Hijaubiru

Jumat, 08 Agustus 2014

Konco & Kolega
Agustus 08, 2014 3 Comments
Sebuah percakapan yang terdengar di mobil sepulang dari Gunung Ijen, yang kurang lebih begini:

“Kuliah iku hubungane luwih formal yo? Kon perlu mbedakno konco ambek kolega nek kon nang kuliah.”

“Kolega iku wong sing enak dan isok diajak kerjo bareng, nek konco iku wong sing isok kon ajak koyok ngene.”

“Iyo, nang kuliah aku durung nemu konco. Nemu kolega iyo. Nemu konco durung. Gak isok sing isok diajak koyok ngene: guyon, omong-omong nyantai.”


“Iyo, durung nemu.”

Saat ketika bisa ngomong ngalor-ngidul tanpa gontok-gontokan disela guyonan, itu konco.

Kawah Ijen, 5 Agustus 2014 Reunion


Picture was taken by a friend

Reading Time:

Kamis, 29 Mei 2014

Sepasang Kaki yang Lain
Mei 29, 20140 Comments
Bukan cari yang berdompet tebal
Atau yang ke mana-mana pakai land rover terbaru
Atau yang selalu jalan ke landmark-landmark terkenal

Tapi cari
Sepasang kaki lain yang mau berjalan bersama
Ke mana saja, bahkan ke pinggir kali sekalipun
Cuma cari
Sepasang telinga yang mau sabar mendengar
Kata hati, kata mulut, keluhan, kekhawatiran, kelelahan, kepanikan

Yang dicari
Yang mau get lost ke mana pun, kapan pun
Punya selera jalan yang sama

Sayangnya, baru nemu dua
Dan dua-duanya sama-sama di Surabaya
bukan di sini

Reading Time:

Minggu, 15 Desember 2013

Yearning
Desember 15, 2013 2 Comments
I

Miss

You,

Guys



Laser of Lasso
Smalapala of Smala

Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta - Gie

-----------------------------------------------------

Bhuhuhuhu, ceritanya habis buka film lawas: Gie. Dan seperti biasa, film ini sukses menyeret saya ke dalam suasana melankolis dan menenggelamkan ke memori-memori bareng sobat-sobat munggah gunung. Kalau sudah gitu, semua ingatan terbongkar sudah dan wajah-wajah teman 'serumah' selama tiga tahun pun ikut muncul ke permukaan.

Kalau udah gini, cuma bisa melan dan menikmati foto-foto yang kerasa lebih idup :')

Yes, you were right. Absolutely right. Those are the moments we're gonna miss. Well, I am, right now.

Both pictures were taken by friends.
Reading Time:
Edelweis Bukan Untukku
Desember 15, 20131 Comments
Bukan pula untukmu
Bukan untuk kita

Dia ada untuk dinikmati
Untuk dipandangi
Bukan untuk dicuri pulang

Edelweis yang dilindungi
Jangan kau bawa pergi


----------------------------------------------------------

Jadi, kalau di novel-novel, ada cowok yang katanya romantis sampe bela-belain bawain edelweis buat ceweknya, sebenernya dia nggak ngerti arti cinta. Jangan ditiru ya ;)
Reading Time:

Sabtu, 14 Desember 2013

Nikmati Momennya
Desember 14, 20130 Comments
Pernah ada suatu saat, ketika saya lagi baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, saya tercenung oleh kalimat ini:

"Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami." - kata Rinpoche pada Weiner, halaman 138.

Kami berhenti di kota terdekat, Wangdue. Yang mengejutkan, wisma tamunya bagus sekali. Saya duduk di teras, melihat ke bawah ke arah sungai yang airnya mengalir deras. Itu adalah pemandangan yang indah, dan secara naluriah saya meraih buku catatan dan kamera. Namun, saya berhenti. Kata-kata sang Rinpoche bergema di kepala saya. Alamilah. Anda perlu mengalami. Dia benar. Merekam kehidupan adalah pengganti yang buruk dari menjalaninya. Oleh karena itu, selama 20 menit berikutnya saya duduk di atas teras, mendengar deru sungai dan tidak melakukan apa pun. Benar-benar tidak melakukan apa pun. Tanpa buku catatan, kamera, atau perekam. Hanya saya dan kehidupan. - halaman 143.

Diri saya pun berkaca. Alhamdulillah, sudah berkali-kali saya memandangi lukisan menakjubkan milik alam. Gunung, bukit, laut, pantai, kilauan lampu kota. Apa yang sudah saya lakukan? Memotretnya. Ya, saya gila motret. Saya ingin keindahan itu tergambar jelas dalam foto dan bisa membuat saya seakan berada di sana ketika hanya melihatnya lewat layar gadget. Tapi ketika membaca kalimat di atas, saya pun bertanya, apa saya benar-benar menikmati momen tersebut?

Apa saya benar-benar menikmati momen tersebut, menghayati dengan khusyuk, menyimpannya di dalam hati dan memori, ataukah saya hanya memandanginya sekilas, takjub sementara, kemudian melupakan esensinya sembari asyik mengabadikan sana-sini lewat kamera? Dan saat kembali di rumah, saya hanya senang melihat fotonya, otak memutar ingatan ketika di sana namun hati berkata tidak ada memori?

Terus terang, saya lebih sering condong pada pilihan kedua. Ngelihat, senang, takjub, bilang, "Wooow, kereeeen!", dan . . . klik! Yang terjadi selanjutnya adalah bermesraan dengan kamera, bukan dengan yang ada di sekitar.

Kalau begitu, berarti pemandangan itu dekat di mata jauh di hati? Bisa dibilang begitu. 

Oleh karena itu, ketika kemarin saya berkesempatan ke beberapa pantai di Gunung Kidul, Yogya, dan sebuah kebun teh di kabupaten Batang, Jateng, saya pun membagi waktu menjadi dua sesi. Sesi pertama: datang, foto-foto. Sesi kedua: simpan kamera di saku, diam, nikmati sekeliling. Keduanya dalam satu waktu. Dengan demikian, foto dapet, memori hati pun dapet.

Susah, memang, mengingat kebiasaan yang selalu menggenggam kamera dan selalu tergoda jepret-jepret. Tapi dengan sedikit memaksakan diri, lumayan juga. Setelah merasa puas mengabadikan pemandangan lewat lensa, kamera saya simpan di saku lalu diam. Memandang. Menikmati. Meresapi.

Karena memori yang sesungguhnya tidak butuh tercetak di atas foto, tapi di dalam hati.

Pejuang kemerdekaan masa lalu tidak pernah memiliki fotonya yang sedang menenteng bedhil, berjuang heroik melawan penjajah. Tapi tanyakan pada mereka kisahnya, mereka akan lancar bertutur.

Memori di dalam hati.




Kebun teh di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah
Reading Time: