan banget, nget, nget. Malas ngapa-ngapain. Jangankan nulis atau baca buku, lha wong baca komik online aja malas. Scrolling medsos? Bosan juga. Saya adalah salah satu penganut paham 'kalo scrolling medsos aja udah males/bosan, apalagi ngelakuin kegiatan lain' a.k.a ini udah titik nadirnya malas.

Jarang-jarang begini, rasanya. Kalau bosan, biasanya, paling gampang ya 'lari' ke novel, buku, komik. Kalau lagi malas pegang buku, ya, baca online. 

Mungkin, nih, mungkin, saya lagi book hangover. Ceritanya, beberapa hari lalu barusan selesai baca satu seri cerita. Seri itu selesai dalam waktu tiga hari. Sudah bisa move on dari ceritanya, sih. Cuma, buat memulai baca cerita baru kayak ngerasa belum siap gitu.

Entahlah. Makin ke sini kayaknya saya makin butuh waktu jeda sebelum baca buku/cerita lain. Makin ke sini, makin lama pula waktu jedanya. Kalau enggak, ya kayak gini. Sekitar sehari setelah selesai baca itu seri, saya udah baca cerita lain. Hopping pulak, dari Senin sampai hari ini. Jadi ya nggak heran kalau perasaan jadi campur aduk gini. Berasa book hangover tapi hangover-nya nggak kelar-kelar. Jadi males ngapa-ngapain gini, deh.

Jadi, gimana, dong?
Kalau udah bosan gini, pertanda saya harus lihat yang hijau-hijau lagi. Sawah kek, hutan kek, dan semacamnya. Cuma, kalau di tempat tinggal saya yang sekarang kan jauh ya kalau pengin nemu hutan atau sesimpel sawah ijo royo-royo.

Sebenarnya saya juga bingung kudu ngapain, sih. Pilihan terakhir adalah dengerin musik sambil merem. Atau... ngotak-atik html blog aja ya? Atau, enaknya ngapain?



 Bukan Soal Diri Sendiri 
 28 Januari  )


Sudah beberapa hari ini saya buka-buka catatan tips menulis, khususnya tentang penulisan nonfiksi kreatif/nonfiksi naratif. Lagi berencana bikin catatan perjalanan lagi ceritanya. Jadi sekalian lah nulis travel story yang 'agak bener' dibanding catper kemarin-kemarin yang kalau nggak kayak curhatan, ya kayak brosur pariwisata.


One of the things that hits hard is this: kebanyakan penulis catper pemula lebih menitikberatkan ke pengalaman 'saya'. Ke-aku-annya berasa banget. Dan ini nggak menarik ataupun menjual.

Kalau mau jujur, nih: siapa 'saya'? Emangnya orang akan tertarik baca tulisan yang lebih banyak tentang 'saya'-nya daripada cerita itu sendiri? Lalu apa bedanya dengan curhat?
Ini salah satu kesalahan yang diamini semua penulis catper yg kebetulan webinar/live-nya pernah saya ikuti.

Berasa ditabok nggak, tuh, hahahah. Kalau pada baca-baca catper saya zaman duluuu, berasa banget ke-aku-annya (eh sekarang juga masih, sih. Cuma sedikiiit berkurang wkwk). Ini-itu semua diceritain. Padahal ya nggak penting-penting atau menarik amat. 

Nobody wants to read about you. Meski doski orang terkenal sekali pun, kalau nulisnya gini, pasti pembaca juga bosan. Ini konteksnya di catatan perjalanan, yak. 

Susah? Iya. Pengalaman selama perjalanan kan vivid banget, tuh. Apalagi kalau berkesan. Detailnya bakal terpahat kuat di ingatan. Rasa-rasanya semua penting dan semua butuh diceritakan. Tapi, bosen nggak, sih, kalau kepanjangan dan berasa nggak ada fokusnya gitu? Ini tulisan buat orang dewasa/remaja, bukan laporan liburan anak SD.

Ini terjadi nggak cuma di penulis catper yang baru nyemplung. Ada penulis catper agak lama (bukan tua ya, cuma bukan baru nyemplung), bukunya laris di kalangan tertentu, tapi menurut saya ceritanya template banget. Cuma deskripsi lokasi (yang infonya bisa dicari di Wikipedia) terus nyeritain perasaan dia kemudian dihubungkan dengan kejadian alam semesta. Kalau meminjam istilah Agus Wibowo, inilah yang disebut 'gambarnya'/narasinya kecil tapi kontemplasinya terlalu megah. Orang Jawa bilang terlalu ndakik-ndakik. Nggak seimbang, jadi berasa dipaksa disambung-sambungkan.

Contohnya gini: kebetulan si 'aku' ini habis dibentak bapaknya yang memang agak temperamental. Terus akhirnya dia sebel, keluar rumah, cari angin, singgah di taman (yang kebetulan lokasi wisata), duduk sambil lihat angsa di kolam. Terus tiba-tiba ngerasa apakah para orang tua itu sedemikian kejam? Kenapa di tengah keindahan taman dia harus 'terpilih' menjadi orang yang muram?

Sampai saat ini, saya masih mempertanyakan di mana bagusnya buku ini.

"Kan terserah yang nulis!"
Iya, terserah. Nulis pake ejaan bak singkatan gaul era 2000-an juga nggak apa-apa, kok. Cuma kan ini arahnya biar dibaca orang yaa.

Iya betul memoar perjalanan memang awalnya ada untuk mendokumentasikan semua hal selama perjalanan. Cuma, kalau sudah dalam bentuk tulisan, kan beda ya formatnya. Bisa, kok, bikin catper yang cover-all tapi bagus dan enak dibaca. Nah, tekniknya ini yang 'mudah' dipelajari tapi susah juga ternyata praktiknya, hahaha. 

Daaaan saya masih sering terjebak dengan ke-aku-an ini.

Ada satu kutipan yang menarik soal menulis catatan perjalanan: 
The biggest character in your story has no voice and it is the place itself
-- by: lupa kata-kata siapa nemu waktu baca artikel

Oh, dan satu lagi: ini salah satu ulasan dari Goodreads tentang suatu buku travel story, tapi kayaknya relate juga untuk tulisan lain dengan genre yang sama. Intinya gini:
Saya nggak perlu ulasan soal tempat-tempat ini atau tempat apa yang wajib dikunjungi karena saya bisa baca di WikiTravel atau Lonely Planet. Yang saya perlu adalah sudut pandang atau insight penulis soal tempat dan fenomena di sana.

Tentu, dengan catatan bahwa 'insight' penulis ini harus seimbang. Bukan seperti yang jadi contoh di atas yang melulu soal diri sendiri.


 ANTARA BACAAN DAN TULISAN 
14 Januari  )


Sebetulnya bukan tulisan ini yang mau saya post buat tulisan blogging rutin pekan ini. Sejak minggu lalu saya udah ngerencanain pengin nulis soal euforia resolusi. Kerangkanya udah kebayang dan poin-poin utamanya udah ada. 

Jadi, kenapa nggak jadi ditulis, dong?

Saya sadari kalo tulisan saya masih banyak yang nggrambyang. Iya, poin utama udah ada. Tapiii penjelasan di belakang-belakangnya terasa kurang kuat. Akhirnya tulisan itu malah terasa kayak nggak punya hal kuat buat nge-backing pokok bahasan.

Ibarat rumah: desainnya udah ada, rumahnya udah jadi, tapi tiang penopangnya yang kokoh cuma satu. Tiang-tiang penopang yang lain masih keropos dan gampang runtuh.

Post tentang daya dukung pariwisata dan Cappadocia kemarin, misalnya. 'Benang merah' antara Cappadocia dan daya dukung itu ada. Tapi, rasanya masih cuma selapis kayak benang jahit. Belum kuat dan terhubung banget kayak tali tambang. Dan tbh antarparagraf kerasa kurang nyambung bahasannya, kayak masih lompat-lompat gitu. Iya, nggak, sih?

("Kenapa alurnya nggak coba dirangkai dan ditulis di atas kertas biar nggak ngawang?" Enggak, buat tulisan opini yang 'sepintas lalu' a.k.a nggak pake data dsb a.k.a tulisan slash curhat, saya nggak suka merancang terlalu detail. Beda soal kalo emang pengin seriuuus banget ngebahasnya. Kalo cuma sekilasyg tetep aja jadinya panjang karena saya nggak bisa nulis pendek, hiks!saya lebih milih merangkai di dalam kepala aja.)

(NB: jadi buat saya nggak ada yang namanya 'menulis tanpa membuat kerangka' yang sering dibahas penulis, terutama, fiksi. Ngebayangin alur cerita, ngerencanain di dalam otak, nggak ditulis, itu udah termasuk 'membuat kerangka'. Cuma nggak nyata di atas kertas aja. Tapi, ada, bikin.)

Mungkin banget ini karena saya kurang banyak bahan bacaan. Seperti cerita sebelumnya, saya masih ada di tahap membiasakan baca lagi. Dan mungkin karena udah agak lama vakum baca buku, jadi kran kosakata-koherensi-metafora-imajinasi dsb jadi ikut macet karena nggak ada bahan/air buat ngalirin itu kran.

Jangankan itu, lha wong 'radar' PUEBI aja sekarang jadi ikutan error. Saya jadi lupa mana penulisan yang benar: apapun atau apa pun, siapapun atau siapa pun, danau Sermo atau Danau Sermo, waduk Jatiluhur atau Waduk Jatiluhur, pak RT atau Pak RT. Duh!

Ya karena kurang baca itu tadi. Padahal sedari kecil saya 'belajar' PUEBI, gaya bahasa, dll, ya nyerap dari contoh penulisan di buku-buku. Karena, sebelum hobi nulis, saya udah terlebih dulu hobi baca. Jadi ketika cuma nulisnya yang lanjut tapi bacanya macet, nulisnya juga ikutan macet.

Jadi, sepertinya, beberapa hari ini keinginan bikin tulisan 'beneran' harus ditunda dulu. Kayaknya saya kudu tamat baca-baca dulu, ngelancarin kran, ngidupin lagi sensor dan radar yang karatan, sebelum nuntasin birthdate tulisan yang udah missed sejak Desember kemarin :')

Wish me luck.


 






 SEBAL 
(   3 Januari   )

Sekitar satu-dua minggu lalu, saya sebal perkara blog. Beberapa tahun ini, blog kan memang kalah populer dibandingkan platform konten lainnya, ya. Sebut aja dibanding M*dium dkk ataupun medsos seperti instagram. Jadi, blogging emang butuh effort lebih terkait networking.

 

Saya nggak tahu apa aja komunitas blogging yang masih aktif dan gimana masuk ke dalam jaringan itu. Satu-satunya komunitas yang saya tahu adalah, sebut saja, komunitas blogging X. Dia kelihatan aktif karena di instagramnya masih sering upload feed dan story. Anggotanya juga lumayan banyak, mereka aktif, dan isi blognya emang nggak main-main. Bahkan ada yang emang udah blogger kawakan.

 

November tahun lalu, X woro-woro kalau dia bakal ngedata orang-orang yang berminat buat berjejaring. Tapi, tanggalnya nggak diumumin. Saat saya tanya lewat DM, admin bilang tunggu aja. Saya tunggu sampe beberapa minggu, eh, kok nggak ada apa-apa. Namun, saya ingat kalau komunitas induk X (komunitas X emang 'anak' dari grup induk ini--sebut saja Y) pernah share broadcast tautan form soal pendataan di X. Saya ikut ngisi.

 

Beberapa minggu dan bulan berlalu. Instagram X seakan mandek. Saya pun nggak menanyakan kelanjutan form tadi karena saya pikir cuma pendataan database doang. Akun X pun seakan mati karena nggak ada post apa-apa dalam kurun waktu lama. Karena saya kira udah nggak keurus, saya unfollow-lah dia.

 

Lalu, sekitar sebulan kemarin, Y membagikan form soal blogging di komunitas X. Lagi. Saya isi. Dari teksnya seakan-akan X akan bikin networking buat blogger yang pengin join/baru blogging. ‘Wah, bakal ada networking beneran. Asiiik!’, batin saya waktu itu. Siapa tahu selain nambah teman, juga bisa nambah ilmu dari suhu-suhu blogger yang udah lebih lama nyemplung di dunia blogging, kan.

 

Dua pekan berlalu. Nggak ada kabar apa-apa. Saya pikir, ya udahlah, mungkin emang cuma pendataan doang (lagi).

 

Lalu, tepat di hari saya mikir kayak gitu, seorang kenalan di IG nge-post foto kalau dia bersyukur lolos seleksi masuk X. Lah, kenapa di Y, komunitas induknya, malah nggak ada pengumuman apa-apa?

 

Saya pun meluncur ke IG kenalan ini, kemudian ke IG grup X. Oalaaa, ternyata sudah ada nama-nama blogger yang masuk di periode ini. Bahkan sudah masuk tahap 2, yaitu seleksi penugasan.

 

Lah? Kok pengumuman tahap 1 aja nggak ada di komunitas utama? Padahal, segala komunikasi dari grup cabang biasanya ada di sana.

 

Ternyata eh ternyata lagi, delapan hari semenjak tautan form ditutup, akun IG X post kalau mereka buka rekrutmen. Selain isi form, peserta juga harus follow akun mereka dan bikin post di IG soal mereka.

 

Lah? Kok? Jadi yang deadline pengisian seminggu sebelumnya itu apa? Katanya buat berjejaring?

 

Saya nggak tahu apakah form pertama itu cuma pendataan doang, atau narahubung/admin grup induk yang alpa nggak ngasih tahu update di grup utama, atau emang dari X nggak bikin woro-woro buat grup utama. Tapi, saya ngerasa kesempatan saya ‘tercuri’. Bayangin aja saya nungguin sejak November 2020. Kesempatan ini cuma buka setahun sekali. Kalo mau daftar lagi, kudu nunggu akhir tahun 2022, dong! Lama amat!

 

Gini amat komunikasi antardivisinya.

 

Sebel? Iya lah!

 

Tapi, setelah dipikir, mungkin emang sebaiknya saya nggak masuk grup X karena:

  1. Di sana bakal dikasih pelatihan dasar. Pelatihannya ini kemungkinan besar sama kayak materi yang pernah saya dapet duluuu
  2. Ada penugasan tiap minggu. Nggak berat, paling sama kayak penugasan kalau ada pelatihan dasar blogging. Cuma, di Desember-Maret ini saya udah ada rencana ngerampungin post catatan perjalanan biar timing-nya pas. Kalau saya ikut ini komunitas, mungkin fokus saya bakal kepecah.

 

Itu cuma alasan penyemangat aja, sih, biar nggak sebel berkepanjangan. Mungkin juga alasan yang dicari-cari karena toh target travel story Desember kemarin belum kesampaian. Tapi, ya udahlah. Berjejaring nggak harus dari saluran itu, kan? Mungkin saya bakal nemu network blogger lainnya, di luar sana. Yang vibes-nya lebih mirip sama vibes saya. Mungkin.





 JAKARANDA 
(  24 Desember  )

Beberapa pekan lalu, waktu lewat di depan balai kota, nggak sengaja saya lihat satu pohon berbunga ungu muda. Cuma sepintas, nggak lebih dari dua detik. Namun, warna dan bentuk daunnya terekam jelas.

 

Haqqul yaqin itu bukan bunga bungur, yang juga berkelir ungu, yang juga sedang mekar di beberapa lini Balai Kota. Bukan juga tabebuya, sebab bentuk daun tabebuya nggak kecil-kecil imut hijau muda begitu.

 

Sempat ragu juga. Soalnya, jakaranda di sini masih tergolong jarang. Sejujurnya, baru kali ini saya lihat pohon jakaranda yang berbunga. Tapi, di antara jenis pohon-pohon peneduh yang bentuk dan warnanya memungkinkan … ya, itu.

 

Pohon jakaranda mirip dengan flamboyan. Namun, warna dan bentuk bunganya berbeda. Selain itu, kayaknya mirip. Makanya saya yakin kalau itu jakaranda.

 

Sebelum tahu ada jakaranda, saya bercita-cita pengin punya pohon flamboyan di halaman rumah. Sebelum itu, penginnya punya bunga sakura. Saya jatuh cinta pada kembangnya yang semarak saat mekar, tapi juga masih diiringi hijau pupus dedaunannya. Karena sakura nggak mungkin tumbuh di Indonesia, maka saya cari bunga lain yang kalau berkembang mirip-mirip: sama-sama semarak. Pilihan jatuh pada flamboyan.

 

Dulu pengin banget bisa mengecat flamboyan jadi warna yang lebih lembut. Oranye kan mentereng gitu ya, sejujurnya saya nggak begitu suka. Tapi apalah daya. Dan, ini memang cuma jadi cita-cita aja (karena ortu nggak mau punya pohon flamboyan yang akarnya bisa ke mana-mana dan ngerusak pondasi rumah). Akhirnya, cita-cita punya pohon flamboyan ini cuma bisa saya ‘tanamkan’ di rumah imajinasi: sebagai setting lokasi rumah tokoh utama di novel yang duluuuu saya garap (jangan tanya kelanjutannya ya, karena si penulis juga udah lama nggak menggarap. Doakan aja suatu saat punya daya buat garap lagi dan selesai, hehe).

 

Tetap iseng saya browsing flamboyan biru/ungu buat memastikan bahwa flamboyan memang nggak punya warna lain. Kemudian nyari-nyari dan nemu gambarnya! Tapiii, waktu itu belum ada di Indonesia. Masih lokal di Afrika atau Australia kayaknya. Ya sudah.

 

Namun, ngelihat jakaranda di Balai Kota beberapa saat lalu sempat membangunkan mimpi yang tertidur. Supaya punya rumah yang di halamannya ada pohon jakaranda ungu yang di bawahnya ada kolam koi, jembatan mini, lampu tangan bergaya Zen/Jepang, dan gazebo kayu kecil. Mungkin suatu saat, kalau naskah lama itu kembali saya garap, pohon flamboyan itu juga bakal saya update jadi pohon jakaranda.

 

Doakan saja ðŸ˜Š (sekalian diaminin juga makasih banget!)

 

 

(Nggak ada foto, karena nggak sempat foto. Doakan satu saat bisa punya foto bunga jakaranda dari halaman rumah sendiri ^^)







 SELEKSI 
 Jumat, 17 Desember )


Akan ada bulan-bulan ketika agenda bakal kosong-melompong dan bisa buat leha-leha gabut nge-random segala macam. Di lain waktu, akan ada saat jadwal penuh sampai kudu disempil-sempilin. Misalnya, jadwal webinar atau deadline lomba.


Kenapa itu yang diomongin? Soalnya yang saya rasain (paling enggak) selama (terutama) dua tahun ini, ya, itu.


Pandemi bikin semua acara bisa diadakan daring. Akhirnya, berseliweranlah segala macam info webinar. Mulai dari broadcast WA/Line, Telegram, facebook, instagram, dsb. Yang bikin pun macam-macam, mulai dari sekumpulan orang yang 'klaimnya' lagi gabut hingga instansi atau organisasi bergengsi. Kadang ada giveaway segala macam. Siapa sih yang nggak tertarik, apalagi kalau materinya bagus?


Saya pernah sampai geleng-geleng lihat buku agenda gara-gara ada 2-3 webinar berturut-turut dalam 2-3 hari. Ngebatin, "Kuat nggak ya?"


Awalnya, iya. Waktu itu webinar lagi populer banget. Pesertanya bisa ratusan. Zoom dan Google Meet lagi booming. Jadilah saya beneran nyimak dari awal sampai selesai. Apa beneran nyimak sambil duduk nyatat? Iya. Kalau capek duduk di kursi, saya bangun dan ganti posisi duduk di lantai. Sambil selonjoran atau tiduran dengan speaker eksternal menyala dan tangan masih pegang HP/notes buat nyatet. 


Lama-lama, capek juga, ya. Selang beberapa minggu, saya mulai ogah-ogahan. Kadang cuma nyalain laptop, kemudian ditinggal leyeh-leyeh. Kalau awal dulu masih disambi nyatet, kali ini sudah disambi main games, medsos, bahkan Youtube-an. Kalau pembicara lagi ngomongin hal yang saya anggap menarik atau saya butuh, baru saya simak lagi. Perhatian jadi terpecah-pecah. Sungguh nggak fokus.


'Nggak bisa gini dong', batin saya waktu itu. Ngapain ikut kalau justru nggak bisa maksimal? Mau nyerap ilmu, setengah-setengah. Mau refreshing/istirahat juga jadi setengah-setengah. Kenapa nggak mending alokasiin aja waktu tertentu buat webinar dan waktu lain pure buat istirahat?


Akhirnya saya mulai menyeleksi webinar mana yang kira-kira betul-betul saya butuhkan dan saya pengin tahu. Mana yang topiknya banyak dibahas sehingga bisa 'diambil' lain waktu dan mana yang lebih spesifik. Mana yang rekamannya tersedia bebas dan mana yang tidak. Mana yang kiranya saya punya pertanyaan yang harus saya tanyakan dan mana yang saya cuma pengin sekadar tahu aja. 


Ini juga berlaku untuk lomba. Biasanya, akan ada bulan-bulan ketika 'kering' aka nggak ada lomba sama sekali. Tapi di bulan tertentu, Desember misalnya atau kalau ada hari besar macam 17-an dsb, bakal banyak lomba bertebaran. Kalau yang ini sudah berlaku sebelum pandemi.


Sama seperti kasus webinar di atas, ada kalanya saya kayak 'kejar setoran'. Hari ini deadline lomba A, kemudian besok atau dua hari kemudian adalah deadline lomba B. Kalau bukan tipe deadliner mah nggak masalah. Tapiiii, saya adalah tipe deadliner. Baru ngerjain naskah di hari-H dan ngirim naskah di jam 23.58 bukan suatu hal yang nggak lazim. 


'Untungnya', ini bukan naskah akademik. Karena naskah akademik semacam esai dsb, buat saya, nggak akan mungkin bisa dikerjakan satu hari aja. 


Sebetulnya, nggak untung juga, sih. Soalnya, tulisan non-akademik pun ada juga yang kudu ngumpulin bahan dulu kemudian diolah. Artikel misalnya. Bahkan cerpen juga butuh bahan riset. Untuk tulisan tipe seperti ini, biasanya saya akali dengan nyari bahan beberapa hari sebelumnya dan dikerjakan sebelum deadline. Tapi gimana kalau udah mepet deadline?


Kalau masih nekat nulis mepet deadline, biasanya semua bahan riset sudah siap dan sudah dibaca sehingga tetap ada bahan dasar meski belum mulai bikin tulisan. Bisa jadi, ide tulisan sudah terbentuk dan tinggal diketik aja. Namun, bisa juga memang belum punya bayangan apa yang mau ditulis, tapi dengan bantuan bahan riset dan pancalan adrenalin yang memicu deg-degan jadi menerbitkan ide tentang hal apa yang mau ditulis.


Yang terakhir itu jangan ditiru. Apalagi kalau mau ikut lomba ke ajang besar atau serius. Dijamin tidak lolos kecuali memang penulis pro banget. Saya baru berani pakai cara ini kalau lomba yang pengin diikuti adalah lomba skala kecil yang besar kemungkinan naskah saya lolos. Bahkan sekelas lomba komunitas sederhana tapi naskah yang masuk banyak pun, saya nggak berani. Percuma. 


Ini berhubungan juga dengan memilih lomba. Biasanya, mepet-deadline-tanpa-punya-ide begini baru berani saya lakukan kalau skala lombanya memang kecil (banget) dan tipe tulisan yang dibuat punya kemungkinan tinggi untuk masuk finalis. Apa cara ini berhasil? Ya, beberapa kali. Beberapa kali juga gagal dan nggak dapat juara. Nggak heran sih, lha wong bikinnya aja random begitu. 


Dan, pekan ini, sedang ada tiga lomba yang berjejalan. Dua lomba menulis dan satu lomba photo-story. Satu lomba komunitas menengah, dua lomba organisasi besar. Dua lomba tulisan panjang, satu lomba tulisan pendek. Dua lomba, saya udah punya konsep, tapi yang satu belum cari bahan 'matang' untuk riset dan satu lagi saya nggak punya bahan dan belum gali-gali arsip lagi. Satu lomba, saya belum punya konsep sama sekali.


Kalau nurutin pengin, libas semuanya. Tapi kalau nurutin akal dan ngitung peluang, ya ikut 1-2 aja. Itu juga belum tentu menang atau bahkan lolos kurasi. 


"Terus kenapa kamu malah blogging dan bukannya mulai garap?"

Dunno... Mungkin dengan nulis curhatan gini, saya jadi lebih plong dan ngebantu buat mikir kemudian jadi lebih mudah menyeleksi. Atau mungkin jadi timbul ide setelah 'dipancing' dengan bikin curhatan gini. Who knows?


Meski, sampai baris terakhir ini, masih belum punya ide sama sekali, sih...

LOL.


Saya mau beres-beres meja dulu. Siapa tahu kalau lebih rapi, jadi lebih banyak ruang kosong buat nangkep ilham. *ngeles






 REMINISCING SEMERU 
 Jumat, 10 Desember  )


Apa, sih, istimewanya Semeru?

 

Bila hal ini ditanyakan pada khalayak atau geolog, mereka akan menjawab bahwa inilah gunung yang baru saja meletus hebat pada Sabtu (4/12/2021) pekan lalu. Bila ditanyakan pada ahli sejarah/budaya, maka mereka akan berkata kalau nama gunung ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘Gunung yang Besar’.

 

Mitologi lokal mengisahkan bahwa Semerulah yang membuat Pulau Jawa tidak lagi terombang-ambing di lautan lepas. Para dewa memindahkannya dari Gunung Meru di India dan ‘memaku’ Semeru di  timur Jawa agar pulau ini stabil. Konon, dalam proses pemindahan itu, guguran-gugurannya jatuh di seantero pulau dan menjadi gunung-gunung lain, antara lain Penanggungan, Tidar, dsb.

 

Lalu apa istimewanya Semeru, untuk saya?

Banyak.

 

Selain hutan-savanna-danau-desanya yang menyihir dan bikin saya masih jatuh cinta sampai sekarang, gunung ini juga jadi salah satu medan yang turut ‘mendidik’ saya di awal-awal menjadi anggota pecinta alam. Fisik, mental, logika, you name it. Erupsinya pada Sabtu (4/12/2021) lalu tak pelak membuat ingatan saya terlempar ke puncak tertinggi Jawa itu.

 

Semeru sudah aktif sejak dulu. Bahkan, kalau nggak salah, beberapa kali erupsi di kurun 1900-1999. Kawahnya sangat aktif. Sekitar tiap 15 menit sekali, Jonggring Saloka--nama kawahnya, memuntahkan berbagai material. Orang-orang yang pernah mendaki hingga puncak tahu betapa sulit mencapai ketinggian 3.676 mdpl itu karena medannya literally pasir.

 

Iya, pasir. Bawahnya juga masih pasir, bukan tanah yang dilapisi pasir. Medan ini serupa timbunan sirtu. Pernah memperhatikan gimana sirtu untuk bangunan dikeluarkan dari truk? Tumpukannya akan menyerupai kerucut. Anak-anak kecil biasanya suka naik-naik main di situ. Pernah mengamati bagaimana kaki cilik mereka akan sedikit terbenam pasir kemudian merosot dari pijakan sebelumnya? Ya kayak gitu rasanya hiking ke puncak Semeru.

 

Kami menyebutnya sebagai ‘3 langkah naik, 2 langkah turun’. Dan ini harfiah sekali. Makanya, meski perjalanan dari pos terakhir ke puncak cukup dekat bila dihitung dalam kilometer, tapi bisa menghabiskan waktu setara hiking beberapa kilometer. Sebagai bayangan, saat itu tim saya mulai masuk area pasir sekitar pukul 03.00 dan baru sampai puncak pukul 09.30-an. Padahal, dengan waktu yang sama, kami bisa berjalan dari desa terakhir – Pos 1 – Pos 2 – Ranu Kumbolo.

 

Kenapa treknya pasir gitu? Ya karena kawahnya aktif banget sampai ‘muntah’ tiap 15 menit sekali tadi. Saking seringnya kena ‘muntahan’ super panas, akhirnya batu-batunya hancur sampai jadi pasir.

 

Erupsi Semeru pekan lalu jatuh ke bagian selatan, ke area desa-desa di Lumajang. Jalur pendakian berada di arah utara. Namun, bukan berarti jalur utara ini ‘aman’. Ya yang namanya dekat puncak kan memang nggak aman dalam radius tertentu yak. Apalagi, di jam-jam tertentu, biasanya kalau sudah siang, ada gas beracun yang bertiup dari arah kawah ke utara.

 

Sudah 10 tahun berlalu sejak naik Semeru. Semua ingatan sudah terkikis pelan-pelan. Buat nulis ini pun, saya harus baca ulang catatan perjalanan yang saya tulis 10 tahun lalu. Tapi, spesialnya Semeru masih terasa. Bahkan, melihatnya dari kejauhan saja menimbulkan rasa haru dan kangen. Sudah mirip orang yang mabuk asmara yang senang sekali melihat gebetan meski dari jarak sangat jauh.

 

Semoga Semeru segera mandali dan warga setempat aman jiwa-raganya.


 

Semeru dilihat dari utara Lumajang. 2020
Photo was edited 
(btw editannya ini kasar dan foto asli sebenernya  nggak begitu bagus.
Ada yg punya ide enaknya diapain? (selain pakai filter otomatis
)


Pemandangan area Semeru dan ceritanya bisa dilihat dengan klik

label “Catper----Semeru”. Foto-foto puncak bisa dilihat di sini (klik!)


PS:

Anyway, sebenernya saya lagi bikin catatan perjalanan soal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebagian teks di post ini termasuk sebagian kecil cerita/info yang mungkin bakal dimasukkan ke naskah.

Apa yang pengin kamu baca/tahu soal Bromo Semeru? Kalau ada pendapat, tulis aja di kolom komentar, ya. Terima kasih ðŸ˜Š





 SKINCARE DAN PERUBAHAN IKLIM 
 Jumat, 19 November 2021 )

 … apa hubungannya?

 

Berhubungan banget. Sederhananya gini: lingkungan yang sehat akan mendukung tubuh menjadi sehat, termasuk kulit yang sehat. Demikian juga sebaliknya. Sekarang, kita tahu kalau perubahan iklim di era ini punya efek negatif buat manusia. Jadi, tentu efeknya juga negatif untuk kulit kita.


Pernah lihat film distopia-futuristik di mana manusia hidup di kubah khusus? Atau, kalau keluar rumah harus pakai baju khusus, bahkan tabung oksigen, supaya nggak terpapar sinar ultraviolet karena atmosfer bumi sudah menipis? Eh, mungkin pandemi yang udah berlangsung dua tahun ini mirip situasi itu: harus agak ribet pakai masker & nyiapin baju khusus keluar rumah supaya diri kita tetap sehat.


Ya gimana lagi, kan. Kalau nggak melakukan usaha itu, usia manusia bisa berkurang secara signifikan.


Dan, gimana lagi, ya. Emang ini efek dari perbuatan manusia (baca: kita) juga, nggak, sih?


"Ah tapi itu kan masih lama. Nggak sekarang juga."


Well, siapa bilang? Bencana-bencana alam di berbagai penjuru bumi yang diberitakan beberapa tahun ini banyak yang disebabkan perubahan iklim. Perubahan musim yang nggak bisa diacu lagi seperti dulu, banjir di Jerman beberapa bulan lalu, kebakaran hutan masif di Turki plus Amerika Serikat, bahkan banjir-kebakaran-dsb yang mungkin pagi tadi jadi headline di televisi nasional.


Udah nggak usah 'jauh-jauh', deh. Soal skincare ini aja.


Kerasa banget efek polusi udara di muka. Ceritanya beberapa saat lalu, muncul banyaaak jerawat di muka saya. Kadang emang muka saya berjerawat sih, tapi nggak sampai keroyokan dan merah iritasi kayak gini.


Heran kan saya. Cuci muka pakai facial wash udah rutin, skincare sederhana juga rutin, bahkan sarung bantal diganti seminggu sekali karena Surabaya sumuknya poll sampe tiap malam keringetan meski pakai kipas angin. 


Sampai saya cerita ke teman yang lebih paham dan lebih duluan nyemplung ke dunia per-skincare-an.

"Kenapa, ya? Di Jogja aku nggak pernah gini lho. Bahkan cuma modal facial wash sama sunblock aja mukaku udah halus-mulus-seperti putri keraton (eh ini mah tagline iklan S*ri*yu ya? Wkwkwk). Di sini udah pakai macam-macam tapi kok kayak kurang mantap gitu."


"Ya udara Jogja kamu bandingin sama udara Surabaya. Dari segernya aja udah beda. Lebih banyak polusi di sini. Yo jelas lah kulitmu responnya beda."


Eh iya juga ya ... 


"Atau airnya juga bisa. Coba kamu cuci muka pakai air sumur aja," kelakarnya. Yang, kalau dipikir-pikir, sangat layak dicoba.


Di era yang sama, di daerah yang berbeda, iklim mikronya aja beda. Treatment dan efek buat kesehatan juga beda. Padahal bedanya 'nggak begitu banyak'. Nggak beda banget sama udara Ulanbator yang konon banyak banget smog, misalnya.


Nah, apa kabar kesehatan kulit di masa depan, kalau iklimnya makin rusak? Kulit, kan, perisai dan perlindungan pertama manusia. Apalagi muka yang tiap hari bertatap dengan udara.


Ini masih kulit. Belum organ tubuh lainnya.


"Kan bisa diobati, di-treatment!"


Heiii kau kira itu semua gratis? Material privilege is real, dude! Sekarang aja kita tahu bedanya efek skincare mahal dan skincare pasaran (bukan jelek yak, tapi kurang cespleng aja) dan perbedaan harganya. Di masa sekarang emang skincare ini masih termasuk kebutuhan sekunder atau tersier. Tapi gimana kalau kondisi bumi di masa depan mendesaknya jadi kebutuhan primer, kayak masker dan oksigen yang jadi langka di masa Covid-19 kemarin (padahal sebelumnya nggak pernah direbutin)?


Emang sih, di zaman ini, semua nggak ada yang gratis. Yang gratis 'cuma' alam pemberian Maha Kuasa. Yang sekarang nasibnya tergantung 'manajernya', khalifahnya: kita, umat manusia. 


Soooo... I decided to merge all the rant, ramble, rave, babble, and random thoughts here. Many of them are meaningless and just a passing thoughts and since they're quite unrelated to the main theme of this blog, I think it's best to put them together in a post so the new ones won't show in homepage or home slider (and therefore doesn't disrupt the blog's niche --halah!--)


Tanggal post sengaja di-set  mundur beberapa tahun ke belakang supaya pos ini nggak muncul di homepage atau slider. Tanggal penulisan sebenarnya adalah tanggal yang tertera di bawah judul.

Reading Time:

Jumat, 16 November 2018

Putuk Truno: Happy Ending Romeo & Juliet ala Tretes
November 16, 20180 Comments

NB: untuk melihat foto lebih jelas, klik gambarnya


- Putuk Truno: terpencil, mungil, dan menyimpan kisah sentimentil. -

Siapa yang tak kenal Romeo dan Juliet? Tragedi ciptaan penyair asal Inggris, William Shakespeare, ini dikenal di mana-mana dan diadaptasi ke berbagai versi. Cerita mengharu-biru tentang kisah-kasih tak sampai menjadi cerita yang digemari sejak zaman Shakespeare belum lahir hingga saat ini. Maka tak heran bila banyak cerita-cerita di berbagai belahan bumi memiliki tema sama. Sebut saja Laila Majnun-Qais, Tristan-Isolde, kisah nyata Cleopatra-Marc Anthony, Hamid-Zainab dalam ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’, atau yang masih tergolong baru, Autumn in Paris tulisan Ilana Tan. Tema yang familiar ini juga bisa ditemukan di cerita-cerita rakyat, termasuk di Tretes, Kecamatan Prigen, Kab. Pasuruan. Di tempat ini, nama sang Romeo diabadikan menjadi nama air terjun: Putuk Truno.

‘Putuk’ dalam bahasa Jawa berarti ‘bukit kecil’ atau merujuk pada tempat yang lebih tinggi daripada sekitarnya, sedangkan ‘Truno’ merupakan nama seseorang. Tak pasti namanya ‘Truno’ atau ‘Taruno’, tetapi yang jelas adalah pemuda ini merupakan putra raja keempat Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389, Hayam Wuruk, dengan seorang selir. Konon, di tempat inilah Joko (Jawa: pemuda) Truno bertapa untuk mendapatkan gadis pujaannya.

Perempuan yang disukai Joko Truno memang bukan orang sembarangan. Sang gadis, Sri Gading Lestari, merupakan putri bupati Madura saat itu, Arya Wiraraja. Sebenarnya Joko Truno pun tidak termasuk sembarang orang, ia masih tergolong pangeran. Namun, status ‘hanya’ anak seorang selir membuat Arya Wiraraja menolak pinangan sang pangeran meski anak perempuannya juga menaruh hati pada pemuda itu. Status ini pula yang membuat nama Joko Truno tidak ada dalam catatan sejarah dan ceritanya hanya menyebar sebagai cerita rakyat dari mulut ke mulut.

Pasangan kekasih ini pun dipisahkan. Arya Wiraraja mengasingkan putrinya ke air terjun di wilayah Purwodadi, Kab. Pasuruan. Tak hanya itu, di sekitar air terjun pun dipasang pagar gaib agar keduanya tak bisa bertemu. Sri Gading Lestari yang patah hati sering kali menangis hingga melolong. Lolongan itu terdengar oleh penduduk sekitar yang menyangka suara itu adalah lolongan serigala. Oleh karena itu, air terjun tersebut dinamakan Coban Baung (Jawa, coban: air terjun, baung: serigala). Konon, sang gadis terkadang masih mencari lelaki yang menjadi suaminya dan menarik pemuda yang ia sukai ke sini.

Joko Truno tidak menyerah. Pemuda itu kemudian bertapa di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Putuk Truno agar mampu menembus pagar sihir. Lelaki itu bersemedi sampai moksa sehingga jiwanya bisa menembus pagar magis di tempat Sri Gading Lestari. Ia pun memboyong gadis kesayangannya ke Putuk Truno, menikah, dan konon, hidup bahagia selama-lamanya.

Putuk Truno terletak tidak jauh dari jalan, pun tidak sulit mencapainya meski letaknya agak masuk, sehingga mudah dicapai dengan kendaraan bermotor. Dari masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan, lurus sedikit lalu ambil arah kiri di persimpangan. Kemudian lurus saja menyusuri Jl. Raya Prigen. Sekitar 200 meter akan ada jalan kecil ke arah kiri. Jalan itu memang bukan jalan besar, malah cenderung jalan kampung. Bila tak awas, bisa saja jalan itu terlewat meskipun ada plang tanda arah ke Putuk Truno. Setelah masuk jalan kecil, tinggal ikuti saja sampai di kiri jalan terdapat tempat parkir ke air terjun. Air terjun tidak akan terlihat dari jalan karena terletak masuk di dalam hutan.

- Jalan setapak menuju air terjun yang dihiasi beragam bunga. Sama sekali
tidak terjal, tetapi tetap ada yang ngos-ngosan saat kembali naik ke parkiran -


Lingkungan di sekitar air terjun sangat asri. Pepohonan tinggi dan rapat menaungi segala arah sehingga hawa menjadi sejuk. Harga tiket Rp15.000,00 per orang rasanya tidak terlalu mahal. Harga itu lebih murah lagi bila bukan akhir pekan, yaitu Rp10.000,00, sedangkan untuk turis asing Rp20.000,00. Setelah membayar parkir dan tiket, pengunjung bisa memasuki jalan setapak menuju air terjun.

Di awal jalan terdapat sebuah poster yang menjelaskan sejarah Putuk Truno. Jarang-jarang ada tempat wisata yang menjelaskan asal-muasal atau sejarah lokasi kecuali bila yang dijual memang wisata sejarah. Padahal, informasi seperti ini sangat menarik dan bisa menambah wawasan wisatawan sehingga tidak hanya mendapatkan keindahan panorama atau foto diri dengan background cantik saja. Meski hanya sekelumit, hal seperti inilah yang memberi kesan dan membuat pengalaman menjadi lebih nyata karena saksi bisu di masa lalu itu bisa dilihat dengan mata kepala sendiri.

Putuk Truno bukan tempat wisata baru1, tetapi tidak berarti pengunjung di sana berjubel. Tempat ini memang lebih kecil dan tidak seterkenal tetangganya, Air Terjun Kakek Bodo. Namun, justru inilah surga yang dicari penikmat sepi. Saat itu bahkan hari Sabtu dan sudah pukul 11.00 WIB, tetapi saya hanya bertemu dengan 4-5 orang lain. Di lokasi air terjun pun hanya ada tak lebih dari sepuluh orang, termasuk ibu penjaga warung. Keadaan seperti ini tentu memudahkan mengambil foto tanpa ada manusia, terutama bagi amatiran yang belum pintar mencari angle (baca: saya).

- Salah satu bunga cantik di tepi jalan setapak. Ada bermacam-macam
tanaman menarik sepanjang jalan, termasuk pohon ara & pohon-pohon
liar berbuah lainnya -

Setelah melewati jalan setapak sepanjang sekitar 150 meter yang dipagari dengan semak-semak dan bunga liar, air terjun setinggi 45 meter2 itu sudah terlihat. Kita harus menuruni tangga yang sedikit licin bila ingin menuju bagian bawah air terjun. Aliran jatuhnya air serupa ceruk, air tercurah di tengah-tengah dan dikelilingi oleh batuan cadas yang tertutupi lumut dan tumbuhan-tumbuhan merambat.

Guyuran airnya yang jatuh dari ketinggian berkumpul di kolam kecil yang dalamnya tak sampai setinggi lutut orang dewasa. Batu-batu kali sebesar kulkas ataupun seukuran tas ransel terserak di dasar, hanya seperempat bagiannya yang terendam air. Mungkin karena Agustus 2018 lalu masih musim kemarau sehingga air di dasar sungai tak begitu dalam. Entah bila di musim hujan bisa setinggi mana alirannya.

- Di dasar air terjun. Suara air yang jatuh deras menggaung di seluruh penjuru. -

- Putuk Truno dilihat dari platform kayu. -


Di musim kemarau sekalipun, air masih mengalir deras. Suara curahan yang jatuh berdebur mengisi seluruh ruang pendengaran menutupi cuitan burung liar dan kersik dedaunan yang sebelumnya menjadi teman perjalanan. Angin membawa titik-titik air tak terlihat yang membuat hawa menjadi lebih dingin. Bahkan, angin yang serasa menggigit-gigit ujung jari itu masih terasa ketika berdiri di platform panjang dan panggung gazebo yang terletak agak jauh dari air terjun.

Air yang mengalir bening khas aliran-aliran pegunungan. Meski demikian, bukan berarti air tersebut bersih dan aman dikonsumsi seperti air sumber. Penampakan fisiknya memang bening, tetapi bila melihat dengan teliti akan ditemukan beberapa sampah plastik yang tersangkut di antara bebatuan. Ada plastik berlogo popok bayi yang sepertinya terhanyut dari sungai di atas air terjun. Ada pula plastik-plastik makanan ringan. Padahal pengelola sudah menyediakan tempat sampah di dekat air terjun. Memang hanya sedikit, jumlahnya bisa dihitung jari, tetapi tetap saja namanya mencemari meski tak sampai mengganggu panorama cantik Putuk Truno.

- Bebatuan di dasar air terjun. Curahan dari air terjun mengalir ke anak
sungai selanjutnya, kemungkinan besar menuju perkampungan. Kabut tipis
menutupi jajaran pohon di hutan sekitar sungai. -
Pemandangan yang indah tentu tidak akan tahan lama bila tidak dijaga. Pertanyaannya kembali pada pengunjung sendiri, apakah mau ikut mempertahankan keelokan yang pernah dinikmati? Sesederhana membuang sampah pada tempatnya atau tidak mencorat-coret objek di lokasi agar keindahan itu awet hingga anak-cucu, seawet kisah Joko Truno yang langgeng meski masa telah puluhan kali berganti generasi.

-------------------------

1: www.perhutani.co.id/2014/03/tiket-masuk-empat-objek-wisata-tetap/
2: www.eastjava.com/blog/2015/05/19/putu-truno-waterfall-ecotourism-in-tretes-prigen-pasuruan/
Reading Time:

Sabtu, 25 Agustus 2018

Christopher Robin (2018)
Agustus 25, 20180 Comments
Took this from: imdb.com


Durasi                 : 1 jam 44 menit
Produksi              : Walt Disney Pictures
Cast                    :  -Ewan McGregor (Christopher Robin)
                             -Hayley Atwell (Evelyn Robin)
                             -Bronte Carmichael (Madeline Robin)
                             -Mark Gatiss (Mr. Winslow)
                             -Jim Cummings (pengisi suara Pooh)
               (selengkapnya cek IMDB/Rotten Tomatoes/dan semacamnya)

NB: premier di Indonesia bukan tanggal 3 Agustus 2018. Saya juga nggak tahu jelasnya kapan, tapi setelah tanggal 20-an.

--------------------

"Did you let me go?" - Pooh
"Yes... yes I did." - Christopher

Sejak pertama tahu dan ngelihat teaser-nya, saya sudah berniat nggak nonton. Kenapa? Karena di teaser sudah jelas-jelas menunjukkan Christopher Robin yang sudah dewasa dengan sifat yang jauh berbeda dari sifat masa kecilnya dulu. Sebagai penyuka Winnie The Pooh & Friends yang terbiasa dengan sifat polos, ceria, kalem, dan full of sunshine-nya Christopher, saya nggak rela dia berubah jadi laki-laki seperti itu.

Sungguh nggak rela dan nggak mau. I am not ready for the adult version of Christopher Robin.

Pernah ngerasain kecewa berat karena dulu pernah naksir orang  dan berharap sosoknya masih sama seperti dulu, tapi saat sekarang ketemu ternyata dia sudah 180 derajat berubah dan bukan lagi orang dengan sifat yang kita sukai atau nggak sesuai bayangan & harapan kita? Kurang lebih gitu perasaan saya waktu itu, padahal baru lihat teaser doang.

Namun, beberapa hari yang lalu, pergi juga saya ke bioskop. Apa pasal? Mendengar suara kalem dan kalimat serta tingkah polos Pooh di trailer, saya meleleh. God, that bear is so fluffy and adorable!

Baru 15 menit film diputar, saya udah kudu nangis. Pahit! Patah hati! Selama ini saya nggak sadar bahwa hidup Christopher serta Pooh dan kawan-kawan di buku atau kartunnya ber-setting sebelum Perang Dunia I. Prolog film ini menampilkan Christopher yang harus meninggalkan teman-temannya di pedesaan Sussex (Inggris) karena dimasukkan ke sekolah asrama. Tak lama, sang ayah meninggal. Di usia 20-an, Christopher pindah ke London dan bertemu Evelyn, calon istrinya. Mereka menikah dan saat Evelyn hamil, pria itu harus berangkat ke medan laga Perang Dunia I. Tiga tahun Evelyn membesarkan putri mereka, Madeline, sendirian sebelum Christopher akhirnya kembali, syukurlah, dengan anggota tubuh yang lengkap.

Life happened to Christopher.
Bocah manis yang dulu, kini telah merasakan riak-riak kehidupan.

Christopher yang merupakan veteran perang kemudian bekerja sebuah perusahaan koper, Winslow Company. Berubah menjadi pria yang terlalu sibuk dan terlalu serius, sang istri pun protes dan sang putri ngambek. Apalagi ketika akhir pekan yang dinantikan tiba, Christopher tidak bisa ikut pergi bersama mereka ke pondok di Sussex karena harus lembur. Perusahaan sedang krisis dan Christopher, sebagai salah seorang atasan, harus cepat menyelesaikannya.

Kapan Pooh muncul?

Pooh muncul ketika beruang itu bangun pagi, menemukan bahwa gentong madunya kosong, dan pergi ke rumah Piglet untuk meminta madu. Anehnya, beruang itu tidak menemukan Piglet atau teman-temannya yang lain. Kesepian, ia pergi ke pohon tempat Christopher dulu muncul. Ia memasukinya, merangkak terus, dan keluar dari sebuah pohon lain di taman depan rumah Christopher.

Christopher panik karena kemunculan sahabat masa kecil yang ia anggap tak nyata. Namun, mau diapa-apakan juga, boneka beruang itu memang ada, bicara, dan bergerak layaknya makhluk hidup. Tak ingin Pooh mengganggu lembur, pria itu memutuskan mengembalikan teman lawasnya ke pedesaan Sussex. Namun, masalah baru menunggu di sana: ia harus membantu Pooh menemukan teman-temannya yang menghilang secara misterius.

Berdua mereka mencari di hutan. Pooh berkata berkali-kali bahwa ia khawatir teman-temannya diculik oleh Heffalump dan Woozle, monster hasil imajinasi Christopher dan yang lain ketika lelaki itu masih kecil. Frustasi, Christopher pun membentak bahwa monster itu tak nyata, bahwa hidup sudah berubah, bahwa dia sudah berubah.

Pooh mengkeret, saya mengkeret. Kepala Pooh menunduk sedih, hati saya patah jadi dua.

Who is this man? It's as if there is no trace of the young Christopher in him. I mean, how could he shout at that adorable, innocent creature, who is was his bestfriend?

Yeah he could. Life happened, remember?

Tapi itu nggak berlangsung lama kok. Satu peristiwa membuatnya 'sadar' dan dengan rela hati membantu Pooh dan kawan-kawan. Sudah? Belum. Setelah berpisah dengan sahabat-sahabat masa kecilnya dan kembali ke London, kini giliran Madeline yang lenyap dari pondok. Ke mana Madeline? Dan, bagaimana nasib krisis perusahaan yang sedang ditangani Christopher?

Ditarget sebagai film anak-anak, maka jangan protes bila ending dan penyelesaiannya pun sangat sederhana. Tak ada intrik yang mengguncang layaknya roller coaster. Bahkan rasanya ritme bicara para tokoh juga tidak terlalu cepat dan kata-kata yang digunakan pun cukup sederhana, mungkin untuk memudahkan anak-anak supaya bisa mengikuti dan paham dengan mudah. Ending yang manis juga bisa membuat para krucil bahagia dan puas. That's what children stories are like, right? Happy ending and live happily ever after.

Meskipun film anak-anak, nggak ada salahnya yang 'sudah besar' ikutan nonton. Perkembangan karakter Christopher Robin dari anak kecil yang simpel, menjadi orang dewasa yang 'pahit', kemudian menemukan kembali 'inner child'-nya tanpa melepaskan peran sebagai orang dewasa, mungkin dapat membantu mengingatkan bahwa kehidupan tak selamanya serius.  After all, there'll always be an inner child inside us. Ada momen-momen di mana kita bisa berhenti sejenak, menikmati hidup sebentar untuk refreshing sekaligus memaknainya, lalu berjalan lagi maju ke depan.

Those moments are what we live for.
Those moments which make us alive.
Those moments which, actually, matters the most.
Those moments-in-between.


--------------------


PS: saya ngerasa kalau ini nggak sepenuhnya review film, berasa separuhnya lebih ke curhatan. Sorry.

PPS: nulisnya banyak kecampur bahasa Indonesia-Inggris. Efek belum bisa move on dari cerita-cerita fiksi nemu di internet & nonton ulang BBC Sherlock. Sorry again. 
Reading Time:
Dwelling (?)
Agustus 25, 20180 Comments

Hm... where to start, where to start?

Kemana aja, kok blog-nya kosong nggak ada update? Social media juga nggak begitu aktif kayaknya? Kenapa? Nggak nulis lagi? Atau nggak jalan-jalan lagi? Atau nggak baca lagi? Kemana aja?

Nggak kemana-mana, pun nggak sedang melakukan rencana besar yang revolusioner. So?

Life happened, that's why.
Or rather, it didn't. Whichever you think is fine.

In a world that never stops talking, silence is addictive. And when you find a 'place' which is quiet and comfortable and understands you in a way nobody does, it's almost as if you don't want to leave and want to dwell there forever.

Almost.

Reading Time:

Minggu, 20 Agustus 2017

Buku-Buku Perjalanan Agustinus Wibowo
Agustus 20, 20170 Comments


Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

TITIK NOL
Tahun terbit: Mei 2014 (cetakan 5)
Tebal: 552 halaman

SELIMUT DEBU
Tahun terbit: April 2013 (cetakan 4)
Tebal: 461 halaman

GARIS BATAS
Tahun terbit: 2011 (cetakan pertama)


Bila kita mencari buku tentang travelling yang berbeda dari buku-buku kebanyakan, sepertinya ketiga buku di atas bisa memuaskan keinginan itu.

Dewasa ini, travelling sudah jadi bagian dari tren 'kekinian'. Buku-buku tentang travelling pun kian marak di pasaran, mulai dari manual travelling, kumpulan catatan perjalanan, hingga novel-novel fiksi yang menyinggung topik ini. Rata-rata buku tentang jalan-jalan akan membahas tujuan perjalanan, pengalaman di sana, dan metode mencapainya, bahkan hingga rinci. Itinerary. Rata-rata cenderung deskriptif, meski beberapa memang ada yang penyampaiannya lebih puitis & melankolis, terutama bila itu novel. Namun, hanya sedikit yang menulis tentang pengalaman humanis dalam proses mencapai tempat tujuan.

Bila mencari buku yang seperti itu, saya rasa ketiga buku tulisan Agustinus Wibowo ini lebih dari layak untuk masuk hitungan. 

Sudah ada tiga buku yang ditulis pria ini. Lelaki yang juga wartawan Kompas ini menulis Titik Nol, Selimut Debu, dan Garis Batas, semuanya dilengkapi dengan foto-foto berwarna jepretannya sendiri. Kisah dalam buku-buku ini pernah dimuat pula di media Kompas beberapa tahun lalu. Bila ada yang penasaran tentang gambaran buku ini, mampir saja ke website penulisnya http://agustinuswibowo.com/.

Saya baru selesai baca dua di antaranya. Maka, yang saya bahas di sini hanya Titik Nol dan Selimut Debu aja ya. Garis Batasnya menyusul.


_________________________________


"Memberi arti pada perjalanan". Itu judul pengantar yang ada pada Titik Nol. Secara garis besar, buku ini berkisah tentang pengalaman penulis melintasi negara-negara Asia. Jangan salah, yang dikunjungi bukan negara-negara tersohor nan maju seperti Jepang, Korea, atau Singapura, melainkan negara-negara yang sedang berkembang. Berbekal mimpi menjadi petualang dunia, mencapai negeri-negeri jauh, Agustinus memulai perjalanannya dari Cina. Dari negeri tempatnya berkuliah itu, perlahan-lahan ia berpindah ke wilayah Tibet, lalu ke negara sekitarnya: Mongolia, Nepal, India, Pakistan, negeri-negeri atap dunia tempat rangkaian pegunungan tinggi dunia bersemayam. Dari sana ia menyusuri negeri-negeri Asia Tengah: negara-negara berakhiran -tan (Afghanistan, Uzbekistan, dan kawan-kawannya). Seluruh perjalanan ini ditempuhnya melalui jalan darat yang tentu relatif lebih ribet.

Hanya itu? Oh enggak. Perjalanan tidak selalu mulus. Ada kala ia harus menunggu angkutan berjam-jam di padang sepi yang jauh dari mana-mana, menumpang kendaraan pribadi, berjalan kaki sendirian berkilo-kilometer dengan medan yang tak selalu mulus (dan jalan yang tak senantiasa ada). Bukan hanya itu, ia harus merasakan yang rasanya ditampar penduduk lokal, dicurigai sebagai penyelundup, dicopet dan dirampok, dan berbagai pengalaman tidak mengenakkan lainnya.

Kok nelangsa sekali? Benar, penulis dituntut lihai dalam perjalannya, tak saklek, dan banyak akal menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak pernah termaktub di buku teks kuliahan maupun buku panduan travelling. Tak banyak buku travelling yang berani menyampaikan duka perjalanan yang dialami, tetapi peristiwa itu dituliskan di sini. 

Tentu tidak semua kisah-kisahnya menyedihkan, ada kehangatan dan eksotisme yang ditawarkan. Entah lewat kisah keramahan teman nemu-di-jalan, teman nemu-di-warung, atau warga lokal yang terlalu baik. Disampaikan pula budaya, mitos, kebiasaan, dan kisah-kisah masa lalu di tempat-tempat yang dilalui, menjadikan cerita lebih 'hidup'.


_________________________________

Bila Titik Nol menceritakan garis besar perjalanan penulis melintasi Asia, maka Selimut Debu menitikberatkan pada pengalamannya selama berada di negeri perang, Afghanistan. Siapa yang tak pernah mendengar tentang keganasan kota Karachi, Kandahar, atau kelompok Taliban? Negara yang tersohor akan perangnya yang tak habis-habis ini memiliki sisi-sisi menarik, unik, dan kaya yang tak banyak diketahui orang. Afghanistan ternyata tidak melulu tentang debu padang pasir, rentetan kalashnikov dan bom yang siap meledak sewaktu-waktu, Taliban, atau tempat yang terisolasi dan mengisolasi dari dunia global. Negara ini pernah jaya pada masanya, dahulu sekali ketika Jalur Sutra masih sering dilintasi. Ia memiliki gunung-gunung tinggi, lembah-lembah hijau, dan danau serta sungai deras berwarna biru terang. Ia juga memiliki mall mewah, hotel berbintang, bahkan bar.

Di balik negeri yang dipenuhi aroma perang dan kematian, kehidupan terus berjalan. Inilah yang diulik penulis. Masyarakat di sana beragam, mulai yang tertutup sekali hingga agak terbuka. Ada kisah kuno soal penyebaran agama Hindu dan Buddha yang pernah menjamah daerah yang sekarang mayoritas muslim ini. Ada cerita tentang minaret dan masjid yang pernah menjadi bukti kejayaannya di masa lampau, ada pula cerita yang di negara kita dianggap tabu tetapi ternyata di sana sudah jadi rahasia umum. Tak hanya nilai-nilai kemanusiaan dan aroma kepasrahan, kita pun bisa menemukan kebanggaan dan api semangat yang tersemat di dalam hati para warga Afghan, yang selama ini kita anggap tak lebih dari sekedar korban perang.


_________________________________

Bahasa yang digunakan pada buku-buku ini tepat dan bernas. Tak ada basa-basi, kalimat-kalimat penuh kiasan, atau penggambaran yang kadang malah membuat pembaca tak paham. Meski bahasa yang dipakai adalah bahasa baku khas koran, tapi saya rasa ceritanya tetap mengalir. 

Buku-buku ini tak selalu menceritakan kisah secara runtut. Alur yang digunakan pada Selimut Debu memang cenderung menggunakan alur maju bersetting sekitar tahun 2006, sedikit berbeda dengan Titik Nol yang beralur maju-mundur. Meskipun demikian, pada keduanya banyak ditemukan kisah-kisah lain yang berhubungan (misalnya mitos, sejarah, budaya) yang diselipkan di tengah-tengah cerita. Jangan kira selipan ini sedikit, kadang justru sisipan inilah yang porsinya lebih banyak. Awalnya, saya sedikit bingung dengan gaya ini karena kesannya melompat-lompat. Namun pada akhirnya terbiasa dan malah menikmati kisah-kisah sisipan bernilai tinggi tersebut, karena menurut saya inilah daya tarik utama buku ini dan yang membuatnya berbeda dengan buku travelling lainnya. Penulis tak hanya fokus pada tujuan dan itinerary belaka, tetapi lebih pada proses selama perjalanan dan orang-orang yang ditemui.

Buku ini mengajak kita melanglang buana ke belahan bumi yang jarang dijamah orang. Negara-negara yang dilalui bukanlah negara tujuan pariwisata yang sudah sangat maju. Namun itulah sisi lebihnya, yaitu menguak kisah tak terduga di balik negara-negara yang masih samar-samar di mata dunia. Negara-negara ini bukanlah tempat yang bisa dengan mudah kita cari infonya dari dunia maya, yang gampang ditemukan website pariwisata (atau badan pemerintah lain) resminya. Sebagian kita bahkan mungkin tidak tahu letak negara-negara ini, bahkan hanya pernah sekali mendengarnya zaman pelajaran Geografi di SD dulu, kemudian lupa selamanya. Buku travelling ini menuntun kita mengintip negara-negara yang masih berada di balik tirai, mengantarkan pada situasi di sana masa kini, dulu, bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.


_________________________________


Suka dan takjub! Itu reaksi saya saat selesai membaca Titik Nol, buku Agustinus Wibowo yang pertama saya beli. Titik Nol sebenarnya sudah saya incar beberapa bulan sebelumnya. Meski buku tersebut tak boleh dibuka segelnya saat di toko buku, saya tahu dari larik-larik gelap di sisinya bahwa buku ini menyajikan foto-foto berwarna. Jarang saya temukan buku travelling, dalam hal ini buku cerita (bukan manual  travelling), yang melengkapi ceritanya dengan gambar. Inilah yang membuat saya tertarik, selain tulisan 'best seller travel writing' pada cover-nya. Maklum, gambar berwarna pasti berimbas pada harga yang lebih tinggi. Karena alasan inilah, Titik Nol berusaha tidak saya gubris tiap kali melewatinya di toko buku, meski seringkali saya menimang dan menimbang, "Kapan ya, ini buku bisa terbeli?"

Suatu saat ketika melewati rak buku ini, saya teringat perkataan seseorang, "Kenapa kita sulit sekali menganggarkan uang untuk membeli buku? Kenapa terlalu banyak pertimbangan? Dengan enteng kita keluarkan uang untuk baju berharga sembilan puluh ribu, bahkan yang harganya di atas seratus. Lalu kenapa untuk buku, untuk ilmu dan investasi masa depan yang bisa diwariskan, kita terlalu berhitung?". Kurang lebih itu yang dikatakan penulis Asma Nadia di seminar yang saya hadiri beberapa bulan sebelumnya.

Kalimat itulah yang akhirnya memantapkan saya membawa Titik Nol ke kasir, meski saat itu harganya Rp125.000,00. 

Dan, kalimat itulah yang selalu saya dengungkan saat saya ragu dalam membeli buku. Meski kadang saya jadi kalap dan jadi memborong buku banyak-banyak, hehehe.

Ternyata tidak mengecewakan. Sangat amat tidak mengecewakan a.k.a sangat memuaskan. Jujur saya mulai bosan pada buku-buku travelling yang isinya kurang lebih sama, ya seperti yang disebut di atas: itinerary, tips dan trik, keindahan lokasi. Atau, novel yang menggunakan tema perjalanan atau luar negeri sebagai tempelan di cerita-cerita romantis tapi kata-katanya tidak romantis. Maka, buku-buku seperti Titik Nol dan Selimut Debu jadi semacam angin segar buat saya yang tetap ingin baca cerita perjalanan yang tak semu dan umum.

Selesai dengan Titik Nol, sejenak saya terlupa hingga pada awal 2017 lalu saya kembali mencari novel perjalanan lainnya. Browsing sana-sini, akhirnya saya teringat buku Agustinus Wibowo yang lain. Dimulailah perburuan itu, saya mencari Selimut Debu. 

Nihil.

Toko-toko buku mayor di Yogya sudah saya sambangi, tetapi stoknya selalu kosong. Ya sudah, coba dulu ke lain kota. Saya pun beralih ke Surabaya. Apes pula, toko-toko buku mayor langganan saya pun kosong. Seorang pramuniaga di salah satu toko berkata, "Terbitnya sudah agak lama ya? Wah maaf, kalau sudah lebih dari sekian tahun, biasanya sudah dikembalikan ke penerbit".

Saya tambah patah hati.

Berbekal pasrah, pergilah saya ke salah satu toko buku terbesar di Surabaya, yang kalau di toko ini buku itu tidak ada, maka bisa dipastikan buku tersebut sudah tidak beredar di Surabaya. Kembali saya menatap layar komputer toko, mencari. Tuh kan, Selimut Debu stoknya nol. Garis Batas tinggal satu, yang masih banyak adalah Titik Nol yang sepertinya memang lebih terkenal dan best seller  di antara ketiganya. Ya sudah, Selimut Debu tak ada, Garis Batas pun boleh juga.

"Kalau tinggal satu, biasanya sulit ditemukan bahkan sudah nggak ada, bahkan di gudang," kata si mas pramuniaga, tetapi tetap ia antarkan saya untuk mencari. Benar, hanya tumpukan buku berkover biru, Titik Nol, yang masih tersedia. Saya menghela napas kecewa sebelum saya melihat satu buku berkover hitam di antara lautan biru. 

Ternyata, jodoh memang tidak ke mana. Setelah dicari tentunya #eh. Buku itu bukan Garis Batas, tapi justru Selimut Debu. Hanya satu! Benar-benar tinggal satu! Setelahnya, di sisa waktu berkeliling toko, buku tersebut tak pernah saya lepaskan dari genggaman. Takut ada orang lain yang ngincar juga, hehe.

Kenapa saya keukeuh nyari buku ini? Simpel, ingin tahu tentang negara yang selalu dikabarkan berkonflik oleh seluruh media: Afganistan. Apa cerita di baliknya sama seperti yang kita dengar selama ini? Menilik dari Titik Nol, saya yakin Selimut Debu juga akan menuturkan cerita-cerita tak terduga yang tak terkover media. Dugaan itu tak meleset.

Untuk saya sendiri, Selimut Debu menawarkan kisah-kisah sejarah yang menarik dengan benang merahnya. Saat itu (curcol sedikit nih jadinya), saya sedang menggandrungi film Prince of Persia. Iya, saya tahu saya telat tujuh tahun menonton film ini. Saya pun baru benar-benar menonton film ini saat ditayangkan di TV. Terpikat pada ide ceritanya, saya pun mencari info soal film ini untuk memilah mana yang benar-benar ada dan mana yang fiksi.

Kisah Kekaisaran Persia, kota Alamut, Hassanssin, dan pegunungan Hindu Kush merupakan beberapa hal yang nyata adanya dan mereka turut diceritakan dalam Selimut Debu. Mengapa? Sebab Kekaisaran Persia dulu meliputi Afghanistan. Bicara soal sufisme, yang juga ada di Afghanistan, juga bersinggungan dengan Hassanssin (sumber inspirasi dari game terkenal Assassin Creed dan asal kata bahasa Inggris 'assassinate') dan kotanya, yaitu Alamut. Dan pegunungan Hindu Kush? Awalnya saya agak sangsi karena setting padang pasir di film tiba-tiba berubah menjadi pegunungan bersalju. Namun, tempat ini nyata adanya. Penamaan 'Hindu Kush' memiliki beberapa versi, salah satunya berarti 'pembunuh Hindu' karena banyak budak India yang dibawa ke Asia Tengah berabad lalu menjemput ajal di pegunungan ini lantaran tidak tahan suhu dingin yang menggigit. Siapa sangka Hindu pernah melintasi  Afghanistan? Bahkan, agama Buddha pernah berjaya di negara ini. Patung Buddha terbesar di dunia pernah ada di Afghanistan, sebelum hancur dibom oleh Taliban. 

Selimut Debu menceritakan kisah negeri di balik perang, kisah negara yang pernah jaya, cerita lawas para saudagar negeri padang pasir yang melintasi Jalur Sutra untuk mencapai Asia. Ini kisah tentang budaya dan desa yang tak tersentuh arus dunia, kisah tentang hijau lembah dan biru danau yang tersembunyi dari mata yang tak jeli mencari.



_________________________________



NB: salah satu buku perjalanan lain yang ada nilai human-nya yang saya temukan adalah Berjalan di Atas Cahaya tulisan Hanum Rais dan kawan-kawan. Kisah perjalanannya memang jauh lebih sedikit, tetapi setting luar negerinya benar-benar berhubungan dengan manusia dan bukan sekedar tempelan. 

Ada juga novel yang menceritakan tentang negara perang lain: Palestina. Novel ini berjudul Rinai, tulisan Sinta Yudisia. Bentuknya memang fiksi/novel, tapi penggambaran setting-nya amat detail dan nyata. Ceritanya bukan tentang perang-perangan juga, melainkan kisah humanis relawan-pengungsi dan banyak ilmu psikologinya. 

_________________________________



NB: ketika ke toko buku beberapa saat lalu, nemu Selimut Debu banyak di rak. Sepertinya sudah dicetak ulang, Garis Batas juga sudah. Jadi nggak perlu khawatir njelimet nyari, syukurlah :)
Reading Time: