Hijaubiru

Selasa, 04 Oktober 2011

Ekspedisi Semeru : Hari Pertama
Oktober 04, 20110 Comments
Apa yang ada di pikiran kita kalau denger kata ‘gunung Bromo’, ‘gunung Semeru’, dan ‘Lautan Pasir’? Kalau di pikiran saya, sih, yang pertama kali terlintas adalah ‘tempat yang punya pemandangan bagus’ dan pikiran kedua yang lewat adalah ‘ayo kesana’.

Yep, Bromo, Semeru, dan Lautan Pasir yang terletak  di dalam lingkup TNBTS alias Taman Nasional Bromo Tengger Semeru emang punya pemandangan yang nggak perlu diragukan lagi. Karena keindahannya, TNBTS ini bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Nggak heran kalau kita ke sana, apalagi ke Bromo, pasti nggak susah nemuin bule-bule yang pengen ngelihat keeksotisan Indonesia.

TNBTS bisa diakses lewat Malang, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Menurut mbah Wiki, taman ini ditetapkan sejak tahun 1982 dengan luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha. Letak astronomisnya adalah 7°51’ - 8°11’ LS, 112°47’ - 113°10’ BT dengan ketinggian mulai 750 meter hingga 3676 meter dpl dan suhu mulai 3°C hingga 25°C.

Nah, beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi TNBTS setelah dua tahun terakhir kunjungan saya yang terakhir ke sana (itu pun dulu cuma Bromo). Kali ini, saya dan rekan-rekan dari SMALAPALA berencana mengunjungi puncak tertinggi Jawa: Mahameru.

-----------------------

Berawal dari proker alias program kerja yang direncanakan awal tahun bahwa SMALAPALA akan mengadakan ekspedisi, maka diputuskan bahwa kami mengadakan ekspedisi ke dua tempat pada waktu yang bersamaan, yakni ke tebing Sepikul di Trenggalek untuk ekspedisi tebing dan ke Semeru di TNBTS untuk ekspedisi gunung. Kedua ekspedisi itu dilaksanakan mulai tanggal 17 Juni 2011. Untuk ekspedisi gunung akan berlangsung selama 4 hari dan ekspedisi tebing selama seminggu.

Oh iya, sebagai tambahan, ekspedisi dalam kamus kami adalah melakukan suatu hal yang berbeda. Jadi, kalau di pikiran orang-orang ekspedisi gunung itu adalah buka jalur dan semacamnya, maka bagi kami yang (meminjam istilah mas Momon) precil-precil, ekspedisi itu adalah melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Misalnya ya ekspedisi Semeru ini. Kami namakan ekspedisi karena kami udah lama nggak menapak tanah tertinggi di Jawa.

Hari Pertama: Jumat, 17 Juni 2011
Pukul 6 lebih saya sampai di sekolah dengan carrier biru kesayangan yang selama ini setia menemani. Di sekolah sudah ramai, sudah banyak teman dan senior yang datang. Tapi kabar buruk datang beberapa detik setelah saya menjejakkan kaki di halaman. Meta, salah satu teman atlet ekspedisi gunung, ternyata nggak diizinin berangkat. Tim yang berjumlah 5 orang (mbak Lisa, Nauval, Meta, Cugos, dan saya) pun berkurang menjadi 4 orang. Waktu kami coba tanyakan pada senior kemungkinan melobi ayah Meta, senior bilang sudah nggak ada waktu. Meta terpaksa nggak berangkat. Kenyataan itu sempat bikin down. Meta adalah ‘pemandu sorak’ kami. Kalau nggak ada Meta, sepiiii :’(

Nggak sampai di situ aja. Waktu saya mau pamit ke ortu yang mau berangkat kerja dan dari tadi nungguin saya di gerbang sekolah, saya bertemu Cugos dan langsung ditubruk. Sambil nangis dia bilang kalau nggak diizinin berangkat juga sama ortunya. Oh nooo! Tim atlet pun berkurang jadi tinggal 3 orang.

Setelah itu kami packing ulang, membagi barang kelompok lagi. Ritual packing ini berlangsung hingga sekitar pukul 9. Setelah itu, kami melakukan upacara pelepasan, tanda bahwa sekolah merestui kegiatan kami. Dalam upacara ini wakil dari pihak sekolah adalah pak Chamdi. Sedangkan pak Gun menjadi pendamping kami.

Setelah upacara pelepasan, tim gunung (atlet maupun Support Team) berangkat lebih dahulu, meninggalkan tim tebing yang masih di sekolah. Tujuan kami adalah terminal Bungurasih. Kami naik bemo V ke sana. Nyarter. Nggak mungkin dengan bawaan carrier-carrier segede bantal kami naik bemo V tanpa nyarter karena bemo V notabene selalu penuh. Akhirnya, pukul 09.30 WIB kami berdelapan (mbak Mela, mbak Lisa, mas Dony, mas Wisnu, Nauval, Afi, Nishock, dan saya) berangkat dari sekolah.

Pukul 10.10 WIB kami sampai di terminal Bungurasih. Well, nggak di terminalnya sih, tapi di pintu keluarnya. Rencananya kami langsung aja naik bus yang lewat. Tapi mas Dony menyarankan kalau kami naik bus dari terminal aja, karena kalau kami nyegat bus yang udah jalan pasti penuh dan nggak dapat tempat duduk. Tapi alhamdulillah, nggak lama setelah kami turun, ada bus jurusan Malang yang lewat. Kami pun naik. Dan alhamdulillah lagi, nggak penuh. Jadi kami dapat tempat duduk. Yeee!!! :D

Awal-awal di bus, kami jadi bahan perhatian orang-orang. Delapan orang anak manusia dengan carrier segede bantal (malah ada penumpang yang bercanda, biilang kami pada bawa bom), mau ke mana?

Oke, kelar dengan bus. Perjalanan dengan bus berjalan dengan normal layaknya perjalanan biasa. Setelah melewati Porong, saya dan Nishock sudah lelap. Zzz......

Pukul 12.00 WIB kami sampai di terminal Arjosari. Di sini, perut kami mulai keroncongan. Kami pun memasuki sebuah warung di antara warung-warung yang berjejer di terminal. Karena sudah masuk waktu dhuhur, maka sebagian dari kami pergi shalat. Sebagian yang lain menjaga barang dan memesan makanan. Gantian. Ntar kalau yang shalat sudah balik, yang jaga barang pergi shalat.

Kelar makan, kami mencari bemo yang bisa membawa kami sampai ke Tumpang. Bertemulah kami dengan bemo TA warna putih. Setelah carrier kami diletakkan di atap bemo oleh pak sopir, kami pun masuk.

Eh iya, di sini nama bemo beda sama di Surabaya. Kesimpulan saya aja sih. Soalnya, tiap lihat bemo di sini, pasti ada huruf A-nya. Dan di tulisan jurusan yang menempel di badan bemo, pasti ada ‘Arjosari’-nya. Jadi saya berkesimpulan kalau nama bemo di sini dinamai sesuai jurusannya. Misalnya aja bemo TA yang kami tumpangi. TA adalah singkatan dari Tumpang-Arjosari. Cukup informatif juga. Paling nggak bisa mengurangi presentase salah naik bemo. Hehehe.

Sekitar sejam kami naik bemo. Pukul 14.37 kami sampai di Njero, Tumpang. Di sanalah kami turun. Dan setelah turun barulah kami menyadari satu hal. Itu pun setelah Nauval bilang, “Eh, carrier kita yang ditaruh di atap bemo ternyata nggak ditali lho”.
???????????????????

Wah, ternyata iya! Carrier segede bom itu ditaruh di atap bemo tanpa ditali! Kami semua sampai takjub. ‘Kok nggak jatuh ya?’ Padahal jalan yang kami lalui tadi ada naik-turunnya meski nggak meliuk-liuk banget. Kami berandai-andai, misalnya aja carrier kami itu jatuh dan ngglundung di jalan, menimpa kendaraan di belakang kami, gimana ya? Atau seperti pengalaman mbak Mela yang tenda dome-nya pernah jatuh dari motor dan terlindas mobil sampai sobek, apa carrier kami juga bakalan sobek? Kami sibuk berandai-andai dan ngebahas pengalaman ajaib barusan sambil nungguin jeep yang sudah kami booking.

Sambil nungguin jeep, kami ngabisin waktu dengan berbagai cara. Ada yang ngobrol, ada yang bolak-balik masuk Alfamart buat beli serbet dan jajan, dan ada yang melongo menatap jalan sambil ngabisin susu kotak (baca: saya). Satu hal yang bikin saya heran. Di samping Alfamart tempat saya dkk nongkrong, ada tulisan perizinan ke Semeru. Tapi, di mana tempat perizinannya?

Nggak lama, datanglah sebuah jeep hijau. Setelah menaikkan carrier ke atap mobil kali ini ditali—, kami pun masuk. Lega juga jeep-nya ternyata kap tertutup dan kami bisa duduk. Soalnya tadi udah ngerasani, gimana kalau ternyata kami harus berdiri karena model jeep-nya kayak truk? Waah, nggak deh, dengan beban dan jalan yang meliuk-liuk itu.

Pukul 14.42 WIB jeep mulai berjalan. Di dalam jeep, kayak yang sudah-sudah, kami ngobrol.  Apa aja diobrolin. Mulai dari berasnya mbak Novita (support team tebing) sampai ngejodoh-jodohin mbak Lisa dan mas Wisnu. Sampai pada suatu bangunan bercat hijau yang merupakan kantor pengelola TNBTS jeep berhenti. Mbak Lisa dan mas Wisnu turun untuk mengurus perizinan. Daerah kantor perizinan ini disebut dengan daerah Gubugklakah.

Sekitar 30 menit mengurus perizinan, kelar. Mbak Lisa dan mas Wisnu pun balik ke jeep. Jeep pun berjalan kembali. Nah, pas waktu ini, mbak Lisa memberikan sebuah buku pengantar yang didapatnya dari perizinan pada mbak Mela. Buku itu memuat segala tetek bengek TNBTS. Mulai dari gunung Bromo hingga Semeru. Beberapa info itu antara lain:


  1. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Kawasan yang dibentuk oleh gunung-gunung yang ada di TNBTS ternyata dulunya kawah gunung Tengger. Jadi ceritanya, kawah gunung Tengger meletus dan akhirnya ‘melahirkan’ gunung-gunung yang lebih kecil seperti gunung Bromo (2.392m), gunung Batok (2.470m), gunung Kursi (2,581m), gunung Watangan (2.662m), dan gunung Widodaren (2.650m). Hal ini disebut dengan fenomena kawah dalam kawah (crater in crater) karena di bekas  kawah gunung Tengger muncul gunung yang memiliki kawah (Bromo).
  2. Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan November - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 - 4 derajat celsius. (Baca ini jadi inget pelajaran geografi dulu. Dulu di pelajaran geografi juga diajarin jenis iklim). Junghuhn, seorang ahli botani Belanda yang namanya diabadikan sebagai nama iklim (nyeseel kenapa nggak melajarin baik-baik pelajaran geografi dulu yaa?), ternyata pernah mendaki gunung Semeru lewat gunung Ayek-Ayek tahun 1945 dulu.
  3. Tentang legenda gunung Semeru. Jadi menurut kitab Tantu Pagelaran yang ditulis abad 15, dulu tanah Jawa itu nggak labil. Terombang-ambing di lautan gitu. Jadinya, para dewa berkeputusan untuk memindahkan gunung Meru di India untuk ‘memaku’ pulau Jawa. Dewa Wisnu berubah jadi kura-kura raksasa dan meletakkan gunung Meru di atas punggungnya. Dewa Brahma berubah jadi ular dan melilitkan tubuhnya pada gunung tersebut supaya nggak jatuh. Pertamanya, gunung tersebut diletakkan di bagian barat pulau Jawa. Tapi akhirnya bagian timur jadi miring dan terangkat. Akhirnya gunung dipindah ke timur. Bagian gunung yang jatuh bercecer berubah menjadi gunung-gunung kecil. Tapi meskipun sudah ditaruh di timur, pulau Jawa masih aja miring. Akhirnya gunung Meru dibagi dua. Bagian bawah diletakkan di barat laut dan akhirnya jadi gunung Pawitra atau Penanggungan, dan bagian utama diletakkan di tempat gunung Semeru sekarang. Gunung Semeru sampai sekarang masih dipercaya masyarakat Hindu sebagai ayah dari gunung Agung di Bali.
Ehem. Kembali ke perjalanan.

Jeep mulai meninggalkan daerah ramai perkotaan. Sekarang di kanan-kiri jalan yang kami lalui dipenuhi tumbuh-tumbuhan tinggi seperti tebu (mungkin emang tebu kali ye?). Sebentar-sebentar berganti dengan perkebunan apel dengan bunga putihnya yang nampak ranum. Sebentar lagi berganti dengan rumah-rumah penduduk. Ganti-ganti deh pokoknya. Tapi awal-awal perjalanan ini, rumah penduduknya masih banyak.

Sudah agak lama, pemandangan mulai berganti. Rumah-rumah penduduk masih ada, cuma mulai agak jarang. Kanan-kiri jalan sudah jurang. Ngeri, emang. Tapi pemandangannya bikin speechless abis! Kalau kita melongok ke bawah jurang, akan terlihat kebun-kebun penduduk di bukit-bukit yang luas dengan rumah-rumah kecil yang antar rumah jaraknya ada kali 500 meteran. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit hijau yang diselimuti kabut.

Dan ini dia: di tengah perjalanan, Lautan Pasir terlihat dari atas. Warnanya buram. Dengan galir-galir seperti aliran sungai di atasnya. Di tengahnya gugusan gunung. Bromo, dengan gagah mengepulkan asapnya. Wuaaahhhh!!!! Kereeen abis pokoknyaaa!!!!! Kami yang waktu itu berada di dalam jeep hanya bisa melongo dan teriak-teriak histeris saking tersepona, eh, terpesonanya oleh pemandangan di samping kami.


Kelar dengan pemandangan speechless, perjalanan berlanjut. Kali ini kami ditakjubkan oleh pemandangan yang ada di film-film romantis yang mengambil setting di pedesaan. Seorang nenek kurus dengan penutup kepala, sambil berjalan, terlihat menggendong sesuatu yang berat di balik punggungnya. Halooo!!! Ini nenek-nenek! Berjalan dengan jalan menanjak naik (banget) yang kami yang naik jeep aja udah terguncang-guncang. Belum dengan beban di punggungnya. Pemandangan selanjutnya memang hanya ada di film-film: jeep yang kami tumpangi berlalu begitu saja dengan menerbangkan debu-debu jalanan (debu beneran, kebal-kebul beneran) warna kuning, meninggalkan nenek itu dengan pandangan kami masih tertuju padanya.

Seolah belum puas membuat kami melongo mengagumi keagungan ciptaan-Nya, alam masih menyuguhkan kami pemandangan lain. Keluar dari hutan, di depan kami terhampar pedesaan. Yep, desa tertinggi di Jawa (2200 meter dpl), Ranu Pani (sering disebut Ranu Pane, akibat lidah orang Jawa yang sering memiringkan ‘i’ menjadi ‘e’). Dengan kebun-kebun, bangunan-bangunan, rumah-rumah, dan dengan gunung yang berdiri tegak sebagai latar belakang, Semeru.

Ohhh, kereeeen :D :D :D :D :D


Kami mulai memasuki desa Ranu Pani. Jangan bayangkan kalau desa tertinggi di Jawa ini merupakan desa tertinggal di mana rumahnya dari gedhek, nggak ada listrik, masaknya pakai kayu, dll. Desa ini terlihat normal (nggak terlihat aja sih. Emang normal), sama seperti desa-desa lain, bahkan seperti desa yang kami lewati sesaat setelah meninggalkan kota tadi. Rumah-rumahnya dari tembok, dicat warna-warni. Listrik? Sudah pasti ada, karena kami melihat tiang listrik di sini. Bahkan ada antena satelit segala di beberapa rumah. Nah, lho, di kota, dalam satu kampung berapa rumah yang punya antena satelit? Iya, di sini pasti pake antena satelit karena kalau nggak, nggak bisa nangkep sinyal TV.

Di sini mata saya mulai asyik melakukan penelitian secara sosiologis (halah!). Kalau nggak salah, ada dua masjid dan satu SD di sini. SD-nya namanya SDN Ranu Pani. Di jalan-jalan mudah ditemui anjing. Tapi anjingnya bagus dan lucu. Rata-rata warnanya putih dengan bulu yang terlihat tebal. Oh iya, pada jam yang udah mendekati maghrib ini, seua penduduk udah pada pake baju tebal. Minimal sarung lah. Makanya, waktu itu mas Dony bilang, “Awak dhewe iki menantang alam yo. Wong kene ae jam yah mene minimal wes nggawe sarung. Lha awak dhewe lho cuma nggawe klambi biasa” (terjemahan: Kita ini menantang alam ya. Orang sini aja jam segini minimal sudah pake sarung. Lha kita ini lho cuma pake baju biasa).

Saking sibuknya ngelihat-lihat fenomena pedesaan, saya sampai nggak nyadar kalau sudah sampai. Sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di pos perizinan Ranu Pani. Setelah menurunkan barang-barang, kami meluruskan kaki sejenak, menikmati keindahan.

Dari pos perizinan yang letaknya lebih tinggi dari danau Ranu Pani, saya bisa melihat ke bawah. Terlihat danau seluas 1 hektar itu memantulkan cahaya cemerlang mentari senja dengan kotoran warna cokelat mengambang di dekat tepinya (belakangan saya tahu dari pak penjaga pondokan SAR bahwa itu alga limbah). Dari tempat saya berdiri, terlihat lapangan sepak bola di tepi danau yang tadi kami lewati. Di kejauhan, bukit-bukit kecil perkebunan yang berwarna hijau memantulkan warna keemasan ditimpa sinar senja. Indaaahh!!!!!! Kayak pemandangan musim panas di desa-desa luar negeri! Tapi yang ini jauuhhh lebih indah karena saya melihatnya di negeri saya sendiri, dengan mata kepala saya sendiri. Subhanallah.....

Setelah selesai shalat, kami mulai mengurus perizinan. Saya kurang tahu seluk-beluknya seperti apa karena saat itu yang mengurus adalah mbak Lisa. Tahu-tahu kami berkumpul nggrundel dan menghadapi selembar kertas berisi list barang. Ternyata, jumlah barang kami pun harus dihitung. Mulai dari baju, jaket, topi, sampai teh dan kopi yang kami bawa. Saya sempat ketawa dalam hati. Mana saya inget jumlah bawaan saya? Ya sudah, dikira-kira aja.

Kelar mengurus perizinan, matahari sudah mulai hilang di balik bukit.

Eh iya, karena kami sampai menjelang maghrib, maka kami nggak diizinkan untuk hiking ke Ranu Kumbolo. Di sini batas perjalanan hanya sampai jam 17.00 WIB. Jadilah kami harus menginap semalam dulu di Ranu Pani. Molor sehari dari jadwal karena tadi berangkatnya pun molor. Menurut jadwal, seharusnya kami berangkat dari Surabaya pukul tujuh.

Kami pun mulai berjalan ke pondokan yang letaknya di tanah yang lebih tinggi di depan pos perizinan. Jangan tertukar ya, karena di situ ada 3 bangunan seperti rumah. Pondok pendaki letaknya bersebelahan dengan pondok SAR dan terletak lebih tinggi dari bangunan yang pertama kita temui.

Di pondok pendaki, kami bertemu dengan pak penjaga pondok SAR, pak Hambali. Kami sempat masuk pondok pendaki dan grepe-grepe dindingnya untuk menemukan saklar lampu. Tapi setelah nggak nemu, kami pun bertanya pada pak Hambali.
“Lha ini pondok pendaki, kok. Ya nggak ada lampunya”.
Oalah.....

Kami sempat disarankan oleh beliau untuk bermalam di pondok pendaki saja, seperti sebuah rombongan dari Jember yang datang bersamaan degnan kami. Tapi kami keukeuh mau mendirikan tenda di luar aja karena pengen beradaptasi dengan suhu sekitar yang konon  sampai minus.
“Iya, di Ranu Pani aja kapan hari itu sampai ada salju,” kata pak Hambali.

Padahal yang saya tahu, salju  baru bisa kami temukan di Ranu Kumbolo. Dari internet saya tahu kalau nge-camp di Ranu Kumbolo dan kita keluar pagi-pagi dari tenda, maka yang kita lihat cuma putih. Kenapa? Karena embun yang nempel di rumput-rumput itu membeku jadi es. Lha kalau kemarin aja sudah ada salju di Ranu Pani, berapa suhu Ranu Kumbolo? Brrr!!!

Sambil mbak Lisa dan Nauval mendirikan dome, saya masak spaghetti. Setelah itu segala kegiatan berlangsung seperti biasa, kayak kalau lagi camping  biasa. Yang nggak biasa adalah suhunya. Di catatan perjalanan ke gunung Penanggungan dulu saya menyebutkan bahwa kami terkena badai di puncak. Suhu di sini tanpa badai pun, sekarang sudah se-freezing suhu Penanggungan saat badai.

Sambil nunggu spaghetti matang, saya menghabiskan waktu dengan main-main ke tenda anak ST (Support Team) di sebelah. Saat berjalan ke belakang dome, saya melihat pemandangan yang agak horor. Di belakang dome kami terdapat pohon besar dan di sebelah pohon itu ternyata ada prasasti, berpahatkan nama seorang pendaki yang meninggal di Semeru. Hii, ngeri!

Lalu jalan-jalan melihat-lihat sekitar pondok pendaki. Ternyata di sekitar situ banyak ditanami bunga-bungaan yang cantik. Ada bunga matahari, hydrangea (bunga yang bisa menentukan asam-basa tanah. Warnanya berubah jadi merah kalau tanahnya asam dan berubah jadi biru kalau tanahnya bersifat basa), dan ada bunga yang hanya pernah saya lihat waktu main game Alice Greenfingers: bungai daisy.
Kelar melihat bebungaan, saya melihat langit. Sudah jadi kebiasaan saya kalau jalan-jalan itu sesekali harus ngelihat langit. Dan bener aja, bintang-bintang di atas nampak gemerlapan seperti permata. Jumlahnya nggak cuma empat-lima kayak di Surabaya, tapi ratusan! Setelah itu saya mencari-cari sang bulan. Eh, ketemu. Di timur, muncul dari balik siluet pepohonan, purnama bundar dengan cahaya kekuningan. Hm... full moon. Romantis juga. Sedikit melankolis boleh laah.

Setelah itu makan sambil bikin api. Sebelum bikin api, kami cari kayu-kayu dulu. Tapi jangan nebang ya, ambil aja kayu yang udah jatuh di tanah. Tapi susah juga karena dikit dan kayunya basah oleh embun. Akhirnya saya nemu tanaman yang udah setengah mati (tinggal batangnya doang) dan  saya minta Nauval memotongnya. Akibat terlalu lama nyari kayu, waktu kami makan, makanannya udah sedingin makanan beku. Ya udah deh.

Setelah itu bongkar muat barang-barang. Packing ulang. Lalu kami evaluasi di tenda. Tapi kami langsung disuruh packing barang dulu oleh kakak Dony karena sudah turun embun. Iya, di sini embun turun rintik-rintik dengan gerakan slow motion seperti hujan. Pemandangan yang menarik dan belum pernah saya lihat! Pantas aja dingin! Sejak sebelum matahari tenggelam aja kalau saya ngomong, keluar uap dari mulut saya. Apalagi waktu udah gelap gini!

Setelah semua barang sudah aman di dome, kami pun pergi tidur. Bertiga, berimpit-impitan di dalam sleeping bag kami masing-masing. Lumayan hangatlah. Selamat malam!

Catatan perjalanan berlanjut di Ekspedisi Semeru: Hari Kedua
Reading Time:

Kamis, 21 April 2011

Markas Keluarga: Rembang!
April 21, 20110 Comments
Bermula saat kabar itu sampai ke rumah.
"Mbak mau nikah! Di Rembang! Ayo ikut Bapak ke sana!"
Dan akhirnya karena suatu kemukjizatan yang dikabarkan melalui SMS ketua kelas bahwaaa besok libur, besok libur! *dance

Jumat, 25 Maret 2011
Paginya, langsung packing. Setelah nungguin bapak yang harus izin ke kantor dulu sambil leyeh-leyeh dan ngerjain PR yang pasti bakalan numpuk kalo ditinggal padahal harus dikumpulin pas besoknya setelah pulang dari Rembang, akhirnya pukul 10.00 WIB kami berangkat ke terminal Bungurasih.
Sampai di Bungurasih, alhamdulillah langsung nemu bus meskipun sempat di-pingpong orang. Udah nemu satu bus, disuruh cari bus lain aja. Tapi alhamdulillah nggak lama di-pingpongnya. Aanyway, bus yang kami tumpangi kali ini adalah bus dengan rute Surabaya-Semarang.
Di bus panas (iyalah!), apalagi dengan adanya penumpang yang bersesak-sesakan karena nggak dapat tempat duduk dan para pedagang yang mondar-mandir menjajakan dagangannya, belum lagi ada suara musik dangdut dengan CD player yang sudah mbrebet. Ngantuk, jelas! Bosen, banget! Pengen lompat dari bus, nggaklah!
Di sela hati yang nggremeng dan mata yang merem-melek menikmati permen jahe pedas, ada suara anak kecil yang lagi ngamen di bus. Aku nggak pernah denger lagunya, tapi begitu denger, langsung kerasa kalo liriknya sakiit banget. Kalo nggak salah gini:
Langit adalah atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Makanan yang dibuang orang di tempat sampah
Itu yang kami makan
Kolong jembatan adalah tempat berlindungku
Beginilah nasib menjadi seorang tunawisma
Langsung merinding dengernya. Langsung kepala ini noleh ke arah asal suara. Seorang anak laki-laki kira-kira kelas 4 SD berpostur gemuk pendek memakai baju yang sudah usang dan memakai topi merah memegang alat musiknya. Matanya menerawang. Aku lihat kulitnya hitam, pasti akibat panas matahari yang tiap hari menyengatnya. Anak seusia gitu, kok nggak sekolah ya? Pikiran itu sempat-sempatnya mampir di pikiranku. Lelet, kalo buat makan aja dia masih ngamen, gimana bisa dia bayar uang sekolah, hah???!!!!
Kelar dengan si anak kecil. Nggak merhatiin, tiba-tiba setelah bus berhenti di beberapa terminal, dia udah hilang.
Mata ini kembali melihat ke luar jendela (kegiatan dalam perjalanan yang paling mengasyikkan! :D). Panorama di luar jendela nggak bisa dibilang bagus sih, malah bisa dibilang biasa aja. Pemandangannya cuma rawa-rawa dengan banyak tambak. Iyalah, pemandangan apa yang aku harapkan? Ini pantura, Kawan! Pemandangan rawa bakau, laut, dan tambak adalah 'pemandangan wajib'.
FYI (For Your Information) aja, jalur Pantura adalah jalan yang awet sejak zaman kolonial Belanda. Pernah dengar jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibuat Belanda untuk memperlancar transportasi jika suatu saat terjadi perang? Yep, jalan itu adalah jalan yang sedang aku lalui ini, atau jalur Pantura. Jalan yang juga disebut dengan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) ini dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels. Pembangunan jalan yang berlangsung mulai 1808 dan selesai hanya dalam waktu setahun! Soalnya, Daendels emang dikenal sebagai pemimpin tangan besi. Nggak ehran banyak rakyat Indonesia yang tangannya ikut membangun jalan ini akhirnya mati sia-sia karena kesehatan dan kehidupannya ditelantarkan. Mereka dibiarin tidur di barak-barak kotor yang penuh dengan virus cacar dan penyakit mematikan lainnya. AKibatnya, yang meninggal dalam pembangunan jalan ini sekitar 12.000 orang (catatan Inggris). Tapi sebenernya sih pasti lebih dari itu. Jalan ini menghubungkan Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus- Rembang- Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.
FYI, konon karena tangan besinya (dan juga karena korupnya), Daendels akhirnya dipulangkan ke Belanda oleh Napoleon Bonaparte (waktu itu Belanda ada di bawah kekuasaan Perancis, Napoleon adalah kaisar Prancis) dan Gubernur Jenderalnya diganti dengan Jan Willem Jansens. Tapi karena Jansens tidak cakap, akhirnya Hindia Belanda berhasil dikuasai Inggris walau cuma sebentar.
Jadi ngomongin sejarah gini.
Akhirnya masuk Jawa Tengah juga. Di sini ada beberapa poin yang menarik perhatianku. Antara lain:
  • Nemu gunung di tengah jalan. Gunung ini nggak terlalu tinggi, tapi nggak tahu juga mengingat puncaknya tertutup kabut. Yang bikin ngeri adalah kemiringan gunung ini. Dilihat dari jauh pun orang tahu kalo gunung ini gradiennya bikin vertigo (hiperbolis mode: on)
  • Rada berhubungan dengan geografi nih. Di daerah Gresik, Tuban, dan seterusnya kan termasuk pegunungan kapur utara. Di daerah-daerah tersebut kita bisa nemuin tanah yang warnanya putih kayak kapur. Batu batanya aja warnanya putih. Selain warna putih, ada juga tanah yang warnanya merah. warna tanah yang merah banget (kecokelatan dikit) ini mengandung banyak Fe alias besi yang nyebabin tanahnya merah
  • Adanya pengerukan tebing di tepi laut. Gila, ngeruknya dalam banget! Mana tebingnya tingginya 5 meteran lebih. Kalo longsor, wassalam buat para kendaraan yang lewat. Soalnya kanan jalan udah laut.
  •  
  • Kragan, Kragan! Tempat ini bernilai sejarah lho! Waktu pertama kali datang ke Indonesia, tempat yang dijadikan sebagai tempat mendarat oleh Jepang salah satunya adalah Kragan (baru inget waktu diingetin bapak. Heran, yang barusan lulus sekolah  siapa?)
  • Ditunjukin rumah-rumah saudara yang berada pas di tepi jalan Pantura. Hehehe, suatu keunikan pribadi
Akhirnya, waktu ashar, sampai juga di sebuah tempat yang panas, sumuk, kayak Surabaya. Di sanalah bapak dan aku turun meloncat dari bus dan sampailah kami di.... depan alun-alun kota Rembang.
Walaupun di sebelah alun-alun ada Masjid Agung Rembang, emang pada dasarnya udah lapar (biasanya jam segini udah makan tiga kali, ini baru sekali :'( ), kami langsung cari makanan yang nyaman di lidah. Dan pilihan jatuh kepadaaa..... semangkuk bakso urat dan mie ayam serta segelas es teh yang dijual di tepi alun-alun. Kelaperan, langsung aja disikat. Yummoo! Sambil makan, lihat-lihat sekitar. Eh, ternyata di alun-alun ada pasar malam. Wuih, langsung semangat! Udah bertahun-tahun nggak lihat pasar malam.
Kelar makan, nyari penginapan. Alhamdulillah deket alun-alun ada penginapan kecil yang bagus. Kecil sih, tapi rindang, bersih, rapi. Habis sampai penginapan, istirahat sebentar (leyeh-leyeh, makan permen, mandi, lihat kartun), kelar maghrib kami pergi ke rumah pakdhe yang punya hajatan seperti sudah disebutkan di atas.
Suasana kota Rembang itu beda banget sama Surabaya. Alun-alun kota nggak seberapa rame meski ada pasar malam. Kalo di Surabaya, jalan di depan balai kota itu pasti ruame banget. Kalo di sini mah, sepi mamring. Jangankan kendaraan, orang yang lewat per menit aja bisa cuma 1-2 orang.
FYI aja lagi. Balai kota alias rumah dinas bupati Rembang yang letaknya nggak jauh dari hotel kami itu juga merupakan museum Kartini. Kenapa? Karena ibu kita, Kartini, yang merupakan orang Jepara itu pernah tinggal di rumdin kabupaten Rembang. Kartini mendapatkan seorang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang merupakan bupati Rembang saat itu. Di sekitar rumdin ini banyak banget sekolah-sekolah terutama SD. Aku ngitung, ada kali 6 SD di daerah situ. Juga, ada beberapa sekolah yang memakai nama Kartini.
Akhirnya setelah nyasar-nyasar nyari alamat, ketemu jugalah rumah pakdhe. Di sana kami ngobrol-ngobrol (bapak sih yang ngobrol), dikenalin ke saudara-saudara yang aku belum pernah lihat+ketemu seumur hidupku, dan ketemu sepupu yang udah lama nggak ketemu + tante yang juga dari Surabaya.
Udah ngerasa malem, mata udah mulai kriyep-kriyep, akhirnya kami minta izin untuk balik ke penginapan. Sampai di penginapan, ngunci pintu, cuci kaki-muka-tangan-darah (tuh kan jadi ngasal, maklum udah ngantuk), nyalain AC, tarik selimut, tiduuuurrr. Zzzz......

Sabtu, 26 Maret 2011
Bangun pagi langsung salat shubuh di mushalla sebelah kamar. Nggak dingin, soalnya kayak Surabaya suhunya. Cuma ya dimana-mana tetep sama aja, kalo shubuhan harus ngumpulin nyawa dulu satu-satu di atas kasur. Kalau udah genap, mulai berjalan zombie ke mushalla.
Kelar salat, balik ke kamar lagi. Bapak, seperti biasa, menonton berita pagi sedangkan anaknya ini sudah balik ke alam mimpi. Bangun-bangun, eh, udah jam tujuh. Mandi, sarapan, terus mulai kunjung-kunjung ke rumah saudara lagi (yay!).
Setelah nemenin bapak ngabisin rokok sambil jalan-jalan ke alun-alun dan akhirnya beli bubur, kami berjalan menuju pemberhentian pertama: rumah buliknya bapak alias mbahlikku. Nah, kalau yang ini pernah ketemu nih! Pernah ketemu di rumah eyang soalnya! Jadilah aku duduk manis mendengarkan obrolan bapak dan mbah yang sering berjalan ke masa lalu.
Setelah bapak puas ngobrol dengan mbah, kami beralih ke pemberhentian selanjutnya : rumah budhe. Di sana, sementara bapak ngobrol dengan budhe-pakdhe, aku asyik di samping rumah main sama kura-kura mbak sepupu.
Siang, setelah makan siang di rumah budhe dengan garang asem (makanan khas Jawa Tengah, semacam sup berbahan utama daging dan tulang sapi dengan kuah yang asam), aku nunut tidur di rumah budhe hingga waktu ashar. Selepas ashar, aku, mbak Rima (sepupu), dan tanteku pergi ke rumah pakdhe yang memiliki hajatan untuk upacara siraman.
Ternyata eh ternyata, kami sudah telat. Upacara siraman sudah selesai. Jadi kami cuma duduk dan ambil makanan. Di antara hidangan yang tersaji ada yang namanya nasi gandul, makanan khas Jawa Tengah. Kalau dilihat sekilas, nasi ini mirip rawon. Bahan utamanya sama, yaitu daging sapi atau jeroan sapi. Perbedaannya adalah di kuah dan rasanya. Kuah nasi gandul warnanya cokelat, beda dengan rawon yang hitam karena kluwek. Rasa nasi ini cukup unik. Awal-awal, rasanya manis. Namun di akhir rasa manis itu hilang berganti rasa pedas.
Kelar makan, aku dan mbak Rima pergi keluar, yaitu ke alun-alun. Ada pasar malam kan, jadi rame. Mbak Rima berencana buat ngajak aku ke sana, ya karena aku udah lama nggak lihat pasar malam lagi. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baruuu aja kami datang dan mbak baruuu aja milih-milih celana, hujan turun dengan derasnya sodara-sodara! Kami terpaksa ngiyup di lapak-lapak jualan bantal dan sprei.
Akhirnya karena sudah masuk waktu maghrib, kami nekat menerobos hujan dan lari-larian menuju Masjid Agung Rembang yang berada di dekat alun-alun. Wah, masjid ini gede deh. Warnanya putih dengan satu menara menjulang tinggi ke atas. Pilar-pilarnya gede-gede, banyak dan warnanya putih. Kalau kita masuk ke tempat salatnya, sekeliling langsung didominasi warna cokelat. Plafonnya dari kayu yang dipelitur indah dengan pilar-pilar warna cokelat yang bikin kesan klasik.

Selesai salat, kami balik ke rumah pakdhe. Di sana tinggal tante aja, sedang bapak sudah pulang ke hotel. Para sanak famili sudah mulai berkaraoke. Akhirnya mbak Rima pulang, tinggal aku dan tante. Karena hujan sudah berhenti (tuh kan, kalo aku jalan-jalan aja hujannya turun!), aku dan tante berinisiatif untuk jalan-jalan ke alun-alun lagi. Uh, belum puas tadi!
Kami ke sana jalan kaki. Rada ngeri soalnya ini malam minggu, di mana alun-alun dengan pasar malamnya pasti menjadi jujugan orang-orang sekota yang pengen bermalam minggu. Jadinya, jalan yang tadinya sepi mulai rame dengan deru sepeda motor. Belum lagi kalau ada yang gaya, sok jadi pembalap. Was wus!
Sampailah kami di alun-alun. Di sana banyak wahana yang sangat menarik perhatian bagi orang yang tidak pernah melihat pasar malam selama beberapa tahun terakhir (baca:aku). Ada perahu dengan bentuk hewan-hewanan yang mengapung di atas kolam besar. Ada biang lala, ada komidi putar, ada arum manis. Kami berkeliling dan mulai memotreti semua wahana itu sampai dilihatin orang-orang. Mungkin batin mereka, ndeso yek gak tau nontok pasar malam. Hehehe, biarinlah. Enjoy aja.
Tante mulai tertarik dengan barang-barang yang dijual di kios-kios pasar malam. Ada baju, cincin, gantungan kunci. Waktu tante milih-milih baju, sempat tertarik dengan salah satu kaos lengan panjang warna hijau dengan tudung. Tapi, buat apa beli barang di pasar malam yang notabene harganya lebih mahal dan bakalan menuhin tas kalau di Surabaya bisa beli?
Namun akhirnya aku membeli sesuatu juga. Ceritanya waktu lihat-lihat gantungan kunci. Lalu mataku terpaku pada sesuatu warna-warni yang harganya cuma ENAM RIBU RUPIAH padahal kalau asli harganya SERATUS DUA PULUH RIBU RUPIAH, yaitu alat tebing berupa snap dan carabiner. Iyalah harganya enam ribu, orang cuma bohong-bohongan kok, hehehe. Tapi akhirnya beli juga. Masa di Rembang nggak ada kenang-kenangan barang?
Puas keliling-keliling, kami pulang dengan becak. Aku ke hotel dan tante ke rumah budhe. Di hotel mendapati bapak sudah lelap. Akhirnya aku nonton TV sambil buka-buka sebuah buku yang bawa dari rumah dan mulai mengerjakan PR.

Minggu, 27 Maret 2011
Pagi-pagi udah keluar hotel untuk ke rumah mbak Rima dan jemput tante karena pengen jalan-jalan ke pantai Kartini. Ngobrol-ngrobrol sebentar, lalu berangkat. Tapi kaki kami ternyata berbelok dengan sendirinya di suatu gang untuk menuju rumah mbah buyut saya, yang dulu menjadi 'markas besar' keluarga. Di sana ngobrol-ngobrol juga. Ngomongin soal bagaimana rumah ini berubah sejak dari zaman penjajahan hingga sekarang, soal siapa aja dari saudara kami yang pernah tinggal di situ, hingga cerita merembet ke sejarah keluarga.
Lalu kami mulai mencari transpor ke pantai Kartini yang letaknya nggak jauh. Kami naik becak. Sekitar lima belas menit, udah sampe di pantai Kartini. Setelah bayar karcis Rp8.000,00 @orang, kami masuk dan langsung mencari sarapan. Sarapannya di tepi laut. Di meja berpayung warna orange. Dari situ kami bisa lihat langsung ke laut lepas. Di kejauhan terlihat batu-batu besar yang diletakkan sebagai pemecah ombak. Perahu-perahu nelayan berkumpul di suatu tempat meskipun ada juga yang sedang melaut.
Setelah makan (bakso panas + telur puyuh + mizone dingin), aku dan bapak menuju ke pantai sedangkan tante memilih tinggal di tempat. Langsung aja copot sandal, lipat celana, nyebur ke laut! Main ombak, main pasir, main air, asyik banget dah pokoknya! Maklum, baru pertama kali nyentuh air laut.
Yang lucu di sini adalah pasirnya. Pasirnya goyang. Maksudnya, kalau kita berdiri di atas pasir yang tergenang air, lama-lama kaki kita bakalan melesak masuk, tapi nggak dalam-dalam amat kok, paling cuma 3 cm-an aja. Terus setelah kaki kita angkat, kalau pasirnya kena ombak, bakal kelihatan goyang. Lucu dah!

Puas main air, kami kembali ke tante. Tapi di tengah jalan kaki kami berbelok ke arah kios penjual hamburger. Sambil menunggu pesanan datang, iseng-iseng aku lihat sandal yang tadi kena air laut. Basah deh, batinku. Eh, tapi kok, di sandalku banyak butir-butir putih halus? Apaan ya? Yang jelas nggak mungkin pasir karena pasir di pantai ini warnanya cokelat.
"Garam itu," kata bapak.
Iya ya, air laut kalau kena panas kan jadi garam. Nggak percaya, aku jilat sedikit jariku yang ada butir-butir putihnya. Mm....... Asin! Iya beneran garam nih!
Balik ke tempat tante (kasihan, dikacangin dari tadi). Kami lalu berencana untuk pulang. Tapi kaki bapak ternyata berbelok lagi ke kios penjual rujak dan kaki tante berbelok ke lapak penjual baju. Belok-belok aja nih kaki, murnya belum diseretin kali ya?
Kelar belanja, kami ke hotel, ambil barang bawaan, check out, lalu ke tempat mbak Rima. Tidur sebentar, mandi, lalu dengan becak, pergi ke resepsi mbak sepupu. Di sana, ketemu lagi dengan para saudara. Ngobrol-ngobrol. Yang paling mengesankan waktu bapak mengenalkan salah satu keponakannya, yaitu mas aku-lupa-namanya. Aku langsung meliriknya, eh ralat, melirik kamera model-model-punya-fotografer yang dibawanya. Hmm, mau.... kameranya.
Setelah resepsi, kami pulang ke tempat mbak Rima. Tidur sejenak, lalu bangun sorenya dan mandi serta salat, lalu dengan diantar ke terminal bus. Alhamdulillah, nggak nunggu lama udah dapat bus ke Surabaya. Yak! Perjalanan malam pun dimulai!
Nggak banyak yang bisa diceritakan dari perjalanan malam ini selain ngelihatin lampu-lampu yang kelap-kelip indah di kejauhan. Itu pun cuma sebentar, soalnya sepanjang perjalanan kerjaku cuma tidur doang. Tahu-tahu nyampe di terminal Bungurasih, naik taksi, nyampe di rumah, terus narik selimut di kasur sendiri.
Hhh.... Dimana-mana tempat ternyaman memang di rumah sendiri. Zzz......
Reading Time:
Pom Bensin Kenangan :))
April 21, 20110 Comments
Bangunan yang dimana-mana relatif kecil dengan warna merah dominan di setiap dindingnya dan selalu dilengkapi dengan selang-selang yang setia mengalirkan bensin, biosolar, solar, pertamax, keduax, (ngasal kan, ngasal). Bangunan yang selalu ada di tepi jalan-jalan besar dan bangunan milik Pertamina. Bangunan yang selalu membangkitkan kenangan tiap melewatinya, tiap turun dari motor, mobil, atau bus lalu mengizinkan mas-mas atau mbak-mbak ngasih 'minum' ke kendaraan yang sedang aku tumpangi.
Kenapa membangkitkan kenangan ya? Nggak tahu.
Tapi kalau dipikir-pikir, tiap melakukan perjalanan, emang selalu mampir ke pom bensin sih. Mau ke luar kota, busnya berhenti di pom bensin. Pulang habis pendakian, mobilnya mas Momon mampir di pom bensin. Bahkan waktu dijemput bapak dari sekolah, motor juga mampir ke pom bensin.
Tiada perjalanan tanpa pom bensin. Adaa aja cerita tentang pom bensin di setiap perjalanan. Misalnya nih, waktu ke Bali bareng teman-teman Spensa dulu. Kan busnya berhenti di pom bensin. Di sanalah kami foto-foto narsis. Bahkan mas-mas tukang sapu di pom bensin aja difotoin. Bener-bener masa SMP yang tidak akan pernah terulang kembali. Hiks.
Ada lagi. Misalnya waktu pulang dari pendakian pertama ke Penanggungan. Mobilnya mas Momon mampir ke pom bensin. Dan kenangan tentang pom bensin saat itu adalah gimana susahnya membangunkan salah satu teman yang tidurnya kelewat lelap buat ngeluarin dompetnya, ikut patungan bayar bensin. Ketawa ngakak ingat-ingat kejadian ini.
Tuh kan, yang namanya perjalanan, pasti ada yang namanya pom bensin.
Hhh.... Pom bensin kenangan.... Di mana pun dia berada, selalu membangkitkan kenangan....

Reading Time:

Minggu, 17 April 2011

Kisah Inspirasi
April 17, 20110 Comments
Tenang aja, cerita yang sangat bagus ini sumbernya bukan dari saya, tapi dari beberapa kakak kelas dan seorang alumni yang memang memiliki segudang cerita motivasi. Cerita ini untuk semua orang. Khususnya untuk orang yang lagi down karena masalah kehidupannya segunung.

1. Kisah Sebuah Pedang
Tahu gimana pembuatan pedang pada umumnya kan? Untuk jadi sebuah pedang yang bagus, tajam, dan kuat, besi itu harus ditempa berkali-kali. Dilebur, dipanaskan, ditempa, dilipat, dipanaskan lagi, ditemoa lagi, begitu seterusnya. Jadi kesimpulannya, kalau kita mau menjadi  orang yang berkualitas bagus, ya memang begitulah cara-Nya untuk membuat kita kuat. Dalam kehidupan, kita harus ditempa dengan keras, dipanaskan dengan bara api sangat panas. Kalau kita nggak mau digituin, ya, gimana bisa kita mau jadi kayak pedang yang keras dan tajam?

2. Membangun Jembatan
Di suatu desa terdapat sebuah sungai yang lebar dan besar. Untuk mencapai daratan di seberangnya, diperlukan sebuah jembatan yang sangat kuat karena arus sungai tersebut sangatlah deras. Akhirnya, diadakanlah sebuah sayembara. Siapa yang bisa membuat sebuah jembatan yang kuat untuk dilintasi, dialah pemenangnya. (*Catatan: jembatan terbuat dari kayu).
Semua orang sudah mencobanya. Namun, tidak ada yang bisa kukuh sampai akhir. Ada sebuah jembatan yang saat dilintasi mobil, ambruk. Ada yang bisa dilintasi truk, tapi hanya bertahan satu hari saja. Bahkan ada yang ambruk saat dilewati hanya satu manusia saja.
Saat semua penduduk desa sudah pesimis, duh, percuma ah, nggak bisa bikin jembatan yang kuat nih, nyerah aja deh, seorang pemuda terlihat sangat bersemangat dan berkata, "Saya bisa membuatnya!"
Jadilah pemuda tersebut mulai membuat sebuah jembatan yang sesuai dengan rancangannya. Seluruh penduduk desa pun membantunya. Dalam beberapa hari, pekerjaan itu pun rampung. Dan apa yang terjadi? Tidak hanya truk yang bisa melewatinya! Trailer, kontainer-kontainer, bisa melewatinya. Bahkan jembatan tersebut awet.
Suatu saat, pemuda tersebut ditanya oleh penduduk yang penasaran. Bagaimana membuat jembatan yang begitu kuat? Apa rahasianya? Dan pemuda itu menjawab, "Saya memakai kayu dari pepohonan yang berada di atas gunung. Mengapa? Karena merekalah yang pertama kali merasakan dinginnya air saat hujan. Merekalah yang pertama kali merasakan kuatnya angin saat badai. Merekalah yang pertama merasakan takutnya mendengar gelegar petir. Karena itu, akar-akar mereka akan terbiasa mencengkeram tanah dengan erat. Anda tahu kan, kalau merekalah yang menahan tanah agar tidak erosi? Mengapa saya tidak menggunakan pepohonan di lereng? Karena mereka tidak merasakan apa yang pohon-pohon di atas rasakan. Itulah perbedaan kekuatan mereka. Amat beda kan?"

3. Pertarungan 3 Angin
Alkisah ada 3 jenis angin. Yaitu angin bohorok, angin tornado, dan angin topan. Di sisi sebuah hutan yang lain, ada sebuah pohon kelapa dengan seekor monyet yang bertengger di atasnya. Ketiga angin ini iseng-iseng melakukan pertandingan. Siapa yang bisa menjatuhkan monyet itu dari pohon kelapa, dialah yang menang.
"Aku duluan yaa," kata angin topan. Dan angin topan langsung menghempas seisi hutan, mendekati si monyet. Namun monyet itu ternyata mempererat pegangannya pada pohon kelapa. Angin bohorok mencoba lebih keras, namun tidak mempan.
"Udah deh, kamu tuh nggak kuat. Lihat aku nih!" kata angin bohorok dan langsung melesat. Angin bohorok menghancurkan segalanya. Rumah, perkebunan kopi, perkebunan teh, dan lain-lain. Tapi sang monyet malah bergeming. Ia malah lebih mempererat pegangannya pada pohon kelapa.
"Ah, cupu! Makanya, lihat nih, angin tornado! Angin paling kuat sedunia!". Angin tornado langsung bergerak menuju si monyet. Kali ini dampaknya lebih dahsyat. Bukan hanya rumah dan perkebunan yang terlempar, gedung-gedung pencakar langit rusak, hancur. Rumah-rumah beterbangan, mobil-mobil melayang di udara. Angin berbentuk corong dari langit itu menghancurkan segala yang dilewatinya. Tapi apa? Sang monyet malah lebih, lebih mempererat pelukannya pada pohon kelapa, seakan tidak mau melepaskan begitu saja, seakan pohon kelapa itu adalah hidupnya. Dia sudah mengalami dua angin kuat terdahulu, dia sedikit banyak sudah tahu medan, maka kali ini dia lebih tahu dan siap menghadapi gempuran.
Berjam-jam angin tornado yang mengklain sebagai angin paling kuat sedunia itu mencoba, tapi gagal. Sang monyet masih ada di atas pohon.
"Gila ya! Tambah kuat aja pegangannya!" umpat salah satu angin.
Tiba-tiba datanglah angin sepoi-sepoi. Dia berkata, "Aku nyoba ya. Siapa tahu bisa".
Ketiga angin terdahulu langsung ngakak abis. "Lha kita aja nggak bisa, apalagi kamu yang kecepatannya cuma beberapa meter per detik, ha? Nggak mungkin, nggak mungkin!"
"Lhoo, aku kan mau nyoba. Ya? Ya? Nyoba doang kok!" pinta angin sepoi-sepoi. Permintaannya akhirnya diluluskan walaupun ketiga angin yang lain masih sakit perut karena kebanyakan ketawa.
Datanglah angin sepoi-sepoi pada si monyet. Whus whuss, angin itu bergerak, mendesau lembut. Dibelai angin, si monyet akhirnya tertidur. Dia meloloskan pelukannya pada pohon kelapa, dan.... bluk, dia pun terjatuh.
Angin sepoi-sepoi tersenyum-senyum, ketiga angin melongo abis.

Intinya sih: ujian itu ada untuk menguatkan kita. Kadang ujian itu emang gede (diibaratkan ketiga angin). Saat itu, apa yang kita butuhkan? Tak lain adalah pegangan alias iman yang kuat. Tapi ada juga ujian yang saking kecilnya kita anggap enteng dan akhirnya kita malah terjatuh di lubang kecil tersebut (diibaratkan angin sepoi-sepoi)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya pernah baca sebuah ungkapan puisi (lupa baca di mana). Tapi isinya bagus banget. Kalau nggak salah (ya bener, hehehe) isinya gini (dengan sedikit revisi):
 Yakinlah
Bahwa Dia memberimu ujian
Karena Dia ingin membuatmu kuat
Yakinlah
Bahwa Dia akan memberimu yang kau butuhkan
Bukan yang kau inginkan
Yakinlah
Percayalah
Bahwa Dia memberimu hujan
Karena Dia ingin dirimu mendapat pelangi

Reading Time:

Jumat, 15 April 2011

Dia yang Memberi
April 15, 20110 Comments
Pernah lihat orang kaya infak uang 10 juta? Itu biasa. Tapi pernah lihat seorang tukang becak menyumbang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah)? Pernah? Bahkan pernahkah kita melihat seorang pejabat menyumbang sebesar itu?
Kisah ini dimulai di Cina. Kisah seorang lelaki tua renta pengayuh becak, yang karena sebuah peristiwa yang hinggap di pelupuk matanya yang sudah keriput, bisa mendorongnya untuk mengayuh lebih keras dan memberikan sebagian besar hasil pekerjaannya untuk sebuah yayasan.
Bai Fang Li, seorang lelaki pengayuh becak yang sudah tua. Perawakannya kecil dan kurus, tidak perkasa. Bahkan bisa dilihat bahwa dia cukup ringkih. Namun semangatnya tetap membara demi menghidupi para yatim-piatu yang hidup di sebuah yayasan. Dia bekerja mulai jam 6 pagi hingga pukul 8 malam.
Para pelanggan sangat menyukai Bai Fang Li karena ia merupakan pribadi yang ramah dan murah senyum. Ia juga tidak pernah mematok berapa uang yang harus dibayarkan padanya atas kerjanya mengayuh becak. Tapi itulah sebabnya mengapa para penumpangnya memberinya upah lebih. Sifat rendah hati selalu memberi feedback yang sama, bukan? Allah maha adil.
Suatu hari, dia melihat seorang anak kecil yang membantu seorang ibu membawakan belanjaannya. Bai Fang Li sering melihat anak tersebut mengangkatkan belanjaan. Anak itu terlihat kesulitan mengangkat barang bawaan tersebut. Namun ia tetap bersemangat mengangkat bawang. Saat ibu itu memberikan beberapa koin recehan, anak itu tampak senang sekali. Setelah mengangkatkan barang bawaan ibu tersebut, anak itu lalu pergi ke tempat sampah dan mengorek-ngorek isinya. Menemukan sebuah roti lalu memakannya.
Bai Fang Li merasa kasihan dengan anak tersebut dan membagi manakannya dengan anak itu. Saat Bai Fang Li bertanya pada anak itu, mengapa ia tidak membeli makanan dengan uang yang didapatnya, padahal uang pendapatannya cukup untuk memberi makanan yang cukup, anak itu menjawab, "Uang itu untuk makan kedua adik saya". Dan saat ditanya di mana orang tuanya, anak itu menjawab, "Orang tua saya pemulung. Sejak mereka pergi memulung beberapa saat yang lalu, mereka tidak pernah kembali".
Bai Fang Li lalu pergi ke rumah anak yang bernama Wang Fing tersebut. Bai Fang Li makin nelangsa saat melihat kedua ading Wang Fing yang berusia 5 dan 4 tahun yang memakai pakaian kurus kering dan compang-camping. Tidak mengherankan, mengingat mereka sudah ditinggal kedua orang tuanya yang pemulung. Apalagi para tetangga mereka juga tidak bisa membantu karena mereka juga hidup dalam kekurangan.
Bani Fang Li lalu memasukkan ketiga anak kasihan tersebut ke sebuah yayasan. Saat itu Bai Fang Li berkata bahwa setiap hari dia akan mengantarkan penghasilannya ke yayasan tersebut untuk menghidupi anak-anak yatim piatu di situ.
Sebagai akibat, Bai Fang Li hidup dengan sederhana. Dia tinggal di sebuah gubuk tua yang disewanya per hari di sebuah lingkungan para pengemis dan pemulung. Gubuk itu hanya terdiri atas satu ruangan sempit. Hanya ada sebuah tikar tua yang robek-robek sebagai kasurnya, sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Sebagai alat makannya ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dan sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, (lampu templok, bukan LAMPU LISTRIK).
Dari penghasilannya mengayuh becak, sebenarnya Bai Fang Li bisa hidup dengan layak. Namun dia lebih memilih untuk memberikan penghasilannya kepada sebuah yayasan sosial di Tianjin untuk menghidupi anak-anak yatim-piatu.

Di ambang usianya yang ke-90 tahun, Bai Fang Li datang ke yayasan tersebut sambil menangis. Dia berkata, "Saya sudah tua, saya sudah tak bisa mengayuh becak lagi," katanya sambil berurai air mata lalu memberikan seluruh tabungannya senilai sekitar 650 ribu rupiah kepada yayasan tersebut.
Bai Fang Li meninggal pada usia 93 tahun. Akhir hidup seorang pria yang mengayuh becak dan memberikan penghasilannya selama dua puluh tahun kepada sebuah yayasan, sedang dia sendiri hanya mengambil secukupnya untuk sewa gubuk, membeli makanan berupa dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya.

Semoga bisa menjadi hikmah bagi kita. Kalau seorang tukang becak yang hidup kekurangan saja bisa berbuat semulia itu, bagaimana dengan kita yang mampu?
Reading Time:

Kamis, 07 April 2011

Angin, Cemara, Bambu
April 07, 20110 Comments
Pernah cuma kepikiran nih. Waktu itu ada setan yang tiba-tiba lewat terus ngebisikin, "Udah, lo nggak bisa apa-apa! Lo gak bakalan sukses, dah! Noh, liat sono. Temen-temen lo udah sukses. Lo? Apaan? Kagak ada apa-apanya!". Nah, langsung deh ini otak langsung memerintahkan kadar semangat dalam tubuh jadi nol (nggak sih, nggak sampe nol. Supaya dramatis aja kesannya. Hehehe).
Seperti orang down pada normalnya, aku langsung analisa. Ini anak-anak makan apa sih kok bisa sukses kaya' gitu? Dan hasil analisa menunjukkan kalau jalanku dan jalan mereka beda. Dan otakku langsung memerintahkan diriku untuk mengikuti cara mereka. Tapi setelah beberapa hari, baru aku ngerti kalau ternyata jalan orang beda-beda. Dan muncullah satu quote:
Tiap orang memiliki jalannya sendiri
Kamu indah dengan jalanmu
Terus sambil bikin puisi, mikir-mikir lagi. Dan muncullah analogi berikut. Analogi angin, cemara, dan bambu.
Angin adalah jalan orang sedangkan bambu dan cemara adalah diriku sendiri.  Kalau aku jadi cemara, yang mau mengikuti jalan orang lain padahal jalan itu nggak cocok buatku, akhirnya aku akan semakin doyong dan miring. Emang kelihatannya sih kuat. Lihat aja cemara, kelihatan kuat kan? Tapi pada akhirnya aku bakalan doyong, miring, dan akhirnya ambruk.
Sedangkan kalau aku jadi bambu, meskipun kelihatan rapuh, tapi dia mau konsisten pegang jalan dia sendiri dan bersungguh-sungguh. Dan akhirnya, dia tetap berdiri tegak. Nggak doyong, nggak miring, dan nggak ambruk kecuali emang dia waktunya ambruk. Bahkan, dia sempat-sempatnya nyimpan air.
Jadi, buat apa jadi cemara kalau berakhir nelangsa sedangkan kita bisa memilih jadi bambu yang konsisten dalam waktu?














Reading Time: